Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan judul film yang akhir-akhir ini sedang ngetrend. Film seperti Marlina Pembunuh dalam Empat Babak dan Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran adalah segelintir film yang berjudul panjang. Sebelumnya kita pasti tidak asing dengan judul film semacam Borat: Cultural Learnings of America for Make Benefit Glorious Nation of Kazakhstan, atau film dengan judul terpanjang di dunia macam Night of the Day of the Dawn of the Son of the Bride of the Return of the Revenge of the Terror of the Attack of the Evil, Mutant, Hellbound, Flesh-Eating Subhumanoid Zombified Living Dead, Part 2: in Shocking 2-D. Hal seperti itulah yang membuat saya yakin bahwa apa yang dikatakan Danang TP dan Jofie DB dalam esainya adalah benar adanya.[1]
Film berjudul panjang selain lagi ngehits dan bikin repot nulis namanya di karcis,juga bisa bikin muda-mudi Indonesia berbondong-bondong datang ke bioskop atau festival film sejenisnya. Buktinya di JAFF tahun ini, ada beberapa judul film yang panjang-panjang—sebut saja Semua Sudah Dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia, People Power Bombshell: The Diary of Vietnam Rose, dan Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu—tapi tetap saja ada 12 ribuan pengunjung yang datang untuk berpartisipasi meramaikannya.
Saya nampaknya ikut terseret arus muda-mudi zaman sekarang, perihal satu dan lain hal, mempertimbangkan pula semangat zaman saya memutuskan untuk pergi ke JAFF. Sebuah acara festival bergengsi se-Asia Pasifik yang lagi “ngehip” banget beberapa tahun belakangan. Alasan saya sebenarnya sederhana sekali, yaitu melihat kawan saya tampil perdana di layar lebar. Pergi mengapresiasi kawan dengan merelakan 15 ribu rupiah tidaklah buruk-buruk amat kalau dipikir-pikir. Itu alasan mulia saya. Alasan bajingan saya tentu banyak, salah satunya adalah tentu saja melihat mbak-mbak cantik nan artsy yang jadi panitia JAFF.
Okay, balik lagi ke cerita. Kebetulan kawan saya—Shalfia Fala Pratika—ikut menjadi aktris pendatang baru dengan mbak Lani (sapaan akrab dari Leilani Hermiasih) dengan judul film Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran (The Carousel Never Stops Turning) (selanjutnya disebut MBKP). Saya akan mencoba menuliskan dan mengait-ngaitkan fragmen sebuah fenomen yang hadir dalam realitas pengalaman intensional pribadi dengan apa yang hadir dalam film tersebut. Tulisan ini akan saya bagi ke dalam tiga bagian yang tidak penting dan tidak berfaedah. Pertama, saya mencoba menceritakan (semenarik mungkin) pengalaman keseharian saya sebelum menonton film tersebut. Ini adalah bagian paling tidak penting, sebab hal-hal sepele ini akan membentuk paradigma umum masyarakat yang meminjam slogan Danang TP “Terdepan dalam Seni, Lunglai dalam Ekonomi” menjadi relevan. Kedua, berargumen bahwa film MBKP merupakan film postmodern yang rupa-rupanya tak memberikan kesan yang membekas selain sentimen-sentimen “sok subtil” (bahasa kerennya soliloquy) belaka—alih-alih solilokui Derridean. Kesubtilan yang nyatanya dangkal ini nantinya ikut menjadi pelengkap kenyataan yang di masyarakat kelas menengah saat ini. Terakhir, mari ikut merayakan slogan “Terdepan dalam Seni, Lunglai dalam Ekonomi” secara menyeluruh dengan menonton film-film indie, datang ke pameran-pameran seni, atau bahkan pergi melancong dengan harapan dapat memotret keindahan alam yang dapat mempercantik feed Instagram. Dan jangan lupa ajak-ajak saya dong kalau pergi jalan-jalan!
