“Heidegger pada dasarnya berusaha untuk memahami hal terdalam dan dimensi yang paling krusial (most crucial dimensions) dari realitas. “
Teknologi merupakan salah satu topik yang penting dalam khazanah pemikiran Heidegger. Meski demikian, kita akan terkejut ketika menyadari fakta bahwa tidak banyak tulisan dan pengajaran Heidegger yang berbicara tentang teknologi (dibandingkan dengan seluruh karya-karyanya). Salah satu filsuf yang berusaha menggali pemikiran-pemikiran tentang teknologi dalam khazanah pemikiran Heidegger adalah Albert Borgmann.[i] Tulisan ini akan memaparkan pandangan Heidegger tentang teknologi menurut Albert Borgmann. Di dalam tulisan ini, penulis akan mengikuti alur pemikiran Borgmann dalam menanggapi karya-karya Heidegger tentang teknologi berdasarkan tulisannya yang berjudul “Technology”.[ii] Tulisan ini akan penulis bagi ke dalam tiga pokok bahasan: (1) pemahaman Heidegger tentang teknologi, (2) karya-karya Heidegger yang memuat pembahasan mengenai teknologi, dan ditutup dengan (3) kritik sekaligus apresiasi yang diberikan Borgmann kepada Heidegger.
Pemahaman Awal tentang Teknologi
“Budaya teknologi, bagi Heidegger, adalah hal yang menentukan hidup manusia dalam era modern akhir-akhir ini dan kesejahteraan mendasar mereka sungguh bergantung pada kemampuan mereka untuk, melalui teknologi, menuju ke “dunia yang lain” (another kind of world).”
Heidegger pada dasarnya berusaha untuk memahami hal terdalam dan dimensi yang paling krusial (most crucial dimensions) dari realitas. Ia melakukan usaha ini dalam tiga jalan. Pertama, ia berusaha mengeksplorasi dan menemukan “the nature of being”. Kedua, ia akan “mendialogkannya” dengan pemikir dan penyair besar Yunani dan Jerman. Ketiga, Heidegger akan menganalisis kondisi manusia di dalam era modern. Borgmann mengungkapkan bahwa usaha-usaha ini berjalan secara tidak serentak, namun tetap berdampingan satu sama lain (side by side) sampai ketiga hal tersebut bertemu menjadi satu dalam pemahaman Heidegger tentang teknologi modern. Budaya teknologi, bagi Heidegger, adalah hal yang menentukan hidup manusia dalam era modern akhir-akhir ini dan kesejahteraan mendasar mereka sungguh bergantung pada kemampuan mereka untuk, melalui teknologi, menuju ke “dunia yang lain” (another kind of world).
Sebelum melanjutkan menjelajahi pemikiran Heidegger tentang teknologi, hendaknya kita lebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan teknologi berdasarkan pemikiran Heidegger. Borgmann mengungkapkan bahwa Heidegger sendiri menolak ide umum teknologi yang dipandang sebagai sebuah koordinasi (ensemble) artefak dan prosedur yang tunduk pada kontrol manusia. Heidegger tidak melihat teknologi sebagai sekadar penggunaan “alat-alat” yang sama usang dan universalnya dengan usia umat manusia. Heidegger lebih memaknai teknologi dalam pengertian teknologi modern. Selain itu, Heidegger juga menolak teknologi yang dipandang sebagai instrumen yang netral. Baginya, teknologi adalah sebuah dasar radikal (radically fundamental) dan fenomena menyeluruh (comprehensive phenomenon). Teknologi dipandang sebagai sesuatu yang lebih menyerupai karakter paling dalam dari kultur dan realitas modern.
Heidegger, dengan demikian, lebih memilih konsep teknologi yang akan dijelaskannya dengan sebutan esensi teknologi (the essence of technology). Akan tetapi, esensi teknologi yang dimaksud oleh Heidegger tidaklah sama dengan apa yang saat ini disebut dengan esensialisme (essentialism).
