Pertanyaan adalah hal yang aneh. Strukturnya unik. Arti dasarnya adalah “meminta keterangan”, dan jika dirunut lebih panjang kita bisa mengartikannya sebagai: antisipasi manusia atas pengetahuan yang sudah diketahui untuk diketahui lebih dalam lagi. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa ada kulit, kita ingin tahu apa yang menyusunnya, kita akhirnya bertanya, “apa yang menyusun kulit?”, sehingga mungkinlah kondisi yang menyebabkan sebuah jawaban “kulit tersusun atas p, q, r…n.”
Jika kita deretkan, dengan contoh di atas, maka unsur penyusun pertanyaan adalah kulit (X/ pengetahuan 1), dan susunan (Y/ pengetahuan 2). Tanpa mengetahui X dan Y, tidak mungkin kita dapat bertanya. Artinya, unsur pertanyaan selalu berhubungan dengan 1) sesuatu yang-ada sebagai 2) sesuatu yang-diketahui. Namun saat kita berbicara tentang sesuatu yang-ada dan sesuatu yang-diketahui, sebuah pertanyaan klasik muncul: “Karena ada sesuatu kita tahu?; Atau karena kita tahu ada sesuatu?”
Logika saintifik, bagi saya, mengambil jalan tengah yang baik: “Kita hanya mengetahui apa yang-ada, di luar itu tiada.” Tentu saja, apa yang-ada harus dipahami secara luas. Bukan hanya yang-ada dalam aktualitas sekarang, namun juga yang-ada sebagai yang-telah-ada, dan yang-ada sebagai yang-mungkin-ada. Pertanyaan saintifik, dengan demikian, dapat menghipotesiskan sebuah dunia yang mungkin (possible world) walaupun tidak aktual dalam sekarang. Pelebaran sesuatu yang-ada melebarkan sayap ruang pengetahuan.
Namun di sini kita harus hati-hati pada satu pertanyaan yang dapat membatasi keluasan posisi yang-ada sebagai yang-diketahui dalam artian ilmiah. Sebuah pertanyaan yang disebut dengan pertanyaan tentang ketiadaan.
Ada dua kesulitan yang dapat ditemui di sini. Pertama, saat kita akan menjawab pertanyaan tersebut dengan struktur pertanyaan biasa, seperti “apa itu ketiadaan?” Kembali pada penjelasan di atas, kita hanya dapat bertanya tentang apa yang kita ketahui. Tapi apa yang sudah kita ketahui tentang ketiadaan? Dalam logika saintifik, tidak ada yang di luar yang-ada, dengan demikian logika ilmiah tidak tahu apa pun tentang ketiadaan, karena memang mereka tidak mengharapkannya. Ini berarti logika saintifik tidak dapat menjawab ketiadaan, karena mereka membatasi diri pada sesuatu yang-ada. Lalu, apa yang kita harapkan jika logika ilmiah sudah tidak dapat membantu?
Itulah kesulitan dan juga kemungkinan kedua, yang justru berasal dari kesulitan pertama. Jika kita hanya menanyakan sesuatu dengan sumber apa yang kita ketahui, berarti setidaknya kita sudah memiliki konsepsi tentang hal itu. Jika kita dapat bertanya tentang ketiadaan berarti kita sudah mengetahuinya. Hanya saja belum jelas, masih samar. Namun begitu dekat sehingga kita senantiasa menggunakannya dengan bebas. Artinya, pertanyaan tentang ketiadaan mungkin secara struktur walaupun tidak legitim dalam logika saintifik. Dengan kata lain, pertanyaan membolehkan cara lain selain logika saintifik untuk menghadapi hal yang tidak-ada. Hal yang kita ketahui sebelum pengetahuan tentang yang-ada. Inilah keunikan pertanyaan: mereka tidak hanya menyembunyikan, tapi juga menyingkap.
24 Juli 1929 adalah tanggal penting dalam sejarah pertanyaan tentang ketiadaan dalam sejarah umat manusia, karena di sana, di hadapan civitas akademika Unviersitas Freiburg yang penuh semangat saintisme, seorang filsuf desa kawakan, Martin Heidegger, mengingatkan kembali dalam pidatonya bahwa ada yang di luar logika sains sejauh dipahami sebagai penelusuran yang-ada sebagai yang-diketahui, yaitu ketiadaan. Dan bahkan sains membutuhkan hal tersebut untuk mendefinisikan dirinya dalam artiannya sendiri.