Pada Mulanya…
Sehari sebelum menonton film MBKP—tanggal, 7 Desember 2017—saya pergi ke Sekaten. Pergi ke sana dengan harapan dapat ikut meramaikan suasana hati yang linglung, sekaligus menghabiskan waktu minggu tenang sebelum UAS. Mondar-mandir melihat keramaian acara Sekaten dengan kerlap-kerlip lampu permainan, jajanan kaki lima yang dijajakan sepanjang jalan, dan pakaian-pakaian yang dijual menghiasi betapa semaraknya pesta rakyat tahunan masyarakat Yogyakarta. Saya memutuskan untuk ikut andil dalam menyemarakkan acara tersebut dengan mencari pakaian bekas di pasar Awul-awul. Tentu dengan tujuan ingin tampil trendi dengan harga semurah mungkin jadi latar belakang terbelinya kemeja biru langit yang boleh diadu ketrendiannya. Saya mendapatkan kemeja berlengan panjang itu dengan harga 40 ribu rupiah, sebuah angka yang tidak besar-besar amat dibandingkan harga untuk kemeja yang sama di toko-toko pakaian bermerk yang biasanya paling murah berharga 500 ribu ke atas. Sederhananya untuk tampil trendi dengan budget yang minim adalah kebutuhan generasi milenial yang segalanya ditentukan dari bentuk tampilan luarannya dulu, masalah tetek-bengek esensi urusan kesekianlah.
Asumsi tersebut terbukti keesokan harinya—tanggal, 8 Desember 2017—saya memakai kemeja yang belum dicuci itu ketika pergi ke JAFF menonton film MBKP. Saya juga pakai topi “pet” kesayangan saya selepas terinspirasi dengan Kamerad Kliwon—tokoh favorit saya di novel Eka Kurniawan, Cantik itu Luka. Mari kita lanjutkan ketidakpentingan itu, yang tentunya boleh tidak kalian hargai, tapi bagi saya hal tersebut penting untuk saya sendiri. Untuk sekadar informasi saya duduk di kursi G-8 sejajar dengan Joko Anwar dan sineas film lainnya. Padahal saya membeli tiket tidak sesuai prosedur alias nitip ke kawan saya (Fala)—dan di akhir film saya tahu bahwa saya duduk dideretan tamu-tamu VIP. Dengan demikian, jiwa hipster saya sedemikian bergejolak. Untungnya saya masih bisa mengontrol diri untuk tidak selfie bareng dengan jajaran penting perfilman Indonesia saat ini. Gengsi saya masih cukup tinggi untuk kehilangan privilege diperhatikan orang-orang sebioskop yang kebingungan kenapa bisa ada “orang yang nggak penting-penting amat” ada di barisan tersebut. Walaupun itu cuma asumsi belaka, saya cukup pede dengan hal tersebut. Mengapa? Sebab banyak orang celingak-celinguk sambil cengengesan melihat kami sederetan seolah-olah badut sirkus yang aneh. Mungkin ini sejenis narsistik, ah saya tak ambil pusing. Lagipula narsistik di era digital saat ini lebih berkonotasi positif ketimbang negatif. Sudahlah kita tak perlu berdebat panjang lebar soal ini. Jika Anda setuju mari lanjutkan membaca, jika tidak tinggal ditutup saja tulisan ini.
Beralih ke kisah selanjutnya perihal ribut-ribut penolakan bandara New Yogyakarta International Airport yang bikin hati proletariat saya amat terusik. Tentu saja sebagai mahasiswa yang punya idealisme saya merasa bahwa ketidakadilan itu benar-benar nyata adanya.
Kita bisa lihat di media atau dari percakapan mulut ke mulut bagaimana perlawanan rakyat Kulon Progo yang dibantu oleh kawan-kawan mahasiswa menunjukkan bahwa sekuat apa pun perlawanan “wong cilik” toh bakalan dibuat tak berdaya alias nelangsa di hadapan para pembesar negeri. Lihat saja betapa heroik dan religiusnya Gus Fayyadl, para warga, dan simpatisan Kulon Progo yang melakukan sholat guna membangkitkan kepercayaan mereka untuk berjuang. Seolah-olah memberikan sugesti bagi alam bawah sadar bahwa Allah pasti membela kaum lemah yang tertindas. Tapi memang keberuntungan tak pernah hinggap pada si lemah nan nelangsa, PT Angkasa Pura yang berkroni dengan Sultan dan seperangkat aparatus represif negara (Polisi, Militer, dan Paramiliter alias preman yang dirawat negara) melaksanakan siasat busuk guna merampas tanah petani Kulon Progo.
