Judul Buku : Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965
Penulis : Harsa Permata
Penerbit : Elpueblo Tritama Mandiri, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Halaman : vi + 95
ISBN : 978-602-14327-5-4
Bagaimana bentuk-bentuk kontradiksi kelas sebelum, saat, dan setelah Peristiwa G30S 1965? Pertanyaan sederhana ini perlu diajukan setidaknya karena dua alasan. Pertama, berbagai versi penulisan sejarah peristiwa 1965, selama ini, selalu dilepaskan dari konteks pandangan utama Marxisme, yakni teori analisis kelas, di mana bertolak dari pandangan inilah paham komunisme di Indonesia bergerak.[1] Padahal, ini alasan kedua, penggunaan analisis kelas sesungguhnya akan cukup membantu memberikan pemetaan secara gamblang atas realitas sosial yang tengah bekerja dalam masyarakat Indonesia, sehingga dari sini, proyeksi sejarah Indonesia ke depan jauh lebih mudah untuk ditentukan.
Buku karya Harsa Permata, Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, adalah pengecualian dari berbagai model penulisan Peristiwa 1965 yang sudah ada.[2] Buku ini patut untuk dipertimbangkan, sebab sependek pengetahuan penulis, merupakan hasil penelitian pertama yang ditulis oleh sarjana Indonesia, yang berusaha memaparkan Peristiwa Gerakan 30 September 1965 berdasarkan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme. Buku ini menarik bukan hanya karena rigoritas kajian yang disuguhkan, melainkan juga berhasil menutupi lubang kajian yang mengabaikan analisis kelas dalam menelaah Peristiwa 1965.
Gerak Sejarah Marxisme
Bagaimanakah sejarah masyarakat bergerak menurut Marxisme? Jawaban atas pertanyaan tersebut teringkas dalam kalimat berikut: bahwa seluruh pemikiran Marxisme, termasuk tentang filsafat sejarah Marxisme, bertolak dari dasar pemikiran materialisme historis. Secara genesis, pandangan tersebut muncul sebagai kritik terhadap, sekaligus terinspirasi dari, pandangan Hegel dan Feuerbach.
Hegel berpandangan bahwa sejarah bergerak ke arah rasionalitas dan kebebasan. Semua yang nyata adalah rasional, demikian kata Hegel, dan semua yang rasional adalah nyata. Seluruh realitas sejarah berada dalam Ide Absolut; suatu identitas murni yang homogen, abadi, dan tak terbatas. Ide Absolut adalah pikiran murni (pure thought) yang mampu berpikir tentang dirinya sendiri, sehingga seluruh kontradiksi antara ide objektif dan ide subjektif, antara rasionalisme dan empirisme, melebur dan menyintesis ke dalam Ide Absolut. Pergerakan sejarah, dengan demikian, adalah suatu dialektika dunia Ide; suatu keseluruhan realitas yang tak terpisahkan, yang menghimpun keseluruhan ide-ide.[3]
Karl Marx mengambil logika dialektika Hegel, namun membuang konsep Ide Absolut. Sebab, bagi Marx, esensi dari gerak sejarah adalah kontradiksi yang bersifat material. Pendapat ini muncul dari konsep materialisme Feuerbach, yang berpandangan bahwa seluruh realitas, termasuk di dalamnya adalah agama dan Tuhan, merupakan proyeksi dari imajinasi manusia. Manusia yang material, bagi Feuerbach, adalah pusat dari seluruh realitas; berseberangan dengan Hegel yang berpandangan bahwa seluruh realitas berpusat dan berada pada dunia Ide Absolut. Meski menerima istilah materialisme, namun Marx, terutama dalam Theses on Feuerbach, menolak pengertian materialisme Feuerbach, yang menurutnya terlalu abstrak, subjektif, dan tidak berwatak revolusioner.[4]
Realitas transenden, bagi Marx, hanyalah ungkapan keterasingan manusia akibat ketertindasannya dalam masyarakat. Agama dan Tuhan adalah produk ekspresi manusia atas realitas ketidakadilan dalam masyarakat, dan atas dasar itulah Marx menyebut agama sebagai candu (opium of the people), karena dalam waktu cukup singkat mampu menyebabkan manusia untuk melupakan ketidakadilan yang dialaminya dalam masyarakat.[5] Persis, berdasarkan logika semacam inilah Marx kemudian menggeser pengertian kritik materialisme atas manusia Feuerbach kepada kritik materialisme atas masyarakat. Sasaran kritik Marx atas masyarakat tertuju pada relasi produksi ekonomi yang timpang. Relasi produksi ekonomi merupakan unsur esensial “bangunan bawah”, yang mendasari “bangunan atas”, yakni struktur ekonomi, politik, dan tatanan sosial masyarakat.[6]
Relasi produksi ditentukan oleh adanya kekuatan produktif, yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja manusia yang menciptakan nilai lebih. Tanpa sokongan kekuatan produksi, relasi produksi tidak mungkin menghasilkan nilai lebih, sebab itulah peran dan posisi kekuatan produktif dalam relasi produksi, bagi Marx, cukup menentukan dalam produksi kapital. Nilai lebih itulah yang oleh Marx disebut sebagai “eksploitasi” oleh pemilik produksi atas kekuatan produktif.[7] Pada titik ini, Marx menunjukkan kontradiksi-kontradiksi yang masuk akal dalam kapitalisme, seperti nilai lebih dan kepemilikan alat produksi, yang semua itu pada akhirnya membuka mata kita tentang arti pentingnya melakukan analisis kelas atas logika produksi kapitalisme yang timpang dan serampangan.
