Setiap orang ingin hidup bahagia. Tidak ada yang salah dengan itu. Orang bekerja, berkarya, berbelanja, mengerjakan kegemarannya, mengejar harta serta juga cinta tidak lain karena semua itu dianggap akan membuatnya bahagia. Mengejar kebahagiaan bahkan diakui sebagai hak dasar dan dilindungi konstitusi di negara Amerika. Namun, sebenarnya apa itu ‘bahagia’? Sejumlah pemikir dari era klasik hingga kontemporer telah berupaya memberi jawaban atasnya. Di zaman Yunani klasik, Epikureanisme menawarkan pemahaman akan kebahagiaan dalam kerangka kalkulasi akan kenikmatan dan menghindari rasa tidak nyaman.[1] Thomas Aquinas, di Abad Pertengahan, menjelaskan kebahagiaan yang sempurna (beatitudo) hanya dapat ditemui dalam pengalaman visio beatifica, yakni pencandraan langsung akan esensi Tuhan yang hanya mungkin selepas manusia berpulang.[2] Sementara itu, di zaman modern kebahagiaan sering kali direduksi menjadi tidak lebih dari pada letupan hormon di sistem syaraf belaka.
Stoikisme, aliran etika klasik rintisan Zeno, ikut ambil bagian dalam perdebatan ini. Sejalan dengan alam pikir Yunani pada masanya, Stoikisme meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya selalu terarah pada kebahagiaan.[3] Akan tetapi, kebahagiaan di sini bukanlah semata kenikmatan korporal, apalagi sebatas letupan dopamin dalam jaringan neural. Stoikisme berbicara tentang kebahagiaan dalam artian apatheia atau ataraxia. Dua istilah tersebut secara harfiah berarti “tiadanya problem”.[4] Kebahagiaan yang ditawarkan Stoikisme di sini merupakan kebahagiaan negatif, dalam arti kebahagiaan sejauh tidak ada gangguan. Kalau dalam gaya bahasa sehari-hari, apatehia ini dapat dimengerti sebagai kondisi kalem, tenang dan sentosa, atau dengan kata lain, kedamaian jiwa.
Antara yang Dalam Kendali dan yang di Luar Kendali
Satu pokok menarik dalam alam pikiran Stoik adalah keyakinan bahwa kebahagiaan seseorang itu bergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri. Barangkali tidak ada yang unik dengan itu jika yang dimaksud semata bahwa hanyalah yang bersangkutan yang harus secara mandiri mengupayakan tergapainya hal-hal tertentu, semisal harta material, pencapaian profesional, hingga pendamping hidup demi menjamin kebahagiaannya. Secara lebih radikal, para Stoik menyebut hanya pada diri sendirilah kebahagiaan bergantung, mereka mengimplikasikan bahwa faktor-faktor eksternal tidak berperan apapun dalam mendatangkan kebahagiaan.[5] Perihal kepemilikan rumah, lokasi tempat tinggal, situasi keluarga, pencapaian karir, pangkat dan jabatan, pendamping hidup, dan lain sebagainya bukanlah apa-apa dalam membuat hidup bahagia. Sekiranya seorang Stoik akan merasa kasihan terhadap para pejuang imigrasi di sektiar Eropa dan Amerika sana yang mati-matian berupaya menembus negeri tujuan seolah lingkungan hidup di negara maju lebih menjamin kebahagiaan dari pada di negara asal. Seorang Stoik akan prihatin pula jika melihat seorang anak muda yang dengan sepenuh tenaga berburu mencari cinta seolah beranggapan hidup berpasangan itu lebih membahagiakan dari pada hidup melajang. Bagi seorang Stoik, soal tinggal di mana, di rumah semacam apa, berpasangan atau sendirian itu bukan hanya tidak dapat menjamin kebahagiaan, semua itu bahkan tidak berandil apa-apa bagi kebahagiaan. Kebahagiaan, sebagai apatheia, itu sepenuhnya bergantung pada diri sendiri.
