“Sebelum Isaac Newton menemukan gravitasi di tahun 1869, setiap orang bisa terbang”—meme.
Pengacara yang Kefilsuf-filsufan
Bagi saya, pengacara Jessica Wongso, Otto Hasibuan, lebih mirip sebagai seorang “filsuf” ketimbang pengacara, atau kalau kita gunakan bahasa yang lebih lunak, bolehlah kita menyebutnya sebagai “filsuf pengacara” atawa “pengacara yang kefilsuf-filsufan”. Pasalnya, ia tak hanya kritis menanggapi setiap pernyataan jaksa penuntut umum atau para saksi ahli yang memberatkan Jessica di kursi pesakitan, tetapi juga menunjukkan “mode” atau corak berpikir yang khas dari seorang filsuf: “meragu” (peragu). Mungkin memang, ini merupakan mode berpikir umum dari setiap pengacara, tetapi keraguan yang ditampakkan pengacara lain tak pernah sebegitu “parah” seperti yang ditunjukkan Otto Hasibuan saat saya bandingkan dengan kasus persidangan lain yang ditayangkan secara langsung di televisi. Ia—Otto—selalu berhasil menemukan kalimat yang menggelincir (terpeleset) dari ucapan jaksa maupun saksi ahli yang memberatkan Jessica untuk kemudian diurai dan dibuat “mengambang bebas” sehingga ujaran-ujaran tersebut menjadi “terlantar” dan kehilangan makna.
Otto Hasibuan pun bermain-main dengan rasionalisme untuk melawan rasionalisme jaksa dan beberapa saksi ahli itu sendiri. Apabila rasionalisme merupakan pengetahuan atau kebenaran yang bersifat apriori, ‘tanpa harus didahului pengalaman’, maka ia pun mengajukan pertanyaan (pernyataan) serupa: “Bagaimana jika sianida itu telah ada di cangkir es kopi Vietnam sebelum diantarkan ke Jessica?”
Tak hanya itu saja, lewat cara tersebut, Otto seolah berhasil menunjukkan pada kita betapa berbagai pernyataan jaksa dan beberapa saksi ahli tak lebih sebagai kesewenang-wenangan bahasa berpadu dengan perasaan kognitif-subjektif yang lahir dari ide-ide berkeliaran. Otto sukses menghalau dominannya satu-dua logika dalam persidangan kopi bersianida ini, ia berupaya memberi ruang bagi banyak logika dan alur cerita—“narasi yang lain”; dan ini sesungguhnya merupakan cara berpikir yang sangat dekonstruktif. Tulisan ini tak berupaya mengadili sosok Otto Hasibuan, melainkan sebagai persuasi pada pembaca untuk ikut melakukan pengembaraan filosofis dalam sidang kasus kopi bersianida Jessica yang sesungguhnya kental bernuansakan pertarungan antarcorak pemikiran filsafat. Sebagaimana ucap kawan saya yang juga dosen Ilmu Hukum di Universitas Negeri Semarang, Benny Sumardiana: “Seorang pengacara sesungguhnya tidak membela kliennya; tetapi kasusnya”.
Rasionalisme vs Empirisme dalam Sidang Kopi Bersianida
Bagi mereka yang tak asing dengan pemikiran filsafat, atau setidaknya mereka yang pernah mengambil mata kuliah “Filsafat Ilmu” saat duduk di bangku kuliah, tentu pernah mendengar istilah “rasionalisme” dan “empirisme”. Dalam sidang kasus kopi bersianida Jessica, tampak jelas jika corak pemikiran jaksa penuntut umum dan mungkin juga beberapa saksi ahli—terutama pakar gestur dan psikologi—begitu bias rasionalisme. Jaksa terutama, sangat tersirat dalam pemikirannya yang seakan hendak menegaskan: “Lalu, siapa lagi yang menuang sianida ke kopi Mirna kalau bukan Jessica?”. Karuan, hal ini langsung dilibas Otto lewat pemikiran bercorak empiris: “Tak ada saksi yang melihat Jessica menuang sianida, bahkan CCTV pun tak menunjukkan hal tersebut”. Dalam rekaman CCTV, sempat beberapa saat aktivitas tangan Jessica tertutupi oleh paper bag, momen inilah yang disinyalir banyak pihak bahwa Jessica tengah menuangkan sianida ke es kopi Vietnam milik Mirna.