Isu Teknologi
“Dalam arti terakhir ini, Erscheinung, Heidegger memahami penampakan Ada. Tidak seluruh Ada menampakkan diri, karena dalam penampakannya Ada menyembunyikan diri. […] Ada seolah bermain dengan menyingkap dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Fenomenologi lalu dapat dipakai untuk mengakses Ada, yakni dengan membiarkan Ada terlihat.”
Pertanyaan yang pantas kita ajukan kemudian adalah: bagaimana fenomena teknologi menjadi sebuah isu tersendiri bagi Heidegger? Heidegger lahir dan tumbuh besar di daerah yang nir-teknologi. Masa kecilnya dipenuhi dengan gambaran-gambaran petani dan sekaligus juga tentara Romawi. Kedua gambaran ini jelas mempengaruhi pola pikir Heidegger tentang sebuah kekuatan besar (yang kemudian dijumpainya dalam fenomena teknologi). Sebagai seorang Katolik, ia sering merasakan penindasan yang dilakukan oleh kaum militer Protestan dari Kekaisaran Jerman dan bahkan juga dari sesama umat dalam lingkaran Katolik sendiri! Selain itu, ia sendiri termasuk penganut agama Katolik Ortodoks yang, di kampung halamannya di Messkirch, mengalami penindasan terkait dengan perbedaan pendapat tentang dogma-dogma yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan I. Melihat gambaran kisah masa kecil Heidegger, kita menemukan bahwa sedari kecil Heidegger sudah belajar menjadi skeptik dengan kekuatan-kekuatan besar yang mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan, serta sadar atau tidak menindas dan melumpuhkan hidup orang kecil.
Perkembangan visi hidup dan pemikiran (termasuk tentang teknologi) Heidegger selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari seorang filsuf yang berpengaruh, yakni Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl mengajarkan Heidegger untuk mengarahkan pemikiran tentang subjek-subjek abstrak dan akademis kepada “the things themselves”. Fenomenologi Husserl menggerakkan Heidegger untuk memberi perhatian pada dunia real, menganalisanya, dan berusaha menangkap fitur krusialnya (crucial features). Akan tetapi, nantinya Heidegger akan memilih jalannya sendiri. Ia menolak untuk mengikuti pencarian Husserl yang nyatanya bergerak ke hal yang semakin abstrak dan “complicated”. Heidegger memilih untuk bersikap “radical rigor”, masuk ke kedalaman (depth) daripada presisi (precision). Untuk lebih memahami perbedaan mendasar antara pendekatan Heidegger dan Husserl, penulis mengutip tulisan Budi Hardiman demikian,
“Dalam arti terakhir ini, Erscheinung, Heidegger memahami penampakan Ada. Tidak seluruh Ada menampakkan diri, karena dalam penampakannya Ada menyembunyikan diri. […] Ada seolah bermain dengan menyingkap dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Fenomenologi lalu dapat dipakai untuk mengakses Ada, yakni dengan membiarkan Ada terlihat. […] Pendekatan itulah yang dipakai. Ontologi sebagai fenomenologi berarti bahwa ‘Ada menampakkan dirinya’. Di sini pendekatan Heidegger berbeda dari Husserl. Heidegger meradikalkan konsep Husserl tentang intensionalitas, yaitu keterarahan kesadaran. Kesadaran kita, menurut Husserl, selalu terarah pada sesuatu di luarnya. Bagi Husserl intensionalitas adalah kesadaran akan sesuatu. […] Heidegger meradikalkan konsep intensionalitas ini. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar kesadaran akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih kesadaran dalam/sebagai sesuatu.” (penekanan menurut aslinya)[iii]
Maka, dalam hal ini, teknologi dilihat oleh Heidegger sebagai salah satu fenomena yang konkret dan sekaligus fundamental.
