Pengantar
Tidak seperti teks-teks berbahasa Inggris lainnya, saya merasa teks Simmel yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris ini sangat sulit untuk bisa dipahami secara keseluruhan. Terutama kesulitan yang saya alami adalah ketika banyak istilah asing walaupun beberapa saya tahu makna harfiahnya, tetapi menurut saya jarang sekali digunakan dalam teks-teks bahasa Inggris lainnya. Di sinilah saya baru menyadari bahwa memang benar ‘bahasa adalah batas dunia’. Ini bisa berarti bahwa kita terbatas memahami sesuatu karena kita tidak cukup memahami bahasanya, atau mungkin juga dapat diartikan bahwa kita tidak mampu mengungkapkan sesuatu karena tidak ada bahasa yang cukup untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak dan perasaan kita.
Dengan demikian yang mungkin saya dapatkan dari pembacaan saya akan teks ini mungkin tidak akan bisa secara detil menjelaskan. Akan tetapi mungkin saya hanya bisa membuat satu kerangka besar pemikiran Simmel akan kebudayaan, yang nantinya kerangka tersebut akan saya interpretasikan dalam pemahaman saya. Sehingga jika ada sesuatu yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang Simmel maksudkan, maka secara sederhana tulisan saya ini hanya cukup di anggap sebagai pemahaman saya sendiri.
Sebelumnya, berbicara tentang kebudayaan menurut saya adalah hal yang sangat sulit, apa lagi untuk memahaminya. Mungkin dapat saya katakan bahwa itu sesuatu yang tidak mungkin, atau mungkin-mungkin saja, tapi kita tidak pernah tahu sampai di mana pemahaman kita tentang kebudayaan. Saya selalu mengandaikan bahwa kita adalah bagian dari sebuah kebudayaan, maka apakah mungkin kita mampu untuk menjelaskannya? Karena menurut saya untuk memahami suatu sistem kita harus keluar dari sistem tersebut. Bukankah ketika kita merupakan ‘bagian’ dari sesuatu, maka kita mungkin hanya mampu memahami ‘bagian’ dari sesuatu itu? Mungkin di sinilah saya kira bahwa pemahaman kita akan kebudayaan atau mungkin tentang segala sesuatu hanyalah serpihan-serpihan kecil, yang satu serpihan pun kita mungkin tak pernah benar-benar paham.
Pada akhirnya pun, saya mungkin hanya bisa mengusulkan satu gagasan tentang ‘Transendensi Kebudayaan’. Di mana kita mengandaikan sebuah kebudayaan itu menjadi sesuatu yang tak usah dijelaskan, karena menurut saya bahwa masing-masing dari kita adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Kemudian apa yang mungkin bisa kita lakukan? Kita mungkin hanya bisa mencurahkan apa yang kita rasakan tentang budaya kita, seperti ketika kita menjadi bagian dari sebuah keluarga yang di dalamnya kita merasakan kebahagiaan, atau mungkin kekecewaan, atau bahkan keputusasaan. Dalam hal inilah saya rasa ‘kritik budaya’ dapat memosisikan diri sebagai upaya pencurahan diri akan kebudayaan kita.
Tragedi Kebudayaan Simmel
Diawali dengan sebuah thesis statement bahwa manusia tidaklah seperti hewan yang membiarkan dirinya terkungkung dalam keteraturan alami dunia. Manusia ingin lepas dari itu semua, dan kemudian ia membuat sebuah konfrontasi antara dirinya dengan hukum alam yang membatasi dan mengekang dirinya. Dari sinilah Simmel mengatakan bahwa konfrontasi tersebut menciptakan dualisme besar yang tak pernah berakhir, yakni perlawanan antara ‘Subjek’ dan ‘Objek’.
