Budaya massa adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat konsumen, sebagai bentukan baru dari kapitalisme atau sering disebut sebagai bentuk modern dari kapitalisme itu sendiri. Dalam masyarakat konsumen, budaya dan kesenian bersatu dengan proses produksi untuk menjadi komoditas serta iklan, yang dapat membentuk perilaku masyarakat agar berfokus pada pola hidup konsumsi. Artinya, perilaku konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan yang riil dibutuhkan konsumen, namun juga dibentuk oleh industri yang menghasilkan komoditas-komoditas tersebut.
Industri tidak hanya menghasilkan komoditas semata berupa barang yang dipakai langsung oleh konsumen, tetapi juga role-model, serta gambaran tentang kebutuhan yang harus dicukupi sehari-hari, termasuk cara konsumen menkonsumsi komoditas-komoditas tersebut. Pada tahap ini, industri menghasilkan sebuah budaya yang selanjutnya akan di-mediasi-kan oleh massa sebagai gambaran utama, serta tolak ukur dalam menjalankan hidup keseharian. Budaya ini seringkali menjadi instrumen manipulasi dengan menciptakan kesadaran palsu atas kebutuhan demi keuntungan yang akan diperolehnya.
Ketika peran media dalam bentuk iklan semakin masif di-mediasi-kan oleh masyarakat konsumen, Tantangan terbesar ialah bagaimana membedakan antara kebutuhan riil dengan kebutuhan palsu? Sedangkan kita berhadapan dengan pola-pola baru masyarakat konsumen, yang sekiranya tidak pernah dihadapi oleh teoritisi-teoritisi kritis dan varian teori Neo-Marxian pada awal berkembangnya tahun 1950- 970an. Di semua domain, teknologi mendapatkan peran yang paling mendasar serta organisasi teknologi memainkan fungsi konstitutif dalam menghasilkan konfigurasi baru ekonomi, politik masyarakat dan budaya.[1]
Pandemi Covid-19, Kebutuhan, dan Konsumsi
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup paling mendasar dari kehidupan masyarakat. Mulai dari pola berinteraksi antar sesama anggota, pola kerja dan perilaku konsumsi. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, telah terjadi perubahan budaya massa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat konsumen. Kita dapat melihat realita yang dimungkinkannya sebuah kegiatan dilaksanakan tanpa kehadiran individu secara fisik di sebuah komunitas kerja. Melalui penyedia layanan video conference atau pengunaan perangkat lunak masal yang memberikan informasi penjualan atau pembelian barang dari jarak jauh. Namun, bagi pekerja yang secara langsung menggunakan tubuhnya, terpaksa harus hadir dalam sebuah komunitas kerja, seringkali menghadapi resiko terpapar virus di jalan atau di tempat kerja. Di satu sisi, industri-industri penghasil komoditas yang kemungkinan produksinya menurun karena sepinya permintaan kemudian memberhentikan para pekerjanya demi efisiensi anggaran.
Secara eksplisit kita dapat melihat bahwa konfigurasi ini adalah konfigurasi kapitalisme seperti yang sudah-sudah. Namun, secara implisit konfigurasi kapitalisme ini muncul dalam bentuk yang berbeda. Apabila teori kritis pada masanya melihat konfigurasi kapitalisme pada bagaimana mediasi masyarakat konsumen terhadap komoditas yang dihasilkan dari proses produksi yang tak terbatas gerak fisik. Kini konfigurasi kapitalisme berhadapan dengan bagaimana mediasi masyarakat konsumen terhadap komoditas yang dihasilkan dari proses produksi yang terbatas gerak fisik karena kebijakan-kebijakan isolasi, lockdown atau pembatasan interaksi fisik secara langsung. Perubahan mekanisme proses produksi, sepertinya tidak semata-mata hanya akan berpengaruh secara kuantitas komoditas yang dihasilkan. Pelaku industri juga akan mengubah role-model serta gambaran tentang kebutuhan yang akan ditawarkan kepada masyarakat konsumen. Dengan instrumen yang sama, kapital berpotensi membentuk kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan palsu yang baru, demi keuntungan di masa-masa sulit ini.
Bersiap menghadapi bentuk dominasi baru
Agar konfigurasi berjalan sebagaimana yang diharapkan, kontrol harus tetap ada, sebagaimana sering kita temui. Hanya saja, bentuk kontrol seperti apakah yang akan lahir di tengah masyarakat di masa pandemi ini? Bertolak dari kajian di atas, bentuk kontrol yang cukup mungkin akan lahir adalah kontrol yang memanfaatkan media informasi daring dan pemenuhan kebutuhan melaluinya. Kontrol berupa kebijakan terhadap penyedia layanan, akses, dan informasi—bahkan yang bersifat pribadi dengan dalih kemananan akan menghasilkan bentuk dominasi baru. Kontrol yang dapat diambil oleh peran negara, lembaga-lembaga keuangan, dan sebagainya. Kiranya hal tersebut perlu diwaspadai dan dijadikan objek analisis lebih lanjut, khususnya oleh teoritisi marxis maupun neo-marxis, untuk kemudian mampu memecahkan persoalan sosial-ekonomi yang mungkin akan timbul. Terutama dampak-dampak yang akan dihasilkan oleh bentuk dominasi baru ini terhadap kelangsungan hidup pekerja dengan berbagai latar belakang dan keterampilannya, yang seringkali menjadi kelompok yang paling dirugikan secara ekonomi.
Catatan akhir:
[1] Lihat Kellner, Douglas.1989. Critical Theory, Marxism and Modernity dalam Technology, Capitalism and Domination,hal.181
Referensi
Kellner, Douglas.1989. Critical Theory, Marxism and Modernity. Oxford. Polity Press