Gagasan ini akan lebih mudah dipahami dengan menilik ajaran Epiktetos, salah satu tokoh utama dalam Stoikisme. Doktrin utamanya yang paling terkemuka adalah soal pembedaan antara sesuatu yang ada dalam kendali kita dan yang lainnya berada di luar kendali kita. Arrianus, murid Epiktetos, mencatat ajaran gurunya dalam Encheiridion demikian:
- “Beberapa hal ada di bawah kendali kita, sementara yang lainnya tidak berada di bawah kendali kita. Hal-hal di bawah kendali kita adalah pikiran, putusan, hasrat, penolakan (aversion), dan, ringkasnya, apapun yang kita sendiri perbuat; yang di luar kendali kita adalah tubuh kita, harta benda kita, reputasi, jabatan, dan, ringkasnya, apapun yang bukan kita buat sendiri. Lebih lanjut, hal-hal yang berada di bawah kendali kita itu pada dasarnya bebas, tidak terkekang, dan tidak dapat dirintangi; sementara itu hal-hal yang tidak dalam kendali kita itu lemah, tidak bebas, dapat dikekang, dan bukanlah milik kita. Ingatlah, dengan demikian, bahwa jika apa yang pada dasarnya tidak bebas kamu anggap sebagai bebas, dan apa yang bukan milikmu kamu pikir milikmu, kamu akan terkekang, akan bersedih hati, akan dirundung kekalutan, dan akan mengutuki Tuhan dan sesama manusia; sedangkan jika kamu menganggap apa yang adalah milikmu itu milikmu, dan apa yang bukan milikmu itu, sebagaimana adanya, bukan milikmu, maka tidak ada seorang pun yang mampu menimpakan paksaan kepadamu, tidak seorang pun akan mampu mengekangmu, kamu tidak akan menyalahkan siapapun, tidak akan menuding kesalahan orang lain, kamu sepenuhnya tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kamu kehendaki, kamu tidak akan memiliki musuh, tidak ada seorang pun mampu mencideraimu, sebab tidak ada cidera apapun yang bisa menimpamu.” (Encheiridion 1)[6]
Beranjak dari dikotomi ini, Epiktetos kemudian menarik anjuran:
- “Maka jadikanlah latihanmu sejak dari semula untuk menanggapi pada setiap impresi eksternal. ‘Kamu adalah impresi eksternal dan sama sekali bukanlah sebagaimana kamu nampaknya.’ Kemudian perhatikanlah dan ujilah impresi itu dengan aturan-aturan yang kamu miliki ini, yang pertama dan terutama adalah: Apakah impresi itu menyangkut hal-hal dalam kendali kita, atau hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita; dan apabila itu menyangkut hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita, sedialah untuk berkata, ‘Itu bukan apa-apa bagiku.’” (Encheiridion 1)
Ketika disebut di atas bahwa Stoikisme mengandaikan kebahagiaan itu sepenuhnya bergantung pada diri sendiri, itu maksudnya bahwa kebahagiaan itu berurusan dengan hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Kebahagiaan itu bergantung pada pikiran kita, keputusan kita, hasrat kita, dan apa-apa saja yang sepenuhnya milik kita. Hanya di ranah inilah kita memiliki kemerdekaan absolut. Menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal eksternal hanya akan menimbulkan kecewa lantaran membuat kita tidak merdeka serta tidak memiliki jaminan apa-apa. Hal-hal eksternal yang luput dari kemampuan kita cukuplah untuk diterima saja, bukan untuk dihasrati ataupun ditolak mati-matian.
