spot_img
More

    Mempertemukan Takdir dan Kehendak Bebas dalam Semesta yang Acak

    Featured in:

    Wacana perselisihan antara takdir dan kehendak bebas telah menjadi topik kritis yang menguras banyak pemikiran sejak era filsafat klasik hingga modern. Perselisihan ini jika disederhanakan tidak lebih dari sekadar pertanyaan, apakah kita punya kebebasan dalam menjalani hidup? Atau semuanya sudah ditakdirkan? Dan akankah kita bermuara pada satu penghentian yang terencana? Namun pendedahan yang mendalam telah melarutkan fokus pertanyaan kemana-mana. Implikasi perselisihan ini tidak hanya berdiam di dalam lingkup wacana filsafat saja, namun juga merembet hingga ke berbagai wacana lain seperti antropologi, neurobiologi, psikologi, dan teologi.

    Bicara perihal takdir, kita tidak akan lepas dari konsep pre-determinisme dan atribut-atribut ketuhanan. Keberadaan takdir adalah konsekuensi dari atribut Tuhan yang maha tahu (omniscient) segala sesuatu. Dan semuanya telah diatur dan diketahui-Nya bahkan sebelum sesuatu itu terjadi. Namun, konsep kemahatahuan Tuhan menjadi cukup serius jika disandingkan dengan atribut Tuhan yang lain, salah satunya dalam problem of evil. Ambillah contoh jika Tuhan telah berkehendak dalam takdir, Ia akan tahu bahwa manusia dapat secara sadar berbuat baik atau buruk. Andaikan Ia mentakdirkan sebagian umat-Nya akan berbuat jahat dan membiarkan kejahatan itu terjadi, maka konsekuensinya adalah Tuhan tidak maha baik. Sehingga atribut Tuhan yang maha tahu tidak dapat bersanding dengan Tuhan yang maha kasih (omnibenevolent) sekaligus dalam kerangka pre-determinisme.

    Pertanyaan mengenai takdir, kehendak bebas, dan atribut ketuhanan melingkupi apa yang disebut dengan paradox of free will, bahwa kemahatahuan Tuhan melalui takdir inkompatibel dengan konsep kehendak bebas. FIlsuf abad keenam, Boethius menyatakan argumennya mengenai paradoks tersebut dengan menganggap bahwa di mata Tuhan, kehidupan terjadi secara menyeluruh, serentak, dan sempurna (internabilis vitae tota simul et perfecta). Hal tersebut mendukung atribut Tuhan yang tidak dibatasi waktu (omnitemporal), karena Tuhan mengetahui dalam waktu kini yang abadi bagi-Nya, sementara manusia dan alam semesta berkutat dalam kebebasannya dalam kerangka waktu yang kontinyu. Di atas segala-galanya, Tuhan tinggal menjadi penonton yang sudah tahu sebelum sesuatu terjadi dan untuk selamanya pandangan-Nya yang abadi akan bertepatan dengan nilai yang datang dari perbuatan-perbuatan aktumanusia (Van der Weij, 1972).

    Di lain sisi, Alvin Plantinga (1977) menganggap kehendak bebas diperlukan dalam menanggapi problem of evil. Ia menelurkan konsep free will defence yang menyatakan bahwa timbulnya kejahatan adalah bukti bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk berbuat jahat. Sebab apabila Tuhan yang maha baik bekerja melalui ketetapan takdir, tidak mungkin bagi manusia untuk berbuat selain kebaikan karena Tuhan maha baik, maka Ia (Tuhan) tetap mengizinkan terjadinya kejahatan untuk mempertahankan kehendak bebas manusia.

    Semesta yang acak adalah batasan alami kehendak bebas manusia, karena ia mampu menghentikan, mengubah, dan menunda kehendak manusia— sehingga memaksa manusia untuk menentukan pilihan. Karena semesta bekerja secara acak, maka kemungkinan kehendak manusia dapat terselenggarakan dengan sukses menjadi sangat kecil karena setiap momen di masa depan memiliki kemungkinan yang tak terbatas.

