Happiness is the meaning and the purpose of life, the whole aim and end of human existence.”
-Aristoteles
Kebahagian yang Reflektif (Sebuah Pendahuluan)
Apa yang harus disiapkan ketika menjadi individu yang hedonis? Ego kebahagiaan yang menguntungkan diri sendiri, tapi merugikan orang lain, bijaksanakah? Tak peduli apa bentuk penderitaanmu, maka larilah mengejar kebahagiaan etis.
Salah satu etika yang berfokus pada kebahagiaan ialah hedonisme. Sang kakek Epicurus berjasa besar sebagai titik sentral perkembangan pemikiran yang selalu dicap egois ini. Konsep ataraxia-nya selalu diagung-agungkan oleh pengikut-pengikutnya yang salah paham. Gordon Graham dalam buku Theories of Ethics mengemukakan kritik-kritik perenial terhadap hedonisme. Kritiknya saya bahasakan seperti ini, jika kita menenggak dua gelas anggur terbaik yang kita anggap sebagai konten dan objek kebahagiaan, lalu pada akhirnya tanpa diketahui akibat itu timbullah rasa sakit pada diri, bukankah kerugiannya lebih besar?
Ketika kebahagiaan sejati dirasa terlalu jauh untuk dicapai, akhirnya orang awam dengan mudahnya melakukan dan menjustifikasi objek kebahagiaan tanpa pemikiran filosofis (wisdom) yang mendalam. Ketika gagasan-gagasan atau konsepsi kebenaran tentang kebahagiaan yang ditangkap ide maupun indera, dipatahkan oleh aksidensi yang tak terduga, apa yang harus dilakukan untuk mencoba menciptakan ketenangan dan suasana yang layak?
Maka dari kritik itulah, saya rasa sebuah konsep neuronal sebagai pijakan diri individu hedonis dalam menjalani eksistensinya dapat digunakan dalam pertimbangan rasa sakit maupun sebuah semangat dalam mencari kebahagiaan lain. Gordon Graham menyebutnya dengan hedonisme yang bersifat reflektif. Sebuah hedonisme yang baik adanya, untuk menghindari rasa sakit yang diciptakan oleh alam.
Ketika kebahagiaan sejati dirasa terlalu jauh untuk dicapai, akhirnya orang awam dengan mudahnya melakukan dan menjustifikasi objek kebahagiaan tanpa pemikiran filosofis (wisdom) yang mendalam. Ketika gagasan-gagasan atau konsepsi kebenaran tentang kebahagiaan yang ditangkap ide maupun indera, dipatahkan oleh aksidensi yang tak terduga, apa yang harus dilakukan untuk mencoba menciptakan ketenangan dan suasana yang layak? Pada artikel ini saya mencoba mengulas dan meminjam pemikiran Michel Onfray, terutama yang tertuang dalam A Hedonist Manifesto. Tulisan ini bukan untuk menjustifikasi siapapun.
Etika dan Neurosains
Etika adalah persoalan tubuh, bukan jiwa. Itu merupakan hasil otak, bukan nurani.1 Ketika suatu perilaku telah terjadi atau mewujud, maka otaklah yang berproses menggerakkan semua itu. Ahli Psikologi Motivasi UGM, Bagus Riyono, mengatakan otak hanyalah eksekutor, pengambilan sebuah keputusan berasal dari hati. Menurut saya nurani hanya permainan-permainan spiritualitas Timur yang selalu dikorelasikan pada kesadaran hati, padahal kesadaran merupakan fungsi cerebral cortex!
Otak adalah alasan besar dari alasan besar lainnya.2 Berpikir, menghitung, sadar, emosi, segala hal yang dilakukan manusia diwujudkan dari proses permainan Tuhan kecil, yaitu otak. Sebelum jauh melangkah menuju kehidupan hedonis, sedikit mengulas penjelasan otak khususnya fungsi neuron dalam etika. Mengenai bagaimana proses tujuan konten kebahagiaan dan neuron sudah saya ulas di tulisan sebelumnya, “Pergeseran Makna Gagasan Hedonisme Etis”.
