Paus Fransiskus, dalam ensiklik Laudato Si’, mengatakan bahwa perkembangan teknologi selama dasawarsa terakhir ini telah memberikan kekuasaan yang mempesona atas seluruh manusia dan dunia bagi mereka yang memiliki pengetahuan, terutama kekuatan ekonomis untuk menerapkannya.[1] Dalam hal ini, kapitalisme yang sungguh tahu bagaimana cara memanfaatkan teknologi, menghadirkan diri dengan kehendak untuk berkuasa dan mendominasi, yang siap melibas dan meminggirkan apapun. Dengan demikian, kapitalisme dan teknologi menjadi hantu yang siap meresahkan siapapun. Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan: (1) relasi teknologi dan kapitalisme, (2) rasionalitas teknologi menurut Heidegger, (3) kapitalisme yang mengadopsi paradgima teknologi dalam perjuangan dominasinya, dan (4) akan ditutup dengan tanggapan kritis dan kesimpulan.
Teknologi dan Kapitalisme
Menurut Daniel Sarewitz, kuasa adalah proyeksi manusia untuk mengendalikan dan dominasi ini entah secara politis atau militeristik selalu berkaitan dengan keunggulan teknologi. Dalam sejarah tercatat, superioritas teknologi akan selalu membawa pemiliknya menuju kepada penguasaan kekuatan militer dan ekonomi yang selanjutnya akan mendorong penguasaan sumber daya. Teknologi dan kekuasaan terhubung satu sama lain dalam iklim kompetisi umat manusia, sebab kekuasaan dan teknologi tumbuh bersama, saling mengembangkan (co-evolve) dan saling meningkatkan. Dengan kata lain, pencarian kekuasaan secara inheren dicapai lewat adopsi dan pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan kekuasaan tersebut,[2] dan dengan demikian, sejarah dapat dikatakan sebagai sebuah kisah aplikasi pengembangkan teknologi dalam pengadaan kekuasaan.[3]
Kekuatan kapitalisme dengan teknologinya secara berangsur-angsur telah mentransformasi tujuan kapitalisme lebih jauh dari sebuah sistem produksi menjadi pengumpulan keuntungan.
Dalam sejarah, kekuatan ekonomi kapitalisme merupakan pihak yang percaya pada kekuatan dominasi teknologi. Menilik ke belakang, kebangkitan kapitalisme dimulai pada saat terjadinya revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, kapitalisme benar-benar memanfaatkan teknologi yakni mesin-mesin manufaktur untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam memproduksi barang, sehingga bisa didapatkan keuntungan yang amat besar. Menurut David M.Kaplan, peranan kunci kebangkitan kapitalisme adalah teknologi, yang membuat mekanisasi dan mesinisasi sistem produksi menjadi mungkin.[4]
Dalam babak selanjutnya, inovasi teknologis managemen saintifik model Frederick Taylor (The Principles of Scientific Management, 1911) membuat kehadiran kapitalisme semakin kokoh. Menurut Kaplan, tujuan dari managemen saintifik ini adalah untuk meningkatkan efisiensi produksi, memaksimalkan output dan mengembangkan teknik untuk memotivasi pegawai. Taylor memperkenalkan sebuah praktik seperti standarisasi managemen, pembagian tugas yang terspesialisasi, desain kerja dan desain metode analisis, dan sebagainya. Kekuatan kapitalisme dengan teknologinya secara berangsur-angsur telah mentransformasi tujuan kapitalisme lebih jauh dari sebuah sistem produksi menjadi pengumpulan keuntungan.[5] Demikianlah, kapitalisme memperoleh kekuatan dominasinya lewat teknologi.
Sejak dahulu manusia memang telah turut campur tangan atas alam, tetapi untuk waktu yang lama aktivitas itu berciri mendukung sambil menyesuaikan diri pada kemungkinan yang ditawarkan oleh benda-benda alam itu sendiri, manusia menerima apa yang diberikan oleh alam. Akan tetapi, kini campur tangan manusia itu berniat untuk memeras sebanyak mungkin segala benda, sambil mengabaikan atau melupakan kenyataan yang ada di depannya. Dari paradigma inilah, kemudian mengalir gagasan pertumbuhan tanpa batas, yang telah menggairahkan banyak ekonom, pemodal, dan teknolog untuk mengeksploitasi alam.