Sein und Zeit (Being and Time)
Pada tahun 1927, Heidegger menerbitkan bukunya yang berjudul Sein und Zeit (SZ). Dengan karyanya itu, nama Heidegger kemudian menjadi mahsyur.[iv] Sebenarnya, di dalam buku tersebut, Heidegger tidak membahas secara langsung mengenai topik mengenai teknologi. Topik ini ada dan dibahas secara implisit. Mengenai topik ini, Albert Borgmann berpendapat bahwa karya Sein und Zeit sebenarnya tidak berhasil membahas (failed to grasp) fenomena teknologi secara langsung karena dua alasan. Pertama, karya ini masih memiliki ambisi transendental untuk mengungkap kondisi universal dari eksistensi. Maka, karya ini gagal memfokuskan diri pada teknologi sebagai fenomena modern. Kedua, bagian yang sudah selesai dan sudah dipublikasikan merupakan persiapan dan terkait dengan human being sebagai tempat di mana being menjadi persoalan. Maka, karya ini melewatkan bahasan mengenai teknologi sebagai cara being mengungkapkan dirinya dalam era modern.
Namun, tanpa disadari oleh Heidegger, Borgmann menilai bahwa Sein und Zeit masih dapat mengantisipasi filsafat teknologinya dalam dua cara. Cara pertama adalah melalui proses diskusi kondisi normal dan tidak otentik eksistensi manusia (das Man). Ada tiga hal yang menjadi karakteristik dari the they (das Man). Pertama, talk (das Gerede). Talk merupakan cara untuk mengetahui dan berbicara. Cara ini dipandang telah menghilangkan kebersentuhannya dengan realitas dan yang saat ini telah menjadi apa yang kita sebut sebagai opini publik (public opinion). Kedua, curiosity (die Neugier). Heidegger melihat curiosity atau rasa ingin tahu seperti sebuah “restlessness” dan “distraction”. Ketiga, ambiguity (die Zweideutigkeit). Ambiguitas menjadi tanda munculnya fakta bahwa kita tidak lagi harus bertanggungjawab atas pandangan kita sejauh kita membentuk opini publik.
Cara kedua, yang mana Sein und Zeit secara implisit membahas mengenai teknologi, adalah melalui diskusi tentang kritik Heidegger terhadap penghancuran yang dilakukan teknologi. Heidegger sendiri mengungkapkan demikian, “Through radio, for instance, human being brings about a re-moval – yet to be determined in its existential significance – of the world by way of an expansion of the everyday environment” (SZ: 105). Bahkan dalam terbitan edisi tahun 1976, Borgmann menemukan bahwa Heidegger memberi tekanan tambahan dalam kalimat tersebut demikian, “… [E]xpansion and destruction of the everyday world.” (Heidegger 1979: 105, penekanan menurut Albert Borgmann).
Pengalaman Heidegger Bergabung dengan NAZI
Borgmann berpendapat bahwa bergabungnya Heidegger dalam rezim NAZI merupakan sebuah bencana besar dilihat dari sudut pandang manapun. Hal ini diperparah dengan, meskipun pengalaman ini terjadi dalam jangka waktu kurang dari setahun, fakta bahwa Heidegger tidak pernah bertanggung jawab untuk mengakui pengalamannya tersebut secara jujur. Disatu sisi, Borgmann menganggap pengalaman ini merupakan sebuah bencana personal, sebab akhirnya Heidegger merasa ditolak secara tidak langsung dalam salah satu kuliah pertamanya setelah kegagalan rektoratnya. Di lain sisi, Borgmann menilai pengalaman ini sebagai sebuah bencana “filosofis”. Mengapa demikian? Sebab ada sekelumit hal sebenarnya dapat dipropagandakannya dari “mimbar” rektor. Di balik pengakuan tercelanya pada chauvinism dan tuduhan pada Hitler, hal yang ingin ditawarkan oleh Heidegger sebenarnya adalah lawan dari karakteristik-karakteristik “the inauthentic they”, seperti dedikasi, disiplin, dan pelayanan.
