Pemikiran filosofis Spinoza selalu menarik dan layak dipelajari karena ia menawarkan suatu kesatuan dan pandangan mendalam tentang problem penting filosofis, seperti sifat realitas, manusia, dan apa yang dapat kita ketahui. Beberapa dekade terakhir, ia telah dibangkitkan kembali oleh serangkaian filsuf kontemporer. Dimulai dari kalangan filsuf Marxis, seperti Balibar, Negri, sampai Badiou, dan filsuf skizo-anarkis Deleuze, hingga teoretikus feminis Irigaray dan Genevieve Lyold. Bahkan, sang pangeran materialis saintifik Althusser pun mengklaim bahwa dirinya sebagai Spinozist.[1] Mereka secara bersama-sama, meski dengan artikulasi yang berbeda, berupaya untuk menguraikan kembali horizon pemikiran Spinoza yang misterius dan unik ini. Tetapi, apa yang menjadikan Spinoza begitu dicintai? Apa yang sebenarnya dicari oleh kalangan filsuf kontemporer itu dari seorang pemikir soliter, Spinoza? Sebab itu, perlu kiranya untuk memahami pemikiran Spinoza lebih jauh. Meski jawaban untuk pertanyaan tersebut, mungkin tak akan ditemukan secara eksplisit dalam pembahasan kali ini.
Ada tiga aspek fundamental dari filsafat Spinoza: doktrin substansi monisme, naturalisme yang kekal, dan mode eksposisi geometris yang digunakan Spinoza dalam Etika. Doktrin substansi monisme Spinoza merupakan karakter khas dari pemikiran filosofis Spinoza. Doktrinya tentang substansi monisme ini memberikan dasar bagi artikulasi prinsip-prinsipnya yang menjelaskan kesatuan realitas. Meskipun ia bukanlah filsuf pertama maupun terkahir yang mendukung monisme metafisika, di mana realitas dipahami sebagai kesatuan, sebagai yang tunggal. Parmenides (500 SM) adalah yang pertama kali menyatakan bahwa realitas itu kekal, homogen, tidak bergerak, dan lengkap. Tetapi, tidak seperti Parmenides, Spinoza tidak menyangkal realitas perbedaan, melainkan berusaha menjelaskannya.
Aspek lain yang paling kentara dan menyatukan filsafat Spinoza adalah naturalismenya yang total. Spinoza berkomitmen untuk menjelaskan dan menganalisis segala sesuatu secara alami. Bahkan, ia pun menaturalisasi teologi. Dalam magnum opusnya, Etika, Spinoza menyatakan bahwa Tuhan adalah awal dan akhir dari filsafatnya dalam pengertian, Ia merupakan penyebab utama dari segala hal yang harus dipahami, dan objek terakhir yang ingin kita ketahui.[2] Meski pandangannya tentang Tuhan dan relasinya dengan dunia hampir menghasilkan kemiripan dengan monoteisme tradisional. Pandangannya tentang Tuhan ini kelak banyak menimbulkan kontroversi, hingga ia harus dilabeli sebagai penyebar ateisme yang picik.