Pada masyarakat kapitalisme, kontradiksi kelas terjadi antara kaum proletariat dan borjuis.[8] Borjuis adalah kelas pemilik modal dan alat-alat produksi. Sedangkan proletariat adalah kelas yang tidak memiliki modal dan hanya menjalankan alat-alat produksi. Proletariat, yang menjadi lokus utama Marx, adalah kekuatan produktif, yang diperas tenaganya untuk menciptakan nilai lebih pada relasi produksi yang menguntungkan kaum borjuis. Jadi, pengertian modal, yang dipahami sebagai uang, mesin, alat-alat produksi, tidak akan menjadi kapital tanpa adanya tenaga manusia yang menciptakan nilai lebih.[9] Ringkasnya, tanpa keringat kaum proletariat yang terperas, kaum borjuis tidak akan memiliki kapital.
Karena pentingnya posisi produksi ekonomi dalam sejarah masyarakat, maka pengertian materialisme historis dalam pemikiran filsafat sejarah Marxisme, tidak dapat dipisahkan dari konteks relasi produksi dan kekuatan produktif, yang kemudian menjadi muara dari segala proses reproduksi ekonomi dan reproduksi sosial. Dialektika materialisme, dalam pandangan Marxisme, adalah terjadinya kontradiksi secara revolusioner antara relasi produksi dan kekuatan produktif. Watak revolusioner ini diperlukan agar masyarakat bergerak ke fase di mana segala kontradiksi kelas dapat melebur, melenyap, dan menjadi fase komunisme (common, universal), suatu kondisi masyarakat tanpa kelas, tanpa kontradiksi.[10] Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hakikat sejarah, dalam pandangan Marxisme, adalah dialektika. Isinya adalah kontradiksi antarkelas, yakni antara masyarakat kelas borjuis dan kelas proletariat, yang apabila disintesiskan akan melahirkan masyarakat komunisme, masyarakat tanpa kelas dan tanpa kontradiksi.
Peristiwa 1965
Peristiwa G30S 1965, dalam tesis Harsa, dipandang sebagai puncak adanya pertentangan kelas antara kaum borjuis yang diwakili oleh borjuis militer dan kaum proletariat yang diwakili oleh Partai Komunis Indonesia. Pandangan ini mengandaikan bahwa sebelum meletusnya Peristiwa 1965, sesungguhnya sudah muncul kelas-kelas sosial yang bertarung, baik melalui wacana, agitasi politik, maupun kekerasan fisik. Sementara sintesis dari puncak kontradiksi antarkelas tersebut, menurut Harsa, ditandai dengan munculnya Soeharto dan perangkat kelasnya yakni Orde Baru.[11]
Apabila hendak konsisten dengan analisis kelas dalam pandangan Marxisme, maka perlu diketahui bahwa kontradiksi kelas terjadi dalam konteks perebutan sumberdaya produksi ekonomi. Harsa menunjukkan hal ini dengan cukup baik di dalam bukunya. Bahwa sebelum 1965, tepatnya pada 13 Desember 1957, terjadi nasionalisasi aset perusahaan yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pengelolaan aset sektor industri Indonesia, berdasarkan Hukum Darurat Militer 1957, dikuasai sepenuhnya oleh pihak militer. Kepemilikan atas alat-alat produksi oleh militer inilah yang kemudian oleh Harsa dianggap sebagai awal terjadinya “borjuisasi” di tubuh militer, sehingga melahirkan kontradiksi kelas baik di dalam internal militer sendiri maupun dalam relasinya dengan kelas ekonomi di bawahnya, yakni para buruh dan petani, yang secara ekonomi-politik direpresentasikan oleh PKI.[12]
Biarpun, secara institutif, produk sintesa tersebut berbeda dari kedua tesa dan antitesa sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa corak representasi dari sintesa, yakni Soeharto dan rezimnya, sesungguhnya lebih condong dan mewakili kelas borjuis militer. Artinya, bayangan gerak sejarah Marxisme bahwa hasil sintesa adalah masyarakat tanpa kelas, dalam kasus Peristiwa 1965, belum benar-benar nampak. Justru, 1965 adalah puncak dari segala eksploitasi ekonomi-politik oleh kaum borjuis atas kaum proletariat. Sebab, nyatanya, setelah 1965, yang berkuasa adalah kaum borjouis militer, yang secara ekonomi, tetap menghamba—bahkan dalam tingkat yang lebih matang—terhadap kapitalisme.