Terkait dengan pengalaman ini, nantinya Heidegger akan melihat karakter totalitarian National Socialism sebagai perjumpaan antara teknologi dan modernitas (the encounter of planetary technology and modern humanity). Secara khusus, Heidegger memaknai peristiwa holocaust sebagai pembunuhan dalam kamar gas dan kamp konsentrasi (the fabrication of corpses in gas chambers and annihilation camps). Teknologi, dalam pandangan Heidegger, dianggap sebagai “bahan dasar” dari peristiwa holocaust. Akan tetapi, Borgmann tetap sadar betul bahwa Heidegger pasti memandang kejahatan fasisme dan rasisme lahir dari kedalaman yang jauh lebih dalam dari pada sekadar teknologi.
Contribution to Philosophy
Pada tahun 1936, Heidegger mulai menuliskan investigasi dan refleksinya lebih tajam yang menggambarkan filsafat teknologinya. Investigasi dan refleksinya ini disimpulkan pada tahun 1938 dan dipublikasikan tahun 1989 dengan judul Contribution to Philosophy (Of the Event). Di dalam buku ini, Heidegger melihat teknologi sebagai sebuah hasil (outcome) dari metafisika; konsentrasi pada struktur dan kenampakan (presentation) objek. Heidegger sampai pada sebuah keyakinan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa segala sesuatu ada untuk human machination. Inilah yang menjadi pemahaman awal Heidegger mengenai esensi teknologi. Hal ini bukanlah merupakan konstruksi sosial maupun kesalahan individu-individu.
Dua hal yang menjadi daya dorong bagi filsafat Heidegger dewasa, sebagaimana ditunjukkan oleh Contribution to Philosophy, adalah adanya tekanan yang intens pada karakter budaya modern dan perhatiannya pada budaya pedesaan dari tempat asalnya. Daya dorong ini tampak betul dalam kalimat-kalimat yang muncul dari Heidegger, di satu sisi menggambarkan derita yang dialaminya akibat budaya teknologi, di sisi lain, adanya inspirasi suasana pedesaan yang mempengaruhi pikirannya. Heidegger menggambarkan pekerjaannya demikian,
“How then does the thinker save the truth of beyng if not in the heavy slowness of the walk of his questioning steps and their fixed sequence? Inconspicuously, as on the lonely field under the big sky, the sower with his heavy, halting, ever composed step walks along the furrows and with the cast of his arm measures and shapes of all growth and ripening.” (GA 65: 19)[v]
Conversations on a Country Road
Apabila terus setia menelusuri tulisan-tulisan Heidegger, kita akan mendapatkan pemahaman lebih jauh dari Heidegger mengenai teknologi dalam tulisannya yang berjudul “Conversations on a Country Road” (1944-1945), sebuah karya yang tidak dipublikasikan semasa hidup Heidegger. Karya ini berisi percakapan dari tiga tokoh (fiktif), yakni peneliti (seorang ahli fisika), sarjana (seorang filsuf tradisional), dan orang bijaksana, yang merupakan Heidegger sendiri.
Salah satu dialog mengenai teknologi dimulai oleh sang peneliti yang mengatakan demikian,
“And so, generally speaking, technology is a particular kind of thinking, namely the sort of thinking that concerns itself with the practical application of the theoretical sciences for the purpose of dominating and exploiting nature. Hence we physicists commonly say that technology is nothing but applied science.” (GA 77: 6, tekanan dari penulis)[vi]
Akan tetapi, orang bijaksana (yang adalah Heidegger sendiri) tidak setuju. Baginya,
“… [T]echnology is prior to science in the sense that the objectifying spirit of technology, understood as the temperament of the modern era, underlies both science and technology, the latter taken in the specific sense of the Researcher.” (tekanan dari penulis)[vii]
Dari dialog-dialog yang terungkap, Borgmann mengungkapkan bahwa masalah sebenarnya dari gambaran saintifik alam adalah bukan karena sains merusak dan menyalahgunakan alam. Masalah sebenarnya adalah pandangan saintifik, karena kepentingannya sendiri, mengaburkan moral dan kekuatan puitis (poetical force) dari alam.