    Dalam kerangka kehendak bebas manusia, kita memulai kebebasan sejak kita memiliki kesadaran untuk berkehendak. Sebelum itu, kehendak orang lainlah yang mengambil alih. Contohnya adalah saat manusia masih berada dalam kandungan, keberlangsungan hidup janin tersebut sepenuhnya berada dalam kehendak orang tuanya. Baru setelah lahir dan mengenali kebebasan sebagai atribut manusiawi, ia mulai berkehendak secara pribadi melalui keinginan, pikiran, dan penilaiannya sendiri dalam mengambil keputusan dan bertindak. Manusia memiliki kuasa untuk memanifestasikan kehendaknya, bahkan kematiannya sekalipun. Jika bagi beberapa orang kematian adalah takdir, maka sesungguhnya kita masih bisa mengupayakan dalam hal itu. Kita masih bisa berkehendak untuk berobat, mencegah penyakit, atau bahkan memiliki kuasa untuk mengakhiri kehidupan.

    Batasan Kehendak Bebas

    Kehendak manusia tidak sepenuhnya bebas karena ia dibatasi oleh hak individu lain untuk menyelenggarakan kehendaknya. Konsep ini sudah diterima oleh sebagai standar moral mengenai hak dan kewajiban. Batasan lain yang mencegah manusia berkehendak di luar kebebasannya adalah factor-faktor di luar diri yang tidak ada kuasa untuk mengendalikannya atau dikenal sebagai force majeure. Konsep kuasa di luar kendali ini banyak disandingkan dengan suratan takdir oleh Tuhan. Namun apakah hal-hal mundane seperti bencana alam dan wabah adalah benar-benar di luar kendali manusia? Jika dilihat sekilas memang benar, tapi apabila ditelaah lebih dalam sesungguhnya kita masih memiliki kuasa dan kontrol atasnya, yaitu dengan meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian tersebut. Ya, kita masih punya kuasa. 

    Ambillah contoh seseorang yang bepergian ke daerah pegunungan dan mengalami musibah longsor, apakah longsor benar-benar force majeure? Longsor memang kejadian tak terduga yang menimpa si pengelana tadi. Namun jika diselami lebih dalam, pada dasarnya ia masih punya kuasa untuk mencegah risiko tersebut. Dia masih punya kuasa untuk menghindari longsor, atau memutar balik kendaraannya ketika melihat kerikil sudah berjatuhan dari tebing, atau bahkan sebelum merencanakan bepergian ke pegunungan, ia masih memiliki kuasa untuk menunda atau mengganti destinasi perjalanan. Ya, ia masih punya kuasa, dan setiap pilihan tersebut memiliki probabilitas yang sama sepanjang belum terlaksana dan setiap kejadian yang akan terjadi padanya sepenuhnya acak. 

    Bisa jadi karena melihat ramalan cuaca, si pengelana memilih berdiam diri di rumah untuk meminimalkan risiko. Namun apakah dengan pembatalan tersebut ia sepenuhnya aman? Belum tentu juga, bisa jadi gempa melanda tempat tinggalnya. Ya, semesta memang acak. Jadi bisa dikatakan bukanlah musibah atau wabah, namun acaknya semestalah yang menjadi force majeure bagi kehendak manusia. Karenanya, seperti yang diutarakan Doyle dalam bukunya Free Will. The Scandal in Philosophy, kehendak bebas manusia bersifat inkompatibel dengan semesta yang acak

    Takdir Semesta Adalah Acak

    Semesta dirajut dengan tali-tali tipis ketidakpastian dan keacakan, serta setiap kejadian yang akan berlangsung selanjutnya memiliki probabilitas yang sama besar. Semesta yang acak adalah batasan alami kehendak bebas manusia, karena ia mampu menghentikan, mengubah, dan menunda kehendak manusia— sehingga memaksa manusia untuk menentukan pilihan. Karena semesta bekerja secara acak, maka kemungkinan kehendak manusia dapat terselenggarakan dengan sukses menjadi sangat kecil karena setiap momen di masa depan memiliki kemungkinan yang tak terbatas. Lalu jika memang semesta acak, mengapa kita masih bisa mengamati pola, kejadian sebab-akibat, dan determinisme di sana.

