Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul 07.00, mahasiswa sudah dituntut untuk bangun demi mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Dalam rentang waktu itu, biasanya diisi dengan sarapan, mandi, dan mengecek jadwal perkuliahan.
Setelah siap, mahasiswa berangkat menuju kampus. Baik mahasiswa yang kosnya dekat maupun jauh sekalipun, dalam perjalanannya bisa ditemani beberapa putaran lagu dari playlist kesayangan untuk memecah kebosanan sembari mengarungi semrawutnya lalu lintas. Berbeda bagi sebagian mahasiswa yang telat datang, pilihan untuk memutar lagu boleh jadi dilakukan untuk mengaburkan bayangan omelan dosen.
Pukul 08.00, proses belajar di ruang kuliah biasanya dimulai. Seperti biasa, dosen mengajar sementara mahasiswa menyimak. Dosen memberi tugas lalu mahasiswa mengerjakannya. Tugas yang diberikan dikerjakan secara berkelompok, ada¹ mahasiswa yang bersama kelompok tongkrongannya² membentuk kelompok belajar sendiri. Lain halnya dengan mereka yang ingin tugasnya cepat selesai, mereka cenderung tidak peduli dikelompokkan bersama siapa saja.
Istirahat pun tiba, kantin menjadi tempat pertama yang terlintas di dalam pikiran. Pada akhirnya kantin menjadi sesak karena banyak sekali perut kelaparan. Sembari makan, obrolan pun larut dengan berbagai topik, entah seputar teman yang galau karena pacarnya tertangkap akibat kasus narkoba, bursa transfer terbaru pemain sepak bola, kemandekan strategi demonstrasi mahasiswa, dst.
Selepas makan, energi mulai terkumpul kembali. Kelas sore serasa lebih mudah untuk dijalani. Ya, kira-kira pada pukul 17.00, perkuliahan telah selesai lalu seisi kampus pun mulai kosong dari mahasiswa. Bagi mahasiswa yang sibuk berorganisasi maupun aktif di tongkrongan, mereka melanjutkan rutinitasnya sampai waktu bisa melar hingga burung hantu bisa jadi ikut tertidur.³
keseharian atau rutinitas sebetulnya menciptakan jarak terhadap diri manusia sendiri dan membuat keterasingan total dalam memahami siapa sebenarnya “Aku”.
Tampaknya, rutinitas seperti ini tidak ada yang salah, toh kita setiap hari melakukan dan enggan mempermasalahkannya. Namun, berbeda dengan ia yang mendapat julukan “Sang Pelihat dari Messkirch⁴” atau bagi yang disebut juga oleh mahasiswanya sebagai “Raja Filsafat,” yaitu Martin Heidegger. Ia menyatakan bahwa keseharian atau rutinitas sebetulnya menciptakan jarak terhadap diri manusia sendiri dan membuat keterasingan total dalam memahami siapa sebenarnya “Aku”. Dalam menjajaki pemikirannya—atau mungkin langsung mempraktekannya—Heidegger mengusulkan untuk setidak-tidaknya menggunakan cara kerja filsafat fenomenologi (Hardiman, 2016). Heidegger mengutak-atik hakikat pendefinisian dari fenomenologi itu sendiri. Ia memaknai konsep fenomenologi sebagai ilmu yang membiarkan segala sesuatu terlihat secara tembus pandang (Hardiman, 2016).
Namun, ketika menerapkan konsep fenomenologi ala Heidegger, penting untuk menjadi pemula di dalam kehidupan. Apa maksudnya? Pemula di sini diartikan sebagai seseorang yang pura-pura tidak tahu cara kerja dunia sekaligus memposisikan diri menjadi pengamat yang merekam segala bentuk keseharian (Hardiman, 2016). Dalam konteks kehidupan perkuliahan, pertanyaan yang bisa diajukan oleh sesama mahasiswa adalah, “Mengapa orang yang berkuliah harus terjebak dalam rutinitas seperti itu? Memangnya kuliah sepenting itu, ya?” atau lebih mendasar, “Kenapa sih, orang mesti kuliah?”
Dari metode menjadi pemula, beberapa pertanyaan di atas dapat menandakan satu untaian makna, yakni manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah mempersoalkan hal seperti itu. Manusia yang larut dalam keseharian cenderung mengada (dasein) (Hardiman, 2016). Dasein secara hakikat ditimbulkan oleh fase “keterlemparan” manusia yang tiba-tiba ada di dunia ini karena keluar dari rahim ibu. Dasein disifatkan oleh Heidegger sebagai “eksistensi” dan “berada-dalam-dunia” (Bertens, 2019). Akan tetapi, baginya, semakin manusia larut dalam proses eksistensial, keterasingan akan terus memboncengi kegiatan itu dan mendorong manusia agar jauh dari Ada.