Dalam tulisan-tulisan terakhirnya tentang teknologi, Heidegger kemudian menarik distingsi yang jelas antara “esensi teknologi” dan “teknologi”. Heidegger menyebut “esensi teknologi” untuk menunjuk ranah yang lebih luas dan penting, sedangkan menyimpan sebutan “teknologi” bagi pengertian tentang ranah industri dan mekanik, ranah yang lebih sempit. Selain itu, di dalam tulisan ”The Conversation on a Country Road” ini, Heidegger mengungkapkan betapa pentingnya sikap sabar dan beryukur yang nantinya akan menjadi bagian krusial dalam pemikirannya dan merupakan kondisi yang diperlukan bagi penantian akan kekuatan yang dapat menyelamatkan kita dari kehancuran teknologi.
Sikap sabar dan bersyukur Heidegger itu dapat dilihat dalam dialog berikut,
Researcher: What in the world am I supposed to do?
Scholar: That’s my question as well.
Sage: We are not supposed to do anything but wait.
Scholar: That’s poor consolation.
Sage: Poor or not, we are not to expect solace either, which is what we do even when we merely slip into despair. (GA 77: 110, tekanan dari penulis)[viii]
The Questions Concerning Technology
Pada tahun 1954, terkait dengan teknologi, Heidegger menerbitkan salah satu esai kuliahnya yang berjudul “The Question Concerning Technology”. Essay ini terbagi ke dalam delapan bagian, atau yang mungkin lebih baik kita sebut sebagai “langkah”. Dalam langkah pertama, Heidegger mulai dengan menggambarkan investigasinya terhadap teknologi sebagai sebuah “building of path”. Kedua, ia memaparkan pemahaman tentang teknologi tersebut sebagai sebuah instrumen netral di bawah kendali manusia. Heidegger sendiri tidak setuju dengan pemahaman ini dan berkehendak untuk menemukan “true sense via the correct sense”.
“Di dalam langkah yang terakhir, Heidegger mengatakan bahwa harapan terbaik kita saat ini adalah seni, karena seni mirip dengan esensi teknologi dan sekaligus berbeda secara mendasar.”
Di dalam langkah ketiga, ia menganalisa ide instrumentalitas untuk mencapai kebenaran atau esensi teknologi. Instrumentalitas ditelusuri melalui kausalitas. Kausalitas dijelaskan dengan teori 4 kausa Aristoteles. Dalam langkah keempat, Heidegger mengundang kita untuk melihat teknologi sebagai sebuah bentuk pengungkapan (revealing) yang dikonstitusikan oleh teknologi modern. Penjelasan Heidegger dalam langkah ini lantas membentuk lima kata kunci dalam filsafat teknologinya. Teknologi modern (1) menantang (challenges/herausfordern) alam untuk menghasilkan hal-hal berharga bagi manusia. Selanjutnya, teknologi (2) menempatkan (positions/stellen) dan (3) mengatur (orders/bestellen) hasil alam tadi sehingga dapat tersedia bagi manusia dan dapat langsung dibuang apabila sudah digunakan. Apapun yang ditempatkan dan diatur tersebut akan menjadi (4) sumber daya (resource/der Bestand). Akhirnya, Heidegger merangkum semua kata kunci ini dalam satu kata kunci besar yang disebut (5) kerangka (the framework/das Gestell).