Untuk mengetahui X, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah negasi dari X, namun bagaimana logika saintifik dapat mendefinisikan dirinya sebagai penelusuran tentang sesuatu yang-ada jika mereka tidak mengetahui dan tidak ingin mengetahui tentang ketiadaan, sebagai hal yang di luar yang-ada? Bukankah ini seperti pengakuan bahwa mahluk hidup adalah bukan mahluk mati, namun tidak ingin tahu apa itu mahluk mati? “Ilmu tidak ingin tahu apa pun tentang ketiadaan”, tegas Heidegger, namun, “saat ilmu ingin mendefinisikan dirinya, mereka harus memanggil ketiadaan untuk menolong.”[1]
Klaim tersebut menunjukkan signifikansi Heidegger berbicara di depan para saintis. Untuk mengetahui lebih dalam tentang dirinya, para saintis perlu bertanya. Ini bukanlah deklarasi anti-sains, tapi usaha saling mengenal sebelum tersesat dalam kebisuan. Dan dalam arti inilah kita akan membicarakan pidato Heidegger tersebut. Tawarannya menarik: membicarakan ketiadaan dalam kesebeluman tentang yang-ada. Semoga berguna untuk mengisi waktu luang kita dan menarik diri dari ketegangan mengalkulasi.
I
Sebelum masuk ke investigasi Heideggerian, perlu kiranya kita mempertegas lagi mengapa logika saintifik tidak dapat berbicara tentang ketiadaan. Kesulitan sederhananya dapat dilihat secara gramatikal dan formalitas negasional. Pertanyaan “apa itu ketiadaan?” adalah jenis pertanyaan dengan perspektif sesuatu yang-ada, karena ketiadaan ditempatkan sebagai sesuatu, sebagai yang-ada, sebagai apa itu. Namun kita tahu bahwa tiada itu bukan yang-ada. Oleh karenanya, berbicara tentang ketiadaan adalah suatu kontradiksi, jika bukan tautologi.
Kesulitan ini membuat beberapa orang mencari jalan lain dengan mengartikan ketiadaan sebagai negasi atas segala sesuatu yang-ada, namun ini juga bermasalah. Bagaimana kita dapat membayangkan segala yang-ada dihadirkan dalam satu waktu untuk kemudian dinegasi, di saat menghadirkan satu waktu dalam semesta saja adalah hal yang mustahil? Artinya negasi totalitas berbenturan dengan keterbatasan manusia. Ketiadaan dengan demikian bukanlah sesuatu dan juga bukan negasi atas sesuatu.
Namun begitu, kesulitan kedua ini memberikan satu titik cerah, karena cara paling baik masuk ke dalam ketiadaan memang lewat segala yang-ada lebih dahulu. Dalam posisi itu kita bertemu dengan ruang yang paling dekat dengan ketiadaan. Dari sini kita mendapat titik lompat. Hanya saja, tidak secara formal dengan membayangkan segala yang-ada sebagai satu “idea”, untuk kemudian dinegasikan. Ini menandakan kita masih terjebak dalam logika sesuatu yang-ada, dan tentu saja sangat tidak mungkin lewat keterbatasan kita.
Lain dari itu, Heidegger menunjukkan cara yang lebih mungkin, yakni “menemukan (Sicbefinden) diri di antara yang-ada secara keseluruhan.”[2] Dengan kata lain, Heidegger ingin mengatakan bahwa ketiadaan termanifestasi bersama dengan segala yang-ada dalam pengalaman kehidupan kita. Namun bagaimana kita memahami ketiadaan dalam term ini?
Logika tradisional sulit berlaku di sini. Karenanya, untuk memahami hal tersebut, kita perlu jeli dengan kata-kata pilihan Heidegger. Daripada mengatakan “menempatkan” atau “menciptakan”, Heidegger lebih memilih kata “menemukan”. Kata tersebut berguna untuk menunjukkan bahwa manusia telah-selalu tersetel dalam suatu kondisi tertentu dalam dunia. Dan momen saat menusia menyingkap ketersetelan itulah yang disebut Heidegger dengan die Befindlichkeit der Stimmung, atau menemukan diri dalam suasana hati (mood).
Suasana hati memiliki peran penting dalam keseluruhan filsafat Heidegger, karena dalam suasana hati itulah segalanya tertemukan menyingkap. Dalam suasana hati penuh cinta, seseorang akan menemukan berbagai hal menjadi penuh kasih, warna, dan makna. Bahkan hal menjijikkan pun dapat bergemulai dengan riang. Hampir sama dengan itu, dalam suasana hati yang bosan, dalam artian benar-benar bosan, kita menemukan segala hal tampak membosankan. Buku tidak lagi menarik, obrolan tidak lagi lucu, dan kehidupan menjadi begitu hampa. Sebuah game tergeletak di depan sana, tapi entah kenapa kita tidak lagi hirau. Dalam suasana hati, kita menemukan diri di antara segala yang-ada.