Heidegger dan Rasionalitas Teknologi
Bagaimana teknologi bisa memberi pandangan rasionalitas paradigma seperti yang dijelaskan di atas? Dalam hal ini, Heidegger, dalam A Question Concerning Technology and Other Essay, memberikan uraian yang mendalam perihal rasionalitas teknologi. Budaya teknologi, bagi Heidegger, adalah hal yang menentukan hidup manusia dalam era modern akhir-akhir ini sebab kesejahteraan manusia bergantung pada kemampuan mereka untuk, melalui teknologi, menuju ke “dunia yang lain” (another kind of world). Borgmann mengungkapkan pemikiran Heidegger demikian,
“And so, generally speaking, technology is a particular kind of thinking, namely the sort of thinking that concerns itself with the practical application of the theoretical sciences for the purpose of dominating and exploiting nature. Hence we physicists commonly say that technology is nothing but applied science.”[6]
Dari kutipan ini, menurut Borgmann, Heidegger menjelaskan bahwa teknologi adalah sebuah dasar radikal (radically fundamental) dan fenomena menyeluruh (comprehensive phenomenon). Teknologi dipandang sebagai sesuatu yang lebih menyerupai karakter paling dalam dari kultur dan realitas modern, yakni menguasai alam.
Heidegger menjelaskan bahwa persoalan dalam A Question Concerning Technology adalah esensi teknologi dalam kaitannya dengan eksistensi manusia. Apa yang penting bagi Heidegger bukan teknologi itu sendiri atau bentuk-bentuk teknologi tetapi cara oritentasi kita terhadap teknologi. Heidegger sendiri menulis demikian,
“Ada yang mengatakan bahwa teknologi merupakan sarana untuk suatu tujuan. Yang lain mengatakan bahwa teknologi adalah aktivitas manusiawi. Kedua definisi mengenai teknologi ini dapat dikumpulkan bersama karena untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana-sarana adalah suatu bentuk aktivitas manusiawi. Pembuatan dan pemanfaatan peralatan, alat dan mesin, benda yang dihasilakan dan digunakan, dan kebutuhan dan tujuan yang dipenuhi oleh mereka, semunya tergolong dalam apa itu teknologi. Seluruh perencanaan, penyusunan dan penciptaan alat merupakan teknologi. Teknologi itu sendiri adalah satu ciptaan – dalam bahasa Latin, sejenis instrumentum”[7]
Menurut Heidegger, definisi yang bersifat instrumental dan antropologis bersifat dangkal, karena mengimplikasikan bahwa teknologi itu merupakan sesuatu hal yang netral. Bagi Heidegger, definisi ini betul (correct) hanya saja belum benar (true), sebab apa yang betul hanyalah benar dalam arti tertentu saja.
Dalam Being and Time, Heidegger hendak mencari apa yang ontologis melalui apa yang ontis, yakni entitas-entitas dan apa yang berlaku sehari-hari. Heidegger selanjutnya menerapkan strategi yang sama dalam pemahamannya tentang teknologi dalam A Question Concerning Technology. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Heidegger menemukan bahwa definisi antropologis dan instrumental dari teknologi adalah secara fungsional ontis. Definisi ini betul tetapi hanya merupakan kebenaran parsial. Dalam hal ini, Heidegger justru menemukan bahwa teknologi itu bukan hanya persoalan ontis tetapi juga ontologis. Teknologi dalam arti ontologis merupakan suatu cara kebenaran menyingkapkan diri dengan cara tertentu.[8] Kebenaran bagi Heidegger adalah ketidaktersembunyian (aletheia) yang dimunculkan lewat penyingkapan (Lichtung).
Penyingkapan yang dominan dalam teknologi modern ini bersifat menantang (Herausfordern, challenging-forth), yang menuntut alam secara berlebihan untuk menyumbangkan energinya supaya manusia dapat menyimpan dan menggunakannya.
