Di akhir bulan Desember 1995, di suatu hari yang berkabung, Jacques Derrida mengantar arwah teman sekaligus gurunya, Emmanuel Levinas, dengan sebuah ceramah yang menggetarkan. Ceramah itu dibuka dengan ekspresi ketakutan Derrida atas sesuatu yang—karena di luar kuasanya—kini telah tiba saatnya. Perpisahan.
“Sudah sejak lama, bahkan lama sekali, aku merasa takut untuk mengatakan ‘selamat tinggal’ kepada Levinas. Aku tahu suaraku akan gemetar saat mengatakannya, apalagi saat mengatakannya dengan suara yang keras, tepat di sini, di hadapan Levinas, begitu dekat dengannya….”
Namun berbeda. Ketakutan yang diekspresikan Derrida dalam pembukaan ceramahnya itu bukan semata ketakutan untuk berpisah dengan Levinas. Lebih dari itu, ketakutan Derrida adalah ketakutan atas suata goncangan kebahasaan—saat bahasa menjadi goyah; saat hubungan penanda-petanda tak lagi stabil. Sebuah ketakutan “untuk mengatakan ‘selamat tinggal’ kepada Levinas…” yang “…sudah tidak ada lagi, tidak hidup lagi… tidak akan merespons lagi.”
Kepada siapa Derrida mengatakan “selamat tinggal” jika ternyata Levinas pada saat itu sudah dimakamkan? Bukankah seseorang mengucapkan “selamat tinggal” biasanya kepada orang yang masih di depan mata, masih terjaga, sehingga orang itu juga masih bisa meresponsnya?
Itulah ketakutan yang sudah sejak lama menghantui Derrida, karena pada saat itu kata-katanya seperti membentur ketiadaan, mengingat Levinas, sebagai petanda transendentalnya, sudah ditunda kehadirannya, hanya tersisa jejaknya. Demikianlah, 22 tahun yang lalu, bagi Derrida, kematian bukan hanya sebuah peristiwa biologis, melainkan juga sebuah peristiwa lingusitik.
Hari ini, lain dari 22 tahun yang lalu, kematian menemukan makna yang berbeda. Ia tak lagi hanya sebuah retakan kebahasaan, tetapi juga sebuah momen hilangnya jangkar refleksi atas keber-ada-an. Makna baru kematian itu tersingkap bersama datangnya kabar duka kepergian seorang pengajar metafisika: Prof. Joko Siswanto.
Sebagai manusia bisa, makhluk yang masih dikaruniai rasa, saya tentu bersedih mendengar kabar duka kepulangannya. Apalagi saya pernah belajar di bawah bimbingannya, walau cuma setengah semester, di Kelas Metafisika. Namun saya tak hanya bersedih atas kepulangan itu, tetapi lebih-lebih atas momen metafisik yang menyertainya. Apakah itu?
Dalam bukunya yang berjudul Metafisika Sistematik, sebuah buku yang juga manjadi bahan ajarnya saat mengampu Kelas Metafisika, ia menampilkan diri sebagai sosok yang sangat Heideggerian. Satu bab khusus, berjudul “Manusia sebagai Subjek Bermetafisika”, diisi dengan pokok pikiran Martin Heidegger. Ia menulis:
“Tugas metafisika adalah menemukan secara konkret makna yang-ada. Untuk mendapatkan jawaban tentang makna yang-ada harus diselidiki yang-ada itu sendiri. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa manusia dihadapkan pada berbagai kenyataan yang hampir semua bisa diberi predikat ada, seperti ada meja, ada batu, ada binatang dan kita menjumpai diri kita sendiri sebagai modus yang-ada. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan tentang makna yang-ada, pertama-tama kita harus bertanya kepada manusia…. Berhubung manusia adalah medium terjadinya peristiwa-peristiwa yang-ada, maka langkah metodologis yang terawal adalah membuka struktur eksistensial atau kategori-kategori fundamental wujud manusia.”
Kutipan tersebut serupa sebuah rangkuman atas Being and Time. Memang sejak awal saya tahu Prof. Joko Siswanto, saya tertarik kepadanya, bukan hanya karena penampilannya yang sangat sederhana, melainkan juga karena di kalangan mahasiswa ia dikenal sebagai salah satu dosen pembaca Heidegger. Tapi justru dalam posisi itulah, ketertarikan itu membuahkan sedih bagi saya.
Sebagaimana Derrida kepada Levinas, kesedihan saya bukan semata-mata hanya karena ia telah pergi mendahului kita, murid-muridnya, melainkan juga—dan ini yang utama—karena kepergiannya tidak semata bermakna sebagai peristiwa biologis. Ia pergi menyisakan sebuah retakan metafisik. Ini sebagai konsekuensi dari keterkaitannya dengan Martin Heidegger.
Jika manusia sebagai jangkar satu-satunya yang memungkinkan metafisika, masih adakah metafisika pascamanusia, setelah manusia tidak ada?
Pertanyaan itu membebani seluruh korpus Heideggerian. Jika metafisika pascamanusia (dan juga pramanusia) itu tidak ada, maka metafisika sendiri sejatinya adalah “manusia”: lahir dan besar dalam diri manusia dan akhirnya juga akan mati bersama manusia. Sebab tidak ada metafisika di luar (kesadaran) manusia.
Tapi apakah benar bahwa memang tidak ada metafisika di luar (kesadaran) manusia? Kitalah, murid-murid Prof. Joko Siswanto, yang seharusnya mencari jawabannya—agar kematian (seluruh) manusia tidak berarti juga kemusnahan metafisika.
Adieu, Prof. Joko Siswanto!