Spinoza lahir di Amsterdam pada tahun 1632. Ia berasal dari keluarga Yahudi-Spanis yang bertahun-tahun sebelumnya bermigrasi ke Portugal kemudian ke Belanda. Di Belanda, orang Yahudi menikmati kebebasan yang jauh dari persekusi; ayah Spinoza aktif dalam perdagangan Belanda. Spinoza pun mengenyam pendidikan tradisional Yahudi. Ia belajar bahasa Belanda karena tinggal di Amsterdam, dan di awal usia dua puluhan menguasai bahasa Latin. Semua karya asli filosofisnya ditulis dalam bahasa latin. Colerus (Johann Kohler), seorang penulis biografinya, memuji karakter Spinoza, meskipun Colerus merupakan seorang pendeta Lutheran, ia menemukan bahwa doktrin-doktrinnya “absurd dan menyimpang.”[3]
Pada usianya ke-44, Spinoza secara resmi dibenci dan dikucilkan oleh para tetua komunitas Yahudi Amsterdam. Konon, ia dikhianati oleh beberapa temannya untuk mengakui bahwa ia tak menemukan apapun dalam alkitab yang inkonsistensi dengan keberadaan Tuhan yang jasmani, malaikat hanyalah hantu, dan jiwa tidak lebih dari prinsip kehidupan. Tulisan-tulisannya pun dilarang dan dianggap berbahaya. Proklamasi resmi ekskomunikasi ini mengacu pada fitnah teman-temannya tentang ajaran sesat Spinoza yang dipraktikan dan diajarkan, serta fitnah kebencian lain yang dilakukan olehnya. Pihak berwenang sinagoge memanggil Spinoza untuk dimintai pertanggungjawaban iman. Pada sebuah persidangan, teman-teman palsu Spinoza bersaksi bahwa mereka telah mendengar Spinoza mencela kaum Yahudi.[4] Spinoza diusir dari sinagoge, dan sejak saat itu ia lebih dekat dengan kalangan Kristen. Bahkan, Jacobi melabelinya sebagai sosok heterodoks, dalam arti ingin menyingkirkannya secara pasti dari Kekristenan modern”—tentu saja, ia gagal dalam melakukan tujuannya, yang merupakan rehabilitasi dari heterodoks Spinoza.[5]
Selama hidupnya, Spinoza menderita kemiskinan yang menyedihkan, cenderung menarik diri, dan memilih mencari nafkah dengan mengukir lensa. Meski ia memiliki tambahan kecil dari anuitas yang ditinggalkan oleh seorang teman dan muridnya yang meninggal pada usia dini, Simon Devries. Tetapi, ia menolak sokongan yang lebih besar dari Devries. Ia pun menolak jabatan guru besar di Universitas Heidelberg, sebab ia takut tugas mengajar akan mengganggu upaya untuk mengembangkan filsafatnya. Selain itu, terdapat harapan bahwa ia tidak akan menganggu agama resmi di publik.[6]
Bahkan filsuf terkenal asal Prancis, Henri Bergson, menegaskan bahwa Etika seperti halnya suatu mesin yang rumit dan memiliki kekuatan penghancur yang membuat kita dilanda dengan kekaguman dan teror sekaligus, seolah-olah berdiri di depan kapal perang berlapis baja.
Di Voorburg, dekat Deen Haag, Spinoza bertemu dengan Jan Dewitt, Grand Pensionary of Holland, yang kelak menjadi sahabatnya. Dewitt mendorong toleransi beragama dan kebebasan berekspresi; ia pun ditentang oleh pendeta Calvinis, dan lainnya yang bermimpi mendirikan negara agama, serta mendukung Pangeran Oranye. Perjuangan antara kedua kubu itu diperumit dalam perang dengan Inggris dan Swedia (1665-1667), dan kemudian perang dengan Inggris dan Prancis (1672). Spinoza menjadi pendukung Dewitt. Dalam korespondensinya, Spinoza menyatakan bahwa tujuannya dalam menulis Theologico-Political adalah untuk membongkar prasangka palsu para teolog, membela dirinya dari tuduhan ateisme, dan membela kebebasan berfilsafat serta mengatakan apa yang dipikirkan orang-orang. Ketika Dewitt mengunjungi Cornelius, saudaranya yang di penjara di Den Haag, segerombolan massa masuk dan mengamuk secara brutal, membunuh kedua saudara lelaki itu. Spinoza yang mendengar berita ini, secara tak normal dikuasai dengan emosi yang membuncah.
Karya-karya Spinoza, terkecuali beberapa karya dalam bahasa Belanda, hampir semuanya berbahasa Latin. Karya besar yang dihasilkannya adalah Tractatus de intellects emendatione, Brief Treatise on God, Man and His Happines (dalam bahasa Belanda), Tractatus theologico-politicus, Tractatus politics (sebuah eksposisi dari Prinsip Descartes), Cogitata metaphysica dan, di atas semua masterpiece-nya, diterbitkan setelah kematiannya; Ethica ordine geometrico demonstrata(Ethics Demonstrated in Geometrical Order). Karya yang terakhir ini mengikuti cara kebiasaan eksposisi dalam buku-buku matematika, dengan aksioma, definisi, proposisi, demonstrasi, korolari, dan scholia.
