Sungguh tidak menyenangkan memang bila lahir dan tumbuh besar sebagai seorang miskin. Jangankan untuk makan sehari-hari, menaruh asa pada masa depan saja rasanya sulit. Adalah suatu kekeliruan bila kita masih memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam aspek ekonomi saja. Kemiskinan harus dipahami lebih dari itu.
Kemiskinan memang merupakan ketidakmampuan seseorang ataupun kelompok dalam memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Ketidakmampuan seseorang atau kelompok tertentu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya inilah yang merupakan masalah yang paling mendasar.
Kemiskinan harus dimengerti sebagai fenomena yang kompleks dan multidimensional. Artinya, ada banyak faktor yang saling lempar pengaruh satu sama lain hingga akhirnya terbentuklah apa yang kita sebut kemiskinan. Selain faktor struktur masyarakat kelas, langgengnya kapitalisme hingga ketidakmampuan pemerintah, faktor penting yang berperan besar dalam keberlangsungan kemiskinan adalah alam pikiran orang-orang miskin itu sendiri.
“Culture of Poverty” atau “Budaya Kemiskinan” merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis.
Dalam kajian ini, penulis mencoba untuk mengkaji budaya kemiskinan dalam masyarakat pinggiran kota, atau yang biasa disebut sebagai “slum”. Daerah “slum” merupakan daerah kumuh dan padat penduduk yang berada di pinggir kota-kota besar. Mudah sekali kita temui pengemis, pemulung, hingga figur-figur kriminal seperti pencopet, dan sebagainya.
Adalah teramat sulit bagi mereka-mereka yang terlanjur lahir dan tumbuh besar di lingkungan slum untuk beranjak dari posisinya sebagai orang miskin. Kemiskinan merupakan belenggu yang dengan rumitnya mengikat individu maupun kelompok dalam berbagai aspek kehidupannya. Tidak hanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya, kemampuan untuk berpikir secara rasional, hingga sikap mental yang baik juga seakan direnggut oleh kemiskinan.
Budaya Kemiskinan
Oscar Lewis, seorang antropolog memperkenalkan istilah “Culture of Poverty”. “Culture of Poverty” atau “Budaya Kemiskinan” merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya dalam mengatasi keputusasaan serta nihil harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa mustahil dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.
Seseorang yang terlahir dari keluarga yang miskin tentu akan diwariskan ‘kemiskinan’ pula dari keluarganya. Sesuatu yang diwariskan oleh keluarga miskin adalah budaya kemiskinan, bukan hanya sekedar beban ekonomi belaka. Ada seperangkat cara berpikir dan segenap bangunan mental yang akan dibawa orang tersebut hingga matinya. Inilah yang menjadi alasan utama dari ketidakmerdekaan orang-orang tidak mampu. Mereka tidak hanya dipaksa oleh keadaan untuk menjadi miskin, namun secara tak sadar mereka jugalah yang sedang ‘mempertahankan’ kemiskinannya sendiri.
Masyarakat miskin pinggiran kota manapun selalu menunjukkan ciri yang sama. Ciri-ciri ini didapat dari hasil pengamatan Lewis dalam daerah pinggiran ibukota Meksiko. Berikut ciri masyarakat miskin pinggiran kota menurutnya:
Kurangnya efektivitas dan integrasi masyarakat dalam lembaga-lembaga utama. Mereka berpenghasilan rendah namun mengakui nilai-nilai masyarakat kelas menengah melekat pada dirinya. Mereka sangat sensitif terhadap perbedaan status, namun tidak memiliki kesadaran kelas.
Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok yang tak layak huni, penuh sesak, bergerombol dan rendahnya tingkat organisasi dalam keluarga inti.
Di tingkat keluarga, anak-anak mengalami masa kanak-kanak yang singkat, kurang pengasuhan orang tua, cepat dewasa, tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anak, cenderung matrilineal dan otoritarianis, kurangnya hak-hak pribadi, serta terusungnya solidaritas semu.
Di tingkat individu, ada perasaan tak berguna yang kuat, tak berdaya, ketergantungan yang kuat, serta perasaan rendah diri dan keputusasaan yang tinggi (fatalisme).
Seseorang bisa menjadi miskin bukan hanya karena lahir dan tumbuh besar dalam kehidupan yang serba tak mampu saja. Kemiskinan sebagai budaya merupakan suatu bentuk reaksi dari kapitalisme serta struktur masyarakat kelas yang berlaku dalam masyarakat. Berikut adalah uraian dari teori-teori budaya kemiskinan:
Kemiskinan sebagai bentuk penolakan terhadap kapitalisme yang selama ini dianggap mengeksploitasi kehidupan kaum marginal.