Siasat devide et impera a la pemerintah kolonial yang coba diterapkan jadi bukti apa yang dikatakan Marx dalam Manifesto Partai Komunis bahwa, “para borjuasi selalu merevolusionerkan perkakas-perkakasnya”—dalam konteks ini perkakas bersiasat untuk memecah belah kekuatan proletariat. Lihat saja warga yang diadu domba di Kulon Proga, bagaimana warga yang pro pembuatan bandara mengintimidasi warga yang kontra pembuatan bandara. Belum lagi intimidasi para preman yang mencoba meneror warga dengan rasa takut. Hal itu ternyata belum selesai. Terbukti bahwa adanya pernyataan dari Sultan Yogyakarta yang mengatakan bahwa warga non-Kulon Progo lebih baik tidak usah ikut campur dengan konflik tersebut.
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa pengalaman pergi ke Sekaten, keputusan pergi ke JAFF, dan kasus di Kulon Progo ikut andil membentuk paradigma awal saya yang ternyata saling menenun membentuk sebuah hasrat melaksanakan slogan “Terdepan dalam Seni, Lunglai dalam Ekonomi”. Saya akan membahas lebih lanjut tenunan ini pada bagian terakhir. Pembahasan tidak penting selanjutnya adalah perihal film MBKP yang jika ia bukan film eksperimental, ia merupakan film postmodern.
Kisah yang Berputar atau Kepalaku yang Berputar?
Saya tak berekspektasi apa pun ketika ingin menonton film tersebut selain dengan alasan utama yang telah saya beberkan sebelumnya. Film MBKP bagi saya pun tak spesial-spesial amat di mata penikmat film yang awam macam saya ini. Banyak fragmen-fragmen yang tidak selesai dalam sebuah plot. Permainan simbol dan metafora membuat banyak hal yang sebenarnya bisa dikulik lebih dalam menjadi anti-klimaks, sungguh hal yang disayangkan. Padahal film itu dibuka dengan sangat apik dengan langsung menampilkan konflik psikologis manusia.
Loncatan dari plot dan waktu yang tidak linear membuat kepala saya pusing, ditambah dengan keheningan yang diciptakan lewat moment of silence di banyak plotnya bikin saya bingung sendiri harus apa di dalam bioskop.
Seorang pria berhubungan seks dengan sebuah mobil tuanya, wow bangetkan! Si pria juga memiliki ikatan emosi yang kuat dengan mobilnya itu. Ia juga menanggung rindu yang teramat besar jika berhari-hari tak menjumpai dan menyentuh bodi mobilnya. Ia bahkan membawakan sepiring nasi plus lauk pauk untuk mobilnya untuk makan bersama sebelum kemudian mereka berhubungan seks. Sebuah fetisisme yang mungkin aneh atau cenderung kita anggap gila? Entahlah, yang jelas adegan itu seharusnya mampu menampilkan sisi lain subtil seorang anak keturunan Adam. Namun sayang, setelah langsung dibuat terkagum-kagum dengan pembukaan film yang menarik tidaklah dikulik lebih dalam konflik batin yang terjadi di dalamnya. Adegan si pria telanjang memasuki semak belukar dan pohon-pohon pisang plot tersebut dengan menyisakan pertanyaan di kepala para penonton. Mungkin idenya adalah membiarkan penonton menafsirkan sendiri apa yang terjadi di dalam film dengan laku keseharian mereka di dunianya. Lewat intensionalitas dunia kehidupan (lebenswelt) yang dibangun antara subjek (para penonton) dan realitas buatan (film MBKP).