Suatu pencarian metode
Ethics Demonstrated in Geometrical Order (Etika) merupakan magnum opus dari karya Spinoza, ditulis dengan cara yang tak lazim. Alih-alih seperti prosa yang mengalir secara merata, yang kita temukan adalah serangkaian definisi, aksioma, proposisi, demonstrasi, dan korolari yang mengintimidasi. Seperti halnya teks-teks matematika ketimbang karya filosofis, meskipun tidak memiliki notasi simbolis dari kalkulus, tetapi lebih mirip dengan prinsip-prinsip matematika dari filsafat alam Newton. Bahkan filsuf terkenal asal Prancis, Henri Bergson, menegaskan bahwa Etika seperti halnya suatu mesin yang rumit dan memiliki kekuatan penghancur yang membuat kita dilanda dengan kekaguman dan teror sekaligus, seolah-olah berdiri di depan kapal perang berlapis baja.[7] Apa yang mendorong Spinoza melakukan representasi ide-ide filosofisnya melalui ‘bahasa’ geometri yang terlampau sulit? Apakah Spinoza tak menyadari permasalahan yang akan muncul kemudian?
Beberapa komentator Spinozian telah memberikan beberapa alasan untuk menjelaskan mengapa Spinoza memilih mode geometris untuk menguraikan ide filosofisnya. Beberapa di antaranya, mengatakan bahwa metode eksposisi geometris sangat tepat untuk materi pengajaran Spinoza, dengan hubungan logis dari alam, dan akibatnya mencerminkan apa yang dilihatnya sebagai relasi kausalitas yang sesungguhnya. Sementara yang lain berargumen bahwa ia menggunakannya baik untuk alasan pedagogis—untuk memberikan presentasi yang tepat pada siswanya—dan untuk menyembunyikan idenya dari pembaca yang memusuhinya.
Menurut Nadler, dalam sepucuk surat kepada temannya Henry Oldenberg, Spinoza berbicara tentang keinginannya untuk membangun kebenaran paling dasar dengan kepastian yang kokoh dari Tuhan dan substansi, dan menyadari bahwa cara terbaik untuk mengkomunikasikan idenya untuk efek maksimum adalah dengan mos geometricus, “metode geometris,” atau menyajikannya “dalam urutan geometris.”[8] Model untuk pengetahuan tertentu pada abad ke-17 adalah matematika. Proposisi atau tesisnya dirumuskan dengan jelas, demonstrasi (jika diikuti dengan benar) tak dapat dielakkan, dan metode-metodenya nampak mudah. Elemen Euclid, paradigma paling terkenal untuk suatu disipilin, dimulai dengan dua puluh tiga definisi dasar (“Suatu titik adalah apa yang tidak memiliki bagian,” “Garis adalah titik tanpa batas”), lima postulat (“Bahwa semua sudut pandang yang sama adalah sama satu sama lain”) dan lima pengertian umum atau aksioma (“Hal-hal yang sama dengan hal yang sama juga, sama dengan satu sama lain”, “Jika yang sama ditambahkan pada yang sama, keutuhannya adalah sama”). Dengan alat sederhana ini sebagai asumsi dasar, Euclid mulai membuktikan sejumlah besar proposisi tentang angka-angka bidang dan sifat-sifatnya, beberapa di antaranya sangat kompleks.
Spinoza memiliki keyakinan yang kuat terhadap model geometris daripada Descartes—meski Descartes sendiri tak pernah menggunakan model geometris dalam domain non-matematika.