Dengan demikian, teknologi (techne) merupakan suatu cara penyingkapan, yakni menyingkapkan apa yang tidak dapat mengemukakan-dirinya-ke-hadapan (bringing-forth) dan apa yang belum di depan kita. Heidegger melihat bahwa teknologi modern bukan seni tangan, tetapi suatu penyingkapan. “Hanya sebagai penyingkapan dan bukan sebagai pembuatan, techne merupakan suatu jenis mengemukakan-ke-hadapan.”[9] Penyingkapan yang dominan dalam teknologi modern ini bersifat menantang (Herausfordern, challenging-forth), yang menuntut alam secara berlebihan untuk menyumbangkan energinya supaya manusia dapat menyimpan dan menggunakannya. Alam dan bumi dilihat sebagai persediaan (Bestand, standing reserve) yang bisa diambil, disimpan, dan digunakan.
Selanjutnya, menurut Heidegger, Gestell (membingkai) menjadi kata kunci dalam melihat teknologi. Bagi Heidegger, teknologi sebagai penyingkapan selalu bersifat membingkai, suatu cara sistematik dan mengkotak-kotak untuk memandang dunia. Dengan membingkai, seluruh bumi dilihat sebagai persediaan, alam dilihat sebagai sumber energi untuk kegunaan instrumental manusia.[10] Menurut Heidegger, pemahaman bumi sebagai persediaan menjadi syarat kemungkinan bagi terciptanya alat-alat teknologi yang mampu mendominasi alam. Dalam hal ini, terhadap dunia yang dipandang sebagai persediaan (noema), manusia akan bersikap/bereaksi (noetis) membuka, mentransformasi, menyimpan, menyalur, dan menukar-nukar yang merupakan cara penyingkapan, sehingga semuanya dapat dijadikan persediaan yang dapat digunakan kapan saja apabila membutuhkan. Penyingkapan yang mendominasi dalam teknologi modern tersebut bersifat memaksa (setting-upon) dalam arti menantang-ke-hadapan (challenging-fourth). [11]
Konsekuensi buruk dari pandangan dunia semacam itu yakni jika terjadi kesalahan menginterpretasikan ketidaktersembunyian—kesalahan dalam menganggap yang betul sebagai benar dan kesalahan dalam menanggap bagian-bagian sama dengan keseluruhan. Bahkan lebih dari itu, di sini manusia pun bisa dilihat sebagai persediaan. Ketika manusia melihat dirinya sebagai daya/persediaan, manusia juga menganggap dirinya sebagai tuan atas segala-galanya. Cara pandang yang membingkai, menyembunyikan esensi entitas yang sebenarnya itu bersifat parsial dan tidak utuh, yang kemudian mengantarkan kepada suatu sudut pandang yang instrumental. Dalam pandangan teknologi, dunia selalu dipandang sebagai siap pakai (ready to hand, Zuhandenes). Apa yang berbahaya dari teknologi modern adalah dorongannya untuk mentotalkan (totalize) dirinya di hadapan tiga dimensi, yakni noetis, interpretatif dan noematis, sehingga penyingkapan dari kerangka teknologi selalu menyembunyikan setiap pengecualian.
Kapitalisme, Paradigma Teknologi dan Kehendak untuk Menguasai
Setelah Heidegger memberikan penjelasan rasional mengenai esensi teknologi, maka sekarang menjadi masuk akal mengapa kapitalisme dengan sarana-sarana teknologinya bisa menjadi sedemikian berkuasa. Teknologi yang menurut Heidegger merupakan suatu cara penyingkapan yang tidak dapat mengemukakan-dirinya-ke-hadapan (bringing-forth), yang selalu bersifat memaksa (challenging-forth), menjadi sarana efektif untuk menuntut (mengeksploitasi) alam. Alam dan bumi dilihat sebagai persediaan (Bestand, standing reserve) yang bisa diambil, disimpan, dan digunakan. Kapitalisme mempunyai modal untuk mengembangkan teknologi dan dengan teknologi itu, kapitalisme mendapat senjata ampuh untuk berkuasa, mendominasi dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tumbuh bersama, saling mengembangkan (co-evolve) dan saling meningkatkan. Demikianlah, tampak bahwa kapitalisme telah memperoleh daya politisnya.
Seperti yang dikatakan Heidegger, apa yang berbahaya dari teknologi modern adalah dorongannya untuk mentotalkan (totalize), sehingga penyingkapan dari kerangka teknologi yang selalu membingkai selalu menyembunyikan setiap pengecualian.
