Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang guru dalam mendukung proses pembelajaran tercantum dalam salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) 4.c, yaitu secara signifikan meningkatkan kuantitas guru yang berkualitas pada tahun 2030 (Badan Pusat Statistika, 2022).
Keterampilan mengajar menjadi salah satu indikator dalam menilai kualitas guru. Keterampilan mengajar yang baik dapat menciptakan pengalaman pembelajaran yang efektif dan bermakna bagi siswa. Pembelajaran yang efektif adalah proses ketika siswa memperoleh pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan dengan cara yang efisien dan berkelanjutan (Novak dan Gowin, 1984). Sementara itu, Ausubel (1968) menggambarkan bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi ketika informasi baru sengaja dihubungkan dengan pengetahuan siswa yang ada. Dengan kata lain, pembentukan hubungan—non-arbitrary—di antara ide-ide dalam pikiran siswa. Untuk mengaplikasikan dan melestarikan pembelajaran efektif dan bermakna, kita harus terlebih dahulu memahami hakikat pembelajaran (nature of learning).
Memahami matematika, fisika, biologi, bahkan filsafat atau subjek apapun yang kita pelajari adalah soal pengakuisisian pengetahuan. Artinya, proses tersebut melibatkan aktivitas yang disebut sebagai belajar. Belajar adalah proses perolehan informasi atau kemampuan baru yang didapatkan setelah latihan, observasi, atau pengalaman lain yang dibuktikan dengan perubahan fungsi otak, perilaku, atau pengetahuan.
Proses-proses tersebut melibatkan kognisi manusia dalam memahami instruksi yang diberikan. Kemampuan kognitif manusia memungkinkan kita untuk dapat mengamati, memproses, dan menginterpretasikan informasi dari lingkungan. Kemampuan kognitif manusia juga dapat memberikan kerangka kerja untuk interaksi sosial, pengambilan keputusan, pembelajaran, dan penciptaan budaya. John Sweller, Paul Ayres, dan Slava Kalyuga (2011) menyatakan bahwa, tanpa pengetahuan tentang proses kognitif manusia, desain instruksional—proses merancang dan mengembangkan pengalaman pembelajaran yang efektif dan efisien—akan mengalami kebutaan. Keberhasilan suatu prosedur instruksional—serangkaian langkah yang dirancang secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran—dapat dinilai ketika kita memahami cara kerja kerangka kognisi manusia.
Ausubel menggambarkan bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi ketika informasi baru sengaja dihubungkan dengan pengetahuan siswa yang ada.
Dengan begitu, Sweller, Ayres, dan Kalyuga menawarkan Cognitive Load Theory atau teori beban kognitif (kemudian akan disingkat menjadi CLT) sebagai solusi atas kebutaan desain instruksional. CLT merupakan sebuah teori dalam kajian psikologi kognitif yang menyatakan bahwa kapasitas kognitif manusia memiliki batasan tertentu. Pada saat kapasitas tersebut dilampaui oleh tugas kognitif yang kompleks, kegiatan pembelajaran dan pemahaman tidak akan bekerja secara optimal.
Sweller, Ayres, dan Kalyuga mengembangkan CLT dalam kerangka pendekatan biologi evolusioner, secara spesifik evolusi kognitif manusia. Evolusi kognitif manusia memiliki dua peran penting dalam pengembangan CLT. Peran pertama berkaitan dengan pemilihan jenis desain instruksional yang akan mendefinisikan pembelajaran yang efektif. Demi memudahkan pemberian desain instruksional yang tepat kepada pengajar, perlu diketahui jenis instruksi yang dapat diberikan secara eksplisit dan yang tidak (Sweller, 2015). Peran kedua adalah bahwa CLT menjangkarkan teori sistem pemrosesan informasi alami (natural information processing system) sebagai dasar untuk memahami kognisi manusia (Sweller, Ayres, dan Kalyuga, 2011). Di dalamnya, proses evolusi bertindak sebagai “desainer alamiah” dalam memilih fitur-fitur kognitif yang memberikan keuntungan adaptif tertentu. Dalam konteks ini, organisme dengan kemampuan pemrosesan informasi yang lebih baik cenderung memiliki keunggulan selektif dalam bertahan hidup dan berkembang biak.