Mungkin pertanyaan yang kemudian akan muncul di sini: Apakah ini berarti tak ada cara lain untuk mengungkapkan ide-ide filosofisnya selain dengan format geometris Euclid dalam Etika? Dalam hal ini, Nadler menjelaskan bahwa Spinoza lebih menyukai mos geometricus karena perspektivitas dan persuasifnya, kemampuannya untuk menunjukan dengan meyakinkan bagaimana satu hal mengikuti yang lainnya dan efisiensinya dalam mengarahkan seseorang ke persepsi yang jelas dan berbeda tentang kebenaran. Spinoza mengakui bahwa ia menganggapnya sebagai format superior untuk mengungkap idenya.[9] Mungkin, itulah penyebab Spinoza menggunakan metode geometri, terutama melihat keterkaitan seluruh filsafatnya, bahwa seorang pembaca dapat diyakinkan tentang kebenarannya melalui format geometris, dengan kerangka pemikiran yang terstruktur.
Model geometris memiliki efek pemersatu dengan mendorong tujuan untuk menjelaskan segala hal dalam seperangkat konsep dasar yang prinsipil dan cukup ringkas. Spinoza memiliki keyakinan yang kuat terhadap model geometris daripada Descartes—meski Descartes sendiri tak pernah menggunakan model geometris dalam domain non-matematika. Hanya dengan cara seperti ini, filsafat menjadi benar-benar sistematis dan kesimpulannya dijamin valid. Meski, kita pun tahu, Spinoza bukanlah filsuf yang “sempurna”. Ada masalah yang telah diketahui baik dengan substansi monismenya maupun upayanya untuk mempertahankan dengan kukuh naturalisme dalam pemikiran filosofisnya, terutama dalam model geometrinya.
Akar historis metafisika Spinoza
Spinoza muncul sebagai pewaris dari beberapa tradisi filsafat. Pertama, ia mengikut jalur yang dibangun oleh Descartes; kemudian, ia memiliki keterkaitan dengan Skolastik, khususnya dengan Scotisme dan Occamisme; ia telah mempelajari karya Surez. Ia pun memiliki kontak langsung dengan sumber-sumber Yahudi: pertama dengan Alkitab dan Talmud; kedua dengan para filsuf Yahudi abad pertengahan, terutama Maimonides dan para Cabbala. Pengaruh lainnya yang harus diperhatikan; khususnya tradisi Yunani, Stoicisme. Dan, tentu saja, ada pengaruh ilmu alam pada zaman Spinoza dan filsafat Giordano Bruno. Ini merupakan akar utama dari pemikiran Spinoza; dari mereka ia memperoleh personalitas filsafatnya yang unik dalam metafisika abad ke-17.[10]
Spinoza mengadopsi Descartes sebagai titik keberangkatan dalam pembahasannya tentang substansi. Dengan demikian, pembahasan tentang substansi akan menyeret kita pada konsepsi substansi klasik dari Aristoteles, karena konsepsinya tentang substansi akan memiliki pengaruh besar dalam sejarah filsafat. Aristoteles mendefinisikan substansi sebagai, ”subjek utama dari predikasi yang dengan sendirinya tidak dilandasi oleh apapun, atau dari properti tersebut tetapi miliknya sendiri bukan properti dari sesuatu yang lain.” Properti atau aksiden (pendek, berkulit cokelat, dst.) harus eksis dalam subjek individu (Socrates atau kuda). Keragaman pada akhirnya membutuhkan predikat individu; hewan dipredikatkan pada kuda, tetapi kuda predikat dari individu kuda. Hal-hal individual seperti Socrates dan kuda tidak eksis dalam subjek dan tak memiliki predikat pada apapun. Kemudian Aristoteles menyatakan bahwa, “Ciri paling khas dari substansi yang nampak bahwa, meski tetap pada numerik satu dan sama, ia mampu mengakui kualitas yang bertentangan”.[11]