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus dalam Laudato Si, dalam dominasi kapitalis itu, paradigma yang kemudian dipegang dan dikembangkan adalah paradigma teknokratis.[12] Paradigma, yang oleh Heidegger diistilahkan dengan “membingkai” (framing), kemudian merasuk ke dalam dunia politik-ekonomi, sehingga ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatif bagi manusia dan makluk lain. Dalam pola pikir profit, tidak ada ruang untuk berpikir tentang irama alam, fase layu dan regenerasi, atau tentang kompleksitas ekosistem yang dapat serius diubah oleh campur tangan manusia. Alam hanya dipikirkan sebagai sumber daya/persediaan ekonomi untuk dieksploitasi, tanpa pemikiran serius tentang nilainya yang riil, maknanya bagi manusia dan budaya, atau kepentingan serta kebutuhan masyarakat miskin. Spesialisasi dalam teknologi sendiri membuatnya sangat sulit untuk melihat keseluruhan. Fragmentasi pengetahuan bermanfaat dalam mengadakan aplikasi konkrit tetapi sering menyebabkan hilangnya kepekaan untuk keseluruhan, hubungan berbagai hal dan cakrawala lebih luas yang menjadi tidak relevan. Seperti yang dikatakan Heidegger, apa yang berbahaya dari teknologi modern adalah dorongannya untuk mentotalkan (totalize), sehingga penyingkapan dari kerangka teknologi yang selalu membingkai selalu menyembunyikan setiap pengecualian. Penyingkapan yang mendominasi dalam teknologi modern tersebut bersifat memaksa (setting-upon), dalam arti menantang-ke-hadapan (challenging-fourth), dan siap menjadikan alam sebagai persediaan (Bestand, standing reserve) yang bisa diambil, disimpan, dan digunakan.[13]
Seperti yang dikatakan para penganut substantivisme, teknologi modern Barat berakar pada perusahaan kapitalis, yang mengutamakan produksi dan keuntungan. Dengan memusatkan pada peranan teknologi, terjadi instrumentalisasi yang selanjutnya akan mengancam dunia, lewat eksploitasi atas alam dan manusia yang berlebihan. Hal semacam ini bukan lagi melulu ideologi tetapi sudah ada dalam desain teknologi itu sendiri. Dalam isu kapitalisme modern, kapitalisme cenderung untuk mengidentifikasi teknologi sebagai suatu instrumentalisasi di mana di dalamnya kontrol atas segala sesuatu dijamin.[14] Para kapitalis menerapkan sebuah teknologi yang semakin canggih dan kuat, untuk mendapatkan kontrol atas alam dan bahkan manusia. Karena teknologi cenderung berkembang ke arah penciptaan kebutuhan baru, hiperkonsumsi, kenyamanan dan kesenangan hari ini, maka eksploitasi sumber daya makin meningkat, terutama untuk kebutuhan kultural. Demikian, di tangan kapitalis, teknologi mengedepankan pengaturan rasional dan efisien. Dalam rasionalitas ini, rasionalitas yang diusung adalah rasionalitas sarana-tujuan atau instrumental perhitungan untung-rugi. Pendekatan pragmatis utilitarian menjadi dominan, sehingga tolok ukur kuantitatif lebih diutamakan daripada yang kualitatif. Bahayanya, teknologi telah merumuskan hidup kita dalam acuan produksi dan konsumsi.
Dalam isu kapitalisme modern, kapitalisme cenderung untuk mengidentifikasi teknologi sebagai suatu instrumentalisasi di mana di dalamnya kontrol atas segala sesuatu dijamin.
Pada akhirnya, benarlah apa yang dikatakan Heidegger, bahwa produk-produk teknologi tidak netral. Mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke arah kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa. Beberapa pilihan tampaknya hanya mengenai peralatan, dalam kenyataannya, adalah pilihan tentang jenis kehidupan sosial yang ingin dikembangkan. Sesungguhnya, teknologi cenderung menyerap segala sesuatu ke dalam logikanya yang ketat, dan mereka yang hidup di tengah teknologi tahu benar bahwa apa yang pada akhirnya diperjuangkan dalam bidang ini bukanlah manfaat, bukan kesejahteraan umum umat manusia, tetapi sebuah dominasi.