Kategori Pengetahuan
Sweller, Ayres, dan Kalyuga, dalam buku Cognitive Load Theory (2011), meminjam David Geary (2007) yang memberikan dua kategori pengetahuan, yaitu biologis primer dan sekunder. Pengetahuan biologis primer adalah pengetahuan atau informasi yang diperoleh dan berkembang dari generasi ke generasi sejak manusia berevolusi sehingga manusia pada umumnya familiar dengan pengetahuan ini. Pengetahuan ini memiliki kecenderungan untuk dapat dipelajari, tetapi tidak dapat diajarkan. Kebanyakan manusia tidak bisa dan tidak perlu untuk mengajarkannya karena manusia telah berevolusi dengan jenis pengetahuan ini. Contohnya adalah belajar mendengar dan berbicara (Sweller, 2015). Berbicara adalah pengetahuan yang kompleks, tetapi kita tidak mengajarkan anak-anak dengan instruksi yang eksplisit untuk berbicara. Jika kita ingin mengajari anak-anak berbicara, kita tidak memberikan instruksi seperti meminta mereka menggerakkan bibir, menjulurkan lidah, dan sebagainya. Meskipun proses berbicara manusia dapat dijelaskan oleh seorang ahli patologi bahasa-wicara, tetapi manusia pada umumnya sulit untuk menjelaskan bagaimana hal tersebut bekerja. Contoh lain dari pengetahuan biologis primer adalah kemampuan pemecahan masalah, menggeneralisasi, mentransfer pengetahuan, kemampuan sosial sederhana, dan mengenali wajah.
Kategori pengetahuan kedua, yang hampir secara eksklusif berkaitan dengan CLT, adalah pengetahuan biologis sekunder. Pengetahuan biologis sekunder adalah pengetahuan atau informasi yang perlu diajarkan secara eksplisit dan tidak dapat diperoleh sendiri. Pengakuisisian pengetahuan ini cenderung memerlukan usaha dan kesadaran. Contoh dari pengetahuan ini adalah membaca dan menulis (Sweller, 2016). Menulis adalah jenis pengetahuan yang secara relatif baru diperoleh manusia. Menurut catatan sejarah, manusia mulai mengenal sistem tulisan sekitar 5.000 hingga 3.000 tahun yang lalu.
Mayoritas pengetahuan yang dipelajari dalam institusi pendidikan adalah pengetahuan biologis sekunder. Institusi pendidikan diciptakan untuk memfasilitasi perolehan pengetahuan tersebut. Informasi dan pengetahuan sekunder dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis, seperti buku teks, artikel ilmiah, literatur, atau sumber informasi lainnya, seperti seminar, perkuliahan, dan sebagainya.
Working vs. Long-Term Memory
Teori pemrosesan informasi alami adalah pendekatan yang menganggap bahwa proses kognitif manusia dapat dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan model pemrosesan informasi yang analog (berbanding lurus) dengan sistem pemrosesan informasi alami (Campbell, 1960). Teori ini berpendapat bahwa kognisi manusia melibatkan penerimaan, penyimpanan, pengolahan, dan penggunaan informasi yang serupa dengan cara pemrosesan informasi di alam, seperti evolusi melalui seleksi alam (Sweller, 2016). Organisme di alam, termasuk manusia dan hewan, memiliki kemampuan untuk mengindra dan mengumpulkan informasi melalui panca indra mereka. Mereka dapat mengenali stimulus dari lingkungan mereka, seperti suara, aroma, rasa, sentuhan, dan penglihatan. Informasi ini kemudian diolah oleh sistem saraf mereka yang kompleks. Pemrosesan informasi dalam organisme hidup melibatkan pengolahan stimulus dan hubungannya dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Teori pemrosesan informasi alami digunakan untuk menjelaskan arsitektur kognisi, yaitu karakteristik dan batasan dari sistem kognitif manusia. Arsitektur kognisi manusia juga mengacu kepada struktur dan organisasi sistem kognitif yang terlibat dalam pemrosesan informasi, pengambilan keputusan, dan perilaku manusia secara umum. Arsitektur kognisi manusia mencakup berbagai komponen dan subsistem yang saling terhubung dan saling berinteraksi. Sweller, Ayres, dan Kalyuga menggunakan model arsitektur kognitif tiga kotak dari Atkinson dan Shiffrin (1968)—meskipun Sweller, Ayres, dan Kalyuga hanya berfokus kepada dua arsitektur kognitif Atkinson dan Shiffrin: working memory dan long-term memory. Pertama adalah working memory yang memiliki dua karakteristik menonjol dan sangat penting untuk membuat desain pembelajaran efektif. Karakteristik pertama dari working memory saat berurusan dengan informasi baru adalah bahwa kapasitasnya sangat terbatas. Keterbatasan kapasitas working memory mungkin merupakan hasil dari evolusi biologi yang memprioritaskan sumber daya untuk fungsi-fungsi penting seperti kelangsungan hidup dan reproduksi.