Substansi adalah apa yang dapat (dan memang) tetap sama identik melalui perubahan segala hal, dalam arti ia merupakan sesuatu yang mandiri. Misalnya, jika warna wajah Socrates berubah karena lama tersengat matahari, maka warna asli (putih) tak ada lagi, dan warna baru (cokelat) menggantikannya. Tapi Socrates tetap menjadi individu yang sama di sepanjang perubahan. Substansi primer Aristoteles, dapat dipandang sebagai lebih mendasar daripada propertinya dan sebagai dasar mereka bahwa sebagai subjek di mana properti itu eksis, ia bertahan melalui perubahan properti (sifat). Descartes, sebagai pendahulu Spinoza yang menginspirasinya dalam kerangka metafisik, mewarisi aspek logis dan ontologis dari substansi dalam konsepsi Aristoteles. Ia menawarkan suatu definisi tentang substansi:
“Segala hal disebut substansi, ketika sesuatu berada di dalam seperti dalam subjek atau dengan cara yang kita anggap apapun yang ada, yaitu dengan kita melihat setiap properti, kualitas atau atribut yang merupakan ide nyata di dalam kita…”[12]
Namun, Descartes membedakan dua pengertian substansi. Pertama, menafsirkan substansi sebagai “sesuatu yang ada sedemikian rupa yang tidak dependen pada hal lain untuk keberadaannya itu.”[13] Hal apa yang dapat memenuhi prasyarat independensi ini? Dengan cekatan, Descartes akan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi persyaratan ini, yang mana segala hal lainnya bergantung pada Tuhan dan tak dapat dipahami melalui Tuhan. Sedangkan substansi-substansi lain yang tidak membutuhkan hal lainnya untuk eksis, mekipun mereka memang membutuhkan Tuhan adalah res cogitans dan res extensa.
Inilah Tuhan Spinoza, nature: Deus sive natura (Tuhan, atau alam). Spinoza mengatakan bahwa Substansi—ya Tuhan—adalah segalanya yang eksis (everything that exists), dan semua hal adalah afeksi-Nya. Ia adalah yang hadir, menumbuhkan hal-hal sendiri, natura naturata.
Meskipun ide substansi adalah subjek dari propertinya dan predikasi adalah umum bagi Aristoteles dan Descartes, kriteria tambahan Descartes tentang keberadaan independen secara signifikan membatasi apa yang dapat dihitung sebagai substansi bahkan ketika kondisi itu diperlemah untuk memungkinkan substansi yang bergantung pada Tuhan. Tubuh individu, seperti tubuh manusia atau kuda, dengan mudah dan pasti menderita kehancuran karena sebab alami, sebab gagal memenuhi syarat sebagai penciptaan substansi. Hanya tubuh “secara umum” atau materi (res extensa ) yang diambil secara keseluruhan yang dianggap sebagai substansi. Akan tetapi, akal (res cogitans) yang menurut pandangan Descartes adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari tubuh, adalah suatu substansi, yaitu sesuatu yang secara alamiah tak dapat dipahami dan ada tanpa akhir kecuali Tuhan membatalkannya sebagai persetujuannya. Pada titik inilah Spinoza muncul mentransformasikan dan memberikan kritik kepada Descartes. Bagi Spinoza, hanya ada satu substansi tunggal atau “substansi yang terdiri atas ketakterhinggaan (infinity) atribut,” dan akibatnya, bahwa segala sesuatu yang lain harus menjadi mode, atau dalam substansi satu, atau Tuhan. Dan substansi yang lainnya itu, bagi Spinoza, bukanlah susbtansi, tetapi atribut. Atribut adalah sesuatu yang dipersepsikan dalam substansi sebagai konstituen dari esensinya.
