Jacques Lacan, seorang psikiater asal Prancis, dikenal dengan ciri khasnya, Return to Freud. Adagium tersebut, merupakan respon atas situasi perkembangan psikoanalisis yang telah bergeser jauh dari apa yang telah dimaksudkan Freud sesungguhnya. Dengan menafsir ulang pemikiran Freud dan berupaya menerjemahkannya dalam konteks struktural-linguistik, Lacan pun digadang-gadang—menyitir perkataan Ian Parker—sebagai salah satu psikoanalis Freudian terbesar.
Dalam perkembangan psikoanalisis di Prancis, Lacan dianggap sebagai pemimpin dan pembuka jalan bagi perkembangan psikoanalisis melalui seminar-seminarnya, sejak tahun 1953-an sampai akhir hidupnya. Di tahun 1966, Lacan menerbitkan buku pertamanya—yang termasyhur—Écrits, merupakan kompilasi dari pemikiran-pemikiran Lacan dalam seminarnya, yang uraiannya terasa sukar dipahami.
Lacan memang dikenal sebagai seorang pemikir yang pandangannya sering dianggap mengambang dan multitafsir. Garis argumentasinya dianggap obscure dan bersifat ambigu. Tetapi, Lacan sendiri seringkali memberi peringatan, “Beware of understanding” (‘hati-hatilah dengan penafsiran’), yang menjelaskan keragu-raguannya terhadap kemampuan akurat manusia memberikan penafsiran atas realitas.
Lacan meninggal dunia pada tahun 1981, akibat tumor. Banyak murid Lacan yang kemudian menjadi pemikir penting dalam bidang psikoanalisis dan filsafat, seperti Jacques-Alain Miller, Slavoj Žižek, Alain Badiou, Jean Laplanche, Irigaray, Kristeva, bahkan Althusser dan Levi-Strauss. Althusser yang sangat mengagumi Lacan, menulis pada tahun 1966, “di luar Lacan, saat ini tidak ada seorang pun.”
Ketaksadaran
Pembahasan perihal ketaksadaran bukanlah hal yang baru dalam ilmu-ilmu manusia. Setidaknya, filsuf seperti Spinoza, Leibniz, Schopenhaeur, dan Nietzsche, telah membahas hal ini lebih dahulu, meski tak begitu mendalam. Bagi Spinoza, hal itu adalah intuisi, bagi Schopenhaeur adalah kehendak, dan bagi Nietzshe adalah ‘nafsu’ atau kehendak untuk kuasa. Barulah, setelah Freud mengemukakan teorinya mengenai ketaksadaran, terjadi suatu pembalikan dalam pengetahuan mengenai manusia: wilayah ketaksadaran ditemukan dan relasinya dalam kehidupan seseorang dapat dipahami.
Freud menganggap wilayah ketaksadaran ini sebagai wilayah di mana terletak hasrat-hasrat dan kebutuhan seseorang, yang memegang kendali atas kehidupan seseorang. Hasrat yang tersimpan dalam wilayah ketaksadaran itu merupakan akibat dari represi, oleh sebab adanya alasan yang disebut Freud sebagai ‘prinsip kenikmatan’ oleh ‘prinsip realitas’.
Wilayah ketaksadaran tersebut yang kemudian menjadi objek utama bagi psikoanalisis. Dengan mengacu pada Freud, Lacan melakukan beberapa terobosan dalam pandangannya mengenai wilayah ketidaksadaran. Ia menyuntikan filsafat Kantian dalam menjelaskan pemahaman Freud mengenai wilayah ketaksadaran bukanlah sebagai penyebab (a cause). Ada gap antara penyebab dan hasil yang terjadi. Melalui teorinya itu, Lacan menegaskan, bahwa wilayah ketaksadaran bukanlah yang menentukan neurosis. Penjelasannya itu sekaligus meluruskan kesalahpahaman terhadap Freud yang selama ini dipahami, bahwa ketaksadaran adalah penyebab dari neurosis.
Lacan mengatakan, bahwa seks dan kematian adalah kenyataan yang paling fundamental dari kesadaran seseorang, dan keberadaan seseorang terletak dalam dua kutub ini.