Organisme dengan kemampuan pemrosesan informasi yang lebih baik cenderung memiliki keunggulan selektif dalam bertahan hidup dan berkembang biak.
CLT mempertimbangkan kapasitas dan durasi dari working memory manusia dalam memproses informasi baru dan informasi lama (yang sudah dikenal) yang tersimpan dalam long-term memory. Secara umum, working memory memiliki kapasitas dan durasi yang terbatas dalam memproses informasi, sementara long-term memory memiliki kapasitas dan durasi yang tak terbatas dalam menyimpan pengetahuan. Hal yang menarik adalah, sekali informasi sudah disimpan dalam long-term memory, informasi ini dapat ditransfer kembali ke working memory dan keterbatasan tersebut menghilang. Oleh karena itu, penting untuk merancang instruksi atau tugas pembelajaran—yang mayoritas merupakan jenis pengetahuan sekunder—dengan mempertimbangkan kapasitas dan durasi working memory manusia. Kemudian, strategi untuk memanfaatkan long-term memory sebagai penopang informasi yang lebih tahan lama juga harus dioptimalkan.
Informasi baru dapat disimpan dalam working memory. Miller (1956) menyatakan bahwa working memory hanya dapat menyimpan tujuh informasi baru. Dalam menyimpulkan hasil penelitiannya, Miller tidak melakukan eksperimen secara langsung, tetapi ia mengumpulkan dan menelaah berbagai penelitian dan eksperimen sebelumnya yang melibatkan tugas-tugas memori, seperti mengingat daftar angka atau kata-kata. Dari analisis ini, Miller mengamati bahwa ada batasan dalam jumlah unit informasi yang dapat diingat dengan akurasi tinggi pada satu waktu. Kemudian, ia mengusulkan angka “tujuh plus atau minus dua” sebagai estimasi rata-rata kapasitas working memory manusia. Angka tujuh di sini menunjukkan jumlah unit informasi (angka, kata, atau item lain dalam tugas memori) yang dapat diingat secara simultan. Sebagai contoh, seseorang mungkin mampu mengingat urutan tujuh angka dengan akurasi tinggi. Sementara, “plus atau minus dua” mengindikasikan variasi individual dalam kapasitas working memory. Artinya, ada individu yang mungkin memiliki kemampuan untuk mengingat lebih dari tujuh unit informasi (misalnya, sembilan atau sepuluh), sementara individu lain mungkin memiliki batasan yang lebih rendah (misalnya, lima atau enam).
Selain itu, Peterson dan Peterson (1959) menyatakan bahwa informasi baru hanya dapat disimpan (retensi) oleh working memory dengan batasan waktu. Dalam penelitian tersebut, Peterson dan Peterson bereksperimen dengan paradigma trigram—urutan tiga elemen bahasa. Partisipan diminta untuk mengingat trigram yang terdiri dari tiga konsonan acak, seperti “YRG” atau “XJT”. Setelah itu, mereka diberikan tugas pengalihan, seperti menghitung mundur dengan tiga angka untuk mencegah pengulangan trigram dalam ingatan jangka pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama partisipan melakukan tugas pengalihan, semakin besar kemungkinan mereka tidak mengingat trigram dengan benar.
CLT berupaya untuk mengurangi beban kognitif dengan cara mengoptimalkan penggunaan long-term memory. Long-term memory adalah komponen sistem memori manusia yang bertanggung jawab untuk menyimpan berbagai jenis informasi, seperti pengetahuan, pengalaman, peristiwa masa lalu, dan keterampilan yang telah dipelajari. Ketika seseorang belajar atau menghadapi tugas kognitif yang kompleks, mengandalkan long-term memory dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dapat membantu mengurangi beban working memory.
Beban Kognitif
Terdapat dua jenis beban kognitif, yaitu beban kognitif intrinsik dan beban kognitif ekstrinsik. Beban kognitif intrinsik berkaitan dengan kompleksitas dan kesulitan intrinsik dari materi yang dipelajari. Semakin kompleks materi atau tugas, semakin tinggi beban kognitif intrinsik yang dihadapi. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban kognitif ini. Namun, kita dapat mengurangi beban kognitif ekstrinsik yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar materi atau tugas yang sedang diproses. Hal ini termasuk presentasi visual yang kompleks, gangguan eksternal, atau penggunaan media yang membutuhkan lebih banyak sumber daya kognitif, seperti presentasi powerpoint yang menggunakan animasi atau grafik yang kompleks. Beban kognitif ekstrinsik dapat mengganggu pemrosesan informasi yang relevan dan meningkatkan beban kognitif secara keseluruhan.