Setiap tokoh dalam dunia rekaan Ismail Basbeth—sutradara sekaligus penulis dan produser film MBKP—terfokus pada simbol dan metafora tersebut menyebar di sepanjang plot Mobil Bekas yang bukan berstruktur klasik tiga babak dan tidak mengikuti logika kausalitas yang merangkai ruang dan waktu secara linier. Film ini lebih menyerupai kolase fragmen berisi komentar tentang pelbagai problem kontemporer di Indonesia yang terwakili oleh para karakternya. Maka dari itu, proses membaca-memaknai jadi punya peran sentral, yang tentu saja penikmat film awam menjadi sangat sulit memaknai simbol-simbol yang hadir di sana. Terlebih ada satu hal yang terang benderang muncul sebagai pengikat dalam kolase ini: mobil bekas yang berupa jip militer berwarna hijau yang sering kali muncul.
Hal yang berani—atau bisa dibilang nekat—dari film ini ialah karakter yang coba dihidupi para pemerannya dibuat tanpa skrip. Hal tersebut dituturkan Ismail Basbeth sendiri di dalam sesi tanya jawab ketika film telah usai. Penuturan seperti ini dan para karakternya yang dihidupkan oleh akting aktor-aktrisnya secara natural dan tanpa bersusah payah, Ismail Basbeth menyampaikan isu-isu yang masih hangat menghinggapi masyarakat Indonesia sembari mengomentari dan mengkritiknya. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, patriarki, seksualitas, militerisme, hingga isu yang terbilang personal, seperti nafsu, kenaifan, dan trauma.
Lewat jip tersebut, film ini menjelma menjadi semacam otokritik terhadap sikap permisif banyak masyarakat Indonesia kepada militerisme. Sikap permisif ini barangkali muncul karena sifat acuh tak acuh dan ketidaksadaran, maupun bisa juga lantaran rasa membutuhkan di dalam masyarakat. Ismail Basbeth sendiri mengibaratkan mobil jip adalah negara, para penumpang dan kisah-kisahnya adalah masyarakat yang masih saja penuh luka yang tak kunjung sembuh, membusuk dan dipelihara oleh negara sebagai senjata penebar ketakutan.[2]Tapi, lagi-lagi banyaknya kritik yang hadir hanya bisa dimaknai lewat jutaan tafsir lain. Karena sifatnya yang terdiri dari fragmen tak selesai, tafsir atas film mutlak menjadi hak prerogatif si penonton. Menyunting perkataan Derrida bahwa “penulis telah mati”—dalam konteks ini seorang sutradara sudah mati—tafsir serba relatif bisa timbul tenggelam dalam film ini. Semuanya sah-sah saja. Narasi-narasi kecil hidup di tiap fragmen yang khas a la postmodernisme.
Jangan bicara soal kebenaran akan logos yang berada di luar diri manusia dan merupakan sesuatu yang objektif. Tidak pernah ada objektivitas yang universal, semua serba relatif, unik di dalam diri manusia. Hal inilah yang menurut saya “sok substil” seolah realitas hanya dapat dimaknai lewat kemampuan diri menafsirkan segala fenomen yang hadir jalin-menjalin. Ismail Basbeth seperti menawarkan solilokui dan bahasa visual yang dipakai juga mendukungnya, padahal menurut saya film ini toh enggak terlalu subtil-subtil amat. Penonton juga punya persepsi pengetahuan dan pengalamannya masing-masing sebelum menonton film. Jika tolak ukurnya hanya soal selera pengalaman pribadi saya sebelum menonton film MBKP jauh lebih penting daripada konflik yang diangkat dalam film.