Lacan menjelaskan, bahwa bentuk wilayah ketaksadaran sebagai condensation (penguapan) dan displacement (pergantian). Lacan mendefinisikan penguapan dan pergantian ini sebagai metafora dan metonimi.[1] Ia pun menjelaskan, bahwa formasi ketaksadaran (mimpi, dsb.) merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang tampaknya ia tampilkan dalam kesadaran, di mana wilayah ketaksadaran melepaskan sebagian ingatannya dan digantikan oleh fitur lain.
Suatu gejala berkaitan dengan metafora, ketika gejala itu menjadi penanda bagi penanda lainnya yang tersembunyi. Sedangkan dalam metomini, hasrat tak-sadar muncul sebagai hasrat akan hasrat yang tidak terpenuhi (ever-unsatisfied desire for desire). Lacan berpendapat, bahwa wilayah ketaksadaran itu seperti mata rantai dari elemen-elemen penanda yang saling berhubungan. Dalam hal ini, Lacan telah menghubungkan wilayah ketaksadaran dengan bahasa.
Oleh sebab itu, Lacan mengatakan, bahwa ketaksadaran sebagai sesuatu yang terstruktur seperti bahasa, karena ketaksadaran merupakan wilayah dari hasrat manusia.[2] Dan hasrat selalu merupakan hasrat dari orang lain yang diinternalisasikan ke dalam diri seseorang melalui ujaran, atau singkatnya, melalui bahasa. Kenyataan wilayah tidak sadar ini merupakan kenyataan seksual. Lacan mengatakan, bahwa seks dan kematian adalah kenyataan yang paling fundamental dari kesadaran seseorang, dan keberadaan seseorang terletak dalam dua kutub ini.[3]
Hasrat dalam Penjelasan Lacan
Istilah hasrat (desire), konsepsi ikonik dalam tradisi metafisika Barat, telah memperoleh nuansa makna dan kekuatan baru dalam Lacan. Gagasan tersebut dalam epistemologi Lacanian tidak membawa pemahaman pada sebuah konsep atau serangkaian konsep yang berkaitan dengan pengamatan empiris atau asumsi teoritis. Impilkasinya adalah menghadirkan suatu definisi yang final dan stabil bagi hasrat menjadi sangat problematis.
Lacan sendiri merumuskan teorinya tentang hasrat dalam The Four Fundamental Concepts Of Psychoanalysis (1977), di mana argumennya, “hasrat, sebenarnya, adalah interpretasi itu sendiri.” Lacan membuat interpretasi yang mencakup semua hasrat melalui teori yang melepas tradisi fenomenologi dan konseptual metafisika Barat. Lacan justru ‘berhasil’ mengartikulasikan sifat hasrat yang tak dapat diartikan dalam diskursus teoritisnya. Hal inilah yang membuat Althusser sangat mengagumi Lacan.
Lacan memulai pembahasannya tentang hasrat dengan pertama-tama menjelajahi teori Freud, konsep Begierde Hegelian, teori Heidegger tentang Being dan Dasein, dan linguistik Saussure dan Jakobson. Ia bahkan meminjam kerangka kerja untuk dialektika hasrat, dan hasrat analis, dari Socrates dan Plato. Lacan mengonstruksikan mosaik epistemologis dari postulat-postulat fundamental ini, yang membuat mustahil untuk memasukan hasrat ke dalam kategori konseptual tunggal.
Dalam Freud, hasrat diasosiasikan sebagai harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari. Freud melihat hasrat berhubungan dengan “kepenuhan” dan memahaminya sebagai yang tersimpan di wilayah ketaksadaran serta menjadi pendorong bagi tindakan seseorang dalam mencari pemenuhan atas hasratnya. Sedangkan hasrat dalam pengertian Hegel adalah hasrat akan pengakuan (desire of recognition). Hal ini dijelaskan dengan dialektika tuan-budak, seseorang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari sesamanya, karena dengan cara demikianlah orang itu mendapatkan kepastian dirinya.
Dalam hubungan anak dan ibu, selalu terjadi tuntutan akan cinta atau kasih sayang dari sang ibu yang menjamin terpenuhinya kebutuhan sang anak seperti makan, minum, keamanan, dan lainnya.
Lacan sendiri memahami, bahwa proses dialektika hasrat adalah hasrat akan pengakuan dan bahwa negativitas manusia adalah perjuangan akan pengakuan itu. Manusia menyadari keberadaan dirinya ketika pertama kali ia menyebut I (Aku), hal ini terjadi melalui hasrat ketika seseorang mengenali hasratnya sebagai dirinya, dan bahwa hasrat tersebut terlepas dari objeknya.
