Sejalan dengan perkembangan zaman, berkembang juga corak pemikiran manusia. Secara historis kita dengan mudah melacak bagaimana alur pemikiran manusia dalam meninjau sebuah peristiwa atau fenomena. Seperti bagaimana pemikiran manusia pra-aksara tentang cara bertahan hidup hingga pemikiran manusia modern sekarang ini, bermula primitif hingga sistematis dan struktural modern ini. Termasuk juga pemikiran manusia terhadap sebuah fenomena di luar dirinya, ada kuasa yang lebih kuat dan mutlak, hingga terciptalah Mitologi.
Tulisan ini mencoba untuk mengulas kembali apa mitologi itu, terlebih mengapa manusia menciptakan mitologi tersebut, lalu apa yang didapat melaui sebuah mitologi. Secara etimologis, mitologi berasal dari bahasa Yunani yaitu mythos yang berarti sebuah cerita yang menceritakan sebuah kisah masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya, dan diyakini kebenarannya oleh penyampai cerita dan penganutnya.[1] Lalu bertemu dengan tambahan logos dari bahasa Yunani yang berarti pengetahuan yang rasional. Jadi arti Mitologi dapat dikatakan sebagai upaya untuk merasionalkan cerita-cerita yang diyakini oleh masyarakat.
Layaknya sebuah benang jahit yang digunakan untuk menjahit suatu kain, seperti itulah sebuah kisah-kisah mitos masih lekat pada rutinitas manusia.
Sungguh menyedihkan bagi saya, ketika sikap manusia dengan enteng meniadakan hal yang tidak nampak dan tidak rasional dan menerima hal yang terbukti secara material. Namun tidak semua yang disampaikan mitologi hanyalah dongeng omong kosong. Ada sebuah nilai di dalamnya yang secara tidak langsung juga merepresentasikan kehidupan manusia entah pada masa lalu, atau malah untuk sikap-sikap manusia masa kini.
Salah satu bentuk mitos yang masih terngiang-ngiang dalam akal saya ketika orang tua saya melarang saya untuk keluar dan bermain bersama teman-teman ketika hari menjelang malam. Orang tua saya mengatakan jika anak kecil pergi bermain ketika maghrib nanti diculik oleh Wewe Gombel (salah satu makhluk mitologi Jawa). Tentu ketika masih kecil saya tidak perlu pikir panjang lalu memutuskan saja untuk pulang. Namun dewasa ini, saya mulai memikirkan kembali mitos-mitos yang disampaikan oleh orang tua saya. Saya pun berangkat pada pertimbangan jika makhluk Wewe Gombel ini hanya makhluk imajinasi belaka tidak benar-benar ada, sehingga saya menegasikan kisah mitos tersebut. Inilah kesalahan pada persepsi saya ketika buru-buru menegasikan kisah Wewe Gombel yang sebenarnya terkandung sebuah nilai yang penting pada kisah tersebut (agar tidak main di malam hari, tersesat dan tidak bisa kembali pulang ke rumah).
Tetapi pada zaman ini sungguh disayangkan, ketika pola pemikiran manusia cenderung positivistik dan berusaha menegasikan hal-hal yang tidak rasional. Di sini mitologi mulai dilupakan karena terlalu kuno dan tidak masuk akal.
Pada zaman sekarang ini, manusia akan dengan mudah untuk meniadakan mitologi dengan alasan ketidakrasionalan sebuah kisah mitologi. Manusia sekarang ini lebih memercayai hal yang nampak dan kebenarannya konkret. Kesan hidup yang terlalu positivistik sungguh membosankan dan tidak membuat kehidupan ini dipenuhi pertanyaan mengapa sesuatu terjadi ketika segala sesuatunya sudah terjawab secara jelas dan terbukti.
Pada awalnya mitologi hanya sebuah cerita yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut sampai ada seorang yang tertarik pada kisah mitologi dan mencoba menggambarkan ulang dalam bentuk manusia (personifikasi) melalui sarana sajak syair atau sebuah tulisan. Seperti yang tejadi di zaman Yunani, seorang bernama Homeros (1000 SM) menulis kisah mitologi Yunani berjudul Iliad dan Oddysey. Iliad dan Oddysey merupakan kesusastran Yunani yang paling tua yang ditulis dengan bahasa-bahasa yang indah, juga dapat dikatakan sebuah syair lama. Iliad dan Oddysey diperkirakan merupakan karya sastra Yunani Kuno yang menerangkan tentang kehidupan dewa-dewa Olimpus yang selanjutnya menjadi keyakinan masyarakat Yunani.
