Akar dari penindasan, pemerkosaan, pembunuhan terhadap sesama adalah kegagalan dalam melihat orang lain sebagai yang lain, kegagalan melihat wajah yang lain. Kisah Auswitch, genosida Rwanda, pembantaian Nangking, konflik Timur Tengah, tragedi Holomodor, brutalisasi Khmr Merah, tragedi Trisakti dan Rohingnya memperlihatkan krisis kemanusian sepanjang abad. Semua diskriminasi itu menegaskan kegagalan menjalin relasi antara manusia dengan segala keunikannya. Konflik yang telah mengakar kuat ini menggugah berbagai refleksi kritis dan praksis dari beragam disiplin ilmu, pakar dan masyarakat.
Dalam memaknai pluralitas keberagamaan, setiap kelompok mesti mampu melihat “orang lain” sebagai momen etis jika ingin menjadikan pluralitas tidak sekedar wacana retoris.
Emmanuel Levinas, salah satu dari sekian banyak pakar yang turut menyuarakan nilai kemanusian, berusaha mengayuh makna yang lain (l’autrui atau the other). Bagi Levinas, orang lain adalah pembuka horizon keberadaan kita, bahkan pendobrak menuju ketransendenan kita. Bagi dia orang lain itu ada dan indah. Lalu bagaimana mengaktualisasi konsep tanggung jawab atas orang lain dari Levinas ke dalam konteks perjumpaan di Indonesia yang beragam keyakinan?
Titik Perjumpaan
Bagi Levinas, perjumpaan dengan orang lain ini adalah moment paling primordial di dalam kehidupan. Selain kehadirannya menuntut tanggung jawab dari saya, kehadiran orang lain juga membuat saya menemukan identitas dan keunikan saya. Dengan bertanggung jawab terhadapnya, saya menemukan ke-aku-an diri saya.
Levinas memahami bahwa perjumpaan dengan orang lain memiliki pengalaman transendensi. Perjumpaan dengan orang lain membuka cakrawala transendensi bagi manusia, “kemuliaan dari Yang-Tak-Terhingga.” Allah hadir dalam diri orang lain. Oleh karena itu, dengan bertanggung jawab terhadap kehadiran orang lain, kita mewujudkan penghayatan iman kita akan Allah. Pelayanan kita dalam tanggung jawab akan kehadiran orang lain, berarti juga kita melayani Allah yang hadir dalam diri sesama. Pemikiran ini kiranya sejalan dengan pendapat kaum agamis bahwa melayani sesama berarti melayani Allah dan sebaliknya mengabaikan orang lain berarti mengabaikan Allah yang hadir di dalam diri sesama tersebut. Dalam memaknai pluralitas keberagamaan, setiap kelompok mesti mampu melihat “orang lain” sebagai momen etis jika ingin menjadikan pluralitas tidak sekedar wacana retoris. “Orang lain” di sini berarti yang secara hakiki berbeda dengan pribadi atau kelompok saya. Maka momen etis yang dimaksud adalah bentuk apresiasi atas perbedaan bukan sarana untuk membentuk eksklusivisme yang berujung pada gap antara mayoritas dan minoritas.
Yang diperlukan adalah terus-menerus sadar bahwa ada-ku selalu terkait orang lain. Kesadaran interdepedensi tersebut akan menggugah hati dan rasio kita untuk tidak membunuh orang lain yang hadir dihadapan kita lewat penampakan muka (le ephiphane du visage).
Dengan melihat yang lain sebagai momen etis maka gap antara mayoritas dan minoritas diminimalisir. Ide Levinas barangkali tidak seideal dengan realitas namun paling kurang momen etis itu bisa mewujudkan perjumpaan yang sungguh-sungguh bukan yang samar-samar. Sungguh-sungguh berarti perjumpaan yang berlangsung didasarkan pada apresiasi atas kekhasaan yang ada sembari menemukan titik temu dari kekhasan masing-masing. Kalau itu sama-samar maka faktor pengkondisianlah yang berperan. Dan cepat atau lambat, faktor ini akan mengubah disposisi orang lain sebagai momen etis menjadi orang lain sebagai neraka (Sartre).