Namun dalam koridor empirisme, pengetahuan yang berkelindan dengan kebenaran haruslah bersifat aposteriori atau “didahului pengalaman”. Dengan kata lain, tak terdapat bukti nyata yang terindera bahwa aktivitas tangan Jessica yang tertutupi paper bag nyata-nyata sedang menuangkan sianida ke minuman Mirna. Dengan demikian dalam perspektif empirisme, tak bisa dikatakan jika Jessica menuang sianida ke kopi Mirna saat posisi paper bag berada di permukaan meja mengingat yang terekam kamera kala itu adalah paper bag, bukan tangan Jessica yang tengah menuang sianida. Anggapan yang menyatakan bahwa Jessica memasukkan sianida pada momen itu, dalam kerangka empirisme tak dapat disebut sebagai pengetahuan atau kebenaran, melainkan “nafsu belaka” dikarenakan anggapan tersebut didasarkan pada terkaan dan tak teruji secara empiris. Hal ini sebagaimana dasar berpijak ucapan David Hume, salah seorang pentolan pemahaman empirisme di samping John Locke, Thomas Hobbes, dan George Barkeley: “Kita tak bisa mengatakan esok matahari akan terbit karena kita belum benar-benar melihat matahari terbit esok hari. Jika kita bisa mengatakannya, itu hanyalah ‘nafsu’ yang didorong oleh kebiasaan”.
Selanjutnya, Otto Hasibuan pun bermain-main dengan rasionalisme untuk melawan rasionalisme jaksa dan beberapa saksi ahli itu sendiri. Apabila rasionalisme merupakan pengetahuan atau kebenaran yang bersifat apriori, ‘tanpa harus didahului pengalaman’, maka ia pun mengajukan pertanyaan (pernyataan) serupa: “Bagaimana jika sianida itu telah ada di cangkir es kopi Vietnam sebelum diantarkan ke Jessica?” Dalam hal ini, bisa jadi si pegawai cafe yang memasukkan sianida, atau orang lain? Pun dapat pula, bisa jadi kopi bersianida itu adalah “sajian salah sasaran” yang sebetulnya ditujukan untuk orang lain, dan bukannya Mirna? Di sini, Otto sesungguhnya turut memanfaatkan kelemahan empirisme yang sarat terverifikasi melalui pengalaman (terindera) sehingga memunculkan kemungkinan-kemungkinan lain yang tak terhingga.
Hal terjelas yang dapat diamati saat persidangan adalah ketika Prof. Dr. Sarlito Wirawan, Guru Besar Psikologi UI, hadir sebagai saksi ahli dengan analisisnya yang memberatkan Jessica. Akan tetapi, di hadapan Otto Hasibuan, Sarlito Wirawan seolah kehilangan “ke-gurubesar-annya”. Pernyataan Sarlito yang mengatakan bahwa Jessicalah satu-satunya orang yang paling mungkin memasukkan sianida ke kopi Mirna seketika dimentahkan Otto: apakah ia—Sarlito—mengetahui “SOP” pembuatan kopi di Cafe Olivier sebagaimana diucapkannya jika sang pegawai cafe telah membuat kopi sesuai SOP, dan yang lebih penting lagi: apakah Sarlito melihat langsung sang pegawai saat membuat kopi pesanan Jessica; kenyataannya tidak. Begitu pula, argumen Prof. Eddy (Edward OS Hiariej) yang memisalkan kasus Jessica dengan kasus serupa di belahan dunia lain—Perancis kalau tidak salah—di mana hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang istri yang dituduh meracun suaminya meski tak ada saksi yang melihatnya, namun dikarenakan sang istri tengah bersama suami saat ia—si suami—meminum obat, maka sang istrilah yang paling mungkin meracunnya. Argumen ini, tak pelak, begitu bias rasionalisme (apriori), dan secara mudah dapat dilawan dengan argumen-argumen bernuansa empiris; meskipun memang pada akhirnya, ketok palu hakimlah yang lebih menentukan nasib seseorang.