Pendapat ini sedikit berbeda dari hipotesa Harsa, yang menganggap bahwa Soeharto dan Orde Baru (SOB) adalah produk sintesa dari kontradiksi kelas proletariat (PKI) dan borjuis militer. Kenyataanya, SOB justru mewakili dari salah satu kelas kontradiksi, yakni kelas borjuis pada tingkat yang lebih matang. Selama hampir 32 tahun, SOB dalam bidang ekonomi menggelar karpet merah kepada kapitalisme. Bahkan melalui kekuatan kapitalisme juga, SOB melakukan pengerdilan secara sistematis terhadap esensi demokrasi.[13] Ringkasnya, pada masa SOB, kelas yang berkuasa adalah kelas borjuis dan kelas proletariat masih tetap tertindas dan bahkan dilakukan secara transparan, biar pun secara politik tidak lagi direpresentasikan oleh PKI.
Pada era Reformasi, kontradiksi kelas belum dapat dikatakan lenyap. Liberalisasi ekonomi semakin matang beriringinan dengan liberalisasi politik. Melalui corak ekonomi-politik semacam ini, cengkeraman kapitalisme pada saat ini jauh lebih dahsyat daripada kapitalisme model SOB. Jika pada masa Orde Lama kapitalisme disebut Harsa belum matang karena negara masih memberi ruang yang cukup terhadap kelas proletariat, kemudian pada masa SOB kelas borjuis, terutama penganut kapitalisme monopoli, semakin sempurna karena kelas proletariat dihabisi secara ekonomi dan politik[14], maka pada masa Reformasi, borjuisasi berbasis kapitalisme justru semakin kokoh, karena didukung oleh liberalisme politik dan ekonomi yang cukup sistematis, terstruktur, dan masif. Monopoli ekonomi dan politik mulai mencair, tak lagi dikuasai oleh lingkaran kekuasaan, namun justru dikuasai oleh siapa saja yang memiliki modal besar, baik yang berada di pusat kekuasaan nasional maupun daerah-daerah.
Pada Era Reformasi, siapapun bisa menjadi kapitalis baru. Mereka yang dahulu di zaman SOB dikenal sebagai kaum proletariat, dengan sistem liberalisasi ekonomi-politik di era Reformasi, dapat saja berpindah kelas menjadi kaum borjuis baru, melakukan eksploitasi yang sama dengan kaum yang dahulu dikritiknya. Proses perpindahan dan benturan antarkelas semakin lentur. Ia tak lagi mudah disederhanakan pada kategorisasi institusional. Bahkan, dugaan penulis, boleh jadi mereka yang mendaku dirinya mewakili kaum proletariat secara esensial bukanlah kaum proletariat; boleh jadi mereka adalah kaum borjuis baru yang menggunakan isu-isu ala proletariat untuk mengokohkan proses borjuisasi yang tengah dinikmatinya.
Jadi, hal yang perlu kita sadari adalah, bahwa pada saat ini, wajah kontradiksi antarkelas dalam masyarakat Indonesia belum sepenuhnya punah. Logika kontradiksi antarkelas, bagaimanapun, masih eksis dan secara bergantian diwakili oleh berbagai institusi yang berbeda. Sejarah masyarakat bergerak tak lagi ditentukan oleh kehendak tokoh tertentu seperti dalam Orba atau SOB, tetapi secara terbuka dimungkinkan untuk digerakkan oleh agen kolektif. Sehingga yang perlu dikritik dalam masyarakat kita hari ini, pada akhirnya, bukan lagi tokoh tertentu, melainkan—sebagaimana disarankan Marx—watak ekonomi-politik yang bekerja dalam kehidupan masyarakat kita.