Sweller, Ayres, dan Kalyuga menawarkan beberapa upaya untuk mengurangi beban kognitif. Salah satunya adalah mengurangi the split-attention effect. The split-attention effect adalah fenomena ketika siswa kesulitan untuk membagi perhatian antara dua atau lebih sumber informasi yang terpisah. Efek ini terjadi ketika siswa dihadapkan dengan materi belajar yang memerlukan pemrosesan informasi dari dua sumber yang berbeda secara simultan, tetapi informasi tersebut tidak disajikan secara terintegrasi atau terstruktur. Gambar di atas memperlihatkan dua format dari penyelidikan Lee dan Kalyuga (2011) terhadap keefektifan penyajian Pīnyīn ketika mempelajari bahasa Mandarin sebagai bahasa kedua dari perspektif CLT. Format tata letak horizontal—yang umum digunakan untuk menyajikan Pīnyīn—dapat menambah beban kognitif karena perhatian pelajar terpecah karena pelajar mencari dan mencocokkan karakter Pīnyīn yang sesuai. Sementara itu, dalam format vertikal, Pīnyīn ditempatkan tepat di bawah karakter yang sesuai sehingga mengurangi potensi perhatian yang terpecah.
Penutup
Pada akhirnya, CLT dapat membantu pengajar merancang pembelajaran yang efektif dengan mempertimbangkan kapasitas working memory siswa dan mengurangi beban kognitif yang tidak diperlukan. Pengajar dapat mempertimbangkan hal-hal terkait perencanaan pembelajaran, seperti penyederhanaan tugas, pengorganisasian informasi dengan poin-poin penting, kerangka konseptual, atau pemberian petunjuk dan panduan pembelajaran, serta penggunaan multimedia untuk menyajikan informasi secara visual, auditif, dan interaktif. Pengajar juga dapat menggali variabel-variabel lain yang menyebabkan beban kognitif ekstrinsik dan cara menguranginya.
Referensi
Ausubel, D.P. (1968). Educational psychology: A cognitive view. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Atkinson, R. C., & Shiffrin, R. M. (1968). Human memory: A proposed system and its control processes. In J. T. Spence & K. W. Spence (Eds.), The psychology of learning and motivation (Vol. 2, pp. 89–195). Oxford: Academic.
Badan Pusat Statistika (2022). Statistik Pendidikan 2022. Diperoleh dari https://www.bps.go.id/publication/2022/11/25/a80bdf8c85bc28a4e6566661/statistik-pendidikan-2022.html
Campbell, D. T. (1960). Blind variation and selective retentions in creative thought as in other knowledge processes. Psychological Review, 67(6), 380–400. https://doi.org/10.1037/h0040373
Geary, D. C. (2007). Educating the evolved mind: Conceptual foundations for an evolutionary educational psychology. In J. S. Carlson & J. R. Levin (Eds.): Educating the evolved mind (pp. 1-99, Vol. 2, Psychological perspectives on contemporary educational issues). Greenwich: Information Age.
Lee, C. H., & Kalyuga, S. (2011). Effectiveness of on-screen pinyin in learning Chinese: An expertise reversal for multimedia redundancy effect. Computers in Human Behavior, 27(1), 11–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2010.05.005
Miller, G. A. (1956). The magical number seven, plus or minus two: Some limits on our capacity for processing information. Psychological Review, 63(2), 81–97. https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/h0043158
Novak, J. D., & Gowin. D. B. (1984). Learning how to learn. Cambridge: Cambridge University Press.
Peterson, L., & Peterson, M. J. (1959). Short-term retention of individual verbal items. Journal of Experimental Psychology, 58(3), 193-198. https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/h0049234
Sweller, J., Ayres, P., & Kalyuga, S. (2011). Cognitive load theory. New York: Springer.
Sweller, J. (2015). In academe, what is learned and how is it learned?. Current Directions in Psychological Science, 24(3), 190-194. https://doi.org/10.1177/0963721415569570
Sweller, J. (2016). Working memory, long-term memory, and instructional design. Journal of Applied Research in Memory and Cognition, 5(4), 360-367. https://doi.org/10.1016/j.jarmac.2015.12.002