Epiktetos menganggap hal-hal eksternal itu di luar kendali kita sebab dia, dan Stoikisme pada umumnya, menganut determinisme. Secara sederhana, determinisme berarti gagasan bahwa apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi telah ditentukan begitu adanya. Oleh sebab itulah ajaran-ajaran Stoik diwarnai bergam istilah seperti “Takdir” dan “Nasib”. Bagi para Stoik, segala kejadian di dunia ini telah ditetapkan oleh Tuhan, yang dalam pandangan mereka adalah Alam Semesta itu sendiri.[7] Bukanlah tempatnya dalam tulisan ini untuk membeberkan secara rinci fisika atau metafisika Stoik. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa mereka menganut determinisme yang mana semuanya telah ditetapkan alam semesta. Terlepas dari fisika Stoik yang cukup kuno, Massimo Pigliucci berargumen bahwa etika Stoik dapat kita terima tanpa berpegang pada pengandaian kosmologis yang mereka ajukan. Anjuran-anjuran etis Stoikisme masih dapat beridiri meskipun kita mengganti Tuhan yang mengatur itu dengan relasi kausal kompleks akan entitas-entitas fisik. Apa yang terjadi di dunia ini tetaplah dilatarbelakangi hubungan sebab-akibat kompleks yang membuat kendali kita atasnya sangatlah minim atau bahkan tidak ada.[8] Berbekal cara berpikir seperti itu, maka satu-satunya pilihan masuk akal untuk dilakukan ialah menerima semuanya. Tak ada faedahnya meratap, menggerutu, dan meronta-ronta.
Di sisi lain, menyangkut apa yang sepenuhnya berada di bawah kendali kita, ada dua istilah teknis yang perlu dipahami, yakni “hegemonikon” dan “prohairesis”. Keduanya sering kali dianggap merujuk pada satu hal yang sama, kendati prohairesis, seturut penjelasan A. A. Long, memiliki rujukan yang lebih spesifik. Keduanya merujuk pada bagian dari jiwa yang paling sentral. Dengan kata lain, keduanya merujuk pada “diri” kita yang paling utama, yang paling murni. Jiwa kita menurut pemikir Stoik terdiri dari delapan bagian. Jiwa tersusun dari lima perangkat indera, ditambah organ reproduksi, suara, dan hegemonikon atau prohairesis yang terletak di jantung. Istilah hegemonikon merujuk pada bagian itu sejauh perannya sebagai prinsip komando atau pusat kendali atas bagian-bagian jiwa yang lain. Istilah prohairesis sendiri maknanya lebih spesifik. Berbeda dengan hegemonikon yang, menurut Stoikisme, juga ada dalam binatang, prohairesis hanya berlaku di kasus manusia dan merupakan percikan dari Yang Ilahi. Long menerjemahkan prohairesis sebagai “volition”. Hal ini lantaran prohairesis ditandai oleh fungsinya dalam memutuskan dan mengarahkan hasrat serta impuls. Bergantung pada diri sendiri berarti bergantung pada prohairesis ini. Kebahagiaan dengan ini ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengarahkan dan mendisiplinkan hasrat serta dorongan-dorongan dalam diri. Dalam prohairesis inilah kemerdekaan manusia yang absolut terletak. Prohairesis inilah yang tidak lain menjadi pusat otonomi manusia.[9]
Epiktetos lantas mengajarkan untuk selalu memilah impresi berdasar pada dua kriteria di atas, apakah hal-hal itu ada dalam kendali kita atau melampaui kendali kita. Jika hal yang nampak dalam impresi itu berada di luar kendali kita, maka tidak ada gunanya untuk dirisaukan. Hal-hal itu sudah tertetapkan sedemikian rupa sehingga adalah bagian kita untuk menerimanya dan menanggapi dengan sepatutnya. Sementara itu, perhatian kita seharusnya tertuju semata pada hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Salah satu yang berada di bawah kendali kita adalah pikiran dan putusan (judgement).