Perlu Sejarah Alternatif
Apabila logika kontradiksi kelas itu pada kenyataannya, setidaknya belajar dari Peristiwa 1965, tidak melahirkan apa yang disebut kaum Marxisme sebagai komunisme, maka pertanyaannya adalah: mungkinkah komunisme itu mungkin?
Berbagai sejarah perjuangan kelas berbasis cita-cita baik masyarakat komunisme maupun kapitalisme umumnya selalu problematik dari sisi kemanusiaan. Sejarah Peristiwa 1965 menunjukkan anatomi pergerakan sejarah yang tak lagi menghargai darah manusia sebagai sesuatu yang berharga. Berdasarkan kelemahan yang cukup esensial tersebut, kiranya perlu mulai dipikirkan “sejarah alternatif” Indonesia yang, dalam pandangan penulis, dapat ditempuh tanpa mengabaikan sisi humanisme pergerakan, meskipun, harus diakui, cukup sulit menanggalkan logika analisis kelas dalam memahami masyarakat kapitalistis sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.
Penulisan “sejarah alternatif” dapat dimulai dari, belajar dari Bourdieu misalnya, tidak menganggap bahwa esensi dari segala realitas sosial semata-mata bersifat material. Melalui konsep kapital yang ia perkenalkan, Bourdieu berusaha mengubah pengertian kapital dalam pandangan Marxisme yang hanya dipahami bersifat material ke dalam pengertian yang imaterial.[15] Strategi ini, penulis kira, dapat cukup efektif untuk menggerogoti sistem kapitalisme yang secara esensial hanya mendasarkan dirinya pada segala sesuatu yang bersifat material. Sehingga perlawanan terhadap kapitalisme ditempuh tidak lagi dengan cara revolusioner, melainkan evolusioner.
Tentu terdapat setumpuk gagasan alternatif lainnya yang bisa diringkus untuk mengatasi problem gerak sejarah dalam logika marxisme dan kapitalisme. Namun, pada konteks sejarah Peristiwa 1965, gagasan penulisan sejarah berbasis analisis kelas, sebagaimana mulai dirintis oleh Harsa dalam buku ini, sudah sewajarnya untuk diteruskan dengan penerbitan buku-buku lanjutan. Besarnya kontradiksi penulisan sejarah, baik oleh versi pemerintah, ilmuwan, maupun pelaku, masih menyisakan ruang bagi para penulis hari ini untuk mengupayakan penyelidikan sejarah Peristiwa 1965, sampai betul-betul melahirkan suatu karya yang utuh, otentik, dan membuka wawasan pembacanya.[]
[1] Minimnya kajian analisis kelas di Indonesia dipaparkan secara menarik oleh Hilmar Farid, 2005, “The Class Question in Indonesian Social Sciences”, dalam Vedi R. Hadiz & Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia, Jakarta & Singapore: Equinox Publishing.
[2] Sekurang-kurangnya terdapat enam versi penulisan peristiwa 1965 dalam perspektif sejarah yang, menurut Harsa, belum melibatkan analisis kelas di dalamnya, yakni versi Orde Baru dan TNI, versi Ben Anderson dan Ruth McVey, versi Harold Crouch, versi Wertheim, versi John Rossa, dan versi Rex Mortimer. Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 21-46.
[3] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 9-11.
[4] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 12-13.
[5] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 13.
[6] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 6-7.
[7] Lihat Richard Wolff, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam http://rdwolff.com/content/alternatives-capitalism.
[8] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 17.
[9] Hilmar Farid, 2005, “The Class Question…”, hlm. 182.
[10] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 18.
[11] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 64.
[12] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 53. Tidak bisa diabaikan para pengikut Partai Nasional Indonesia, Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama, yang oleh Soekarno dirangkum sebagai NASAKOM. Penulis kira sebagian besar mereka bisa disebut sebagai kelas proletariat sebab rata-rata pekerjaan mereka adalah petani dan buruh pabrik; tidak memiliki modal dan alat produksi seperti kelas borjuis.
[13] Lihat Richard Wolff, 2013, “Alternatives to Capitalism”, dalam http://rdwolff.com/content/alternatives-capitalism.
[14] Lihat Harsa Permata, 2015, “Sejarah Materialisme…”, hlm. 70, 80
[15] Lihat M. Najib Yuliantoro, 2016, Ilmu dan Kapital: Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 10