Pada titik inilah kita dapat melihat makna suasana hati secara lebih dalam. Pertama, bahwa suasana hati adalah kondisi faktis. Kita dapat menguasainya, tapi kita tidak dapat menolak kehadirannya. Dalam filsafat Heidegger, suasana hati adalah kondisi yang selalu hadir pada manusia. Melawan satu suasana hati artinya menghadirkan suasana hati yang lain. Tidak ada suasana hati yang netral, karena kenetralan merupakan satu suasana hati juga. Lebih tepatnya, suasana hati yang netral merupakan kejatuhan kita pada kelibatan dunia yang menyibukkan. Namun, namanya juga kondisi faktis, ia selalu muncul, tanpa kita duga, dan tanpa terkira. Kita hampir tidak punya kemampuan untuk mengontrol kedatangannya, walaupun kadang kita tahu apa yang menyebabkannya secara kausal.
Kedua, setiap suasana hati memiliki keumuman tertentu, sehingga memiliki tingkat penyingkapan yang berbeda. Dan dalam artian inilah Heidegger memilih kecemasan (Angst) sebagai salah satu modus penyingkapan segala yang-ada yang paling primordial, bukan cinta dan bukan kebosanan, karena pada suasana hati ini penyingkapan terjadi dengan sangat radikal. Sampai-sampai, horizon waktu dari segala yang-ada: lalu, sekarang, dan masa depan, hadir menghadapi kita.
Perlu diperhatikan, kecemasan dalam artian Heideggerian bukanlah kecemasan pada satu objek tertentu. Jika merujuk pada yang terakhir, kita bisa menyebutnya sebagai ketakutan. Dalam ketakutan kita takut akan sesuatu tapi tidak pada lainnya. Bahkan, sesuatu yang lain dapat begitu menggembirakan. Seorang maling yang takut akan polisi, akan senang dengan tempat persembunyian yang bagus. Namun, kecemasan adalah hal yang lain.
Kecemasan adalah momen yang khas saat kita tidak tahu apa yang kita cemaskan namun tetap cemas. Kecemasan ini adalah kecemasan terhadap sesuatu, tapi bukan ini dan bukan itu. Ini bukan kecemasan pada pengungkapan cinta yang mungkin akan ditolak, namun cemas terhadap segala hal yang-ada di dunia secara umum. Dunia menjadi tidak signifikan, sehingga kita merasa tidak nyaman, akut, gemetar ketakutan, dan begitu kosong. Dunia tidak lagi menjadi rumah yang sehari-hari kita hidupi.
Kecemasan ketakberumahan tersebut dapat dipahami jika kita memahami bahwa proses pemaknaan benda-benda yang berada di sekitar kita, entah yang kita gunakan atau yang tidak, bersumber dari proyeksi masa depan diri kita terhadap hal tersebut. Kursi akan tetap menjadi ‘kursi’, digunakan sebagai tempat duduk atau tempat tidur, dan tidak menjadi kayu, atau yang lebih radikal, hanya menjadi sebagai salah satu benda yang-ada, karena proyeksi masa depan kita terhadap benda tersebut. Momen ini juga berlaku terbalik. Saat kita telah memproyeksikan satu benda, dan dalam kondisi kita melibatkannya dalam kehidupan sehari-hari, makna benda-benda ini juga ikut memaknai diri kita, seperti palu sebagai indentitas tukang kayu. Dalam artian ini, kita begitu dekat dengan benda-benda, karena segalanya terhubung untuk membentuk, membangun, dan merealisasikan sebuah cara berada kita, manusia, dalam kemungkinan mendunia dalam dunia.
Namun, pada momen kecemasan, kita tersituasikan dalam mood yang berbeda. Bagi Heidegger, momen ini cukup jarang, dan sering dihindari orang karena sangat menakutkan. Momen ini adalah saat rantai kemaknaan kita hanya tersisa untuk diri kita sendiri, yaitu saat kita tiba-tiba tergelitik menanyakan siapa diri kita dan untuk apa kita hidup secara lebih dalam. Entah dalam kemacetan kota yang bising, kamar kos yang sunyi setelah menonton sebuah film, atau saat gugurnya teman seperjuangan di depan mata dalam perang.