Tanggapan Kritis dan Penutup
Pada saat ini ada kecenderungan untuk percaya “bahwa setiap peningkatan kekuasaan, dengan sendirinya membawa kemajuan dan peningkatan dalam hal keamanan, faedah, kesejahteraan, daya hidup dan keutuhan nilai-nilai”, seolah-olah kenyataan, kebaikan, dan kebenaran otomatis mengalir dari kekuatan teknologi dan ekonomi itu sendiri. Faktanya adalah “manusia modern belum siap menerima pendidikan yang diperlukan untuk menggunakan kekuasaannya dengan baik”, karena kemajuan besar teknologi belum disertai dengan pengembangan manusia dalam hal ini tanggung jawab, nilai-nilai dan hati nurani.[15] Di sini akhirnya kita bisa melihat bahwa kehadiran kapitalis dan teknologi menjadi semacam hantu yang ditakuti sungguh ditakuti, membuat kita menjadi resah. Kapitalis lewat teknologi, telah memperoleh kekuatan politis untuk menguasai.
Apakah kita harus terus pesimis terhadap teknologi seperti yang dikatakan Heidegger? Bukankah kehadiran teknologi tidak bisa dibalikan dan tidak bisa dihentikan, bahkan kehidupan manusia sekarang dan masa depan akan ditentukan oleh teknologi? Seperti yang dikatakan Borgmann, ia menilai bahwa masih terdapat jurang yang lebar antara kedalaman pemikiran Heidegger mengenai teknologi dengan masalah yang terdapat dalam suasana budaya dan politik kontemporer. Heidegger lebih menyampaikan sisi agresivitas dan rasa berat dari teknologi dan tidak berbicara tentang rasa senang dari perilaku menggunakan teknologi. Bukankah teknologi juga telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan kita?
Heidegger lebih menyampaikan sisi agresivitas dan rasa berat dari teknologi dan tidak berbicara tentang rasa senang dari perilaku menggunakan teknologi.
Barangkali kita perlu mengusung semangat seperti yang dikatakan E.F. Schumacher, dalam bukunya Small is Beautiful, membahas tentang teknologi yang berwajah kemanusiaan. Setelah kita mengalami fase techonophilia (usaha untuk menerapkan teknologi pada semua bidang) yang akhirnya membawa pada sebuah technophobia (keterikatan romantis dan identifikasi erotis teknologi akhirnya menimbulkan penderitaan, keluhan, dan rasa takut dan keresahan), kita perlu memanusiakan kembali teknologi, yang oleh Schumacher disebut dengan appropriate techonolgy (keserasian antara teknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem). Dalam tahap ini, manusia diundang untuk (1) melihat kembali dan memperbarui komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan (2) menghidupkan kembali kesenian, pertukangan, keahlian dan keterampilan lainnya dengan tekanan lebih besar pada perkembangan pribadi manusia daripada supremasi teknologi atas alam dan manusia. Dengan demikian, semua teknologi harus dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi tuntutan-tuntutan seperti, teknologi harus baik secara termodinamis untuk menghasilkan dan menggunakan energi serta untuk mengimbangi semua kerugian baik ekonomis maupun ekologis dan teknologi harus bersifat promotor perkembangan manusia, sehingga proses teknologi harus lebih menopang hidup daripada mengancamnya.[16]
Pada akhirnya, cara berpikir teknologis yang diadopsi oleh kapitalisme menghadirkan masalah baru. Masalah mendasar dari cara berpikir itu adalah cara manusia mengadopsi teknologi dan perkembangannya dengan paradigma yang seragam dan hanya dari satu sudut pandang. Model ini mengagungkan konsep subjek, dengan menggunakan prosedur yang logis dan rasional, langkah demi langkah mendekati dan mengontrol objek di luar. Subjek berusaha mengembangkan metode ilmiah dengan eksperimen-eksperimen yang sudah jelas merupakan teknik kepemilikan, penguasaan, dan transformasi. Dalam hal ini, bisa dibayangkan bahwa seolah-olah subjek berdiri di hadapan sesuatu yang belum berbentuk, sepenuhnya tersedia untuk dimanipulasi, didominasi dan dikeruk habis-habisan. Dengan demikian, untuk selanjutnya kita diundang untuk “memanusiakan” kembali teknologi sehingga keberadaannya dapat sungguh menopang kehidupan seluruh ciptaan di bumi ini.