Ada sejumlah atribut yang tak terhingga tetapi hanya dua yang diketahui; cogitatio dan ekstensio, pemikiran dan perluasan, yaitu res cogitans dan res extensa milik Descartes, yamg saat ini diturunkan dalam hierarki ontologis; mereka bukan substansi yang luas, tetapi hanya atribut dari satu substansi. Doktrin dasar dari substansi Spinoza ini dikembangkan dalam empat belas proposisi pertama Etika bagian I. Keempat belas proposisi tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Tuhan adalah substansi alam semesta: “Kecuali Tuhan, tidak ada substansi yang dapat menjadi atau dimengerti” (Proposisi 14).[14]
Substansi dan Atribut
Dalam Etika bagian I, Spinoza mengambil langkah pertama dari proyeknya dengan membuktikan kebanaran metafisika yang paling umum dan penting tentang Tuhan dan alam. Spinoza menarik suatu kesimpulan yang cukup unik bahwa Tuhan dan alam adalah satu dan sama. Inilah Tuhan Spinoza, nature: Deus sive natura (Tuhan, atau alam). Spinoza mengatakan bahwa Substansi—ya Tuhan—adalah segalanya yang eksis (everything that exists), dan semua hal adalah afeksi-Nya. Ia adalah yang hadir, menumbuhkan hal-hal sendiri, natura naturata. Sistem tersebut cenderung bersifat panteistik.
Argumen Spinoza itu tentu cenderung membingungkan hingga tak lepas dari kontroversi di zamannya, mungkin hingga abad kontemporer ini. Apa yang ia maksud bahwa Tuhan dan alam itu satu? Apakah Tuhan adalah seluruh alam, atau Tuhan hanya aspek universal tertentu dari Alam? Apakah Tuhan tersembunyi di dalam alam tetapi tetap berbeda darinya, seperti yang dikatakan oleh para mistikus? Untuk menjawab semua ini bukanlah perkara yang mudah. Sebab itu, sebelum berasumsi lebih jauh, kita bisa mulai untuk memahami konsepsi substansi Spinoza dengan menelusuri setiap premisnya secara singkat, yang dengannya ia sampai pada kesimpulan tersebut.
Secara garis besar, argumen Spinoza adalah: Pertama, “tidak ada dua substansi yang dapat berbagi atribut atau dengan atribut yang sama”; [15] Kedua, pada Proposisi ke-7, bahwa “itu berkaitan dengan substansi yang ada.”[16] Kemudian Spinoza berargumen atas dasar Proposisi 7, bahwa Tuhan tentu eksis. Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan, oleh sebab, Tuhan eksis dan memiliki semua atribut dan Tidak ada substansi selain Tuhan yang dapat eksis atau dipahami (Proposisi 14).[17] Pada argumen pertama, muncul istilah “atribut”, yang merupakan kata kunci dari premis utama tersebut—“tidak ada dua substansi yang dapat berbagi atribut atau dengan atribut yang sama”. Spinoza mendefinisikan atribut sebagai “apa yang dipersepsikan dari suatu substansi, yang merupakan sebagai esensinya.”[18]
Seperti yang telah kita ketahui, Spinoza sepakat dengan Descartes bahwa ekstensi dan pemikiran adalah atribut dari substansi. Spinoza tidak menyebutkan atribut lain, dan meskipun ia tampaknya memiliki banyak kemungkinan terbuka, itu sangat konsisten dengan definisi Tuhan[21] bahwa ekstensi dan pemikiran adalah satu-satunya.
Dalam hal ini, jika ada substansi yang memiliki sifat tertentu, maka tidak mungkin ada substansi lain yang memiliki sifatnya, atau tidak ada dua substansi dengan jenis yang sama. Mungkin hal ini tampak janggal, kita bisa saja berpikir bahwa mungkin ada banyak hal dari jenis yang sama, misalnya banyak hal yang memiliki sifat manusia. Tetapi, bagi Spinoza, hal itu tidak cukup mendasar secara ontologis: sifat manusia bukanlah apa yang ia maksudkan dengan atribut. Lalu, bagaimana dengan Pemikiran? Descartes, tentu akan menganggap Pemikiran sebagai atribut primer. Descartes sendiri mengatakan bahwa ada banyak sekali substansi yang semuanya memiliki atribut Pemikiran, yaitu semua akal yang pernah eksis. Pada titik ini, Spinoza sepakat dengan Descartes sejauh ia menganggap atribut sebagai konsep dasar, fitur esensial dari substansi, dan bahkan sehubungan dengan atribut substansi yang diketahui ada, yaitu perluasan dan pemikiran. Tetapi, Spinoza menyangkal jika ia dianggap sebagai substansi sejati.