Representasi Melekat
Berkenaan dengan pokok terakhir di atas, Epiktetos mengajarkan disiplin membuat representasi yang semelekat mungkin dengan realitas. Gagasan utamanya adalah “impresi-impresi itu hanya dapat memiliki dampak yang kita perkenankan impresi tersebut untuk miliki.”[10] Maksudnya adalah bahwa bukan impresi-impresi atau kejadian-kejadian itu sendiri yang membuat kita marah, sedih, atau kecewa, melainkan representasi serta penilaian yang kita timpakan atasnya. Ide ini akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan contoh. Misalkan seseorang di kolom komentar media sosial menimpali tulisan kita, “Goblok sekali kamu, belajar lagi dulu sana!’, sontak manusia pada umumnya akan merasa tersulut. Komentar tersebut dianggapnya menyinggung. Di sini, seturut anjuran Epiktetos, perlulah dibedakan antara impresi itu sendiri dengan representasi kita atasnya. Kita rentan merasa tersinggung lantaran kita merepresentasikan komentar itu sebagai cercaan. Jika kita iyai (assent) representasi itu, maka marahlah kita. Sementara itu, Epiktetos menganjurkan untuk membuat representasi yang selekat mungkin dengan halnya. Di hadapan impresi itu, yang perlu dikatakan hanyalah, “Ada seseorang yang memiliki akun media sosial menulis beberapa patah kata dalam bahasa Indonesia yang mencantumkan istilah ‘goblok’ yang ditujukan kepada saya.” Representasi semacam ini tidak menempelkan penilaian apakah komentar tersebut baik atau buruk. Dengan kata lain, impresi eksternal itu indifferent. Jika hanya representasi yang bebas nilai itu yang diiyai, maka tidak ada alasan apapun untuk merasa tersinggung apa lagi naik pitam. Dengan itulah diri kita menemukan kedamaian jiwa, apatheia.[11]
Isitilah “apatheia” terbentuk dari “a-pathos”, tidak ada emosi. Namun, pathos di sini, atau biasanya diterjemahkan menjadi passsion, tidak merujuk pada segala bentuk emosi, melainkan emosi negatif saja. Stoikisme memiliki istilah sendiri untuk emosi positif, yakni eupatehia. Emosi negatif yang hendak diatasi Stoikisme dapat dibedakan menjadi empat berdasar tempatnya dalam rentang waktu dan kualitasnya dalam spektrum baik dan buruk. Pertama, ketika kita merasa hal buruk sedang menimpa kita sekarang ini, kita dirundung kesedihan (lupē). Kedua, jika kita merasa ada suatu keburukan yang akan datang, kita tersengat ketakutan (phobos). Ketiga, ketika kita merasa sekarang ini sedang mendapat sesuatu yang baik, kita merasa kesenangan berlebih (hēdonē, intense pleasure). Keempat, ketika kita merasa ada kebaikan yang menjelang, kita mengantisipasinya dengan rasa iri atau rindu (epithumia, longing).[12] Dalam Stoikisme, empat emosi itu menunjukkan kegagalan untuk merepresentasikan sesuatu yang indifferent sebagai indifferent.[13] Diri kita menjadi tidak tenang, menjadi jauh dari apatheia, kebahagiaan.
Akan tetapi, dengan merepresentasikan segala hal eksternal sebagai indifferent dan memperlakukannya sebagai demikian tidak berarti bahwa menjadi seorang Stoik itu menjadi seorang kaku nan dingin tanpa perasaan sama sekali. Menjadi Stoik bukan berarti membangun benteng mental untuk melindungi diri dari segala bentuk disposisi afektif. Stoikisme juga merangkul sejumlah emosi positif (eupatheia). Emosi positif ini mengemuka ketika kita telah berhasil mengiyai representasi yang melekat dengan halnya. Pertama, rasa gembira (chara) berpangkal dari representasi yang tepat akan kebaikan di waktu kini. Kedua, teguh berpengharapan (boulesis) muncul dari pengiyaan yang tepat akan kebaikan yang akan datang. Terakhir, waspada (eulabia) merupakan hasil dari representasi yang tepat akan keburukan di waktu mendatang. Sementara itu, seorang Stoik tidak memandang apapun yang ada sekarang ini sebagai keburukan. Perlu dicatat bahwa keburukan dan kebaikan yang disebut dalam emosi positif ini bukanlah menyangkut hal-hal eksternal, melainkan terkait sikap diri kita berhadapan dengan impresi-impresi eksternal tersebut. Hal-hal eksternal bagaimanapun juga selalu indifferent sifatnya. Penilaian baik atau buruk hanya dapat dikenakan pada tanggapan seseorang dalam menyikapi impresi-impresi eksternal.[14]
Penutup
Menurut Stoikisme, hanya orang bahagialah, orang yang dalam kondisi apatehia, yang bebas. Kebebasan bukanlah semata soal status tidak diperbudak, terutama dalam konteks sosial Yunani kuno, dan bukan juga tiadanya kekangan dalam menjalankan aktivitas fisik. Bagi Stoikisme, kebebasan juga berarti ketidaktergantungan pada hal-hal eksternal. Itulah mengapa kaum Stoik sangat menekankan untuk tidak melekatkan diri (attach) pada hal-hal eksternal, entah itu harta duniawi, kesuksesan profesi, maupun sandaran hati. Hal-hal eksternal itu tidak berada dalam kendali kita, dan jika kita melekatkan hasrat padanya, niscaya cepat atau lambat akan berakhir pada rasa kecewa. Dengan menghasrati hal-hal eksternal, orang justru tidak akan bahagia, tidak akan mengalami apatheia, serta tidak akan merdeka.[15]
Kembali pada pokok pertama sebelumnya, kebahagiaan adalah urusan diri sendiri. Kebahagiaan dengan ini berarti bebas dari ketergantungan dan keterikatan terhadap hal-hal eksternal. Apa yang untuk dihasrati dan dijauhi semuanya berfokus pada apa yang ada di bawah kendali. Hanya dengan mengolah pikiran, hasrat, dan putusan, apatheia dapat didapatkan.