Pada titik ini segala yang-ada tidak membantu apa pun dalam memberikan arti pada diri kita, karena segala yang-ada sekarang tersingkap sebagai satu keumuman. Semua hal di dunia menjadi tidak terbedakan: segala yang-ada hanyalah hal yang mengada dalam dunia. Kita berhadapan pada satu hal yang asing, karena biasanya kita sangat dekat dengan kemungkinan yang tanpa akhir bersama segala yang-ada itu. Namun, pada satu titik ini, dunia menyingkap begitu luas. Memukul balik diri kita dari segala penghadapan awam, dan akhirnya memaksa kita membuka akhir dari segala awal dan akhir kemungkinan proyeksi kita sendiri. Dalam kecemasan kita menjumpai apa yang kita cari, hanya ketiadaan yang kita jumpai.
Semuanya jatuh, hancur, dan menjadi tidak bermakna. Mobil menjadi tidak bermakna lagi. Rumah yang kubangun menjadi tidak bermakna juga. Segala hubunganku dengan orang lain hanya menjadi penghibur. Pekerjaaanku pun menjadi tiada arti. Tujuan kita semuanya runtuh. Bunga yang berguguran pun hanya menjadi bunga yang gugur, itu saja, tanpa makna. Semuanya menjadi aneh, asing, dan jauh. Hanya satu yang tersisa, bahwa kita ada. Di mana? Di sana, tak bemakna dari mana, dan tak bermakna akan ke mana.
Bagi Heidegger, negasi tidak membantu dalam menyingkap ketiadaan, karena negasi adalah aktifitas intelek, sehingga masih berada dalam ruang sesuatu yang-ada. Negasi membutuhkan hal untuk dinegasi. Namun dalam kecemasan, ketiadaan hadir secara utuh tanpa negasi. Ketiadaan hadir bersama segala yang-ada dalam esensinya: sebagai peniadaan. Inilah titik penting Heidegger. Ketiadaan bukanlah kekosongan, ruang kosong, atau hilangnya benda dalam absensi dunia yang riel. Itu adalah konsep ketiadaan dari perspektif sesuatu yang-ada. Sebaliknya, ketiadaan justru adalah suatu penyingkapan akan niscayannya suatu kehadiran yang niscaya akibat tertiadakannya segala makna relasi sesuatu yang-ada dalam keterlibatan kita yang memabukkan dengan dunia: Bahwa segala sesuatu di dunia ini ada dan bukannya tiada.
Ketiadaan, dengan demikian, bukanlah sesuatu, bukan juga negasi atas sesuatu, bahkan bukan juga lawan dari yang-ada, lain dari itu: “ketiadaan berada dalam esensi peyingkapan itu sendiri. Dalam adanya segala yang-ada, peniadaan ketiadaan hadir.”[3] Menanyakan ketiadaan dari segala yang-ada, dengan kata lain, adalah menanyakan adanya segala yang-ada. Artinya, pertanyaan tentang ketiadaan (the question of nothing) adalah pertanyaan tentang ada (the question of being) itu sendiri. Sayang pertanyaan itu telah lama dilupakan. Pertanyaan tentang keberadaan kita, dan mengapa kita bisa menerima keberadaan segala yang-ada. Pertanyaan dari segala pertanyaan dan mengapa dari segala mengapa. “Mengapa sesuatu ada dan bukannya tiada?”; “Mengapa ada mengapa?”; “Mengapa, mengapa ada?”; “Mengapa ada?”.
II
Sejarah metafisika telah lama terjebak dalam karakter kelupaan terhadap pertanyaan tentang ada sebagai basis pembentuknya. Metafisika selama ini berbicara tentang yang-ada sebagai yang-ada. Segala bentuk transformasinya selalu terperangkap dalam ruang tersebut. Mereka melupakan, bahwa yang-ada itu dapat ada sebagai yang-ada hanya dalam penyingkapan ada. Ada dari segala sesuatu yang-ada ini dilupakan. Itulah mengapa, metafisika selalu terjebak untuk memikirkan satu theos dalam ontos. Satu substansi, satu tuhan, atau tiga pembentuk, dan melupakan bahwa theos mereka ada. Metafisika selalu ontoteologi. Sifat teologis metafisika bukan diwariskan dari Abad Tengah, tapi dari esensi metafisika Yunani Kuno itu sendiri akibat kelupaannya. Berbicara di luar metafisika berarti berbicara di luar theos, di luar menempatkan suatu kausal pada yang-ada. Itulah yang harus dipahami dalam pertanyaan tentang ketiadaan.