Menurut Edith Hamilton dalam bukunya yang berjudul Mitologi Yunani mengatakan jika kita dapat melacak jejak peradaban manusia sejak terpisah dan menyatukan diri dengan alam, dan kisah-kisah mitos selalu mampu mengajak kita penikmatnya menikmati pesona masa lampau.[2] Edith Hamilton juga menyampaikan jikalau sebuah kisah mitologi dapat diajadikan sebagai rangsangan perubahan dari masyarakat purba menjadi masyarakat yang lebih maju. Seperti yang terlihat pada masyarakat Yunani, di mana kehidupan masyarakat Yunani dahulu begitu biadab dan brutal. Namun tidak ingin terus berada pada keterpurukan, masyarakat Yunani mampu mengangkat peradaban dari keterpurukan tersebut. Kisah kebangkitan Yunani termuat pada tiap kisah mitologinya dan kisah mitologi tersebut juga menjadi nilai kebudayaan Yunani yang terkenal hingga sekarang.
Mitos & Nilai
Erat kaitannya antara sebuah kisah mitologi dengan sebuah nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang dimaksud adalah apa yang dapat diambil oleh pembaca kisah mitologi dan mengetahui secara jelas maksud dari kisah mitologi tersebut. Maka definisi nilai sendiri sama halnya jika dikaitkan pada segala aspek kehidupan manusia, misalnya kita dapat mengambil sebuah nilai dari kebudayaan, entah berupa pesan moral ataupun material nyata (peninggalan suatu kebudayaan), atau sebuah nilai dari ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai pengetahuan wawasan manusia. Maka, alasan fundamental saya menulis ini yakni ingin menyampaikan jika sebuah mitologi yang gambaran fisiknya masih diragukan kebenarannya juga memuat nilai bagi penikmatnya, tentu nilai tersebut dalam segala aspek kehidupan.
Jika kita berpikir bagaimana sebuah nilai dapat terkandung pada mitologi, apakah nilai lebih dulu ada lalu mitologi menyusul, atau sebaliknya mitologi terlebih dahulu lalu nilai menyusul, atau keduanya hadir secara bersamaan? Berangkat dari pertanyaan tersebut, maka akan ada suatu substansi yang tidak boleh dilupakan yakni kesadaran. Kesadaran lah yang mengatur kondisi nilai bahkan kapan nilai itu dapat diterima oleh penikmat. Pada mitos Wewe Gombel yang diceritakan orang tua saya kepada saya sudah menjadi konsep bagaimana nilai termuat pada sebuah mitos. Ketika penyampai adalah orang tua saya dan secara sadar menyampaikan kepada saya yang belum mampu berpikir secara radikal sebuah mitos, maka orang tua saya terlebih dahulu mendapat nilai pada mitos tersebut dengan maksud dan tujuan yang jelas. Sebaliknya pada saya sebagai penerima dan belum mampu berpikir (kesadaran) akan menerima mitologi sementah-mentahnya hingga saya mulai mampu berpikir dan mendapat nilai pada kisah mitologi tersebut.
Nilai yang terkandung pada kisah mitologi tidak bersifat mutlak, dengan artian tidak memiliki kebenaran universal. Nilai sebuah kisah mitologi bersifat relatif yang tentu saja berdasar persepsi masing-masing. Kisah mitologi hanyalah teks, kita mendapat nilai ketika kita mengkolaborasikannya dengan kondisi sekarang. Di sini mitologi mempunyai nilai sepanjang masa sesuai kondisi sekarang. Hal ini juga yang menyebabkan distingsi antara mitos dengan sains. Sains memiliki kebenaran yang dapat diuji dan bersifat ilmiah dan nilai yang termuat mampu disepakati masyarakat, berbeda dengan mitos yang hampir berkebalikan dengan sains, kebenaran mitos bermula ketika ada landasan keyakinan, dan keyakinan ini juga yang membedakan mana mitos mana bukan. Nilai relatif pada mitos juga berhasil menelurkan pertanyaan, apakah mitos sesungguhnya rasional? Nilai yang terkandunglah yang membuat mitos rasional. Tentu kita tidak dapat membuktikan apa benar-benar ada dewa langit yang menunggangi elang (Zeus) atau dewa laut yang berkuasa atas segala lautan (Neptunus). Nilai pada mitologi mempunyai harapan bagaimana manusia yang baik seharusnya, ketika kita mengetahui bagaimana manusia yang baik seharusnya dapat dikatakan kita telah menarik sebuah nilai. Karena nilai paling penting pada sebuah mitologi adalah gambaran kehidupan manusia pada kenyataan.