Namun, bagi Heidegger, proses dasein bukanlah satu hal yang spesial karena bisa terlupakan kembali (Hardiman, 2016). Untuk menyadari kemengadaannya, manusia pada akhirnya membutuhkan perenungan. Sedangkan, perenungan akan dimulai ketika manusia berada di titik keretakan eksistensi (Hardiman, 2016). Pada saat selesai merenung dan tahu eksistensi di dunia ini untuk apa, manusia akan kembali ke kesehariannya. Seumpama, “Aku mahasiswa rajin yang sering kuliah, dapat dibuktikan lewat intensitas absensi masuk kelas. Namun, karena Aku juga rutin berdemonstrasi, kemudian menulis kritik yang tajam ke kampus, Aku mendapat surat peringatan drop out. Selanjutnya, Aku mau jadi apa?”
perenungan akan dimulai ketika manusia berada di titik keretakan eksistensi (Hardiman, 2016).
Pada analisis berbeda, selain terpaku pada rutinitas tindakan, ada acuan lain yang berbicara tentang waktu. Jelaslah bagi Heidegger bahwa kunci untuk memahami Ada adalah waktu. Ada⁵ itu sendiri harus dipikirkan dalam waktu. Waktu adalah arti Ada dasein (Rupa, 2018). Dengan kata lain, waktu yang memberikan makna terhadap Ada dasein. Dengan waktu, Ada dasein akan terus mengalami kondisi kemengadaannya. Semisal, saat kelas mata kuliah kewarganegaraan, Aku sebagai mahasiswa terus mengada dengan cara mengerjakan tugas. Heidegger berujar bahwa waktu memiliki sifat mendikte berjalannya kehidupan. Namun, waktu tidak sepenuhnya bersifat otoriter, manusia juga bisa mengontrol waktu (Hardiman, 2016).
Semisal, pada zaman komunal primitif dahulu, manusia membatasi waktu untuk tidak berburu pada malam hari. Hal ini dikarenakan minim pencahayaan, sehingga mahluk-mahluk buas tidak dapat terdeteksi. Tentunya, malam hari di zaman komunal primitif dipandang sebagai waktu yang berbahaya ketika manusia berkeliaran di alam bebas. Dengan kata lain, manusia memang cenderung mengukur waktu, mulai dengan jam matahari, jam air, jam pasir, lalu jam mekanik, jam atom, dan cahaya (Hardiman, 2016).
Namun, hal berbeda terjadi dewasa ini. Malam hari tidak lagi diukur dari bentuk kewaspadaan manusia terhadap bahaya di balik alam liar. Lebih lanjut, kalau sebagai mahasiswa, waktu diciptakan dan memiliki keterukuran dari seberapa banyak agenda yang akan dilaksanakan dalam satu hari. Contohnya, kadang-kadang mahasiswa masih harus berada di dalam kampus. Hal itu dikarenakan dosen minta jam kelas lebih–entah karena dosennya sibuk atau ada alasan lain–sehingga mahasiswa bisa jadi harus bubar pukul 19.00. Belum lagi mahasiswa yang berorganisasi, mungkin saja akan pulang lebih larut malam.
Baik dari zaman komunal primitif hingga masyarakat modern hari ini, manusia dapat disimpulkan memiliki kebiasaan mendasar dalam relasinya terhadap waktu. Manusia selalu dapat menciptakan waktu. Namun, bagi Heidegger yang menjadi paradoks adalah meskipun manusia yang menciptakan, waktu cenderung tidak bisa dijinakkan seenaknya saja.
Namun, bukan berarti sama sekali tidak bisa dijinakkan, bagi Heidegger waktu bisa berjalan berbeda karena ada relativitas di dalamnya. Dengan menggunakan teori relativitas, bukan berdasarkan analisis fisika, Heidegger mengatakan waktu bisa berjalan berbeda kalau suasana hati manusia berubah. Terkhusus jika bicara mengenai suasana hati, Heidegger sangat menyoroti kecemasan (angst).
Kerangka berpikir Heidegger ini penting dipahami untuk dapat melakukan refleksi di tengah kejenuhan dan kesibukan hidup sehari-hari. Manusia perlu mengambil jarak dari kesehariannya untuk merenungi eksistensi hidup. Hal ini perlu dilakukan supaya manusia menasbihkan orientasi dan lebih memaknai kehidupan dan tidak melupakan Ada-nya.
Manusia perlu mengambil jarak dari kesehariannya untuk merenungi eksistensi hidup.
Catatan Akhir:
- ada dalam pengertian bahasa Indonesia.
- Dharmayudha, E. (2020). Deskripsi anak tongkrongan.
- Hingga pagi hari, waktu bagi burung hantu tidur
- Kota Meskirch, terletak di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman. Kota ini memiliki sejarah yang kaya dalam konteks Eropa abad pertengahan. Salah satu tokoh yang terkenal lahir dari kota ini adalah Martin Heidegger.
- Ada dengan huruf kapital. Ada dalam pengertian dasein Heidegger.
Pustaka:
Bertens, K. (2014). Filsafat Barat Kontemporer Jilid 1: Inggris dan Jerman. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. (2016). Heidegger dan mistik keseharian: suatu pengantar menuju sein und zeit. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Rupa, H. D. (2018). Yohanes Duns Scotus dan Martin Heidegger tentang “Ada itu Univok”. Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara, 17(2), 193-218. https://doi.org/10.36383/diskursus.v17i2.257