Bagi Ismail Basbeth “Mobil Bekas adalah filmku setelah lulus. Film ini adalah bentuk urun rembug-ku sebagai filmmaker yang resah melihat persoalan-persoalan di Indonesia. Aku enggak bisa sembunyi lagi di filmku kali ini. Ini filmku sebagai sutradara, filmku sebagai manusia, filmku sebagai suami, filmku sebagai bapak. Harapanku ke depan, aku bisa sekomplit itu menyikapi film. Karena bikin film yang bener itu, ia gak bisa dipisahin dalam hidupmu.”[3] Sebuah pernyataan yang memang relevan bahwa bikin film memang tidak bisa dipisahkan dari hidupmu. Jika begitu, nonton film mau bagus atau enggaknya itu juga tergantung dari hidup si penonton sendiri. Film yang bagus atau buruk, dengan standar a la postmodernis, bisa diukur hanya dengan selera yang serba relatif, tak ada metode yang benar-benar tegas dalam menilainya.
Term postmodernisme sendiri pada sekitaran tahun 70-80an mengacu pada penggunaan di bidang arsitektur, visual dan performing arts, musik. Mengutip Sarup “Postmodenism…came to be associated with the following traits: the erasure of all kinds of boundaries and distinctions (between art and everyday life, between “high art” and mass/popular culture, between past, present and future); a specific style defined by eclecticism, reflexivity, self-referentiality, quotation, artifice, randomness, anarchy, fragmentation, playfulness and the mixing of codes which results in parody, pastiche, irony, allegory”[4]. Sialnya film MBKP yang terdiri dari fragmen-fragmen ini membuat kepala saya berputar sesuai judul filmnya “Kisah-kisah yang Berputar”. Loncatan dari plot dan waktu yang tidak linear membuat kepala saya pusing, ditambah dengan keheningan yang diciptakan lewat moment of silence di banyak plotnya bikin saya bingung sendiri harus apa di dalam bioskop. Akhirnya saya hanya celingak-celinguk bingung memperhatikan penonton lain di sekitar saya. Maaf memang saya sudah bosan sih dengan terlalu banyak refleksi yang sering kali tidak bisa bikin perut kenyang.
Mungkin cara kerja otak yang seperti palimpset memengaruhi tingkah keseharian saya. Tiap teks baru dalam bentuk fenomena meliputi teks dari fenomena lama, dan pada gilirannya teks yang lama tertutupi teks baru dari sebuah fenomena baru.
Menurut Denzin postmodernisme lebih merupakan“a consumer culture that celebrates the surface and “depthlessness” of culture; a shift of emphasis from content to form or style; but also a nostalgic, conservative longing for the past; an intense preoccupation with the real and its representations; intense emotional experiences shaped by anxiety, alienation, resentment and a detachment from others”[5]. Nggak usah dijelaskan terlalu banyak lagi deh bahwa banyak bangetlah plot-plot yang mengisahkan kekosongan atau pun kegelisahan dalam film MKBP ini. Jadi jelas sudah bahwa ini tipe film postmodern yang mencoba untuk subtil dengan ikut bermain-main dengan intensionalitas penonton. Mencoba solilokui yang menurut saya dipaksakan betul di film ini. Dengan tidak mempertimbangkan bahwa mungkin saja ada orang yang nggak paham dengan pentingnya isu feminisme, militerisme, dan konflik-konflik di masyarakat. Penonton dianggap sudah paham dari sananya bahwa ini loh ada masalah di masyarakat kita. Sudah begitu saja.
Merayakan Kesenian Tanpa Kelaparan
Mungkin bagian terakhir ini lebih merupakan apologetis, jika bukan omong kosong. Slogan “Terdepan dalam Seni, Lunglai dalam Ekonomi” bagi saya lebih merupakan bentuk satir yang tertuju pada orang-orang yang rela lapar demi mengejar bentuk aktualisasi diri untuk larut dalam pelbagai pagelaran seni. Memang soal pilihan hidup tak bisa digeneralisir sedemikian rupa, ada orang-orang yang memilih makan dulu baru seni, ada yang memilih sebaliknya. Saya ada di antara kedua hal itu. Saya lebih memilih untuk pergi ke tempat pagelaran seni kadang dengan perut lapar, kadang dengan perut kenyang. Situasional semata. Bukan untuk menjadi hipster atau tergerus arus mayor.
