Sekelompok remaja dalam sebuah kelas duduk menghadapi selembar kertas. Beberapa pertanyaan sudah terjawab, tapi masih juga ada yang kosong. Waktu ujian tinggal 15 menit lagi. Mereka memeras otak, mengingat segala hafalan, mulai dari rumus matematika sampai tanggal-tanggal peristiwa bersejarah. Begitulah cara kita mendidik generasi muda, mengajari mereka tentang berbagai ilmu dengan pertanyaan-pertanyaan ringkas.
Barangkali bukan sebuah kebetulan biasa, saat hari buruh berdekatan dengan hari pendidikan nasional kita. Hal tersebut bisa jadi sebuah petunjuk amat halus pada kita untuk secara bersamaan berpikir kembali tentang perburuhan dan pendidikan. Bersamaan para aktivis berteriak tentang keharusan pemerintah memerhatikan nasib buruh, saat itu juga remaja-remaja mulai dari sekolah menengah atas sampai perguruan tinggi duduk memandang kertas ujian atau seorang pendidik yang berceramah di depan kelas.
Pendidikan harus mempunyai daya pembebasan, seperti juga tuntutan kaum buruh terhadap sistem politik-ekonomi kapitalistik yang menjauhkan mereka dari kesejahteraan. Kesejahteraan lekat dengan pembebasan, bahkan pembebasan adalah sarat mutlak bagi kesejahteraan. Jika, dan hanya jika, manusia dihargai penuh kemanusiaannya maka menjadilah ia seorang yang bebas. Atas dasar itulah kemudian pemikir pendidikan Paulo Freire mengungkapkan gagasanya tentang pedagogi pembebasan. Pendidikan diandaikan sebagai jalan utama –jika tidak malah satu-satunya- untuk mencipta manusia-manusia yang menaruh rasa hormat pada kemanusiaan.
Di tengah berbagai hasrat untuk meneguk kearifan dengan instan dan menggebu-gebu, kemanusiaan kadang selip dan bahkan sengaja dilupakan. Gagasan yang disuarakan Paulo Freire, tentu bukanlah hal mudah untuk dijalankan. Pendidikan dan ilmu dibebani tugas berat di tengah arus hidup yang semakin didominasi kehendak instan, serba cepat. Bagaimana pengajaran ilmu sekaligus juga jalan memperdalam penghormatan kita pada kemanusiaan?
Orientasi yang serba terburu-buru dan instan, pada pencapaian-pencapaian materialistik pendidikan kadang tidak kita sadari. Akibatnya, mulai dari siswa sampai mahasiswa tidak lebih sebagai makhluk robotik yang bertugas menghafal beberapa baris teori dan rumus. Kita secara tidak sadar menjadi buruh dari sebuah sistem yang tidak pernah kita ketahui dengan jelas arah dan tujuanya, yang kita tahu hanya satu: segalanya harus dilakukan dengan cepat bahkan kalau perlu dengan menikung sesama, asal tujuan tercapai.
Jika para buruh menghadapi konskuensi dari perubahan yang cepat itu melalui sebuah pengalaman kehilangan kesejahteraan, penderitaan, kita mengalami konskuensi itu dengan sejenis kenikmatan untuk selalu berlomba menjadi yang paling depan dalam hal nilai UN, IPK, atau standardisasi nilai lainnya. Celakanya, standar nilai tersebut ternyata amat lemah jika kita jadikan ukuran pencapaian keluasan ilmu apalagi kedalaman kemanusiaan. Keluasan ilmu macam apa yang kita andaikan tercapai melalui pendidikan yang hanya mengandalkan pencapaian hafalan akan teori-teori?
Mari kita tinggalkan sejenak persoalan gagasan pendidikan dan kemanusiaan yang barangkali terasa mengawang-awang. Lihatlah fenomena orang-orang terpelajar dalam keseharian kita: tawuran antar pelajar, pembunuhan sesama mahasiswa, mahasiswa menjadi agen gerakan radikal dan lain sebagainya. Adakah dalih yang bisa kita sampaikan untuk menyangkal bahwa apa yang terjadi pada kalangan pelajar itu tidak ada hubungannya dengan model bagaimana ilmu diajarkan pada mereka? Bagaimanapun juga pendidikan ilmu yang kita serap sangat memengaruhi laku sosial-kemasyarakatan kita. Tindakan kita adalah cermin paling mudah-walau tidak satu-satunya- untuk mengetahui bagaimana kita berpikir.
Kita tidak terbiasa berpikir panjang apalagi rumit, karena ilmu diajarkan lewat institusi-institusi pendidikan secara praktis. Kreativitas ditumpulkan. Pelajar tidak diberi bekal yang cukup bagaimana sebenarnya tata-nalar dari sebuah cabang ilmu yang sekaligus juga pandu memahami realitas dibangun. Bekal paling banyak yang kita dapat dari institusi pendidikan seperti itu adalah: segala sesuatu tersusun atas benar dan salah, hitam dan putih, A non A. Segalanya kita fahami lewat tata-nalar dikotomis bahkan antagonistik. Seolah realitas kehidupan manusia sebegitu mudahnya dipilah-pilah berdasar pertimbangan benar-salah seperti soal ujian akhir.
Maka jangan heran jika tindakan reaksioner-anarkis selalu lebih dahulu daripada pertimbangan nalar panjang. Seperti sebuah mesin di sebuah pabrik yang menanggapi setiap hal dengan gerakan stagnan-otomatis. Pengendapan dinafikkan, kita selalu terangsang untuk menanggapi segala hal, apalagi jika hal itu sudah merugikan citra diri kita, dengan mudah kekerasan menjadi jalan paling sahih. Emosi lebih dahulu dari nalar.
Manusia niscaya gagal diperkembangkan menjadi lebih manusiawi jika mengandalkan institusi pendidikan yang memperlakukan pelajar sebagai mesin penghafal rumus dan teori. Singkatnya tujuan pendidikan untuk membebaskan manusia dan menaruh rasa hormat kepada kemanusiaan tidak akan tercapai lewat institusi pendidikan yang tidak ubahnya pabrik barang-barang elektronik. Maka bukan hanya buruh yang harus dibebaskan dari ketidakadilan tetapi juga pendidikan harus dibebaskan dari setiap laku mendidik yang memperlakukan pelajar sebagai robot yang “baik”. Mendidik manusia, mengasah rasa kemanusiaan, membebaskan manusia, lagi-lagi tidak ada jalan pintas paling cepat untuk itu semua.