Otak kita sepakati bersama sebagai organ yang sangat penting, tersusun dari saraf, lalu saraf tersusun dari sel yang menjadi sistem-sistem saraf. Saraf sendiri terdiri dari beribu-ribu neuron. Neuron terdiri dari satu badan sel yang terbagi dua bagian yaitu, sitoplasma dan inti sel, dari badan sel tersebut, ada dua serabut, yakni akson dan dendrit. Neuron memiliki fungsi inteligensi, mental, emosi, dan afeksi individu yang berpengaruh terhadap apa yang dihasilkan perilaku manusia. Problem solving sangat ditentukan oleh kerja atau tidaknya antar neuron dalam menghantarkan neurontransmiter (sejenis zat kimia yang disebabkan oleh akson). Neuron tidak berkerja sendiri, ia diberikan serapan nutrisi dan daya oleh sel glia.
Amir Zuhdi, seorang pakar neurosains Indonesia mengatakan dalam tulisannya, “Seorang bisa sedih, menangis, tertawa, gembira, marah, dan sebagainya karena ada dorongan. Secara umum, individu terdorong karena dua hal: mendekati kenikmatan atau menjauhi kepedihan. Ketika di sana ada kenikmatan maka individu akan mendekatinya, sebaliknya jika ada kepedihan maka individu akan menjauhinya.”
Jika ditelaah lebih dalam, neurosains dapat menjelaskan fenomena itu. dr. Amir Zuhdi menulis “dorongan manusia terjadi karena dua hal, yakni dorongan karena hasil pemaknaan dan dorongan oleh hasil proses emosi. Pertama, didasarkan atas nilai-nilai (kesadaran/spritual), yang dihasilkan oleh otak yang bernama CPF (cortex prefrontal). Kedua, didasarkan pada proses emosi yang melibatkan sistem limbik terutama nekleus accumbens (reward system) dan peran amigdala. Dalam mengelola dorongan atau kemampuan menunda kenikmatan, cortex prefrontal (CPF) menjadi pemeran utamanya. Cortex prefrontal (CPF) yang berkualitas mampu dan terus menjaga agar pikiran dan perilaku yang dihasilkan otak adalah pikiran dan perilaku yang membangun (konstruktif) , bukan yang merusak (destruktif). Kebiasaan-kebiasaan yang terpuji, yang dilakukan secara berulang-ulang akan terekam dengan baik dalam ganglia basalis (bagian otak yang mengurusi gerakan otomatis). Ganglia basalis bersama dengan cerebellum (otak kecil) akan menghasilkan pikiran dan perilaku yang terpuji. Pikiran dan perilaku yang terpuji akan menghasilkan kebiasaan yang terpuji, demikian juga sebaliknya.” Sebenarnya inti tulisan dr. Amir Zuhdi ini ialah hal-hal yang kita lakukan dapat terekam oleh otak (terlepas dari moralitas) hal buruk maupun hal baik akan diproses, dan menjadi kebiasaan individu dalam bersikap.
Etika bukanlah urusan teologis manusia dengan Tuhan, melainkan persoalan imanen tentang manusia, di antara mereka-mereka sendiri, tanpa saksi lain.6
Neurosains yang secara kuantitas teruji berkesimpulan bahwa otak dapat merekam hal-hal etis yang pernah dilakukan oleh individu. Khususnya prinsip-prinsip A Hedonist Manifesto dalam pembangunan etika kebahagiaan. Etika, khususnya hedonisme, sangat berkaitan dengan neuron (otak). Otak merupakan peran utama dalam membentuk moralitas.3 Pengolahan data, segala bentuk pertimbangan, rasa emosi, berpikir, tidaklah selintas lewat begitu saja, melainkan proses dialektis neuron-neuron di dalam otak. Etika tidaklah diberikan, akan tetapi dibangun dan diproduksi.4 Mengapa harus dan mesti dibangun maupun diproduksi?
Membangun Konsep Neuronal Hedonisme
Dalam konsep hedonisme etis, individu yang hedonis haruslah berdasar prinsip kebahagiaan tanpa merugikan diri dan orang lain, sekaligus sikap interospeksif. Saya bahasakan seperti kebahagiaan yang diiringi humanity. Individu harus memahami sistem saraf dengan ‘hedon etisnya’. Etika memerlukan tubuh dari kekuatan dan pencipta dunia kecerdasan yang disengaja (saya bahasakan ini rasio individu).5 Tidak ada etika yang tidak berkaitan dengan otak, maka dari itu perlu dilatihnya neuronal yang tepat agar terjadi pengiriman neotransmitter untuk menciptakan tindakan moral yang tepat juga.