Dalam konteks pluralitas agama di Indonesia, bagaimana bisa memaknai tanggung jawab (dalam konteks keberagamaan) sebagai momen perjumpaan? Sederhana dan tidak terlalu berat untuk dipraktekan. Yang diperlukan adalah terus-menerus sadar bahwa ada-ku selalu terkait orang lain. Kesadaran interdepedensi tersebut akan menggugah hati dan rasio kita untuk tidak membunuh orang lain yang hadir dihadapan kita lewat penampakan muka (le ephiphane du visage). Jika kesadaran demikian selalu diasah maka ke manapun pribadi pergi dan di manapun bertemu orang asing rasa tanggung jawab akan menyeruak secara spontan. Direnungkan lebih dalam, orang lain dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia adalah para penganut agama. Dalam artian, tanggapan kelompok yang satu terhadap kehadiran kelompok yang lain. Apa makna kehadiran agama lain bagi saya sebagai seorang Muslim, Kristiani (Katolik dan Protestan), Budhis, Hindu dan penganut Konghucu? Apakah kehadiran agama lain bermakna dan meyokong keimanan pribadi? Atau justru, menjadi ancaman. Jika kehadiran mereka di sekeliling menjadi anugerah untuk berbagi pengalaman maka saya siap bertanggung jawab?
Untuk mewujudkan perjumpaan tersebut, ada dua karakteristik tanggung jawab yang perlu direfleksikan supaya bisa menjadi horizon yang membuka cakrawala berpikir, yakni (a) tanggung jawab yang (harus) bersifat konkret dan (b) tanggung jawab yang bersifat asimetris.
Tanggung Jawab Bersifat Konkret
Konkret yang dimaksud Levinas adalah mengacu pada pribadi sebagai subyek. Artinya tanggung jawab tersebut konkret karena tindakan tanggungbjawab itu berasal dari pribadi yang juga bersifat konkret. Tanggung jawab itu bertumpu pada pribadi. Karena konkret maka arahnya pun konkret. Levinas menegaskan bahwa tanggung jawabku pada Allah harus mendapat bentuk konkretnya dalam tanggung jawabku kepada sesama, orang lain (Levinas, Totality and Infinity, 1985). Saya yang konkret harus bertanggung jawab terhadap orang lain secara konkret. Saya harus menunjang dan melengkapi kehidupannya. Karena orang lain itu mewahyukan diri sebagai yang melarat, miskin, telanjang dan lapar, maka saya harus mengambil sikap tanggung jawab atasnya dengan seluruh keberadaannya. Saya tidak mungkin tinggal diam atau membiarkannya begitu saja, karena dia selalu memohon bantuan dari saya. Mengakui orang lain sebagai yang konkret berarti saya harus mendekatinya dan memberikan sesuatu sesuai kebutuhannya. Artinya, saya tidak boleh mendekatinya dengan tangan kosong.
Tanggung Jawab Bersifat Asimetris
Tanggung jawab ala Levinas juga bersifat asimetris. Artinya tanggung jawab tanpa mengharapkan timbal balik. Pandangan Levinas ini berbeda dengan pemahaman Martin Buber tentang relasi antara manusia. Menurut Buber salah satu karakteristik relasi “Aku-Engkau” dalam konteks relasi antarmanusia adalah ketimbal-balikan (reciprocity) atau mutualitas (mutuality). Ketimbal-balikan atau mutualitas merupakan esensi dari relasi “Aku-Engkau” ala Buber. Buber mengatakan, “Relasi bersifat timbal balik. Sesamaku bertindak padaku sebagaimana saya bertindak padanya.” (Buber, I and Thou, 1996). Jadi, relasi terjadi dalam pemberian dan penerimaan timbal-balik antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Kepenuhan eksistensi manusia ditemukan dalam mutualitas relasinya. Maka bagi Buber, “ketimbal-balikan” menjadi “pintu gerbang masuk menuju eksistensi. Dengan relasi timbal balik ini, manusia menemukan kediriannya. Levinas mengeritik relasi Buber dengan mengatakan, relasi itu bukan resiprositas melainkan asimetri. Levinas tidak melihat tanggung jawab dari dua arah. Hakekat pribadi adalah bertanggung jawab tanpa mengharapkan kembali. Resiprositas adalah urusan-nya. Levinas mengkritik konsep relasi intersubjektif atau relasi “Aku-Engkau” dari Buber.
Perjumpaan akan kokoh direalisasi bila ada tindakan konkret dan tak menuntut balasan dari pihak sebelah.
