Jika Filsafat Eksistensialisme harus diringkas dengan sebait lagu, tinimbang tumpukkan buku berisikan perspektif filsuf yang kerap berliku, saya memilih syair lagu My Way oleh Frank Sinatra yang bersuara merdu: “Yes, there were times, I’m sure you knew” (Ya, memang ada saat-saat, aku yakin kau tahu)/ “When I bit off more than I could chew” (Ketika aku kumenggigit lebih dari yang dapat kukunyah)/ “But through it all, when there was doubt” (Namun melalui semuanya itu, saat ada keraguan)/ “I ate it up and spit it out” (Aku menelan dan meludahkannya saja)/ “I faced it all and I stood tall and did it my way” (Kuhadapi semua dan aku berdiri gagah dan kulakukan dengan caraku).
Anatomi Eksistensialime
Jika demikian, apakah Filsafat Eksistensialisme itu? Saya tidak akan memulai dari definisi apa dan bagaimana eksistensialisme secara kebahasaan melainkan dari sebuah pengandaian dan keniscayaan yang kerap dihadapi dalam keseharian namun tidak disadari sepenuhnya oleh orang yang mengalaminya.
Situasi eksistensial adalah sebuah keadaan dimana manusia harus memberikan respon atau jawaban terhadap situasi yang mengguncang dan mempengaruhi kesadaran dirinya.
Kita kerap menjumpai berbagai situasi eksistensial mulai dari sakit penyakit, kegagalan mendapatkan pekerjaan, kehancuran rumah tangga berujung perceraian, keputusasaan mengalami pemutusan hubungan kerja, rasa malu berkepanjangan akibat sebuah kegagalan sehingga membuat kita menjadi seorang yang tidak memiliki kepercayaan diri dan anti sosial dan ujung terakhir yaitu kematian.
Setiap orang – entah dia filsuf atau bukan – selalu berhadapan dengan situasi eksistensial di atas. Situasi eksistensial adalah sebuah keadaan dimana manusia harus memberikan respon atau jawaban terhadap situasi yang mengguncang dan mempengaruhi kesadaran dirinya.
Masing-masing orang akan memberikan respon yang berbeda terhadap situasi eksistensial tersebut. Ada yang mengalami kegalauan hingga berujung depresi. Ada yang melarikan diri dari kenyataan dengan memasuki dunia fantasi melalui keterlibatan obat-obatan terlarang. Ada yang memutuskan diri untuk melakukan pemintasan jalan dengan melakukan tindakkan melanggar hukum. Ada yang memutuskan untuk mengakhiri penderitaan dengan membunuh dirinya. Namun ada yang dengan ketabahan dan keberanian menghadapi semua peristiwa yang mengguncang kesadaran dirinya.
Berangkat dari situasi eksistensial dan bagaimana manusia merespon situasinya, saya akan memperkenalkan sebuah model berfilsafat yang disebut Eksistensialisme. Merujuk pendapat Prof. Robert C. Solomon (No Excuses: Exixtensialism and the Meaning of Life, 2000:6-7), Eksistensialisme memiliki tiga karakteristik utama yaitu: Pertama, Penekanan yang kuat pada individu (A strong emphasis on the individual). Kedua, Peran sentral dari hasrat, yang bertentangan dengan penekanan filosofis yang biasa pada alasan dan rasionalitas (The central role of the passions, as opposed to the usual philosophical emphasis on reason and rationality). Ketiga, Pentingnya kebebasan manusia (The importance of human freedom). Subyektivitas, individualitas, kebebasan menjadi sebuah karakteristik yang menonjolkan keberadaan manusia yang merespon situasi dirinya.
Kata Eksistensialisme berkaitan dengan kata Latin ex (keluar) dan sistere (berdiri, tampil).
Kenampakkan atau penonjolan subyektivitas, individualitas, kebebasan seorang menjadikannya sebagai seorang manusia yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan semua keputusan yang diambilnya. Istilah Eksistensialisme berkaitan dengan kenampakkan subyektivitas, individualitas, kebebasan seorang. Kata Eksistensialisme berkaitan dengan kata Latin ex (keluar) dan sistere (berdiri, tampil).