Tulisan ini tidak hanya membahas mitologi Barat yang dominan oleh kisah-kisah yang berasal dari negeri dewa-dewa yaitu Yunani, tapi juga mencoba mengulas kisah mitologi dari Timur yang juga sarat nilai bahkan juga berdampak pada pola kebiasaan masyarakat daerah Timur. Secara sadar kita mengetahui jika pada alam filsafat, corak pemikiran masyarakat Barat dan Timur begitu berbeda, Barat yang bersifat rasional dan sistematis sedang di Timur bergitu intuitif dan abstrak. Namun jika corak pemikiran ditarik garis lurus secara historis apakah juga memiliki keunikan yang sama dengan mitologi yang ada pada daerah tersebut, corak pemikiran yang dimaksud adalah corak pemikiran Barat dan Timur. Maka dari itu sebuah mitologi benar-benar tidak dapat di negasikan begitu saja karena kisah-kisah mitos ini merupakan jalan awal bagi pemikiran manusia, berawal dari mempertanyakan segala sesuatu hingga menyadari kuasa besar di luar lingkup manusia hingga mengadakan substansi lain seperti dewa-dewa atau makhluk-makhluk yang tidak masuk akal. Namun perihal kisah tersebut kebenarannya masih begitu abstrak namun ada sebuah nilai, dan nilai inilah yang membuat manusia melanjutkan pemikirannya hingga begitu sempurna seperti sekarang ini.
Mitologi Timur
Wilayah Timur memiliki keunikan tersendiri pada kisah mitologi yang tersampaikan dari mulut ke mulut hingga dalam rupa sastra. Salah satu kisah mitologi terbaik yang pernah ada di wilayah Timur dan sungguh berdampak besar juga pada corak pemikirannya ialah sebuah epos Mahabharata. Berbeda dengan penyampaian kisah mitologi Yunani yang berupa sebuah syair atau puisi, epos Mahabharata lebih berupa cerita berbingkai. Menikmati kisah epos Mahabharata begitu mengasyikan karena jalan cerita yang meski tidak selalu runtut namun masih dapat dinikmati. Menurut umat Hindhu dan beberapa orang yang meyakini kebenaran epos Mahabharata, kisah ini tidak dapat digolongkan pada sebuah kisah mitologi yang kebenarannya masih diragukan, kembali ada sebuah penekanan jika sebuah kisah tidak dapat dikatakan mitos ketika ada landasan keyakinan disana seperti keyakinan orang-orang yang meyakini kebenaran epos Mahabharata dan mengategorikan sebagai kisah sejarah. Namun untuk ‘yang tidak meyakini’ akan menjadi keliru ketika mereka buru-buru menegasi epos Mahabharata karena sesungguhnya hal yang patut digali adalah sebuah nilai bukan kebenarannya.
Epos Mahabharata adalah kisah yang diciptakan oleh Rsi Wiyasa dan disampaikan kepada Ganesha (putra dewa Syiwa yang berwujud manusia berkepala gajah) untuk dituliskan agar dapat dipelajari dan berguna untuk seluruh manusia. Mahabharata merupakan epos terkenal umat Hindhu yang menceritakan kisah pertempuran Pandawa melawan Kurawa (perang saudara) dalam memperebutkan sebuah kerajaan yang bernama Hastinapura. Pandawa terdiri dari 5 orang yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula Sadewa. Sedangkan Kurawa adalah kakak beradik yang berjumlah 100 dan anak pertamanya bernama Duryudana. Perang yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa disebut Perang Barathayuddha.