Dalam langkah kelima, Heidegger mendiskusikan relasi antara sains modern (modern science) dan esensi teknologi (essence of technology). Ia mengulangi argumennya dalam tulisan “Conversations on a Country Road” yang mengatakan bahwa “(the essence) of technology is prior to science” dan ia melakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun (terkait karakter “disclosive” sains yang ketat). Langkah keenam membawa Heidegger pada sebuah kerangka (framework) teknologi sebagai tujuan (destiny) dan mengantarnya pula pada pertanyaan tentang bagaimana manusia terlibat dalam pengecualian (dispensation) kerangka tersebut. Tujuan yang dimaksud bukanlah sebuah nasib yang tidak dapat terhindarkan yang menimpa kemanusiaan (descends humanity). Tujuan tersebut juga bukanlah hasil dari keinginan manusia. Penyingkapan (disclosure) tujuan dan kebebasan manusia adalah satu dan sama.
Heidegger mengungkapkan bahwa dari pemahaman tentang tujuan ini lantas muncul dua bahaya, yang kemudian dibahas sebagai langkah ketujuh. Bahaya yang pertama adalah bahwa manusia kemudian mereduksi dirinya sendiri sebagai sebuah sumber daya (resource). Bahaya yang kedua adalah bahwa penyingkapan dari kerangka teknologi menyembunyikan setiap pengecualian. Di dalam langkah yang terakhir, Heidegger mengatakan bahwa harapan terbaik kita saat ini adalah seni, karena seni mirip dengan esensi teknologi dan sekaligus berbeda secara mendasar. Heidegger menganggap bahwa seni mengandung tegangan antara menyembunyikan dan menyingkap kebenaran. Terkait dengan seni sebagai harapan terbaik ini, Budi Hardiman mengatakan demikian,
“Teknik menjadi mimpi buruk bagi kita, tetapi Heidegger masih menaruh harapan dengan mengutip Hölderlin, “Wo aber Gefahr ist, wächst das Rettende auch” (Di mana ada bahaya di situ bertambah juga yang menyelamatkan). Akhirnya, karena bahasa metafisika tidak mampu menangkap Ada, Heidegger pun mencoba mengembangkan bahasa sendiri dengan membaca puisi-puisi Hölderlin.”[ix]
Penutup: Kritik dan Apresiasi Borgmann terhadap Heidegger
Borgmann memang mendasarkan pandangan mengenai teknologi miliknya pada Heidegger. Akan tetapi, Borgmann juga memberikan kritik pada Heidegger. Borgmann berpendapat bahwa jawaban Heidegger terhadap bahaya teknologi masih dapat dipermasalahkan. Borgmann melihat adanya empat masalah dalam pemikiran Heidegger mengenai teknologi.
“Borgmann menilai bahwa masih terdapat “jurang yang lebar” antara kedalaman pemikiran Heidegger mengenai “the thing” dan teknologi dengan masalah yang terdapat dalam suasana budaya dan politik kontemporer hidup kita.”
Pertama, penjelasan yang diberikan Heidegger terutama dalam tulisan “The Question Concerning Technology”, bagi Borgmann, dianggap tidak memuaskan. Masalah muncul dalam relasi yang dekat (yang tampak dalam kuliah terakhir serial Bremen, yakni “The Turn”) antara kerangka teknologi (the framework of technology) dan “the fourfold of the thing”[x] dalam pandangan Heidegger. Dalam The Bremen Lectures[xi], “The Thing” dituliskan pertama dan kemudian diikuti oleh “The Framework”. Proposisi ini, sebagai tanggapan atas bahaya teknologi, dianggap tersingkap secara tidak terpercaya.
Masalah kedua ditemukan oleh Borgmann dalam tulisan “The Question Concerning Technology”. Masalah tersebut terdapat dalam relasi antara penyingkapan kerangka (the disclosure of the framework) dan keterlibatan kemanusiaan. Borgmann mempertanyakan Heidegger: Apakah manusia benar-benar bebas untuk berpartisipasi dalam penyingkapan ini atau tidak?
Masalah ketiga terdapat dalam kegagalan kerangka (the framework) memancarkan cahaya daya tarik teknologi. Borgmann menganggap bahwa Heidegger, ketika berbicara tentang teknologi, malah menyampaikan sisi agresivitas dan rasa berat dari teknologi. Ia samasekali tidak berbicara tentang rasa senang dari perilaku menggunakan teknologi.