Kemudian Lacan membahas hasrat dalam kaitannya dengan dua elemen korelatif lainnya: kebutuhan (need) dan tuntutan (demand). Kebutuhan dipahami sebagai kebutuhan biologis murni manusia, sedangkan tuntutan dipahami sebagai ujaran. Kebutuhan biologis selalu mungkin untuk dipuaskan, sedangkan tuntutan tidaklah mungkin untuk terpenuhi atau terpuaskan, karena tuntutan pada dasarnya adalah tuntutan akan cinta.[4]
Dalam hubungan anak dan ibu, selalu terjadi tuntutan akan cinta atau kasih sayang dari sang ibu yang menjamin terpenuhinya kebutuhan sang anak seperti makan, minum, keamanan, dan lainnya. Tuntutan akan cinta dari sang ibu inilah yang tidak mungkin untuk dapat terpenuhi atau terpuaskan.
Peralihan dari kebutuhan menjadi tuntutan terjadi, ketika sang anak menyadari keterpisahannya dengan sang ibu. Sang anak mulai menyadari, bahwa dirinya tidaklah menyatu dengan sang ibu sebagai objek pemuas kebutuhannya dan kondisi ini diperparah dengan adanya sang ayah, sehingga membuat sang anak merasa kehilangan, kekurangan, dan ingin menyatu kembali dengan sang ibu. Kehilangan dan kekurangan inilah yang menyertai sepanjang hidup sang anak.
Bagi Lacan, hasrat adalah representatif sekaligus non-representatif. Hasrat adalah non-representatif, karena tidak merepresentasikan kebutuhan, tetapi sesuatu yang lain, yang mana kebutuhan hanyalah jejak (trace). Faktanya, ia tidak merepresentasikan apa-apa, karena ia teralienasi dari kebutuhan (need) dan tuntutan (demand), dan terkait dengan hilangnya keberadaan dan eksistensi yang-Lain (the Other). Oleh sebab itu, hasrat seseorang adalah hasrat dari dan atau untuk yang-Lain. Yang-Lain dalam Lacanian ini terletak secara simbolis sebagai lokus ujaran dan tuntutan subjek berasal. Hal ini merupakan situs tempat penanda muncul dengan hasrat subjek, dan juga merupakan lokus konstitutif dari ketaksadaran, karena itu subjek menghasrati apa yang dihasrati yang-Lain.[5] Kalimat “hasrat seseorang adalah hasrat yang-Lain” menjelaskan hubungan hasrat dengan hasrat.
Kemudian hasrat adalah representatif, dengan segala keterasingannya, karena hasrat menggambarkan kerinduan tidak-sadar yang tidak terbatas untuk memiliki dan menikmati kepuasan objek primordial atau yang-Lain. Objek yang dihasrati adalah pengganti untuk sesuatu (Thing), dan dengan demikian merepresentasikan kehilangan yang membangkitkan hasrat.
Lacan menjelaskan, bahwa kehilangan dan kekurangan dalam diri seseorang, sejak menyadari keterpisahannya dengan sang ibu, menjadi objek penyebab hasrat (object cause of desire) atau disebut juga objek a (objet petit a). Objek a ini merupakan apa yang dicari subjek hasrat saat menghasrati suatu objek hasrat untuk mendapatkan kepenuhan diri, seperti harapan sang anak bersatu kembali dengan sang ibu. Objek a inilah yang menghubungkan subjek pada yang-Lain, yang mana subjek terpisah oleh dinding bahasa. Sebagai residu, objek a selalu melekat pada yang-Lain. Objek a dapat menyediakan ruang bagi objek yang dihasrati, selama itu terkait dengan yang-Lain.
Bahasa merupakan sebuah lokus bagi hasrat. Memasuki bahasa berarti menjadi mangsa hasrat: bahasa adalah ‘apa yang mengikis sesuatu hingga menjadi hasrat’.