Catatan Akhir:
[1] Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama (penerj. Martin Harun OFM) (Jakarta: Obor, 2015), 80 (No. 105).
[2] Daniel Sarewitz, “Technology and Power”, A Companion to The Philosophy of Technology oleh Jan Kyrre Berg Olsen, Stigandur Pedersen, dan Vincent F. Hendricks (eds.), hlm. 308-310 (West Sussex, Oxford, MA: Wiley-Blackell Publishing Ltd., 2009), 308-309.
[3] Daniel Sarewitz, “Technology and Power”, 308.
[4] David M. Kaplan, “Technology and Capitalism”, A Companion to The Philosophy of Technology oleh Jan Kyrre Berg Olsen, Stigandur Pedersen, dan Vincent F. Hendricks (eds.), hlm. 333-337 (West Sussex, Oxford, MA: Wiley-Blackell Publishing Ltd., 2009), 333.
[5] Kaplan, “Technology and Capitalism”, 335.
[6] Albert Borgmann, “Technology,” A Companion to Heidegger, oleh Hubert L. Dreyfus and Mark A. Wrathall (eds.), (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 426.
[7] Martin Heidegger, A Question Concerning Technology and Other Essay (trans. oleh William Lovit) (New York: Harper & Row, 1977), 4.
[8] Heidegger, A Question Concerning Technology, 13.
[9] Drew Leder, “Modes of Totalization: Heidegger on Modern Technology and Science”, Philosophy Today, Fall, 1985, 246.
[10] Heidegger, A Question Concerning Technology, 21.
[11] Heidegger, A Question Concerning Technology, 16.
[12] Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, 81 (no. 106).
[13] Heidegger, A Question Concerning Technology, 16.
[14] Andrew Feenberg, “Philosophy of Technology at the Crossroads: Critique of Heidegger and Borgmann”, Philosophy of Technology, oleh Robert C. Scharff dan Val Dusek (eds.), 362-374 (West Sussex (UK): Willey Blackwell, 2014), 370-371.
[15] Bdk. Romano Guardini, The End of the Modern World (Wilmington, Del: ISI Book, 1998), 82.
[16] J. Inocencio Menezes, Manusia dan Teknologi. Telaah Filosofis J. Ellul (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 74-75.
Daftar Pustaka:
Borgmann, Albert.“Technology,” A Companion to Heidegger, ed. Hubert L. Dreyfus and Mark A. Wrathall. Oxford: Blackwell Publishing, 2005.
Ellul, Jacques. The Technological Society (terj. John Wilkinson). New York: Knoft, 1964.
Feenberg, Andrew. “Philosophy of Technology at the Crossroads: Critique of Heidegger and Borgmann”, Philosophy of Technology, oleh Robert C. Scharff dan Val Dusek (eds.). West Sussex (UK): Willey Blackwell, 2014; 362-374.
Guardini, Romano. The End of the Modern World. Wilmington, 1998.
Heidegger, Martin. A Question Concerning Technology and Other Essay (trans. William Lovit) New York: Harper & Row, 1977.
Kaplan, David M. “Technology and Capitalism”, A Companion to The Philosophy of Technology, oleh Jan Kyrre Berg Olsen, Stigandur Pedersen, dan Vincent F. Hendricks (eds.). West Sussex, Oxford, MA: Wiley-Blackell Publishing Ltd., 2009; 333-337.
Leder, Drew. “Modes of Totalization: Heidegger on Modern Technology and Science”, Philosophy Today, Fall, 1985.
Menezes, J. Inocencio. Manusia dan Teknologi. Telaah Filosofis J. Ellul. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama (terj. Martin Harun OFM). Jakarta: Obor, 2015.
Sarewitz, Daniel. “Technology and Power”, A Companion to The Philosophy of Technology, oleh Jan Kyrre Berg Olsen, Stigandur Pedersen, dan Vincent F (eds.). Hendricks.West Sussex, Oxford, MA: Wiley-Blackell Publishing Ltd., 2009; 308-310.