Di ruang kelas, guru memacu diri dengan kurikulum standardisasi nasional. Di perguruan tinggi, dosen menjelma menjadi birokrat minus kreatifitas. Murid teralieniasi pada dunia yang asing baginya, dan mahasiswa tak kalah malasnya! Apakah pendidikan semiskin ini?
Di dalam berbagai karyanya, Paulo Freire ( 1921-1997) menggambarkan ‘ruang kelas’[1] sebagai sesuatu hal yang kompleks dan dinamis seturut hakikat manusia. Kompleksitas menandai aktivitas ideologis yang memengaruhi disposisi aktor-aktor yang ada di dalam ‘ruang kelas’ (bagaimana suprastruktur memengaruhi infrastruktur), dan kedinamisan ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman ontologis Freire mengenai manusia sebagai unfinished being, atau meminjam istilah dari Bagus Laksana yakni ketidakparipurnaan manusia[2]. Pada tesis awal inilah, Freire dengan leluasa membongkar eksponen-eksponen fatalistis di dalam rumusan pendidikan tradisional-konvensional.
Aktivitas ideologi–kepentingan global adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dinafikan di dalam ‘ruang kelas’. Tendensi metafisik ini menjadi raison d’etre bagi pola pedagogi maupun interaksi yang terbangun antara guru-dosen dengan murid-mahasiswa. Di dalam buku Pedagogy of Freedom, Freire menegaskan politik pendidikannya sebagai negasi terhadap dominasi neo-liberalisme yang mereduksi hakikat kemanusiaan subyek sebagai sebuah obyek. “I cannot avoid a permanently critical attitude toward what I consider to be the scourge of neoliberalism, with its cynical fatalism and its inflexible negation of the right to dream differently, to dream of utopia”.[3]
Di dalam ketidakparipurnaan manusia inilah pendidikan dimungkinkan sebagai usaha mencapai harapan-harapan (hopes[4]) yang inheren pada diri manusia. Kesadaran akan ketidakparipurnaan ( unfinished being) menjadikan pendidikan sebagai aktivitas kreatif yang insani. Pendidikan adalah progresifitas menuju pemenuhan hakikat manusia yang belum paripurna. Pada kerangka berpikir ini, secara epistemologis, pengetahuan diperoleh melalui dialog terus menurus dengan realitas yang unfinished. “The unfinished character of human beings and the transformational character of reality necessitate that education be an ongoing activity.[5]
‘Ruang kelas’ yang dideterminasi oleh realitas yang paripurna adalah tawanan ideologis – struktural dari hegemoni yang berkuasa. Posisi dilematis ini mengindikasikan manusia yang tidak memiliki pilihan eksistensial bagi dirinya, manusia yang tidak memiliki ruang aktualisasi terhadap segenap potensi (possibilities) yang ada, manusia yang dekaden dalam moralitas dan kreativitas karena standardisasi nilai, manusia yang fatalistis. Freire mengajukan konsep problem posing sebagai bentuk perlawanan terhadap kesesatan epistemik ini: bahwa realitas adalah sesuatu yang mesti diproblematisasi sebagai substansi yang unfinished.
Memahami Dialektika: Suprastruktur dan Infrastruktur
Realitas pendidikan adalah sebuah proses dialektika antara suprastruktur dengan infrakstruktur. Suprakstruktur terkodifikasi di dalam kompleksitas nilai, sedangkan infrastruktur terlembagakan di dalam sistem pedagogi. Realitas pendidikan kontemporer memperlihatkan bagaimana hegemoni (suprastruktur) memengaruhi pola pedagogi (infrastruktur): hegemoni kapitalisme menjustifikasi rasionalisasi modal dalam kebijakan pendidikan, hegemoni industrialisme menciptakan iklim vokasionalisme dalam agenda pendidikan nasional, hegemoni budaya populer menstandarisasi kearifan lokal (local genuine).
Lalu apakah dialektika ini berjalan tidak seimbang, dalam artian suprastruktur determinatif terhadap infrastruktur? Freire sendiri tidak memberi jawaban ekplisit mengenai tendensi dialektis ini, namun ia menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh dan tidak mungkin netral. Ia kembali pada pemahaman ontologis dan historis mengenai manusia bahwa: “no one can be in the world, with the world, and with others and maintain a posture of neutrality. I cannot be in the world decontextualized, simply observing life”.[6] Freire ingin menegaskan bahwa posisi ontologis-historis manusia secara logis membawa kewajiban politik untuk mewujudkan serta memelihara nilai-nilai kemanusiaan yang otentik dan merdeka.
Politik pendidikan adalah keberpihakan aktif terhadap posisi ontologis manusia, ketika netralitas mengandaikan kepasifan terhadap masifikasi hegemoni yang tengah berkuasa. Politik pendidikan humanistik tidak membiarkan nilai-nilai kemanusiaan didegradasi oleh hegemoni atau masifikasi nilai-nilai fatalistis yang ada pada neo-liberalisme dan neo-kapitalisme. Di lain pihak, netralitas menjadi simbol ‘manusia yang mencuci tangan’ ketika fenomena-fenomena dehumanisme begitu vulgarnya. Politik pendidikan menjadikan ruang infrastruktur resisten terhadap hegemoni-hegemoni yang ada di luar dirinya.
Refleksi Atas Pedagogi Dehumanisme
Sistem pedagogi dehumanisme memiliki tendensi untuk mereduksi hakikat kemanusiaan di dalam variabel pendidikan. Pada pemahaman ini, pendidikan tak lebih dari instrumen untuk menjaga status quo sebuah hegemoni. Pendidikan sebagai instrumen despotisme secara simultan menafikan kemungkinan-kemungkinan (possibilities) transformatif yang ada pada diri manusia yang belum paripurna. Pada titik ini, Freire memunculkan konsep banking untuk menjelaskan fenomena tersebut.