Pertanyaan tentang ketiadaan akhirnya memberikan penyingkapan pada kita bahwa kecemasan menghadirkan keterbukaan yang dimiliki manusia atas kehadiran sesuatu yang-ada, dan segala aktifitas intelek terhadap yang-ada, dengan bersumber pada ketiadaan. Da-sein, dengan demikian, selalu bersitegang dengan ketiadaan ini. Dalam ketiadaan inilah Dasein mentransendensi yang-ada secara keseluruhan, dan membiarkan ada hadir. Ex nihilo ens qua ens fit (dari ketiadaan, segala yang-ada sebagai yang-ada mengada). Da-sein, oleh karenanya, bukan hanya bermakna, “aku adalah sesuatu, dan aku di sana.” “Hai, aku di sini” sebagai yang ada di sana, bukan! Dalam ketegangannya dengan ketiadaan, Da-sein adalah keterbukaan pada adanya segala yang-ada. Da-sein adalah keterbukaan, dan dalam keterbukannnya itulah, yang-ada dapat hadir sebagai yang-ada.
Mengembalikan ingatan akan pertanyaan yang primordial ini, yakni tentang kehadiran ada pada eksistensi manusia, adalah tugas yang ingin diwariskan oleh Heidegger. Sayang beberapa menghindar karena cemas, dan beberapa merasa berkuasa, sayang lupa. Ilmu adalah beberapa yang berkuasa namun lupa. Di sini, kita bisa kembali pada pertanyaan awal, dan menjawabnya: “Hanya karena ketiadaan termanifestasi, (sehingga ada hadir) ilmu dapat membuat yang-ada sebagai objek investigasi.”[4]
Kelupaan membuat kesombongan, dan kesombongan menciptakan kesatuan. Kesatuan berpikir, dalam logika yang-ada, adalah kecenderungan metafisika. Sejarah metafisika adalah sejarah memikirkan yang-ada, tanpa berpikir pada kebenaran ada. Pada titik ini, adalah sebuah hal yang susah untuk memikirkan bahwa metafisika tidak terikat dalam basis penyingkapan dan keterbukaan manusia.
Ada bukanlah yang-ada. Ada tidak bisa dipahami dalam term objek. Ada adalah segala yang bukan yang-ada, tapi kebukanan itulah yang membuat yang-ada ada. Ketiadaan bukan sekadar kekosongan. Ketiadaan menyediakan pemahaman pada keterbukaan yang-ada yang menjamin keadaan segala sesuatu yang-ada, yaitu ada itu sendiri. Oleh karenanya pertanyaan tentang ketiadaan tidak menggiring kita pada nihilisme, atau segalanya adalah ketiadaan. Sebaliknya, bersiap pada kecemasan menjadi pengalaman untuk berhadapan dengan ketiadaan dan menjadi jalan untuk mengalami kehadiran dan kebermaknaan ada itu sendiri. “Readiness for anxiety is a Yes to assuming a stance that fulfills the highest claim… of all beings, only the human being, called upon by the voice of being, experience the wonder of all wonder: that beings are.”[5]
Berpikir tentang kebenaran ada adalah memberi perhatian pada yang takterhitung yang datang sebelum perkiraan dan yang tak dapat terhindar. Berpikir tentang kebenaran ada adalah memberikan site pada ada untuk mewartakan dirinya dalam sejarah umat manusia, bukan hanya mengonsep yang-ada dalam suatu cara berpikir tentang sesuatu yang-ada sebagai yang-ada, yang disebut pikiran kalkulatif. Dalam titik ini berpikir tentang pertanyaan ada bukanlah penghitungan yang selalu menghitung dalam term kebermanfaatan dan kesiasiaan. Kesalahpenghitungan tersebut menggangu esensi pemberian dalam tempat kehadiran. Obsesi dan tujuan membingungkan kejelasan keterpesonaan dan kesiapan pada kecemasan, yang dimiliki oleh keberanian penyerahan pada sebuah kehadiran. Inilah tugas baru berpikir, membiarkan ada tersingkap. Dan semoga kita siap untuk menerima.
“Mengapa sesuatu ada dan bukannya tiada?”
Temuwuh Kidul, 1 Mei 2015
***
[1] Teks Martin Heidegger, “What is Metaphysics?” Terjemahan David Farell Krell, Dalam Pathmarks, suntingan William McNeill (Cambridge, Cambridge University Press, 1999), hal. 84.
[2] Lih. Ibid., hal. 87.
[3] Lih. Ibid., hal. 91.
[4] Lih. Ibid. hal. 95. (kalimat dalam tanda kurung tambahan penulis)
[5] Lih. Martin Heidegger, “Postscript to ‘What is Metaphysics?”’ Terjemahan William McNeill, Dalam Pathmarks, suntingan William McNeill (Cambridge, Cambridge University Press, 1999), hal. 234.