Ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum mencapai standar negara-negara maju. Meski sering kita dengar informasi kemenangan olimpiade sains dan banyaknya tenaga ahli Indonesia bekerja di perusahaan teknologi mutakhir, tapi kalau dilihat dari banyaknya teknologi berasal dari luar dapat dikatakan penguasaan ilmu dan terutama aplikasinya masih tertinggal. Selama lebih dari 30 tahun periode pembangunan tampaknya kita masih tetap dalam kategori negara berkembang. Berbeda dengan negara China (RRC) dalam waktu yang sama berkembang dan berubah cepat menjadi lebih modern.
Sebuah penelitian menjelaskan perbedaaan signifikan berkaitan dengan dukungan terhadap ilmu dan teknologi antara negara dunia pertama dan dunia ketiga. Penggunaan uang untuk research and development seperti dijelaskan dalam penelitian tersebut benar-benar jauh dari perkiraan. Antara negara-negara dunia pertama dan dunia ketiga penggunaan uang untuk penelitian dan pengembangan memiliki angka perbandingan 97,1% : 2,9%. Sedikit sekali dana dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan di negara-negara dunia ketiga. Sedangkan jumlah ilmuwan dan sarjana teknik terkait dengan penelitian dan pengembangan adalah 87,4% : 12,6% (Ihde, 1990).
Fenomena ini tentu menarik untuk direfleksikan. Dukungan publik, baik itu secara finansial maupun moral, terhadap perlunya pengembangan ilmu dan teknologi sangat kurang. Ada kesan kita terkondisikan, terutama secara ekonomi dan politik, untuk tidak berkembang. Faktor-faktor berpengaruh yang bisa ditelaah secara filosofis, di antaranya faktor agama, budaya, dan kolonialisme. Saya melihat adanya ambivalensi pada faktor-faktor tersebut. Yaitu ketika ia dilihat sebagai yang memiliki pengaruh terhadap kemajuan tetapi juga menghambatnya.
Agama selalu diteorikan memiliki peran penting berkenaan dengan perkembangan ilmu. Dalam sejarah, banyak ilmuwan-ilmuwan berasal dari tradisi keagamaan terutama agama-agama Abrahamisme. Islam menjadi referensi bagaimana agama dikatakan dapat berperan sebagai faktor berpengaruh terhadap perkembangan ilmu. Peradaban Islam masa lalu pernah memiliki tradisi keilmuan yang mengatasi peradaban lainnya. Penemuan keilmuan ilmuwan-ilmuwan Islam kemudian menjadi mainstream dan landasan sains modern. Meski demikian, kita tidak bisa mengatakan Islam sebagai faktor inheren perkembangan ilmu. Karena kita ketahui, tradisi keilmuan ini tak ikut menyebar seperti halnya Islam itu sendiri. Islam di Nusantara, misalnya, lebih memiliki kontribusi dalam sastra dan filsafat. Bahkan kita saksikan bagaimana zaman keemasan Islam yang penuh dengan tradisi keilmuan ini kemudian berakhir.
Apakah Islam menjadi pemicu perkembangan ilmu? Pertanyaannya kemudian mengapa negara dengan mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia dan Bangladesh, relatif tertinggal dengan negara lainnya? Azyumardi Azra (2005), seorang pemikir dan pemerhati Islam, mengatakan dunia Islam sekarang secara keilmuan relatif tertinggal. Jumlah lembaga penelitian ilmu, ilmuwan, dan karya keilmuan dalam dunia Islam, menurutnya, berada di bawah rata-rata. Berbeda dengan negara-negara berideologi sekuler, yang nota bene tidak mengenal Islam, jauh lebih maju. Penguasaan ilmu dan aplikasinya tentu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor agama.
Teknosains mutakhir telah menyingkap batas-batas dunia dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang dalam arti tertentu bertentangan dengan ajaran agama. Teori evolusi mendapat tentangan masyarakat agamis karena telah menjelaskan proses terbentuknya kehidupan secara materialistik. Demikian pula teori-teori kosmologi telah menyingkap dunia sampai batas-batas tak terbayangkan. Ilmu pada dasarnya adalah cara pandang materialistik tentang alam. Percaya kepada yang gaib merupakan pilar agama Islam yang berdiri secara diametral dengan ideologi saintisme. Secara fondasional, ilmu memahami materialitas sebagai realitas ultima ditentukan secara instrumental sampai tingkat subatomik. Yang gaib atau non-material bukanlah kebenaran. Akibatnya, perkembangan ilmu telah mencuatkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Tuhan. Dengan argumen ini dapat diproposisikan bagaimana agama pada dasarnya bersifat ambivalen terhadap perkembangan ilmu.
Selain agama, kita dapati adanya ambivalensi pada budaya (atau lebih spesifik nilai-nilai budaya). Teknologi selalu menuntut kebaruan sehingga diasumsikan bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang dalam banyak hal tak ingin berubah. Meski demikian, ia dapat berpengaruh secara signifikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kemajuan. Jepang menjadi contoh negara yang memegang erat tradisi tapi pada saat yang sama unggul teknologinya. Kebiasan bekerja (keuletan) dan “kerja sama” dalam berinovasi menjadi etos pemicu yang sering dipahami berasal dari nilai-nilai budayanya. Namun tak sedikit budaya menghambat dan bahkan menolak hidup dengan teknologi. Kasus Indonesia menarik bila dilihat berdasarkan faktor nilai-nilai budaya. Karena ada banyak budaya yang melatari negara kesatuan Republik Indonesia.