Sementara itu, Christopher Panza dan Gregory Gale mendeskripsikan sepuluh tema yang mengarakterisasi Filsafat Eksistensialisme (Existentialism for Dummies, 2008:12) yaitu: Absurditas (Absurditiy): Bagi kaum eksistensialis, hidup itu absurd; itu tidak masuk akal dan tidak memiliki makna atau tujuan akhir – namun manusia membutuhkannya untuk masuk akal – memiliki makna dan tujuan. Penolakan narasi yang memberi makna (Rejection of meaning-giving narratives): Tidak cukup untuk mengatakan bahwa hidup itu tidak masuk akal; kaum eksistensialis berulang kali menegaskan bahwa ketika filsafat, agama, atau sains mencoba memahaminya, upaya tersebut selalu mengalami gagal. Tema lainnya adalah Keterasingan (Alienation), Kecemasan (Anxiety), Kesedihan (Forlorness), Tanggung jawab (Responsibility), Keaslian (Authenticity), Individualitas (Individuality), Gairah (Passion), Kematian (Death)
Dengan istilah Eksistensialisme dimaksudkan manusia menampakkan keberadaan dirinya secara dinamis melalui responnya terhadap sejumlah situasi eksistensial sebagaimana dikatakan Ostina Panjaitan, “Dalam Filsafat Eksistensi, pengertian eksistensi dipakai untuk menunjukkan cara berada yang khas dari manusia; hanya manusialah yang berada dalam arti yang sebenarnya, yaitu ex-sistere. Cara berada manusia berbeda dari cara berada mahluk lain atau benda-benda di dunia ini dan perbedaan ini tampak dalam corak dinamis tadi…dalam Filsafat Eksistensi sangat ditekankan segi kebelumselesaian dan perjuangan keberadaan manusia; manusia sedang dalam perjalanan menuju keberadaannya yang sejati atau autentik”. (Manusia Sebagai Eksistensi Menurut Pandangan Soren Kierkegaard, 1992:14-15).
Eksistensialisme menekankan ketidakselesaian manusia dalam memenuhi eksistensi dan esensi dirinya serta kemungkinan-kemungkinan terbuka yang akan dihadapi manusia melalui berbagai keputusan eksistensial yang dia lakukan. Manusia sebagai individu dan subyek yang selalu mengada dan menjadi dalam menyempurnakan eksistensi dirinya.
Tokoh dan Pemikiran Eksistensialisme
Sebuah upaya untuk memahami apa dan bagaimana Filsafat Eksistensialisme, bukan sekedar mengawali dari mengetahui tema dan karakteristik utama pembahasan sebagaimana telah dijelaskan secara singkat di atas namun dengan secara induktif dan tahap demi tahap membaca pemikiran para Eksistensialis. Siapa saja mereka?
Manusia sebagai individu dan subyek yang selalu mengada dan menjadi dalam menyempurnakan eksistensi dirinya.
Perlu diketahui bahwa, “Pemikiran dalam eksistensialisme itu sendiri mencakup baik yang bersifat teistik maupun ateistik. Dan ini tentu menambah rentang dan luasnya cakupan pemikiran yang disebut eksistensialisme itu sendiri. Akibat dari luasnya rentang dan lingkup pembahasan eksistensialisme ini adalah bahwa term-term yang sama bisa digunakan baik oleh para filsuf teistik…maupun yang non teistik atau ateistik…” (Emanuel Prasetyono, Tema-Tema Eksistensialisme: Pengantar Menuju Eksistensialisme Dewasa Ini, 2014:15-16).
Itulah sebabnya para tokoh Eksistensialis terbagi antara mereka yang menjadikan Tuhan sebagai titik pijakkan teropong eksistensial, khususnya Soren Kierkegaard dan Gabriel Marcel serta Martin Heidegger ataupun mereka yang berusaha mengosongkan peran Tuhan dan lebih menonjolkan peran kemanusiaan sebagai pusat eksistensi sebagaimana ditawarkan secara ekstrim oleh Jean Paul Sartre dengan istilah beroposisi biner yaitu “etre en soi” (ada dalam dirinya sendiri) yang ditujukkan pada benda material dan “etre pour soi” (ada untuk dirinya sendiri) yang ditujukan pada manusia yang terus menerus menuntaskan pemenuhan eksistensi dan esensi dirinya.