Sidang Kopi Bersianida dalam Dalil “Ketidaklengkapan” Gödel
Kurt Gödel adalah seorang filsuf sekaligus matematikawan yang memiliki sumbangsih besar dalam revolusi logika seperti Gottlob Frege, Bertrand Russel, Alfred North Whitehead, dan Ludwig Wittgenstein. Gödel mengemukakan dalil atau teorema “ketidaklengkapannya” melalui tulisan Teorema VI dan Teorema XI dalam makalah berjudul, On Formally Undecidable Propositions in Principia Mathematica and Related Systems I. Lewat kajiannya tentang sistem (deret) aritmatika yang menghasilkan bukti logis tentang teori angka elementer, Gödel meluluhlantakkan anggapan para ahli matematika sebelumnya bahwa sesuatu yang benar selalu dapat dibuktikan, dan begitu pula sebaliknya: sesuatu yang memiliki bukti pastilah benar. Dalam kajian Gödel, jika kita menyusun sebuah daftar angka—semacam gramatika angka—maka mau tak mau kita akan menemui deret yang tercecer, tak lengkap, inkonsisten, pun menghasilkan berbagai kontradiksi terhadap dirinya. Kontradiksi inilah yang memaksa kita mengesampingkan salah satu sistem karena dua sistem yang disusun misalnya, tak mungkin sama benar meski keduanya terbukti. Dengan demikian simpul Gödel, apa yang memiliki bukti belum tentu benar, dan apa yang benar belum tentu terbukti. Dalil ketidaklengkapan cetusan Kurt Gödel ini begitu berpengaruh terhadap perkembangan filsafat logika, bahkan turut mempengaruhi pemikiran psikoanalisis radikal Jacques Lacan.
Penjelasan dalil ketidaklengkapan Gödel dalam sidang kopi bersianida Jessica—apa yang terbukti belum tentu benar—secara mudah dapat dicontohkan, misal lewat proses persidangan yang dialami Andy Dufresne dalam cerita pendek Stephen King, Rita Hayworth and Shawshank Redemption yang termuat dalam novela Different Seasons (1982) di samping ketiga cerita lainnya. Tulisan ini kemudian diadaptasi ke dalam film layar lebar dengan judul Shawshank Redemption (1994). Diceritakan, Andy dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena dituduh membunuh istri dan selingkuhannya; kejahatan yang sesungguhnya tak pernah dilakukannya. Kala itu Andy memang pulang ke rumah dalam keadaan cukup mabuk dan berniat membunuh istri beserta selingkuhannya dengan revoler yang diambilnya dari mobil, namun ia mengurungkan niat itu. Tak jauh dari tempatnya berpijak, seorang perampok mengamati gerak-gerik Andy. Barulah ketika Andy pergi meninggalkan rumah, si perampok mengambil revolver yang dibuang Andy dan menembak istri Andy berikut selingkuhannya. Dikarenakan sidik jari pada revolver serta botol minuman keras kuat mengarah pada sidik jari Andy Dufresne, hakim pun menyimpulkan bahwa Andy bersalah karena menghilangkan dua nyawa, dan menjatuhinya hukuman penjara seumur hidup. Cerita ini adalah misal termudah bagaimana “bukti” tak selalu berkorelasi dengan kebenaran.
Dalam konteks kasus kopi bersianida Jessica, tampak jelas jika pemikiran Otto menyerupai formulasi dalil ketidaklengkapan Gödel. Boleh jadi, es kopi Vietnam tersebut memang tercampur sianida dan telah terlebih dahulu dalam “pengawasan” Jessica. Namun, bisa jadi bukan Jessica yang memasukkan racun tersebut. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ini boleh jadi suatu kebetulan, “kopi salah sasaran”, dan lain sebagainya. Sebetulnya, masih banyak kejadian dalam sidang kasus kopi bersianida yang dapat dikaji secara filsofis, seperti bagaimana Otto Hasibuan mempertanyakan rekaman CCTV yang telah ditransfer ke dalam hardisk dan diputar di persidangan. Dalam ranah filsafat teknologi artifisial, argumen Otto dapat dimaklumi mengingat segala sesuatu yang tak bersumber dari mulanya (aslinya) dapat ditempatkan sebagai simulasi dan “mimiesis” semata, bukannya barang bukti itu sendiri. Pengkajian lebih jauh tentangnya pun dapat menghantarkan kita kembali pada konsep forma Plato ihwal “yang asli” dan “yang asali”. Tegas dan jelasnya, sebagaimana tujuan awal tulisan ini dibuat, yakni untuk menunjukkan betapa suatu pemikiran yang ruwet lagi rumit sesungguhnya dapat diurai secara gamblang melalui filsafat, terutama dalam kasus kopi bersianida Jessica; semoga tulisan ini telah mencapai tujuan tersebut. Akhir kata, ex-philosophia claritas ‘dari filsafat muncul kejernihan’. Salam.
Hill, Philip, 2002, Lacan untuk Pemula, Kanisius.
Kattsoff, Louis, 1996, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana.
Osborne, Richard, 2001, Filsafat untuk Pemula, Kanisius.
Russel, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar.
Film;
Darabont, Frank, 1994, The Shawshank Redemption, Columbia Pictures.