Persoalan etika tidaklah diberikan, ialah sikap reaktif hedonisme melepaskan kedogmatisan kontrak. Segala bentuk baik atau buruk, indah atau tidak indah, adil atau tidak adil adalah penilaian manusia yang kontrak, relatif, dan bergantung sejarah.6 Untuk melepaskan sikap dogmatis tersebut, orang yang hedonis harus membangun etika sesuai prinsip hedonisme ini. Dengan ditinggalkannya kedogmatisan tersebut, diharapkan individu dapat memijakkan kaki ke area khusus Epicurean Garden, atau area di mana kebahagiaan dan kenikmatan individu dapat berjalan sesuai dengan kehendaknya yang etis. Maka dari itu proses pendewasaan sangat dibutuhkan ketika memasuki area Epicurean Garden.
Pembangunan konsep neuronal hedonis ini disesuaikan dengan kerangka cinta-orang tua, keluarga, anak-anak, istri, sosial, lingkungan serta zaman demi eksistensi hedonisme etis tersebut. Untuk itu dalam mewujudkan pemikiran ini dalam kehidupan, kerangka-kerangka tersebut harus dituliskan ke dalam jaringan neuron, tanpa kerangka itu moralitas tidak sesuai dengan prinsip humanity. Konsep tersebut digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan kebahagiaan.
Konsep tersebut diharapkan menjadi pisau tajam individu yang hedonis dalam membelah pesimisme. Sang hedonis tidak boleh pesimis dalam mencari kebahagiaan lain, ini sesuai dengan penjabaran A Hedonist Manifesto sendiri, yang salah satunya ialah Interospeksif. Interospeksif tidak hanya diam, mengetahui kesalahan, tetapi rasa diri untuk lebih baik daripada sebelumnya dalam mencapai kebahagiaan atau kenikmatan.
Moralitas yang berproses dan akhirnya terbentuk di muka bumi ini, bukanlah ayat-ayat suci teologi. Ini merupakan murni sebuah keputusan yang disebabkan oleh proses neuron-neuron kita.
Etika bukanlah urusan teologis manusia dengan Tuhan, melainkan persoalan imanen tentang manusia, di antara mereka-mereka sendiri, tanpa saksi lain.6 Tentunya pelatihan neuron ini bukanlah pelatihan khusus menggunakan helm mesin, tetapi melatih atau menanamkan prinsip-prinsip moralitas akan hedonisme yang humanity itu sendiri. Interaksi individu dengan individu lain, saling mengasihi, saling membantu, dan sebagainya yang berdimensi intersubjektivitas dapat membangkitkan mental dan dengan demikian, neuron akan bekerja bukan sebagai hal yang baru tetapi memutar kembali kaset koleksi sel-sel neuron (kebiasaan) dalam kerangka neuronal hedonis.
Etika (Hedonisme) : Persoalan Imanen Manusia
Ketika individu ingin berdemonstrasi dan melakukan perusakan fasilitas akibat kemarahan dan kekesalan terhadap kebijakan pemerintah, haruskah ia terlebih dahulu pergi mendatangi dan mengetuk pintu rumah kyai, pendeta, biksu, atau ahli-ahli pikir ateis, atau bahkan dosen-dosen etika? Di mana pencipta moral sejati? Sang Tuhan hanya diam! Kitab suci masih saja penuh dengan ambiguitas! Lalu siapa yang berproses dan memutuskan tindakan-tindakan moral yang dilakukan? Siapa lagi jika bukan diri individu.
Moralitas yang berproses dan akhirnya terbentuk di muka bumi ini, bukanlah ayat-ayat suci teologi. Ini merupakan murni sebuah keputusan yang disebabkan oleh proses neuron-neuron kita. Persepsi dan konsep benar atau salah, indah atau tidak indah, pantas atau tidak pantas dapat berbeda antara orangtua dan anak. Manusia merupakan jangkar realitas jika menggunakan analisis ontologis Anton Bakker. Ini dapat dikaitkan dengan moralitas, bahwa manusia lah akar-akar dari realitas kehidupan. Karena individu dengan sendirinya lah menyatukan konsep, persepsi, sains, fenomena, pengalaman Religare, relasi, bahasa, dan hal lainnya sebagai suatu hal pertimbangan, sebagai suatu faktor dalam memutuskan pemikiran atau tindakan-tindakan kehidupan maupun moral.