Pengalaman keseharian saya nyata membentuk laku hidup saya sebagai kelas menengah pada umumnya. Mengutip De Quincey yang mengatakan bahwa otak manusia adalah sebuah palimpset[6]. Mungkin cara kerja otak yang seperti palimpset memengaruhi tingkah keseharian saya. Tiap teks baru dalam bentuk fenomena meliputi teks dari fenomena lama, dan pada gilirannya teks yang lama tertutupi teks baru dari sebuah fenomena baru. Bisa saja alegori gua Platon menjadi relevan dalam keseharian. Kita mungkin mengenal segala sesuatu di dunia Idea, namun di dunia ini kita sekarang kita berusaha mengingat-ingat lagi segala sesuatunya. Hidup selalu menyisakan ruang abu-abu dalam diri saya. Apa yang hadir saat ini ikut membawa romansa lama, getir, atau pun sepi hari-hari lalu. Sesuatu yang akan datang akan hadir lewat kemungkinan yang menggantikan teks ingatan lalu, atau malah mengukuhkannya. Seperti seseorang yang mempelajari sebuah ensiklopedia tidak dengan sertamerta akan memperoleh sesuatu dari setiap baris, setiap paragraf, setiap halaman, dan setiap ilustrasi; ia memperoleh kemungkinan dari sesuatu yang lazimnya diketahui melalui satu dan hal lain.
Entahlah kegiatan kesenian yang harus dinikmati dalam keadaan ekonomi pas-pasan begitu mewarnai hari-hari saya. Tapi mencoba untuk terdepan dalam seni, namun lunglai secara ekonomi merupakan bentuk anti-tesis dari apa yang Abraham Maslow sebut sebagai “teori kebutuhan”. Kebutuhan manusia menurut Maslow layaknya sebuah piramida. Seperti yang kita ketahui bahwa piramid selalu membentuk hierarki dari susunan bangunannya. Bagi Maslow, piramid kebutuhan membentuk hierarki dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).[7] Jika menilik pandangan Maslow hierarki kebutuhan manusia nyatanya bersifat fluktuatif. Ada satu situasi yang membuat manusia akan lebih mementingkan kebutuhan fisologisnya terlebih dahulu, ada yang memilih kebutuhan akan keamanan itu lebih penting (situasi peperangan misalnya).
Mengaktualisasikan diri dengan mengikuti segala pagelaran seni atau mungkin ikut berkreasi di dalamnya tak peduli ia dalam keadaan lapar sekalipun adalah pilihan situasional manusia. Dalam sebuah situasi masyarakat kelas menengah yang dilanda kejemuan bekerja membutuhkan untuk suatu aktivitas yang dapat menyegarkan otak dan jiwanya lagi. Hal yang perlu dilakukan manusia ialah bagaimana cara untuk merayakan kesenian tanpa adanya kelaparan di muka bumi. Bagaimana ikut menyejahterakan setiap orang yang mengklaim bekerja sebagai seniman, yang setiap saat berhadapan dengan ketidakpastian finansial seperti nasib seorang gelandangan.[8] Seperti yang dikatakan Brigitta Isabella dalam acara Opening Artist Job Fair ia mengatakan bahwa, segelintir seniman yang lihai dan ambisius menapaki tangga karier dalam dunia elit seni komersil bisa saja menjadi kaya. Namun bagi kebanyakan seniman, kemewahan dunia seni hanya dapat dinikmati sesaat dalam after party pembukaan pameran besar. Sepulang dari pesta, seniman miskin segera berhadapan lagi dengan tuntutan kebutuhan bertahan hidup sehari-hari yang harus ditanggungnya. Banyak seniman yang harus mencari kerjaan sampingan agar dapat melestarikan keberlangsungan praktik seninya. Hal yang serupa dalam diri masyarakat kita bahwasanya ada kaum borjuis dan proletariat. Keduanya sama-sama membutuhkan aktualisasi diri lewat kesenian, namun dengan kondisi yang tentu saja berbeda.