Catatan Akhir:
[1] A. A. Long, From Epicurus to Epictetus: Studies in Hellenistic and Roman Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2006), 30-31.
[2] Peter S. Eardley dan Carl N. Still, Aquinas: A Guide for the Perplexed (London dan New York: Continuum International Publishing Group, 2010), 70-74
[3] Long, From Epicurus to Epictetus, 29.
[4] A. A. Long (peny. dan terj.), How to be Free: An Ancient Guide to the Stoic Life (Princeton dan Oxford: Oxford University Press, 2018), 157 dan Setyo Wibowo, Ataraxia: Bahagia menurut Stoikisme (Sleman: Penerbit Kanisius, 2019), 95.
[5] A. A. Long, “Introduction” untuk How to be Free, xvii.
[6] Epictetus, Epictetus: The Discourses as reported by Arrian, The Manual, and Fragments; Volume II, terj. W. A. Oldfather (London dan Cambridge: Harvard University Press, 1928).
[7] Wibowo, Ataraxia, 57-58. dan A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide for Life (Oxford, Oxford University Press, 2002). 21-22.
[8] Massimo Pigliucci, How to be a Stoic: Ancient Wisdom for Modern Living (London: Penguin, 2017), 10-11 dan 90-91.
[9] Wibowo, Ataraxia, 66-72 dan Long, Epictetus, 91-92, 211-212, 217-220.
[10] Long, Epictetus, 216.
[11] Wibowo, Ataraxia, 88-9, 139, 169-170 dan Long, Epictetus, 27-28. Bandingkan dengan Encheridion 5 dan Encheiridion 45.
[12] Wibowo, Ataraxia, 168-169 dan Long, From Epicurus to Epictetus, 380-381.
[13] Long, From Epicurus to Epictetus, 384.
[14] Wibowo, Ataraxia, 174-175.
[15] Long, Epictetus, 27, 29. Bandingkan Epiktetus, The Discourses, 245-247 dan 257-259.
Daftar Pustaka
Eardley, Peter S. dan Carl N. Still, Aquinas: A Guide for the Perplexed. London dan New York: Continuum International Publishing Group, 2010.
Epictetus, Epictetus: The Discourses as reported by Arrian, The Manual, and Fragments; Volume II, terj. W. A. Oldfather. London dan Cambridge: Harvard University Press, 1928.
Long, A. A. Epictetus: A Stoic and Socratic Guide for Life. Oxford: Oxford University Press, 2002.
Long, A. A. From Epicurus to Epictetus: Studies in Hellenistic and Roman Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 2006.
Long, A. A. (peny. dan terj.), How to be Free: An Ancient Guide to the Stoic Life. Princeton dan Oxford: Oxford University Press, 2018.
Pigliucci, Massimo. How to be a Stoic: Ancient Wisdom for Modern Living. London: Penguin, 2017.
Wibowo, Setyo. Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme. Sleman: Penerbit Kanisius, 2019.