Lalu persoalan hedonisme ini, adakah titik keberangkatan hedone maupun tujuan etisnya ?. Michel Onfray mengemukakan seperti ini pada bab A Rule Immanent Play :
“This does not entail an egoistic religion—a cult of the Me that is autistic and narcissistic—nor does it entail a loathing of everything that manifests in the first person. It is about properly understanding the Me and giving it its due. We don’t want to become dandyish caricatures orlust after metaphysical chalices; rather, we compose ourselves in the world without hysteria or grandiloquence. We should be neither critical nor thanatophilic, but logical, like Descartes, who, for the sake of his metaphysics, looked for and found an I. It’s essential to do something similar to enable a new ethics. Without a point of departure, there can be no ethical goal”.7
Kesimpulan terjemahannya dapat dikatakan seperti ini, “ Ini bukan berarti agama yang egois-sebuah pemahaman atau konsep atau kultus aku yang autis dan narsistik. Ini tentang memahami aku dan memberikan haknya. Kita tidak ingin menjadi karikatur dandyish (kaum metroseksual yang menarsiskan dirinya, berkaitan dengan nafsu) setelah piala metafisik (saya bahasakan seperti mengandalkan eksistensi). Kita harus menyusun kehidupan kita tanpa kecemasan diri dan kemulukan (bermegah-megah diri). Kita tidak seharusnya takut akan kematian mendadak yang kritis, namun berpikir logis seperti Descartes yang demi metafisika, mencari dan menemukan konsep I (aku). Ini inti untuk menghidupkan atau mengaktifkan etika baru. Tanpa titik keberangkatan, dan tujuan etis”
Tanpa titik keberangkatan dan tujuan etis? Hingga sekarang tujuan manusia eksis di muka bumi masih abstrak. Terlepas dari perdebatan tujuan hidup, ada hal yang tak dapat dibantah yaitu persoalan kebahagiaan yang tertanam secara alamiah dan selalu berkembang seiring pertumbuhan otak dan perubahan tubuh. Neuron-neuron ini berkerja secara reflektif pada ruang dan waktu sekaligus realitas yang kita jalankan.
Moral kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, tak mau bersedih, sudah alamiah ketika individu masih belia (bayi). Tanpa aturan, arahan dan kitab suci saya ketika bayi akan menangis secara alamiah jika ada suasana rumah yang tak tenang. Bayi Jo akan merasa tak nyaman dan tak tenang maka dari itu saya harus dipindahkan menuju ruang yang tenang dan nyaman. jauh dari kebisingan dan keributan agar saya dapat dengan tenang menghadapi proses realitas selanjutnya.
Kita tak perlu menunggu waktu untuk menjadi seorang hedonis. Tak perlu mengingat masa lalu dengan penuh sesak duka. Tak perlu sedih menyesali kebahagian-kebahagiaan yang tak utuh dan juga tak perlu takut akan kematian. Jika kita berpakaian rapi ala Epicurus, memegang segelas anggur, memakai jam tangan rolex, dan hal menyenangkan lainnya sebagai titik pijak keberangkatan kita menjadi seorang hedonis. Namun, semua ini bukanlah tujuan akhir. Tubuh kita hanya diperintahkan oleh neuron-neuron di otak. Kebahagiaan tidak terletak dimana-mana selain di dalam tubuh kita sendiri. Kita hanya pemain realitas, segala hal apapun hanya individu yang mengetahui saat realitas itu dijalankan. Pada akhirnya, apa yang harus dilakukan jika kita mengalami ketidakbahagiaan ? Maka remukkanlah pesimisme! pertimbangkan humanity dan kasih sayang terhadap lingkungan dengan mendalam dan mengakar. kemudian mencari kebahagiaan lain, yang tak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain sekaligus interospeksif diri untuk menjadi lebih baik. Lalu Putar semua kaset-kaset neuronal mengenai hal-hal baik dan berjalanlah menuju inti Epicurean Garden.
Catatan Akhir:
1Michel Onfray, A Hedonist Manifesto : The Power to Exist (New York : Columbia University Press, 2006), hlm 71.
2Ibid.,
3Ibid.,
4Ibid.,
5Ibid.,
6Ibid.,
7Ibid., hlm 70.
Daftar Pustaka:
Onfray, Michel. 2006. A Hedonist Manifesto : The Power to Exist . New York : Columbia University Press.
Graham, Gordon. 2004. Eight Theories of Ethics. London and New York :Routledge.
Bakker, Anton. 1992. Antropologi Metafisika. Yogyakarta : Kanisius
Amir, Zuhdi. 2015. Cakap Menunda Kenikmatan. [online], (http://www.amirzuhdi.com/?p=1278, diakses tanggal 21 Maret 2017).