Saya sepakat dengan apa yang diajukan oleh Brigita bahwa pada titik ini kita semua harus bersama-sama memikirkan, bagaimana agar cita-cita untuk melestarikan praktik seni yang kritis, tidak kontrakdiktif dengan cara-cara ekonomis yang harus ditempuh untuk menunjang hidup sebagai pekerja seni atau bahkan penikmat seni. Perlunya menggalakkan eksperimen ekonomi alternatif dengan segala kesempatan dan keterbatasan yang ada hari ini. Ekonomi alternatif artinya bukan hanya soal pencapaian kesuksesan finansial individu, namun juga moda distribusi sumber daya yang lestari keadilannya.
Bukan hanya untuk masa depan kesenian yang lebih baik, melainkan untuk kehidupan manusia yang lebih baik di mana tak ada lagi kesenjangan dan penindasan manusia atas manusia lain. Akhirnya, saya rasa keterlaluan kalau hari ini kita terlalu sibuk mendiskusikan tetek bengek menjadi hipster atau menjadi mainstream, tanpa sedikit pun memberi ruang reflektif pada konflik agraria di Kulon Progo akibat rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport. Infrastruktur mobilitas unggulan pemerintah ini seolah menguntungkan bagi gaya hidup borjuis yang hanya peduli pada dirinya sendiri, namun di sisi lain jelas mengancam keberlangsungan ruang hidup dan alat produksi petani pesisir.
Sebagai bagian dari penikmat kesenian yang mendapat privilege untuk dapat memilih untuk kelaparan atau tidak saat bepergian ke berbagai tempat pagelaran seni, saya harus mengakui bahwa perdebatan “sok subtil” justru kerap membuat saya terbata-bata menghadapi persoalan kemanusiaan yang nyata. Kita mungkin dapat pergi wara-wiri ke berbagai pelosok negeri melihat berbagai kebudayaan diperagakan, baik yang tradisional atau pun yang modern. Tapi sudahkah kita ikut memikirkan nasib mereka yang masih berjuang? Seperti bait puisi Sitor Situmorang “Agar hati manusia, jangan jadi penjara. Tapi bebas mekar, sesuai ajaran manusia.”
Catatan Akhir:
[1]Lih., Jofie DB dan Danang TP, “Marlina Si Pemakan Sate dalam Empat Babak” diakses via http://lsfcogito.org/marlina-timothy-si-pemakan-sate-dalam-empat-babak/
[2]Lih., Yulaika Ramadhani, “Ismail Basbeth, Menuju Rembulan bersama Mobil Bekas”, diakses via https://jurnalruang.com/read/1485153079-ismail-basbeth-menuju-rembulan-bersama-mobil-bekas
[3]Ibid., Yulaika Ramadhani, “Ismail Basbeth, Menuju Rembulan bersama Mobil Bekas”.
[4]Lih., M. Sarup, (1993) An Introductory Guide to Post-Structuralism & Postmodernism, New York: Harvester Wheatsheaf, hal. 132.
[5]Lih., N. K. Denzin, (1991) Images of Postmodern Society. Social Theory and Contemporary Cinema, SAGE Publications, London, hal.vii.
[6]Palimpset, sebuah manuskrip atau selembar kertas berisi tulisan, yang mana kemudian tulisan tersebut dihapus untuk menyediakan ruang yang selanjutnya digunakan untuk menulis kembali tulisan yang sama dengan mengikuti jejak tulisan sebelumnya.
[7] Urutan hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Pertama, kebutuhan fisiologis atau dasar; kedua, kebutuhan akan rasa aman; ketiga, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi; keempat, kebutuhan untuk dihargai; dan kelima, kebutuhan untuk aktualisasi diri
[8] Lih., Teks pidato Brigitta Isabella yang berjudul “Mobilitas Seniman Gelandangan Kosmopolit dan Strategi Kebudayaan Kita” disampaikan pada pembukaan proyek Pembukaan Dana Umum & Kesempatan/ Opening Artist Job Fair diakses via https://drive.google.com/file/d/1tzXYHzJL7oEj4VI_qAH1CFE3UbPyxu0Y/view.