Anika Lemaire merangkum dua makna lain dari objek a Lacanian ini. Pertama, objek a adalah penyebab hasrat, ketakhadirannya yang tidak dapat diperbaiki yang menimbulkan keabadian hasrat dan pelarian yang tanpa henti dari satu penanda ke penanda tuntutan lainnya. Simbol a melambangkan apa yang hilang dalam lingkup penanda dan hilang pada penandaan. Yang menolak kehilangan ini adalah subjek yang menandai. Pada level paling primitif, a adalah objek kekurangan radikal yang dijalani oleh sang anak yang dipisahkan dari sang ibu. Kedua, objek a adalah representasi dari objek kekurangan (phallus) atau objek hasrat metonimik seperti fetis atau pemujaan. Singkatnya, objek a adalah penanda hasrat, dari kehilangan dan kekurangan dalam diri subjek. Gagasan mengenai kegelisahan (anxiety) merupakan konsekuensi (psiko)logis dari konsep fundamental Lacanian tentang kehilangan dan kekurangan tersebut.[6]
Lacan pun menjelaskan fantasi sebagai penopang bagi hasrat.[7] Dengan adanya fantasi, seseorang memproyeksikan objek a yang mungkin melengkapi celah atau kekurangan yang ditingalkan oleh kastrasi phallus. Objek a yang berfungsi sebagai objek utama menjadi pusat dorongan dan tempat dibangunnya fantasi. Dalam psikoanalisa Lacan, hal ini digambarkan dengan rumus $ ◊ a, yang artinya subjek yang terbelah selalu menghasrati objek tanpa sepenuhnya dapat meraih kepenuhan darinya. Secara teknis, $ melambangkan subjek yang terbelah, a melambangkan objek a. Huruf “a” merupakan singkatan dari bahasa Perancis autre, yang artinya yang lain.[8]
Subjek akan selalu bergerak menuju objek a, yang mana merupakan akibat dari kehilangan dan kekurangan yang dialaminya, meski objek a ini tidak akan pernah direngkuh olehnya, karena objek a tidak tersimbolisasikan. Objek a tidak dapat direpresentasikan melalui bahasa, sedangkan hasrat selalu mengandaikan bahasa untuk mengartikulasikan dirinya. Bahasa merupakan sebuah lokus bagi hasrat. Memasuki bahasa berarti menjadi mangsa hasrat: bahasa adalah ‘apa yang mengikis sesuatu hingga menjadi hasrat’.
Hasrat Lacanian tersebut bekerja dalam tiga tatanan utama Lacanian, yakni yang-Simbolik, Imajiner, dan yang-Real, melalui identifikasi dalam proses pembentukan subjek. Ketiga tatanan ini dapat menampilkan dirinya masing-masing dalam penanda, citra, fantasi, dan bahkan melalui peristiwa, yang menggerakan subjek untuk mendapatkan pemuasan hasratnya, yang akan kita diskusikan dalam lain kesempatan.
Catatan Akhir
[1]Verdichtung, “condensation,” is the superimposed structure of signifiers in which metaphor finds its field; its name, condensing in itself the word Dichtung, shows the mechanism’s connaturality with poetry, to the extent that it envelops poetry’s own properly traditional function. Verschiebung or “displacement”—this transfer of signification that metonymy displays is closer to the German term; it is presented, right from its first appearance in Freud’s work, as the unconscious best means by which to foil cencorship. Dalam Lacan, Écrits, 2006, hlm. 425.
[2]Dalam Lacan, The Seminar XI: Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis. Trans. Alan Sheridan. 1977, hlm. 149.
[3]Dalam Lisa, Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Filosofis Jacques Lacan. Yogyakarta: Kanisius. 2015, hlm. 45
[4]Dalam Miller, Introduction to Reading Jacques Lacan’s Seminar on Axiety. Journal Lacanian Ink. Vol. 27. 2006, hlm. 25.
[5]Dalam Lacan, The Seminar XI: Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis. Trans. Alan Sheridan. 1977, hlm. 235.
[6]Dalam Lemaire. Jacques Lacan. London: Routledge & Kegan Paul. 1977, hlm. 174-175
[7]Dalam Lewis, 2008, Derrida and Lacan: Another Writing. hal. 87
[8]Object a can be understood here as the remainder produced when that hypothetical unity breaks down, as a last trace of that unity, a last reminder thereof. By cleaving of the rem(a)inder, the split subject, though esxpulsed from the Other, can sustain the illusion wholeness; by clinging to object a, the subject is able to ignore his or her division. That is precisely what Lacan means by fantasy. Dalam Fink, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. 1956, hlm. 59.