Bagi Sartre, “Tidak ada hakekat dari manusia karena tidak ada Tuhan yang menciptakannya” (Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, 2007:25). Sejumlah Eksistensialis lainnya yang dapat dipelajari pemikirannya melalui novel-novel mereka seperti Albert Camus, Franz Kafka. Nama Friedrich Nietzsche bisa berada di antara pemikir Eksistensialisme maupun Pendiri Postmodernisme.
Relevansi Pemikiran Eksistensialisme di Era Digital dan Era Post Truth
Kita hidup di sebuah era perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat yang kerap diistilahkan dengan Revolusi 4.0 atau sejumlah nama lain Era Digital dll. Dibalik semua kemajuan dan kemudahan serta kecepatan yang berkontribusi terhadap kemajuan peradaban, tersimpan sejumlah irasionalitas (Teguh Hindarto, Mengantisipasi Irasionalitas di Balik Rasionalitas Modernitas – https://www.qureta.com/post/mengantisipasi-irasionalitas-dibalik-rasionalitas-sebuah-modernitas) dan sejumlah paradox (Teguh Hindarto, Paradoks Era Digital: Antara Kecepatan dan Banalitas – https://www.qureta.com/post/paradoks-era-digital-antara-kecepatan-dan-banalitas). Bukan sekedar banalitas pemahaman bahkan banalitas religiusitas yang menjadi tanggul utama kehidupan kerap menuntun setiap individu mengambil keputusan irasional untuk menghabisi dirinya karena ketidakmampuan mengikuti ritme kehidupan masa kini.
Diperlukan sebuah keberanian dan tanggungjawab meghadapi kehidupan yang dipenuhi absurditas agar kita tidak menjadi seseorang yang kehilangan orientasi diri.
Era masa kini disebut pula dengan era Post Truth (Teguh Hindarto, Post Truth: Sebuah Anatomi – https://www.qureta.com/post/post-truth-sebuah-anatomi), dimana kita mulai kehilangan kemampuan untuk membedakkan mana fakta dan fiksi akibat kecanggihan teknologi yang diperalat untuk memanipulasi kebenaran. Individu cenderung tergiring oleh mentalitas kerumunan dan narasi kolektif tentang sebuah kebohongan (hoax), sehingga cenderung kehilangan kesadaran subyek untuk mengambil jarak dengan realitas di sekelilingnya.
Filsafat Eksistensialisme perihal subyektivitas dan tanggungjawab individu menemukan relevansinya dan mengajak setiap individu yang hidup di era Post Truth untuk tidak begitu saja larut dalam suara massa kolektif yang anonim dan menganggapnya sebagai kebenaran. Menjadi individu yang otentik dengan meningkatkan kemampuan diri menghadapi serbuan kebohongan yang menyesatkan publik.
Filsafat Eksistensialisme menjadi sebuah pilihan terbuka untuk menuntun setiap invidu menghargai subyektivitas dirinya di tengah kerumunan dan hiruk pikuk kamuflase kehidupan yang ditampilkan di media sosial. Diperlukan sebuah keberanian dan tanggungjawab meghadapi kehidupan yang dipenuhi absurditas agar kita tidak menjadi seseorang yang kehilangan orientasi diri.
Jika kehidupan dan masa depan dipenuhi dengan sejumlah kemungkinan, mengapa kita tidak menghadapi semuanya dengan sebuah kesadaran subyektif, kejernihan berpikir dan pengharapan bahwa ada banyak kemungkinan yang dapat kita alami di masa depan, tinimbang kita mengambil pilihan yang merusak kehidupan kita.
Inilah Eksistensialisme itu, “I faced it all and I stood tall and did it my way” (Kuhadapi semua dan aku berdiri gagah dan kulakukan dengan caraku.