Subjek secara sederhana dapat kita pahami sebagai posisi manusia yang menyadari keberadaannya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan hukum alam[1] sebagai objek. Dalam konfrontasi inilah Simmel meletakkan konsep kebudayaannya di antara subjek dan objek. Peletakan ini mengartikan pada kita bahwa budaya merupakan sesuatu yang menghubungkan antara subjek dan objek, di mana melalui itulah mungkin subjek dapat memahami atau mungkin bahkan melampaui objek. Untuk lebih mudahnya mungkin dapat saya gambarkan dalam sebuah kerangka sebagai berikut:
Gambar ini saya maksudkan bahwa subjek adalah bagian dari kebudayaan, di mana kebudayaan itu merupakan perantara subjek dengan objek. Mengapa subjek saya letakkan secara inklusif dalam objek? Karena saya menganggap bahwa subjek tidak pernah benar-benar bisa terpisah dari objek, bahkan jika boleh saya katakan bahwa subjek adalah bagian dari objek itu sendiri. Inilah mengapa kadang manusia juga ingin melampaui dirinya sendiri, karena dirinya adalah bagian dari objek itu sendiri yang membatasi jiwa atau hasratnya untuk melampaui.
Kalau mungkin boleh saya katakan, kebudayaan di sini mungkin dapat dipahami sebagai apa yang selama ini kita sebut sebagai logika. Logika menurut saya adalah sebuah cara manusia untuk mempertemukan dua proposisi agar diperoleh suatu kesimpulan yang sahih. Akan tetapi logika disini bukan sama sekali tidak mengartikan diri sebagai penentu kebenaran, ia hanya semacam validity checker. Kita dapat menyimpulkan benar ketika sebuah proposisi itu benar secara prinsip logika ketika dipertemukan dengan propisisi lain. Akan tetapi sebuah proposisi itu benar atau tidak, logika tidak memiliki kewenangan dalam hal ini. Misalkan saja, kita mengatakan bahwa semua manusia tidak bisa terbang. Proposisi ini dalam logika tidak bernilai apapun, karena kita mengatakan seperti itu dengan dasar bahwa kita tidak pernah melihat manusia bisa terbang. Jadi pada intinya kita bisa menyimpulkan dari beberapa proposisi itu valid atau tidak, tetapi kita tidak pernah bisa menilai masing-masing dari proposisi itu dengan sebuah logika. Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa logika hanyalah sebuah cara untuk kita dapat menyimpulkan sesuatu, bukan untuk mendefinisikannya.
Di sinilah mungkin kebudayaan itu hampir memiliki posisi yang sama. Ia hanya sebuah sarana untuk kita memahami objek. Melalui kebudayaan lah manusia mencoba untuk memahami objek dan mencoba melawan batas-batas yang ditemuinya. Seperti yang dikatakan Simmel bahwa ‘jiwa’ tidak pernah hanya merepresentasikan pada suatu moment apa adanya, ia selalu ingin lebih dan mengatasi menjadi manifestasi yang sempurna dari dirinya sendiri. Inilah mengapa mungkin dapat saya katakan bahwa aspek terdalam dari diri manusia adalah hasratnya untuk melampaui, melampaui apa saja; keadaan, orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.
Kebudayaan manusia selalu berkembang dengan hasrat ini, perkembangan disini saya maksudkan sebagai pencapaian-pencapaian manusia dalam upaya mengatasi keterbatasannya oleh objek (alam). Di sini mungkin dapat kita lihat secara nyata pada teknologi yang mana ia merupakan salah satu bentuk wujud kebudayaan manusia. Melalui teknologi inilah kita melihat manifestasi dari jiwa manusia yang selalu ingin melampaui keterbatasannya untuk menjadi lebih, lebih, dan lebih. Misalkan saja dengan satu keterbatasan manusia untuk bisa terbang untuk mungkin mempersingkat waktu perjalanan, maka manusia menciptakan sesuatu yang mungkin dapat menerbangkan dia, yang sekarang mungkin kita kenal sebagai pesawat terbang, helikopter, dan macam-macam bentuk teknologi yang lain.