Kemiskinan sebagai proses adaptasi dari sistem ekonomi tradisional kedalam sistem ekonomi kapitalisme.
Kemiskinan sebagai sub-budaya sendiri; kemiskinan yang terjadi karena kemalasan, kurangnya tekad berjuang, mental ketergantungan, rendah diri, fatalisme dsb.
Masyarakat miskin memiliki ciri serta karakteristik tersendiri dibanding dengan masyarakat kebanyakan. Kemiskinan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor luar saja, seperti eksploitasi kapitalisme dan ketidakmampuan serta ketiadaan tekad pemertintah dalam mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat. Lebih dari itu, masyarakat miskin mempunyai pola hidup, orientasi, jalan berpikir serta cara pandangnya sendiri, yang pada akhirnya justru melegitimasi kemiskinan dalam diri mereka sendiri. Berikut adalah karakteristik masyarakat miskin:
Rendahnya semangat dan dorongan untuk mencapai suatu kemajuan.
Lemahnya daya juang dalam mengubah nasib.
Rendahnya motivasi kerja.
Sikap pasrah.
Respon yang pasif terhadap kesulitan ekonomi.
Ketiadaan aspirasi dalam mengubah kehidupan.
Cenderung mencari kepuasaan sesaat dan berorientasi pada masa sekarang.
Setelah melihat berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan bukan hanya sekedar rantai pengikat, melainkan lingkaran setan yang didalamnya tidak dapat kita tentukan darimana kemiskinan itu sendiri berawal.
Misalnya saja ketika seseorang terlahir sebagai seorang miskin, maka ia harus menerima kenyataan bahwa kebutuhan sehari-harinya tak mampu diakomodir oleh keluarganya. Akhirnya, semenjak kecil seseorang yang terlahir miskin harus membanting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bekerja fisik sebelum usia matang hingga tidak terjaganya asupan makanan yang sehat, serta bertempat tinggal di lingkungan yang kumuh membuat masa pertumbuhan menjadi tidak optimal. Kemampuan fisik yang lemah akan menurunkan produktivitas kerja, sehingga membuat kesempatan kerja kian tertutup. Sementara kehilangan masa kanak-kanak serta akses pendidikan juga memiliki implikasi yang kurang lebih sama. Pola ini bisa saja dimulai dari titik awal yang berbeda. Yang jelas pola ini akan terus berputar-putar di tempat, menunggu ada yang menekan tombol berhenti.
Bagaimana bisa tercipta suatu masyarakat miskin yang kemudian terus-terusan hidup miskin tanpa ada yang menghentikan? Apa yang salah dengan mereka sehingga mereka mau tak mau terjebak dalam posisi yang begitu rumit?
Bertumpu pada pola pikir yang menginginkan segala sesuatu dengan serba instan tadi menjadikan mereka memilih untuk merebahkan segala beban yang mereka miliki kepada sesuatu (sikap ketergantungan dan mental meminta-minta).
Masyarakat pinggiran kota sendiri memang secara literal ‘terpinggirkan’. Sentralisasi ekonomi dalam berbagai pembangunan kota pada negara-negara berkembang menciptakan suatu gelombang urbanisasi yang masif. Sementara kesempatan kerja terbatas, mereka-mereka yang sudah terlanjur terjebak di dalam lautan metropolitan terpaksa menjalani hidupnya dalam kota dengan segala keterbatasan. Mereka-mereka yang tak mampu mengambil posisi dalam konstelasi perekonomian kota pada akhirnya harus meminggirkan diri dari hingar-bingar perkotaan.
Slum dan Ketidakmampuan Berpikir Jangka Panjang
Kawasan slum merupakan masyarakat perkotaan semu, dimana mereka mengakui bahwa nilai-nilai masyarakat perkotaan melekat pada dirinya, sementara mereka tidak sadar akan posisinya dalam struktur masyarakat kelas. Mereka menginginkan keadilan namun mereka buta hukum. Mereka ingin didengar namun mereka tak mengerti konsep demokrasi.
Secara empiris mereka melihat sendiri mobil-mobil berlalu-lalang dalam jalanan protokol, orang-orang berpakaian rapih keluar masuk gedung-gedung tinggi, hingga berbagai tayangan dalam televisi yang jelas-jelas sangat menggambarkan kehidupan yang glamor dan serba berlebih. Namun, secara rasional mereka tidak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat kelas menengah atas mampu mencapai kemapanan tertentu dengan kerja keras dan pendidikan yang tinggi. Masyarakat kelas menengah atas menanamkan sikap disiplin serta orientasi jangka panjang. Hal ini tak dapat dipahami oleh orang-orang tak mampu, sebab apa yang mereka lihat merupakan ‘hasil’ dari ‘kebudayaan mapan’. Bila kebudayaan mapan diartikan sebagai kata kerja, maka yang kita dapati darinya adalah “suatu bentuk reaksi terhadap struktur perekonomian yang ditanggapi secara tepat, yakni dengan disiplin, kerja keras, dan hal-hal lainnya”. Proses inilah yang tak mampu dilihat oleh masyarakat miskin pinggiran kota.