Bagi Spinoza, dalam alam tidak mungkin ada dua substansi dengan sifat atau atribut yang sama. Jika ada dua atau lebih substansi yang berbeda, maka hanya ada dua cara untuk membedakan satu sama lain, baik mereka berbeda dalam hal atribut dasarnya atau mereka berbeda dalam hal atributnya yang mengekspresikan sifat-sfat yang mendasarinya (mode atau afeksinya). Jika mereka berbeda dalam hal atributnya, misalnya substansi x yang memiliki atribut a, dan substansi y yang memiliki atribut b, maka Spinoza menyatakan bahwa “Jika ada dua atau lebih substansi yang berbeda, mereka harus dibedakan satu sama lain, baik oleh perbedaan atributnya atau oleh perbedaan dalam afeksinya.”[19]
Proposisi versi Spinoza ini merupakan proposisi tentang prinsip metafisika—yang sering dikaitkan pada Leibniz ketimbang Spinoza—yang dikenal sebagai Identity of Indiscernables, yaitu hal-hal yang berbeda secara numerik harus memiliki perbedaan kualitatif, atau tak boleh ada dua (berbeda secara numerik) hal-hal yang memiliki semua kualitas yang sama. Namun, dengan argumen utama (tidak ada dua substansi yang dapat berbagi atribut atau dengan atribut yang sama), Spinoza mengklaim bahwa dari dua substansi yang berbeda secara numerik, tidak dapat berbeda hanya dalam afeksinya dan tidak dalam atributnya; artinya, tak mungkin ada dua substansi yang ekstensif berbeda. Ia berargumen bahwa jika hanya ada perbedaan dalam afeksi substansi, maka;
“Karena suatu substansi lebih dulu bersifat alami terhadap afeksinya, jika afeksinya diletakan di satu sisi dan [substansi] dipertimbangkan dalam dirinya sendiri… dianggap benar, yang satu tak dapat dipahami untuk dibedakan dari yang lain, tidak mungkin ada banyak, tetapi hanya satu [dari sifat atau atribut yang sama].”[20]
Masuk akal baginya untuk “mengesampingkan” modifikasi substansi dan hanya mempertimbangkan atributnya. Karena ia mengasumsikan apa yang dipersepsikan dari suatu substansi, yang merupakan sebagai esensinya adalah perbedaan jenis apapun harus didasarkan pada perbedaan kualitatif, maka tak boleh ada dua substansi dengan sifat atau atribut yang sama. Atribut, bagi Spinoza, merupakan properti esensial dari substansi. Ketika Spinoza mengatakan bahwa Tuhan adalah “substansi yang terdiri dari atribut tak terhingga”. Seperti yang telah kita ketahui, Spinoza sepakat dengan Descartes bahwa ekstensi dan pemikiran adalah atribut dari substansi. Spinoza tidak menyebutkan atribut lain, dan meskipun ia tampaknya memiliki banyak kemungkinan terbuka, itu sangat konsisten dengan definisi Tuhan[21] bahwa ekstensi dan pemikiran adalah satu-satunya. Dalam Etika bagian II, Spinoza mendemonstrasikan bahwa pemikiran dan ekstensi adalah atribut Tuhan dari fakta ketakterhinggaan (infinite). Akhirnya, sebab Tuhan terdiri dari semua atribut yang mungkin, maka setiap substansi lain harus memiliki beberapa atribut yang sama dengan Tuhan (langkah dari argumen ke-4).