Ini hanya merupakan satu contoh di mana kita dapat memahami hasrat manusia yang selalu ingin melampaui. Yang kemudian kita tahu bahwa hasrat inilah yang mendorong manusia untuk menciptakan sebuah kebudayaan atau mungkin sebuah peradaban. Lantas kemudian kita dapat melihat lagi tentang sumber dari konsep kebudayaan yang dikatakan oleh Simmel bahwa “pada titik ini kebudayaan hanya mengikuti bahasa perasaan kita”.[2] Atau mungkin dapat saya artikan lebih jauh bahwa sebuah konsep kebudayaan ialah mengikuti ‘hasrat kuasa’ kita. Di mana ini mengartikan ketika kita telah berhasil melampaui sesuatu, ini tidak mengartikan pada kita bahwa kebudayaan atau konsep kebudayaan telah berhenti, akan tetapi ia akan terus berkembang mengikuti hasrat kita. Katakanlah jika mungkin kita telah mampu mengatasi atau melampaui satu keterbatasan kita, maka hasrat yang kita miliki akan berkembang untuk berusahan melampaui apa yang sudah kita capai atas keterbatasan kita. Dan disini kita menjadi mafhum, bahwa selama hasrat ini masih ada, maka kebudayaan tidak akan pernah berhenti.
Kemudian kita menjadi bertanya, apakah segala hasrat manusia itu dapat menciptakan kebudayaan? Jika seperti itu, maka ia bersifat individual atau komunal? Saya andaikan bahwa ketika seorang individu, misalnya saja Bob Marlie. Ia menciptakan sebuah style atau gaya hidup yang dinamakan rasta, akan tetapi gaya seperti itu hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, maka apakah hal itu dapat disebut dengan budaya? Atau mungkin hanya bisa kita katakan bahwa itu hanyalah perilaku (behavior) individual?
Dalam hal ini Simmel mengatakan,
“it becomes a cultural value only when this partial development raises our total self one step closer to its perfected unity.”[3]
Pernyataan Simmel memberi kita pengertian bahwa sesuatu menjadi sebuah nilai budaya hanya ketika pembangunan dari diri kita menjadi sebuah kesatuan yang sempurna. Disini saya mungkin memahami bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai budaya ketika ia merupakan sesuatu yang bersifat jamak, yang memiliki satu kesatuan di dalam keserbaragaman. Maka dari sini kita dapat mengatakan bahwa ‘rasta’ itu merupakan sebuah budaya ketika ia diikuti oleh sekelompok orang bukan hanya individu.
Dengan demikian, saya menjadi mafhum bahwa ketika budaya merupakan suatu kesatuan yang mungkin dapat kita katakan ia bisa berubah menjadi sebuah struktur, maka kita secara tidak sadar terjebak dalam struktur tersebut. Kemudian kita menjadi merengek-rengek ketika merasa kebudayaan kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan kita sadar bahwa kita tidak bisa keluar dari hal sedemikian itu. Pada akhirnya inilah sebuah tragedi kebudayaan, dimana kita beramai-ramai memasuki jurang ciptaan kita sendiri. Yang mungkin pada mulanya kita ciptakan sebagai sebuah perlindungan, tetapi pada akhirnya ia adalah kurungan raksasa yang merantai jiwa kita. Kita terjebak pada ‘hasrat kuasa’ kita, dan kita benar-benar menjadi nol, tak berarti apa-apa melainkan hanya sekumpulan hasrat buta.
Kesimpulan
Pada akhirnya, kebudayaan hanyalah sebuah cara manusia mencari titik batas mereka. Yang selalu menciptakan konfrontasi, perlawanan tiada akhir, yang mengantarkan kita pada sebuah pernyataan The Joker “everything is the joke”. Dan kali ini, saya benar-benar menjadi tak bermakna, selain hanya terjebak dalam sebuah lelucon. Lalu apa? Tidakkah hidup masih berlanjut? Dan mungkin memang benar, dan kita memang tak boleh untuk berhenti belajar. Bukankah seperti itu? (Risalatul Hukmi, Mahasiswa Filsafat UGM ’12, Anggota Divisi Artistik LSF Cogito)
[1] Objek disini lebih saya artikan sebagai hukum alam, yang mana ia merupakan suatu keadaan alamiah di luar kesadaran manusia yang kemudian dipahami sebagai pembatas dari spirit manusia.
[2] Lih. Simmel, On the Concept and the Tragedy of Culture, p. 28
[3] Lih. Ibid., p. 34