Masalah keempat dan sekaligus terakhir adalah mengenai relasi dalam masyarakat (society relation). Meskipun “the thing” dan “its fourfold world” merupakan cara yang baik dalam menyelesaikan masalah dalam teknologi, namun kita masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana penyelesaian ini dapat berbuah secara sosial dan politis. Borgmann menilai bahwa masih terdapat “jurang yang lebar” antara kedalaman pemikiran Heidegger mengenai “the thing” dan teknologi dengan masalah yang terdapat dalam suasana budaya dan politik kontemporer hidup kita.
Meski demikian, lepas dari kritik-kritik Borgmann terhadap Heidegger ini, Albert Borgmann tetap mengapresiasi dan mengakui pentingnya filsafat teknologi Martin Heidegger. Ada tiga hal penting yang dibawa oleh filsafat teknologi Heidegger menurut Borgmann. Pertama, Heidegger memperlihatkan bahwa teknologi adalah sebuah fenomena dari sebuah kemendalaman, pemikiran yang luas, dan akibat yang radikal. Maka, Heidegger sungguh menyumbangkan karya pemikiran yang serius dan telaten dalam khazanah filsafat teknologi. Hal kedua adalah pilihan contoh-contoh yang tepat. Heidegger dengan cermat dapat memilih contoh yang konkret, bervariasi, dan provokatif dalam tulisan-tulisannya. Terakhir, mengenai pemikiran Heidegger yang kuat dan sekaligus menggunakan terminologi yang distingtif. Terminologi yang baik mencegah insight-insight lenyap dan “menguap” begitu saja, serta membantu untuk melakukan eksplorasi pemikiran yang lebih jauh dan mendalam.
Catatan Akhir:
[i] Albert Borgmann lahir di Freiburg, Jerman pada tahun 1937. Ia adalah seorang filsuf dengan spesialisasi dalam bidang filsafat teknologi.
[ii] Albert Borgmann, “Technology,” in A Companion to Heidegger, edited by Hubert L. Dreyfus and Mark A. Wrathall (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 420-32.
[iii] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2003), 28-9.
[iv] Bdk. Mudji Sutrisno, FX dan F. Budi Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 119.
[v] Albert Borgmann, “Technology,” 425.
[vi] Albert Borgmann, “Technology,” 426.
[vii] Albert Borgmann, “Technology,” 426.
[viii] Albert Borgmann, “Technology,” 427.
[ix] F. Budi Hardiman, Heidegger, 41-2.
[x] Saya memaknai konsep “the fourfold of the thing sebagai “earth, sky, gods, and men” sesuai kutipan tulisan Lawrence W. Howe berikut, “The essence of the thing is that which gathers-up and comes together, creating a presence of the fourfold unity of earth, sky, gods, and men. The thing manifests the harmonious interplay of the fourfold in the world.” Lawrence W. Howe, “Heidegger’s Discussion of ‘The Thing’”, http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1844&context=bts, diakses tanggal 16 Maret 2016 pukul 8.56 WIB.
[xi] The Bremen Lectures terdiri dari empat kuliah/tulisan. Dengan judul besar “Insight into What Is”, Heidegger menyampaikan buah-buah pemikirannya sejak tahun 1935 dalam empat kuliah, yakni The Thing (Das Ding), The Framework (Das Ge-stell), The Danger (Die Gefahr), dan The Turning (Die Kehre).
Daftar Pustaka:
Borgmann, Albert. “Technology.” In A Companion to Heidegger. Edited by Hubert L. Dreyfus and Mark A. Wrathall. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG, 2003.
Howe, Lawrence M. “Heidegger’s Discussion of ‘The Thing’”. http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1844&context=bts. Diakses tanggal 16 Maret 2016 pukul 8.56 WIB.
Mudji Sutrisno, FX dan F. Budi Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1992.