Banyak sekali kisah menarik pada epos Mahabharata, namun ada sebuah kisah yang mampu membuat saya kagum atas nilai yang tersampaikan (Baca: Kitab Epos Mahabharata). Yaitu sebuah kisah ketika Drupadi, istri Pandawa, diperlakukan kasar dan hendak ditelanjangi oleh Kurawa. Awal kejadian itu ketika Pandawa diundang oleh Kurawa bermain dadu. Permainan dadu adalah permainan terhormat kerajaan jadi ketika salah seorang tidak memenuhi undangan maka bisa dikatakan sebagai pelecehan. Yudhistira yang merupakan kakak dari Pandawa menyanggupi untuk bermain dadu (pada epos Yudhistira juga bernafsu untuk bermain dadu). Namun, tanpa dugaan Yudhistira bahwa yang menjadi lawannya pada permainan dadu bukanlah Duryudana sebagai kakak Kurawa melain Sengkuni yang merupakan tactician licik Kurawa yang juga terkenal atas kemampuan bermain dadunya. Perjanjian permainan siapa yang kalah harus menyerahkan segala yang ia punya. Nasib buruk jatuh pada Yudhistira dimana ia kalah bermain yang juga sesungguhnya permainan ini juga telah dicurangi oleh Sengkuni. Alhasil Yudhistira menyerahkan segala yang ia punya: kerajaan Indraprasta, saudaranya Pandawa, bahkan istrinya Drupadi.
Kemudian Drupadi dijemput secara paksa dengan dijambak hingga dipermalukan di depan umum, melihat hal tersebut Pandawa hanya tertunduk menangisi kejadian terjadi, nampak ekspresi Yudhistira yang begitu bersedih merasa bersalah atas keputusan yang dipilihnya. Ketika Drupadi tidak berdaya, Dursasana (saudara Duryudana anggota Kurawa) segera meraih kain yang dikenakan Drupadi dan ditariknya agar Drupadi menjadi telanjang dan menjadi tontonan yang tidak layak di hadapan para Rsi. Namun sebuah keajaiban terjadi, dimana Drupadi tidak dapat ditelanjangi karena kain yang ditarik Dursasana tidak habis-habis. Keajaiban tersebut dilakukan oleh Krishna yang tidak tega merasakan kesedihan Drupadi dan ingin membalas budi atas kebaikan yang Drupadi pernah lakukan terhadap Krishna.
Begitu susah diterima oleh akal manusia ketika membaca kisah Drupadi yang tak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, dan begitu aneh ketika mengira dan menduga darimana datangnya kain yang menutupi tubuh Drupadi. Kisah seperti ini yang tidak dapat ditemukan kebenarannya secara konkret, tetapi memang bukan itu tujuan sebuah mitologi tertulis. Tujuan mitologi ialah menyampaikan nilai yang tersirat dengan gambaran sebuah fenomena yang begitu imajinatif. Maka tak heran jika pola hidup masyarakat Timur terkhusus India terkesan religious, karena mereka meyakini bahwa epos ini ditulis untuk kebaikan umat manusia dengan menuliskan banyak sekali nilai-nilai kehidupan.
Mitologi Barat
Beralih kepada kisah mitologi Barat yang sedikit besar berkisah tentang mitologi Yunani. Konon dahulu syair-syair Illiad dan Oddysey merupakan syair yang begitu terkenal di Yunani hingga zaman ketika Yunani menjadi peradaban yang besar, syair ini juga menjadi syair yang besar di belahan benua Eropa sampai-sampai Roma saat itu juga mengadopsi kisah-kisah mitologi Yunani, seperti mengakui Apollo sebagai dewa Matahari (Sun). Tidak mungkin jika harus menceritakan seluruh kisah mitologi Yunani, namun ada sebuah kisah yang menurut saya bernilai dan ingin saya bagi (Baca: Mitologi Yunani). Kisah tersebut bercerita tentang penculikan Persephone, anak dari dewi bumi Demeter, oleh Hades dewa dunia kematian (Underworld)
Demeter adalah saudara Zeus dan juga istri dari Zeus. Dengan Zeus hanya memiliki satu anak yang diberi nama Persephone yang berarti putri musim semi. Suatu ketika Demeter kehilangan putrinya dan berimbas kemarahannya tidak memberkati bumi, hingga bumi pada saat itu gersang kering dan tandus. Ternyata Persephone diculik oleh Hades dan hendak diperistri oleh Hades. Akibat kesedihan ini Hades meninggalkan Olympus dan menyamar menjadi manusia di bumi. Di bumi, Demeter tinggal bersama keluarga Metaneira dan Celeus dan begitu menyayangi putra mereka yang bernama Demophoon. Begitu sayangnya Demeter pada Demophoon karena kerinduannya yang dalam terhadap Persephone, tiap malam Demeter memberkati Demophoon dengan menidurkan sang bayi dekat perapian. Melihat hal itu Metaneira panik berteriak. Mendengar teriakan itu marahlah dewi bumi yang menyamar ini dan menunjukan wujud aslinya. Melihat penampakan dewi secara langsung membuat Metaneira beserta keluarga terperanjat dan sujud dihadapannya.