Sesuatu yang diwariskan oleh keluarga miskin adalah budaya kemiskinan, bukan hanya sekedar beban ekonomi belaka. Ada seperangkat cara berpikir dan segenap bangunan mental yang akan dibawa orang tersebut hingga matinya.
Kalaupun mereka pada akhirnya sampai kepada konklusi bahwa kemampuan ekonomi yang kuat harus dicapai dengan proses tertentu, mereka akan tetap pada lingkaran setannya; mereka merasa tidak mampu, tidak percaya diri, hingga akhirnya putus asa dan menerima begitu saja kejamnya keadaan. Kesempatan kerja dan akses pendidikan yang harusnya mampu menjadi pemutus mata rantai kemiskinan juga tak mampu mereka jangkau. Hal ini menghasilkan motivasi kerja yang rendah serta kebuntuan ide dan aspirasi untuk mendobrak tembok kemiskinan yang mengurung mereka selama ini.
Terbiasa dengan situasi yang serba kekurangan membuat mereka terbiasa untuk menggantungkan diri pada sesuatu, seperti bantuan pemertintah dan berbagai bentuk sumbangan. Sayangnya, kestabilan ekonomi sesaat ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat miskin. Kemiskinan yang selama ini mengekang mereka justru dijadikan alasan untuk membalaskan dendam nafsu naluriah yang selama ini terpenjara. Uang dan sembako habis dalam hitungan yang terlampau cepat karena orientasi jangka pendek mereka. Mereka tahu persis cara menghabiskan harta benda, namun tak tahu cara untuk memperolehnya kembali.
Bertumpu pada pola pikir yang menginginkan segala sesuatu dengan serba instan tadi menjadikan mereka memilih untuk merebahkan segala beban yang mereka miliki kepada sesuatu (sikap ketergantungan dan mental meminta-minta), atau yang lebih parah lagi, mencari jalan pintas berupa seperangkat aksi kriminal. Maka tidak heran tingkat kriminalitas di kota-kota besar dalam negara berkembang cenderung besar pula.
“Culture of Poverty” mencerminkan suatu upaya dalam mengatasi keputusasaan serta nihil harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa mustahil dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.
Menarik bila kita melihat bagaimana peran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Subsidi sana-sini berharap harga makin terjangkau. Para investor asing dipermudah dalam melanggengkan bisnisnya dengan bayangan bahwa perusahaan-perusahaan itu mampu memberikan kesempatan kerja yang selama ini tak mampu diakomodir negara. Program student loan digadang-gadang mampu memberikan akses pendidikan kepada mereka yang tak mampu.
Penulis berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan pemerintah ini cukup lucu dan naif, sebab pemahaman mengenai profil kemiskinan tak mampu dicapai dengan baik. Harga terjangkau akan menjadi blunder tersendiri mengingat masyarakat miskin mungkin akhirnya mampu membeli sembako di pasaran, namun tak mampu untuk mengatur serta mempertahankannya dengan baik dan benar. Kesempatan kerja hanya terbuka bagi mereka yang berpendidikan dan siap kerja, sesuatu yang hampir tidak dapat dipenuhi orang-orang tak mampu. Program student loan hanya memberatkan masa depan partisipannya, karena selepas masa pendidikannya, mereka-mereka yang telah menempuh pendidikan formal selama beberapa tahun ini dihadapakan pada beban yang luar biasa berat; membangun kembali perekonomian keluarga yang dari awal hancur sambil melunasi hutang pendidikan yang bunganya tidak kecil.
Orang-orang miskin menjadi miskin karena karena ketidaksiapannya menghadapi realita, bahwa kapitalisme tak bisa ditolak begitu saja. Mereka tersingkirkan dari panggung kenyataan, lalu merana hingga matinya. Keadaan memaksa mereka untuk mempertanyakan eksistensinya setiap bangun pagi di bawah jembatan. Mereka sampai pada kesimpulan bahwasanya kemiskinan terlanjur ambil bagian sedari lahir hingga di hari, bulan, atau tahun-tahun kedepan. Entah mana yang duluan, menjadi miskin karena takdir tuhan, apa miskin sejak dalam pikiran. Yang tak perlu diulang-ulang, bahwa mereka butuh uluran tangan.
Daftar Pustaka:
Lewis, Oscar. 1998. Kisah Lima Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural, Suatu Bungarampai. Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu sosial.