Gagasan tentang teknologi inheren dengan budaya dapat dijadikan argumen berkenaan dengan hal ini. Setiap budaya memiliki kekhasan dalam membuat dan menggunakan teknologi. Don Ihde, seorang filsuf pascafenomenologi, mengistilahkannya dengan multistabilitas teknologi-budaya (1990). Multistabilitas adalah khas dalam pascafenomenologi Ihde—dibedakan dengan teori variasi dalam fenomenologi sebelumnya. Dengan multistabilitas dijelaskan bahwa persepsi manusia terstruktur seturut dengan pengalaman, bersifat kultural, sehingga terdapat aneka ragam bentuk persepsi (polymorphy of perception). Tidak seperti teori variasi dimana dalam posisi perseptual yang sama (dalam konteks keberlainan) dipahami adanya realitas yang sama. Dengan multistabilitas, meski kita melihat realitas dalam posisi perseptual yang sama, seperti misal teknologi, pemahaman terhadapnya dapat berbeda-beda.
Proses adaptasi terhadap lingkungan menjadi pertimbangan tersendiri bagaimana teknologi dalam suatu budaya kemudian berkembang. Kompleksitas sistem sosial, ekonomi dan politik menjadi pemicu berkembangnya suatu tatanan bersifat teknologis. Adaptasi berkenaan dengan penerimaan kebaruan dalam hal ini mengandaikan suatu proses bersifat transaksional. Teknologi menjadi niscaya apabila lingkungan mengondisikan kita untuk menggunakannnya. Ada proses tertentu yang membuat inovasi teknologis kemudian relevan digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Pemikiran ini dapat dibandingkan dengan filsafat multistabilitas Ihde yang selalu mengandaikan keunikan sehingga kita tidak bisa menerima dan menggunakan teknologi. Padahal apabila lingkungan mengondisikan untuk berkembang atau beradaptasi, masalah multistabilitas (persepsi) dalam kaitannya dengan transfer dan penciptaan teknologi dapat diatasi.
Selain agama dan budaya, kolonialisme juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Kemajuan ilmu di India, misalnya, diteorikan terkait dengan kesuksesan kolonialisme (Ihde, 1990). Kolonialisme, alih-alih menjadi penghambat, malah menjadi faktor menentukan. Peninggalan kolonialisme, terutama Belanda, di Indonesia dalam wujud teknologi infrastruktur seperti jalan, jembatan dan bendungan. Selain itu teknologi dihasilkan dari sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan (karet, kelapa sawit, timah). Sumber daya alam tersebut merupakan bahan mentah yang kemudian menjadi bahan baku dari teknologi. Pohon karet menghasilkan karet sebagai bahan mentah agar dapat diolah untuk membuat ban. Ban menjadi bahan baku teknologi transportasi seperti mobil dan motor.
Selain infrastruktur teknologi, peran kolonialisme di Indonesia menjadi nyata dalam pendidikan ilmu sosial dan politik. Terbentuknya negara Republik Indonesia tak lepas dari jasa para tokoh pendiri yang mendapat pendidikan Belanda. Jadi selain teknologi, juga perlu dilihat kontribusinya dalam ilmu sosial dan politik. Persepsi publik terhadap kolonialisme selalu bersifat negatif dengan asumsi telah menjajah secara ekonomi dan politik sehingga kita kesulitan untuk mengembangkan diri. Namun seperti telah dijelaskan, kolonialisme pada masanya telah membuka mata dan menjadi penghubung untuk melihat dunia modern.
Terlepas dari ambivalensi faktor-faktor seperti tersebut di atas kita tetap perlu memberdayakan pendidikan ilmu sebagai infrastruktur teknologi. Peran serta negara sangat menentukan dalam konteks ini. Pengadaan instrumen ilmu di sekolah-sekolah, misalnya, menjadi relevan sebagai sebuah langkah untuk memperkenalkan dunia teknologis yang kini semakin berjarak dengan kenyataan. Selain itu, penting juga sebagai negara kepulauan memikirkan teknologi mana yang tepat dan sesuai dengan cara berpikir dan karakter kebudayaan di Indonesia. Karena tidak semua teknologi baik pada dirinya. Strategi seperti ini bisa dijadikan alternatif untuk mengatasi ketertinggalan. Kita tentunya tak ingin menerima begitu saja teknologi yang tidak dimengerti esensi tekniknya sehingga membuat kita menjadi terasing dan kehilangan identitas.[]
Referensi
Ihde, Don. (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth. Indiana University Press. Bloomington/Indianapolis.
———-. (1993). Postphenomenology: Essays in the Postmodern Context. Northwestern University Press. Evanston, USA.
Azra, Azyumardi. (2005). “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”. Dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Editor: Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori. Penerbit Mizan, Bandung.