Kemudian Celeus berencana untuk membangun kuil untuk sarana pemujaan terhadap Demeter sang dewi bumi itu dan Demeter tinggal di kuil tersebut. Tahun-tahun yang terjadi begitu menyiksa karena bumi masih belum diberkati oleh Demeter. Melihat hal ini, Zeus menjadi cemas hingga mengirimkan Hermes (dewa pengirim pesan) kepada Hades agar mengembalikan Persephone kepada Demeter, lalu pergilah Hermes ke Underworld kerajaan Hades. Akhirnya Hades menyetujui permintaan Zeus yang disampaikan oleh Hermes dan mengirim Persephone ke bumi untuk menemui ibunya. Melihat Persephone senanglah hati Demeter namun juga bersedih karena kini Persephone adalah istri Hades dan tak bisa tinggal bersama ibunya selamanya. Hati Demeter disadarkan hingga ia memberkati bumi hingga kembai subur lagi. Persephone hanya mengunjungi ibunya dalam 3 bulan saja karena harus kembali ke Underworld untuk tinggal bersama Hades. Pesan Zeus terhadap Persephone tertulis pada syair yang ditulis Homeros:
Kemarilah, putriku, karena Zeus, yang kasat mata, penguasa halilintar, memintamu.
Kembalilah ke Olympusdi mana kau mendapat penghormatan.
Di mana keinginanmu akan terpenuhi, dan putrimu, akan meredakan kesedihanmu.
Seperti setiap tahun yang diselesaikan dan angina buruk berakhir.
Karena hanya kerajaan kegelapan yang dapat menahannya.
Selebihnya ia milikmu, kau dan para dewa yang berbahagia.
Berdamailah sekarang.
Berikanlah umat manusia apa yang hanya kau yang dapat memberikannya.[3]
Berangkat dari kisah diculiknya Persephone oleh Hades, masyarakat Yunani mempunyai pemahaman paling awal terhadap perode musim di benua Eropa. Pada corak pemikiran masyarakat Eropa, secara khusus Yunani, semua fenomena yang terjadi pada alam adalah hasil dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para dewa. Seperti periode musim di Eropa yang terdiri dari musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin ada kaitannya dengan peristiwa Persephone tersebut. Ketika musim semi hingga musim panas datang dipercayai jika Demeter sedang senang hati karena putrinya Persephone mengunjunginya, sedangkan ketika datang musim gugur hingga musim dingin Persephone harus kembali ke dunia kematian bersama Hades sang suami.