Menurut Levinas orang lain mengakibatkan saya bertanggung jawab. Inilah kejadian yang sama sekali menentukan. Sedangkan relasi “Aku-Engkau” pada Buber melewati begitu saja ciri etis tersebut dan itulah kelemahannya yang utama (Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 1985). Levinas ingin menunjukkan bahwa hubungan interpersonal antara aku dan orang lain selalu bersifat asimetris dan bukan berpola resiprositas. Artinya aku boleh memberikan hidupku bagi orang lain tanpa aku menuntut orang lain dan menjadikan mereka sebagai keuntungan bagiku. Ini bersifat pamrih, unconditional relationship. Singkatnya, jika bagi Buber relasi intersubjektif selalu berpola being-with dan karena itu simetris, maka bagi Levinas relasi itu senantiasa being-for karena itu asimetris. Aku-bagi-Kamu tidak boleh dibalik menjadi Kamu-bagi-Aku (Adiprasetya, Ya, Aku Penjaga Adikku!: Etika Postmodern dari Kacamata Emmanuel Levinas, 2000). Kewajiban etis yang muncul dengan muka harus dipahami secara asimetris. Apa yang diberikan pada orang lain, tidak boleh dituntut balasan.
Menilik dua karakteristik tanggung jawab Levinas di atas, sekiranya akan semakin kuat maknanya jika dibenturkan dengan ajaran kasih setiap agama. Perjumpaan akan kokoh direalisasi bila ada tindakan konkret dan tak menuntut balasan dari pihak sebelah. Maka dari itu, titik temu -bagi saya- yang memungkinan perjumpaan yang sungguh-sungguh dalam pluralitas hidup beragama di Indonesia adalah tanggung jawab. Namun perlu digarisbawahi bahwa tanggung jawab itu mesti bersumber pada kesediaan secara pribadi, menghayati inti ajaran agama yang dianut (tanggung jawab iman) sehingga menjadi inspirasi tindakan nyata dalam keadaan apapun saat bertemu penganut lain. Dengan menghayati ajaran imannya, pribadi akan selalu diingatkan bahwa saya adalah orang yang harus melakukan kebaikan, tidak menuntut dan menunggu orang lain. “Tidak menuntut dan menunggu dari orang lain” boleh disebut sebagai unconditional responsibility.
Jaminan pada kemampuan setiap individu, terutama masyarakat Indonesia, memaknai orang lain dalam kehidupan beragama adalah kesadaran untuk bertanggung jawab secara konkret dan tidak menuntut balas jasa. Semua akan dilakukan dengan sadar dan ihklas demi sebuah perjumpaan yang sungguh-sungguh dalam pluralitas keberagamaan. Perjumpaan tersebut akan benar-benar terwujud oleh sebab dalam keseharian, bertemu orang lain dimaknai sebagai moment etis bukan neraka (Sartre). Kalau orang lain dipandang sebagai neraka maka manusia secara hakiki bukan sebagai homo religius tetapi homo homini lupus yang siap menjadi bom waktu yang kapan saja akan menghancurkan kehadiran yang lain. Jika tanggung jawab hilang maka tidak menutup kemungkinan, manusia akan terus diteror diskriminasi kemanusiaan sepajang hayatnya.
Daftar Pustaka
Adiprasetya, Joas. Ya Aku Penjaga Adikku! Etika Postmodern dari Kacamata Emmanuel Levinas, Berakar di dalam Dia dan dibangun atas Dia, diredaksi Latuihamallo P.D, Robert P Borrong, dkk, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985
Buber, Martin. I and Thou Translated by Ronal G. Smith, Whiltshire: The Cromwell Press, 1996.
Levinas, Emmanuel. Ethics and Infinity, Translated by Richard A.Cohen. Pittsburgh: Dusquesne University Press, 1985.
, Otherwise Than Being or Beyond Essence, Translated by Alphonso Lingis: The Hague: Martinus Nijhoff Publishere, 1978.
., The Theory of Intuition in Husserls Phenomenology, Translated by Andre Orianne, Evanston: Northwestern University Press, 1979.
Magnis-Suseno, Frans. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
.., 12 Tokoh Etika Abad ke 20: Emanuel Levinas, Tanggung Atas Orang Lain. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
, Etika Abad Ke- 20. Yogyakarta: Kanisius, 2006.