Penutup
Dalam pemaparan yang singkat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Spinoza melakukan pembaruan secara radikal tentang konsepsi substansi yang ia adopsi dari Descartes. Bagi Spinoza hanya ada satu substansi, Tuhan, dan segala sesuatu lainnya—hewan, batu, pohon, tubuh dan pikiran manusia—hanyalah modifikasi dari substansi itu. Ia mencapai kesimpulan ini melalui argumen yang sebagian didasarkan pada definisi tentang Tuhan sebagai substansi yang terdiri dari atribut yang tak terhingga. Tentu saja, ada banyak aspek pemikiran Spinoza yang belum tersentuh dari hal ini, masih banyak yang dapat dieksplorasi dari pemikirannya yang mampu memberikan kontribusi bagi horizon pemikiran selanjutnya. Dan yang paling penting adalah problem krusial dalam pemikiran filosofis Spinoza; bagaimana satu substansi dapat terdiri dari beragam atribut yang tak terhingga yang indipenden, merupakan hal yang masih menjadi teka-teki. Mungkin pada lain kesempatan, kita akan mencoba untuk menjawab problem tersebut, dan bagaimana implikasinya dalam politik.
Catatan Akhir:
[1]Lihat Althusser, “The Only Materialist Tradition: Spinoza”, dalam The New Spinoza (Theory out of Bounds), hal. 55.
[2]Steinberg, Diane. 2000. On Spinoza. Wadsworth: USA, hal. 2-3.
[3]Pollock, Frederic. 1899. Spinoza: His Life and Philosophy. London: Duckworth & Co., hal. 432
[4]Wolf, A. 1970. The Oldest Biography of Spinoza. Port Washington, N.Y: Kennikat Press. hal, 44-48.
[5] Negri, Antonio. Spinoza’s Anti-Modernity. trans. Charles T. Wolfe. This article first appeared in Les Temps Modernes 46:539 (June 1991), hal. 1.
[6]Steinberg, Diane. 2000. On Spinoza. Wadsworth: USA, hal. 6.
[7]Henri Begerson;“the formidalbe apparatus of theorms and the tangle of definition, corollaries, and scholia, this intricate machinery and this crushing power are such that the newcomer, in the presence of the Ethics, is struck with admiration and terror….” dalam Nadler. 2016. Spinoza’s: Ethics An Introduction. Cambridge: University Press, hal. 35.
[8]Lih. Ibid., hal. 36-37.
[9]Lih. Ibid., hal. 41.
[10]Juliàn Marias.1967. History of Philosophy. Dover Publication, Inc: New York, hlm. 232.
[11]Steinberg, Diane. 2000. hal. 11.
[12]Descartes mengatakan, “Each thing is called a substance wich something is in immediately as in a subject or by means of which we perceive anything that exist….” dalam Della Rocha. 2008. “Spinoza”. Routledge: London and New York, hal. 34.
[13]Lih. Ibid., hal. 34.
[14]Spinoza. 2017. Ethics Demostrated in Geometrical Order. Spinoza menjelaskan Bagian I Proposisi: ” God is the only substance that can exist or be conceived…Since God is an absolutely infinite thing, of whom no attribute expressing en essence of substance can be denied (by. 6), and God necessarly exists (by11). If there were a substance other than God it would have to be explained through som attribute of God; but explanations can flow only within attributes, not from one attribute to another: and so two substance with an attribute in common exist… Therefore, God is the only substance that can exist or be conceived.” Trans. Jonathan Bernet, hal. 7
[15]Lih. Ibid., Bagian I Proposisi 5, hal. 2.
[16]Lih. Ibid., Bagian I Proposisi 7, hal. 2.
[17]Spinoza. 2017. ”5.”Bagian I Proposisi 14, hal. 2.
[18]Spinoza: “By attribute I understand: a state of a substance, i.e. something that exists in and is conceived through something essence. Bagiaan I Definisi Atribut, hal. 1.
[19]Lih. Ibid., Bagian I Proposisi 4, hal. 2.
[20]Lih. Ibid., Proposisi 1 dan Proposisi 5, hal. 2.
[21]Spinoza: “By God I Understand: a thing that is absolute infinite, i.e. a substance consisting of anfinity of atributtes, each of which ecpresss an enternal and infinite essence. I say ‘absolutely infinite’ in contrast to infinite only in its own kind, there can be attributes that it doesn’t have; but if something is absolutely infinite its essence or nature contains every positive way in which a thing can exist—which means that it has all possible attributes,”hal. 1