    Pengkajian risiko, pengambilan keputusan, dan pengoptimalan daya upaya secara rasional menjadi sepenuhnya kuasa manusia dalam menciptakan keteraturan yang dikehendaki. Semuanya agar semesta yang telah ditakdirkan acak itu menjadi tempat bagi berlangsungnya kehendak manusia yang bebas.

    Seorang matematikawan cum filsuf, Frank. P Ramsey melalui teorinya menyatakan bahwa keacakan yang ideal dan sempurna tidak bisa sepenuhnya terjadi terutama dalam struktur yang besar, walaupun sekelumit, selalu akan muncul pola dalam semesta yang acak (Dickson, 2011). Karena peluang itu, pola-pola determinisme dapat masuk. Bencana alam, musibah, kematian, dan semua yang lainnya adalah pola-pola deterministik yang dipengaruhi oleh sebab-sebab fisik sebelumnya. Mari kita ambil contoh praktis dalam kejadian sebab-akibat sederhana, jika Anda menggelindingkan bola sehingga memiliki kecepatan 2 meter per detik, maka dalam waktu 5 detik, bola tersebut besar kemungkinan akan menempuh jarak 10 meter. Ya, pola-pola seperti itu sudah dapat diprediksi melalui persamaan-persamaan fisika. Namun apakah si bola benar-benar sudah berada di jarak tempuh sesuai pola dan prediksi? Belum tentu juga, selalu ada kemungkinan lain yang bekerja secara acak seperti misalnya gaya gesek, gravitasi, arah angin, atau bisa jadi ada anak kecil yang tiba-tiba mengambil bola tersebut pada detik ke-3 setelah di lempar, bisa jadi kan? Semuanya berlangsung secara acak.

    Lalu apa implikasinya pada kehendak bebas? Sejenak mari kita beralih ke konsep entropi. Alam semesta memiliki kecenderungan menjadi acak, untuk menata keacakan tersebut menjadi pola yang dikehendaki dibutuhkan energi, dan keadaan berpola akan meluruh menjadi acak kembali secara spontan. Melalui pemahaman mengenai hukum tersebut, manusia sepenuhnya memiliki kuasa untuk menciptakan keadaan yang dikehendaki dari semesta yang acak melalui penambahan usaha. Jika anda memiliki kehendak untuk membuat bola anda benar-benar menempuh jarak 10 meter, maka yang harus dilakukan adalah mengupayakan untuk mengeliminasi setiap variabel acak yang mungkin mengganggu— seperti misalnya membuat jalur gelinding benar-benar rata dan halus, mereduksi beda tekanan udara agar tidak timbul hembusan angin, dan mengamankan jalur gelinding dari anak-anak nakal yang berusaha mengambil bola. Dengan penambahan upaya tersebut, kita masih berkuasa untuk mengendalikan keadaan dan meningkatkan probabilitas kejadian yang dikehendaki. 

    Maka yang dapat diambil dari pertemuan takdir dan kehendak bebas dalam semesta yang acak ini adalah bahwa manusia sepenuhnya bebas dengan batas keacakan semesta yang sudah tertakdirkan. Tuhan menakdirkan dan menciptakan atribut semesta yang acak pada hakikatnya adalah force majeure bagi manusia, karena kita tidak punya kuasa mencegah Tuhan untuk mengurungkan niat-Nya membuat semesta yang acak. Namun yang dapat manusia pelajari dari pertemuan takdir dari Tuhan serta kehendak bebas dari manusia adalah mengupayakan keacakan semesta sejalan dengan kehendaknya. Pengkajian risiko, pengambilan keputusan, dan pengoptimalan daya upaya secara rasional menjadi sepenuhnya kuasa manusia dalam menciptakan keteraturan yang dikehendaki. Semuanya agar semesta yang telah ditakdirkan acak itu menjadi tempat bagi berlangsungnya kehendak manusia yang bebas.


    Daftar Pustaka:

    Dickson, J. O., 2011, An Introduction to Ramsey Theory on Graphs, Virginia Tech University, Blacksburg.

    Doyle, B., 2011, Free Will. The Scandal in Philosophy, I-Phi Press, Cambridge.

    Plantinga, A., 1977, God, Freedom, and Evil, Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Michigan.

    Van der Weij, P. A., 1972, Grote Filosofen over de Mens edisi 2, Erven J. Bijleveld, Utrecht.


     

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...