Konsep banking adalah deskripsi teoretis yang diajukan oleh Freire untuk menjelaskan praktik pendidikan tradisional, di mana guru-dosen adalah subyek pengetahuan dan murid-mahasiswa adalah obyek pengetahuan. Dikotomi di dalam ‘ruang kelas’ ini menjustifikasi keberadaan murid-mahasiswa sebagai bejana kosong yang mesti diisi dengan data-data statis (meminjam istilah Alfred North Whitehead sebagai ide-ide inersia). Murid yang ‘baik’ dalam konsep ini adalah murid yang mampu beradaptasi dengan realitas: menghafal, penurut, dan pandai menjawab; sedangkan murid yang ‘buruk’ dalam konsep ini adalah murid yang mampu berintegrasi dengan realitas: mamahami, berpendirian, dan pandai bertanya.
Konsep banking sebagai sebuah pola pedagogi tradisional-konvensional identik dengan usaha preservasi hegemoni yang tengah berkuasa. Pola pedagogi ini adalah instrumen ideologis untuk mendominasi alam pikir maupun konteks sosial sebuah masyarakat. Kekuatan kontemporer seperti neo-liberalisme, neo-kapitalisme, dan neo-industrialisme menggunakan konsep aplikatif ini untuk memperluas dominasi mereka (extension). Kebisuan menjadi manifestasi dari manusia yang tak berdaya, manusia yang fatalistis. Sebagaimana dilukiskan oleh Abdurahman Wahid: “Kapitalisme internasional adalah sumber dari kepincangan struktur masyarakat, sedangkan ‘kebisuan’ sektoral di masing-masing negri adalah salah satu ujung mata rantainya”.[7]
Problem Posing : ‘Ruang Kelas’ yang Bertanya
Pendidikan fatalistis memahami realitas sebagai sesuatu yang telah paripurna (finished), sehingga tidak ada ruang untuk memperdebatkan keparipurnaan realitas. Kesesatan epistemik ini melimitasi kemungkinan-kemungkinan (possibilities) ontologis manusia sebagai makhluk yang unfinished. Di dalam buku Pedagogy of the Oppressed, Freire menjelaskan fenomena ini sebagai berikut:
The teacher talks about reality as if it were motionless, static, compartmentalized, and predictable. Or else he expounds on topic completely alien to the existensial experience of the student. His task is to fill the students with the contens of his narration-contents which are detached from reality, disconnected from the totality that engenderd them and could give them significance. Words are emptied of their concreteness and become a hollow, alienated, and alientaning verbosity.[8]
‘Ruang kelas’ yang dideterminasi oleh realitas yang paripurna adalah tawanan ideologis – struktural dari hegemoni yang berkuasa. Posisi dilematis ini mengindikasikan manusia yang tidak memiliki pilihan eksistensial bagi dirinya, manusia yang tidak memiliki ruang aktualisasi terhadap segenap potensi (possibilities) yang ada, manusia yang dekaden dalam moralitas dan kreativitas karena standardisasi nilai, manusia yang fatalistis. Freire mengajukan konsep problem posing sebagai bentuk perlawanan terhadap kesesatan epistemik ini: bahwa realitas adalah sesuatu yang mesti diproblematisasi sebagai substansi yang unfinished.
Problem posing adalah metode dialektis dalam memperoleh pengetahuan tentang realitas yang dinamis. Metode ini mengetengahkan guru – dosen dan murid-mahasiswa sebagai co-existence yang bersama-sama berhadapan dengan obyek pengetahuan. Dalam setiap situasi (apakah itu berupa pengetahuan ilmiah, teknis, maupun indrawi) dialog menuntut untuk secara problematis menghadapkan pengetahuan itu sendiri sebagai berhubungan dengan realitas konkret yang melahirkannya.[9]
Problem posing adalah model pedagogi kritis yang berusaha untuk mengontekstualisasikan ‘ruang kelas’ sebagai ada yang bersama dengan realitas sosial (tidak sekedar ada di dalam). Pedagogi kontekstual yang terdapat di dalam metode problem posing memungkinkan dialog yang hidup antara subyek-subyek (co-existence) yang mencari pengetahuan ; yakni guru-dosen dan murid-mahasiswa. Oleh karena itu, term pengajar inheren pada diri seorang pembelajar dan sebaliknya term pembelajar inheren pada diri pengajar. ‘Ruang kelas’ akan hidup jika ia selalu ada bersama dengan realitas sosial yang diproblematisasi![]
[1] Term ini berusaha untuk mendeskripsikan kegiatan belajar-mengajar yang kompleks, tidak relatif pada makna literer berupa bangunan fisik. ‘ Ruang kelas’ : perjumpaan diantara manusia yang mencari pengetahuan.
[2] Bagus Laksana “ Paulo Freire Mendidik Hasrat” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun ke-64, 2015.
[3] Freire 1998, hlm. 22
[4] Term ini digunakan Freire tidak hanya merunut pada istilah literernya, namun Ia juga menjelaskan term ini sebagai dimensi ontologis dari kemanusiaan seseorang.
[5] Freire 1970, hlm. 84
[6] Freire 1998, hlm. 73
[7] Freire 1984, hlm. xxi
[8] Freire 1970, hlm.71
[9] Freire 1984, hlm. 94
Daftar Pustaka
Bagus Laksana. 2015. “Paulo Freire : Mendidik Hasrat” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun ke-64
Freire, P., 1984, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta : PT Gramedia
_______, 1970, Pedagogy of the Oppressed, New York : Continuum
_______, 1998, Pedagogy of Freedom : Ethics, Democracy, and Civic Courage, New York : Rowman & Littlefield