Namun sekarang mitologi Yunani hanya menjadi sebuah kisah sastra lama yang hanya menjadi bacaan menarik bagi sebagian para penikmatnya. Kecenderungan berpikir secara positivistik membuat mitologi Yunani menjadi kisah dongeng pengantar tidur saja. Tanpa menyadari dari sebuah nilai yang sesungguhnya berdampak besar bagi perkembangan masyarakat Yunani bahkan Eropa sekarang ini. Tetapi tidak semua pemikir barat menegasikan kisah mitologi-mitologi Yunani, seperti yang kita ketahui filsuf Prancis abad 20 Albert Camus menggunakan kisah Sissyphus mendorong batu ke gunung dalam pandangan Absurdisnya, dan kisah Narchisus yang dikutuk mencintai diri sendiri menjadi kajian psikologi pada kebiasaan mengagumi diri sendiri (Narsisme), bahkan Plato menjadikan Eros (dewa cinta) sebagai gambaran kehidupan manusia mengenai cinta, Palto menulis : “Cinta – Eros – menjadikan hati manusia sebagai rumahnya, namun tidak di setiap hati, dan hati akan menjadi keras jika ia tinggalkan. Kemenangannyayang paling besar adalah ia tidak dapat berbuat salah atau membiarkan kesalahan; kekuatan tidak pernah mendekatinya. Seluruh manusia melayaninya, dan manusia yang ia sentuh dengan Cinta tidak akan berjalan dalam kegelapan”.[4]
Kesimpulan
Kedua kisah tersebut menceritakan kesedihan dimana kedua wanita, baik Drupadi maupun Persephone, rela untuk tidak melawan dan menerima segala sesuatunya terjadi. Mereka meyakini jika hal inilah yang seharusnya terjadi dan mereka harus hadapi. Maka pada kedua kisah tersebut dapat diambil sebuah hikmah ketika manusia mampu mengendalikan diri dan sadar pada sebuah panggilan jiwa, manusia tidak akan beroleh celaka, lebih-lebih akan dating sebuah kebahagiaan. Mereka tidak menolak realitas, namun mereka sadar pada sesuatu yang baik dan buruk dalam hati nurani mereka, dan para penyampai kedua mitologi ini ingin menyampaikan nasehat tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan atas nilai-niali yang lain bermunculan.
Hadirnya sebuah kisah mitologi merupakan sebuah kerangka awal jalan berpikir manusia terhadap realitas. Manusia menciptakan sebuah mitos sebagai bentuk rasionalitas manusia pertama kali atau dalam bahasa lain, manusia mulai memikirkan segala sesuatunya secara radikal dan mulai dipenuhi sebuah penasaran. Terlepas dari sebuah keyakinan, mitologi yang pernah ada memiliki nilai-nilai secara implisit yang menghendaki agar manusia mampu memaknai nilai tersebut dalam kehidupannya. Bahkan peran mitologi juga besar pada kelahiran filsafat. Filsafat sendiri yang memiliki sebutan “mother of science”, tidak akan menjadi sedemikan rupa seperti sekarang jika manusia tidak pernah merasa penasaran dan mulai berpikir tentang suatu fenomena terjadi, namun masyarakat kuno sudah memberi jawaban atas sebuah fenomena dengan sebuah mitologi sehingga peran filsafat menjelaskan atas kritik pada mitologi tersebut.
Mitologi juga bisa dikatakan sebuah pengetahuan dan hakikatnya pengetahuan tidak melulu pada sesuatu yang ilmiah. Pengetahuan memiliki tujuan pada apa yang telah kita ketahui haruslah dapat berguna. Mitologi juga memuat pengetahuan yaitu nilai-nilainya tersebut. Ada sebuah kutipan yang disampaikan pada novel Dunia Sophie ketika Knox bercerita tentang Immanuel Kant kepada Sophie, katanya; “Dia (Kant) membuka suatu dimensi keagamaan. Di sanalah, di mana akal maupun pengalaman tidak ada, terjadinya kekosongan yang hanya dapat diisi oleh iman”[5]. Maka bila meminjam kutipan Alberto Knox pada Dunia Sophie tersebut akan saya ganti menjadi.
“Mitologi membuka dimensi nilai kehidupan, di mana akal dan pengalaman tidak ada, kekosongan yang hanya dapat diisi dengan sebuah hikmah”
[1] Kirk, G. S. On Defining Myths (California : University of California Press, 1984), halaman 53-61
[2] Edith Hamilton, Mitologi Yunani (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) halaman xiii
[3] Edith Hamilton, Mitologi Yunani (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) halaman 34
[4] Ibid., halaman 15
[5] Jostein Gaardner, Dunia Sophie (Bandung: Mizan,2010) halaman 513
Daftar Pustaka:
Hamilton, Edith. 2009. Mitologi Yunani. Yogyakarta: Logung Pustaka
Rajagopalachari, Chakravati. 2013. Kitab Epos Mahabharata. Yogyakarta: IRCiSoD
Gaardner, Jostein. 2010. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Pustaka
Dowden, Ken dan Niall Livingstone. 2011. A Companion to Greek Mythology. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd