Gejala “krisis kepemimpinan” sedang menyergap republik ini, terlihat dari mencuatnya sejumlah ketidakpuasan terhadap kepemimpinan politik pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang baru terpilih. Namun, bila di satu sisi krisis itu dapat dibaca sebagai delegitimasi atau merosotnya legitimasi politik pemimpin di mata (sebagian) rakyatnya, di sisi lain, krisis itu juga dapat dilacak pada sesuatu yang fundamental—dan secara internal menjadi pemicu delegitimasi tersebut—yaitu kegagalan kepemimpinan politik di tanah air saat ini untuk menghadirkan kepemimpinan yang pro-rakyat dan demokratis dalam pengambilan kebijakan-kebijakannya. Penggunaan cara-cara kekerasan memperlihatkan kekhawatiran akan kembalinya mimpi buruk otoriterisme.
Dua ribu empat ratus tahun silam, persoalan itu telah mendapatkan perhatian Platon. Dalam Politeia, ia memperingatkan, demokrasi “make up” yang dibangun dari rezim uang dan elit yang korup akan berujung pada tirani. Untuk merefleksikan hal itu, Muhammad Al-Fayyadl (MAF), alumnus Universite Paris-8 Prancis, mewawancarai Haryanto Cahyadi (HC), peneliti di Lingkar Studi Terapan Filsafat dan alumnus STF Driyarkara, penulis buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon dari Yunani Antik hingga Indonesia (bersama Dr. A. Setyo Wibowo SJ).


MAF: Sungguh ironis, bahwa beberapa bulan setelah sempat mengikuti sesi yang cukup filosofis dalam diskusi buku “Mendidik Pemimpin dan Negarawan” karya bersama Mas Hary dan Romo A. Setyo Wibowo, akhir 2014 lalu, Basuki Purnama (Ahok) menggusur warga Kampung Pulo dan menunjukkan kualitas kepemimpinannya yang buruk dan, seperti kebanyakan penguasa di era transisi demokratik, mempertontonkan masih kuatnya kepemimpinan politik yang otoriter dan berwatak penindas. Membaca konjungtur yang terputus antara dua peristiwa ini—peristiwa filosofis-politis keikutsertaan Ahok dalam diskusi filsafat tentang kepemimpinan tersebut dan peristiwa politik penggusuran warga—menurut Mas Hary, apa yang salah dengan situasi ini?
HC: Dari sekelumit pengalaman saya tatkala bertemu dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), berkenaan dengan prolog maupun hari pelaksanaan diskusi buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan di Kantor Balaikota DKI Jakarta (3 November 2014)—di mana Ahok menjadi “keynote speaker”, dapat dikatakan, Ahok memang memiliki “paradigma dan pendirian filosofis” yang sudah dihayatinya dengan sangat teguh dan keras, sehingga dalam penerapan kesehariannya terkait dengan fungsi dan tugas kepemimpinannya sebagai “punggawa DKI” memang cenderung menyulut situasi pelik, entah berupa serangkaian benturan keras yang bagi sebagian pihak tentu akan dinilai sebagai keadaan yang memprihatinkan, tidak sebatas menimbulkan kecaman pedas dan “kebencian sengit” dalam relasi vertikal dan horizontal, tetapi juga tatkala situasi pelik itu harus dipertaruhkan dan diselesaikan dengan mengerahkan langkah koersif.
Ahok bisa berlama-lama berbicara ramah dengan serombongan anak-anak sekolah dasar beserta beberapa guru pendampingnya yang mendatangi Kantor Balaikota untuk menyampaikan protes tentang masalah tertentu di bidang pendidikan dasar yang menjadi kewenangan DKI, dan bertukar pikiran dengan terbuka dan bebas menghadapi ekspresi anak-anak yang polos dan jujur, menikmati hujan protes dari anak-anak sambil tersenyum ramah, seraya sesekali memerintahkan kepada staf-stafnya yang turut mendampinginya untuk mencatat setiap pokok-pokok permasalahan mendesak yang muncul dari proses tersebut agar segera ditindaklanjuti hari itu juga. Tiba-tiba saja, dalam sepersekian menit, sesudah menerima rombongan anak-anak sekolah dasar itu dalam suasana ceria dan ramah, Ahok berbicara dengan nada tuturan meninggi dan keras, sambil menghamburkan makian tajam dan pedas, tantangan, juga jari tangannya menunjuk-nunjuk muka pebisnis paruh baya “dari golongannya” yang datang ke kantornya untuk memohon “pertolongan sepihak” yang diketahui bakal berpotensi besar merugikan masyarakat. Dalam sekejap, Ahok menegaskan penolakannya untuk dimintai bantuan (situasi menjadi dramatis serasa bakal segera terjadi “adu jotos”, tetapi para stafnya tetap santai saja) sambil mengancam akan menangkapnya saat itu juga kepada si pengusaha paruh baya itu kalau tetap ngotot pada pendiriannya, yang menurut Ahok akan merugikan masyarakat dan tidak segera koreksi diri. Si pengusaha itu kemudian keluar dari Kantor DKI, “diusir” Ahok, dengan mimik tubuh lunglai malu (syukurlah, tidak terjadi “adu jotos”!). Sesudah itu, Ahok tiba-tiba menunjukkan sikap rendah hati (agak grogi dan “serba salah tingkah”) tatkala menyambut rombongan tamu lain berikutnya yang datang untuk menyampaikan masalah genting tertentu dan berjanji segera “membereskannya” sambil memohon maaf kepada rombongan tamu itu. Itulah sekelumit “dinamika” yang saya cermati tatkala memperhatikan sikap Ahok dalam menerima tamu harian di kantornya sebelum jam dinas. Kombinasi antara badai yang menderu-deru dan angin lembut sepoi-sepoi yang bisa silih berganti dalam hitungan sekejab setiap saat.
Saat berbicara sebagai “keynote speaker” dalam diskusi buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan, Ahok lebih berfokus mengisahkan faktor-faktor yang membentuk karakter kepemimpinannya. Apa yang disampaikan Ahok itu memang sesuai dengan permintaan dari pihak panitia diskusi. Maka, ia lebih memusatkan pembicaraan tentang pembentukan karakter kepemimpinan melalui serangkaian pengalaman dari pihak keluarga, terutama dari ayahandanya, kemudian sesekali menyampaikan makna filosofisnya dalam kaitannya dengan kepemimpinan, yang memang tampak sudah akrab sekali tatkala harus mempertaruhkan dan menyelesaikan perkara-perkara berkaitan dengan keadilan dan kebenaran berhadapan dengan pihak-pihak yang bersikap “keras kepala”, atau bahkan “paradigma dan pendirian filosofis” tertentu yang berseberangan dari dirinya (yang juga “keras kepala”) dengan menempuh spirit pertarungan konfrontatif seperti layaknya situasi “duel ksatria dalam dunia persilatan”.[1] Maka, sejauh saya memahami ceramah yang disampaikan Ahok dalam diskusi buku (sekitar 30 menit), saya cenderung berpendapat bahwa segi-segi kepemimpinan Ahok sebagai “punggawa DKI” bukan sebuah keterputusan, tetapi justru keberpijakan “paradigma dan pendirian filosofis” tertentu dalam kepemimpinan yang dihayatinya sejak kecil dengan sangat teguh dan keras berkat didikan ayahandanya. Dengan demikian, Ahok konsisten menghayati pijakan filosofis dalam memandu kepemimpinannya sampai sekarang ini.
Dengan memahami sekelumit latar belakang Ahok, keadaan-keadaan yang dinilai menimbulkan peristiwa memprihatinkan untuk sebagian pihak, terkait dengan kualitas kepemimpinan Ahok, misalnya langkah koersifnya, sejatinya bukan sebuah perkara penyimpangan atau distorsi sesaat karena kekhilafan belaka, apalagi terputusnya relasi antara pijakan nilai normatif ideal yang menjadi panduan Ahok dan sepak terjang kesehariannya yang dipandu berdasarkan nilai normatif idealnya sebagai keyakinan yang kokoh dan keras, melainkan kedua hal itu adalah rangkaian terpadu “satu tarikan nafas”.
Seberapa jauh sikap seperti itu dapat diterima dalam kerangka penilaian? Menurut hemat saya, tidak ada suatu jawaban bulat dan homogen secara tunggal. Sedikitnya, ada tiga ilustrasi umum. Bagi pihak yang merindukan perubahan wajah ibukota dengan segi-segi kepemimpinan tegas, berani, tanpa kompromi menghadapi segala macam halangan, figur Ahok disambut sebagai harapan. Bagi pihak yang menekankan “pendampingan warga”, langkah Ahok disambut sebagai jenis kepemimpinan yang otoriter-menindas. Bagi kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam pengelompokkan politik kelembagaan, figur dan langkah Ahok disambut sebagai sebentuk “kebencian sengit”. Saya sendiri menilai kualitas kepemimpinan Ahok dalam memimpin DKI memang sudah tepat, tatkala menonjolkan karakter keberanian, ketegasan, kejujuran, dan keterbukaan berkenaan dengan aspek-aspek kepribadiannya dalam kepemimpinan, menonjolkan kepatuhannya pada rule of law, desain kebijakan Pemerintah Daerah (DKI), konsolidasi terus-menerus internal aparatus dalam Pemerintah Daerah, serta komunikasi intensif dari pihak Ahok dan jajaran stafnya untuk “turun ke lapangan” menjumpai warga dengan segala tuntutan yang harus segera dibereskan oleh pihak Pemda (Ahok menyediakan waktu khusus untuk hal ini setiap hari Sabtu) berkenaan dengan orientasi penataan pranata kepemimpinannya; sehingga saya menaruh “karakter koersifnya” sebagai bagian dari “kegilaan” Ahok— memimpin Jakarta dengan segala komplikasinya yang rumit dengan tuntutan pembaruan berkenaan dengan penataan kota bagi warga penghuninya memang diperlukan figur pemimpin lebih daripada biasa-biasa saja. Kalaupun “karakter koersifnya” dirasakan sebagian pihak sebagai sebentuk kebijakan merugikan masyarakat atau bahkan menciderai keadilan, tantangan strategisnya adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat dibawa ke proses hukum yang adil dan terbuka. Menggugat langkah koersifnya disertai bukti kuat seturut patokan normatifnya sebagai perkara pelanggaran hukum.
MAF: Buku karya Romo Setyo bersama Mas Hary ini, “Mendidik Pemimpin dan Negarawan”, dapat dibaca sebagai suatu “preskripsi filosofis” atas problem kepemimpinan politik, yang di negara kita menjadi persoalan praktis. Apakah benar demikian? Apakah Mas Hary masih menaruh harapan, atau kepercayaan, bahwa suara para filsuf didengar oleh para politisi? Dan sejauh mana?
HC: Persis! Dalam beberapa dekade terakhir ini, sesudah terjungkalnya rezim Orde Bauk, masalah praktis berkenaan dengan pembaruan kepemimpinan politik cenderung didekati dengan menempuh langkah-langkah “teknis” dan “pragmatis” belaka, tanpa melibatkan atau cenderung mengabaikan “pertimbangan konstitutif”. Soalnya bukan sebatas pada ketidakmampuan mendesain pembaruan tata-pelaksanaan partisipasi politik warga untuk memastikan kualitas kepemimpinan politik yang dihasilkan dari partisipasi warga dalam menata arah republik, tetapi persis terjadi kevakuman “spirit konstitutif” dalam mendesain pembaruan kepemimpinan politik. Partisipasi warga seluas-luasnya sudah terbuka, dan “dirasakan secara tentatif” (dalam prosedur Pemilu), tetapi dalam beberapa waktu terakhir, hal ini menghadapi “tantangan praktis” dengan munculnya wacana dari kelompok kepentingan tertentu dalam politik berupa “partisipasi warga secara representatif”. Yang belum benar-benar diupayakan, dan ini menjadi tantangan serius karena bahkan nyaris tidak terwacanakan secara luas (meski diam-diam banyak dirasakan sebagai sebuah tuntutan konstitutif), adalah “mendesain” aspek emansipatoris dalam kepemimpinan politik terkait partisipasi politik warga seluas-luasnya, yaitu “pedagogi”. Ini satu soal yang memprihatinkan, tetapi terlebih menjadi suatu tantangan yang tidak kalah pentingnya bagi semua pihak yang masih memiliki kepedulian terhadap perkara perikenegaraan dalam arti ketat maupun luas, untuk tidak jatuh dalam sikap putus asa, dan membuang begitu saja harapan dan kepercayaan, sehingga kita lalu jatuh dalam perangkap berupa sikap apatis dan fatalistik, yang diam-diam justru mengesahkan situasi seperti itu.
Soal lain yang tidak kalah memprihatinkan, jika kita pahami dalam sudut-sudut permenungan yang lebih cermat, menggeledah, dan membongkar “sebab-musabab laten” yang mendasari “aspek-aspek manifes” akan komplikasi kerumitan masalah praktis kepemimpinan politik dalam hubungannya dengan “peran kaum filsuf” di negeri kita ini, boleh jadi justru akan menghasilkan keterkejutan pemahaman yang benar-benar ironis.
Pertama, belajar dari sudut pandang Platon sedikitnya dari karya utamanya, Politeia[2]— yang menyajikan batas-batas distingtif secara lugas dan bernas tanpa memasukkan segi-segi kerumitan dan komplikasi-komplikasi uraiannya seperti yang muncul dalam karya-karya berikutnya seperti Nomoi (Perundang-Undangan)—Platon memakai istilah “filsuf” (ho philosophos) dan jamaknya “kaum filsuf” (hoi philosophoi) merujuk ke individu yang bersangkutan maupun sebagai identitas, peran dan fungsi sosial-politiknya dalam sebuah komunitas bersama (polis atau negara-kota) dalam hubungannya dengan kualitas imanen “etis-epistemis-politis”[3], yaitu “filsuf ideal” yang diidamkan (philosophos) dan dilawankan dengan “kaum filsuf gadungan” (pseudo-philosophos) yang menjadi fokus kritiknya. Gagasan ini melandasi seluruh uraiannya dalam Politeia, dan meresap ke dalam seluruh karyanya yang membicarakan tema politik, tetapi muncul secara lugas sebagai sebuah definisi dalam Buku Kelima Politeia, disertai dengan kiasan berupa “Juru-Mudi Kapal” (kybernetes). Yang dimaksud Platon dengan figur “filsuf ideal” tentu adalah Sokrates. Sedangkan yang dimaksud dengan “filsuf gadungan” adalah Kaum Sofis, dan secara khusus dalam Politeia adalah tokoh historis dari eksponen Kaum Sofis, yaitu Thrasymakhos. Selanjutnya, Platon memakai istilah “filsuf” dalam pengertian umum: orang yang memiliki wawasan pengetahuan, maka diandaikan orang yang baik-benar-tepat, sehingga ia bertindak bijaksana karena berhikmat, hati-hati, peka, dan mumpuni, persis seperti apa yang kita kenal dewasa ini dengan istilah “cendekia” atau “kaum terpelajar”, bukan “filsuf” dalam arti “akademisi atau orang yang mahir atau ahli dalam bidang filsafat belaka”. Apa yang digagas Platon ini dalam perkembangan dewasa ini kira-kira mirip dengan apa yang disampaikan oleh beberapa pemikir modern tentang sikap, identitas, dan fungsi kaum cendekia atau intelektual dalam kehidupan negara-bangsa (nation-state) modern, dengan masing-masing penekanannya pada segi-segi tertentu, seperti misalnya Julia Benda tentang “pengkhianatan kaum cendekia”, Antonio Gramsci tentang “intelektual tradisional-intelektual organik”, Daniel Dhakidae tentang “intelektual pelacur”, dst.
Kedua, belajar dari wawasan Platon dan pemikir-pemikir lain dalam hubungannya dengan sikap, identitas, peran dan fungsi filsuf dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan atau nation-state, khususnya di republik, dapat diidentifikasi dalam pembabakan sejarah tertentu, pengelompokkan pola seturut pilihan, serta kualitas pencapaian ikhtiar dan upaya yang diperjuangkan kalangan filsuf atau kaum cendekia di republik, dalam hubungannya dengan masalah praktis kepemimpinan politik menurut keadaan-keadaan tertentu dalam keniscayaan sejarahnya. Ada momentum sejarah tertentu yang begitu ditandai sebagai pencapaian begitu mempesona dari kalangan filsuf untuk republik dan kemudian pencapaiannya dikenang sebagai teladan bersama dalam tetapan pedagogis formal, meski tidak sepenuhnya optimal, sebagai simbol harapan tertentu akan peran dan fungsi mereka. Ada momentum sejarah yang begitu ditandai sebagai pencapaian sesuatu yang sangat memalukan dari kalangan filsuf untuk republik, sehingga apa yang dibakukan dalam tetapan-tetapan kebijakan negara dan tetapan pedagogis pada rezim tertentu sebagai harapan akan pencapaian mereka tidak lebih daripada manipulasi dan kesesatan belaka yang justru dalam tarap tertentu malah menimbulkan kerusakan bagi republik—dan kalangan filsuf dari jenis ini persis menunjukkan sikap, identitas, peran dan fungsinya sebagai “filsuf gadungan” menurut Platon, “pengkhianatan kaum cendekia” menurut Julia Benda, “intelektual tradisional” menurut Gramsci, atau “intelektual pelacur” menurut Daniel Dhakidae. Dari arah permenungan filosofis yang diperkenalkan oleh kalangan filsuf Teori Kritis Sekolah Frankfurt, kita dapat belajar tentang perkara partisipasi kaum “filsuf” dalam kekuasaan, entah langsung maupun tidak langsung, seturut patokannya berdasarkan kategori sumbangsih pemikirannya yang selalu terbuka untuk dikritisi melalui penalaran (emansipatoris) dan sumbangsih pemikirannya yang menyimpan selubung kepentingan dengan klaim bebas nilai (ideologis); atau diukur dari kategori para pemikir dewasa ini yang menawarkan gagasan tentang politik pengakuan tidak hanya berbasis pada relasi interkultural (Charles Taylor), tetapi juga relasi intersubjektif berbasis antropologis (Axel Honneth) dalam rangka mengatasi keterbatasan praktik penerapan gagasan tentang pengakuan politis, berdasarkan subjek hukum dalam tradisi politik liberalisme modern.
Dengan demikian, menurut hemat saya, republik kita ini sudah memiliki catatan kesaksian sangat berlimpah tentang bagaimana soal-soal praktis kepemimpinan politik di republik ini diperlakukan, dan sejauh mana kiprah serta sumbangsih kaum cendekia atau filsuf mendedikasikan kapasitas mereka dan kualitas pencapaian mereka ini dalam rentangan pasang-surutnya harapan dan kepercayaan kita terhadap mereka. Dengan belajar dari aspek-aspek sejarah ini pula, kita tentunya cukup memiliki kecermatan untuk memilah-milah (irisan-irisan) kapasitas dan kualitas mereka, entah dengan keterlibatan langsung maupun tidak langsung, dan selalu dapat mengujinya dengan pendekatan yang dapat dipertanggngjawabkan, sebagai bagian dari pembelajaran seluas-luasnya, dalam menyajikan penilaian terhadap kiprah dan sumbangsih kaum filsuf untuk republik. Dalam arti ini, saya menempatkan patokan kepercayaan dan harapan terhadap kaum filsuf dengan segala keunikan mereka dalam mengungkapkan sumbangsihnya kepada republik. Tetapi, terlebih lagi, dan ini jauh lebih penting untuk selalu dicatat, bahwa rakyat kita selalu memiliki kepekaan dan kecerdasan, yang didasarkan pada patokan khas yang unik seturut hikmat-kebijaksanaan mereka, dalam menilai kiprah beserta sumbangsih kaum filsuf untuk republik. Rakyat akan mengenang dalam sanubari dengan caranya sendiri tentang siapa dan sejauh mana keteladanan kaum filsuf itu layak untuk dikenang dan ditransmisikannya ke lingkungan sekitarnya maupun generasi selanjutnya, dan menyingkirkan dari sanubarinya kaum filsuf yang terbukti gadungan dan perusak kehidupan republik—yang umumnya dihayati oleh rakyat tidak selalu berkaitan dengan perkara-perkara besar, tetapi yang sudah dapat dipastikan adalah perkara-perkara sederhana yang langsung mengena ke sudut-sudut pengalaman keseharian rakyat. Rakyat selalu memiliki kelenturan dan ketabahan yang sangat menggetarkan untuk memikul beban-bebannya, akibat distorsi kepemimpinan politik kaum filsuf gadungan dalam mengelola republik, tetapi rakyat juga memiliki kekuatan dan cara unik tak terduga yang sangat menakutkan bagi kaum filsuf gadungan yang terbukti dalam penilaian mereka menjadi pihak perusak republik. Dalam perkara penilaian tentang kapasitas dan kualitas sumbangsih kaum filsuf untuk republik, saya sangat percaya dan selalu membuka diri untuk belajar, dan ada baiknya ini juga dipahami dan berlaku untuk politisi dan jajaran pemimpin di republik (apalagi yang memiliki kapasitas sebagai filsuf dalam artian di atas), bahwa rakyat kita adalah guru terbaik di republik.
MAF: Mampukah Mas Hary menemukan pembenaran bagi harapan atau kepercayaan tersebut dalam kondisi materiil pengetahuan di Indonesia, di mana institusi pembelajaran filsafat belum semapan yang diharapkan, dan relasi antara institusi filsafat dan realitas sosial-politik di luarnya belum terlalu determinan?
HC: Saya memahami pertanyaan bagian ini dalam hubungan dengan pertanyaan dan jawaban saya terhadap pertanyaan sebelumnya, sehingga saya memahami upaya untuk menemukan pembenaran atas harapan dan kepercayaan tentang masalah praktis akan kepemimpinan politik berkaitan dengan sikap, identitas, peran dan fungsi kaum cendekia (atau “filsuf” menurut pengertian di atas) dalam hubungannya dengan pranata pembelajaran, menurut hemat saya, dipahami sebagai upaya untuk memberikan perhatian besar terutama pada pranata pendidikan dasar dan menengah. Masalah praktis tentang “buruknya” kepemimpinan politik yang dewasa ini dirasakan semakin meluas intensitasnya, menurut saya, sejatinya tidak terletak pada “ketidakmampuan kapasitas dan kualitas kognitif-intelektual”, melainkan “absennya sensibilitas”. Kepribadian buruk dalam kepemimpinan politik berpijak pada buruknya pendidikan pembentukan kepribadian yang idealnya dapat tertanam dengan baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dengan kata lain, dalam perkara ini, jenjang pendidikan tinggi, terutama di bidang pembelajaran filsafat, justru tidak memainkan peran strategis. Yang berperan strategis, dan perlu mendapat perhatian seksama adalah pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung berdasarkan pengandaian filosofis tertentu, dan menurut hemat saya, pengandaian filosofis tertentu ini idealnya adalah penerapan prioritas nilai-nilai filosofis, misalnya saja pendidikan kewargaan, menurut pendekatan pedagogis dan kurikulum berjenjang secara tepat. Maka seluruh materi pembelajaran dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah terarah pada pembentukan karakter kewargaan, dengan sasaran strategisnya aspek sensibilitas dan keteladanan, sebagai disposisi dasar pengembangan pedagogi dalam jenjang lebih tinggi yang menekankan aspek kognitif-intelektual. Tanpa disposisi aspek sensibilitas dan keteladanan yang membentuk sisi afektif seseorang, seberapapun jeniusnya aspek kognitif intelektual seseorang, justru akan menimbulkan bahaya ketidakseimbangan karakter dalam diri seseorang. Apalagi tatkala orang tersebut mendapatkan peluang untuk mengemban kekuasaan tertentu, maka kemampuan kognitif intelektualnya akan menjadi senjata yang handal untuk memanipulasi atau menyesatkan segala sesuatu yang mungkin sepintas tampak masuk akal dan rasional, tetapi dari segi nurani hal itu justru menunjukkan buruknya kemampuan afeksi dirinya dalam menempatkan pertimbangan penilaian sebuah tindakan dan dampaknya secara luas.
Ada kurun sejarah tatkala kita dapat memetik teladan negarawan beberapa karakter individu dalam kepemimpinan politik republik: seorang presiden yang begitu hebat dalam memimpin republik dengan visi persatuan yang kuat dalam masa penentuan bersikukuh mempertahankan kebijakan politiknya dalam perkara tertentu demikian rupa menimbulkan situasi pelik, sehingga sang presiden tersebut dijatuhkan dan diperlakukan seperti “bangkai binatang”; seorang wakil presiden terlalu lurus-jujur “sekeras batu granit” tatkala mengemban kekuasaan sehingga sesudah pensiun pun ia tidak protes tatkala tidak mampu membayar biaya listrik bulanan; beberapa kiai ugahari dengan caranya sendiri yang unik mengungkapkan kecintaan terhadap tanah air kepada ribuan santrinya untuk sebuah pertempuran heroik melawan agresi Sekutu; seorang tentara yang didaulat menjadi panglima sukses memimpin perang gerilya dengan “modal satu paru-paru saja” demi mempertahankan kedaulatan republik; seorang presiden yang berniat menggelar rekonsiliasi politik nasional untuk mengakhiri dendam masa silam justru disingkirkan; daftar contoh seperti ini masih dapat diperpanjang, tetapi contoh-contoh ini menunjukkan sekelumit karakter kepemimpinan politik yang sangat memprioritaskan keteguhan dan kelurusan sisi sensibilitas, sebagai disposisi dasar atas keluasan wawasan intelektual dalam memandu tindakan.
MAF: Ada perbedaan antara pendekatan Platon dan Aristoteles dalam memperlakukan subjek politis. Aristoteles cenderung berangkat dari subjek politis sebagai suatu kesatuan kolektif (yang bernama “polis”) dan cenderung memahami perubahan dari status warga atau peserta aktif dari kehidupan politik bersama tersebut. Sementara itu, Platon cenderung berangkat dari individu, pemimpin, atau elite pemimpin yang mengatur kesatuan kolektif itu. Bagaimana Mas Hary memahami perbedaan ini? Mengapa Platon cenderung berangkat dari sosok pemimpinnya, bukan bagaimana kepemimpinan itu diorganisasikan atau dikelola?
HC: Tradisi politik Yunani antik sepanjang abad ke-7 sampai abad ke-3 SM bertumpu pada panggung kekuasaan yang mengikat sejarah kehidupan bersama seluruh orang Yunani, yaitu polis (negara-kota). Maka topik pembicaraan seputar politik pada kalangan pemikir Yunani masa itu, termasuk Sokrates, Platon, Aristoteles, dan juga kalangan pemikir semasa mereka, juga berpijak pada polis sebagai landasan permenungan mereka. Dari risalah-risalah Platon dan Aristoteles yang terawetkan[4] hingga dewasa ini berkaitan dengan topik pembicaraan di bidang politik, perbedaan penekanan antara Platon dan Aristoteles merujuk sedikitnya dua pokok perkara.
Pertama, ruang lingkup pembicaraan. Aristoteles menempatkan etika politik sebagai “praxis” (praksis), yaitu bidang ilmu berkaitan dengan kematangan pengalaman seseorang (segi-segi mumpuni) sebagai patokan penentuan keutamaan dalam kehidupan dunia politik yang situasinya berubah-ubah. Bidang ilmu lainnya, seperti metafisika (atau teologi atau filsafat pertama) dan produksi (seni dan teknik) memiliki keutamaan berbeda dengan bidang ilmu praksis. Sedangkan Platon tidak menentukan perbedaan terlalu tegas dalam membicarakan topik tertentu secara terpisah. Paling banter, kita yang harus membuat perbedaan tegas tatkala menganalisis topik pembicaraan tertentu dalam karya-karya Platon.
Misalnya, dalam karya utamanya yang sering digolongkan sebagai topik pembicaraan politik, Politeia, kita dapat menemukan berbagai macam topik selain politik: teodicea (Buku III), epistemologi dan metafisika (Buku V-VII), seni (Buku X), eskatologi (Buku X). Selain itu, karya-karya Platon dapat dilihat sebagai sebuah kesinambungan dalam topik-topik tertentu dengan dukungan berbagai macam topik lain secara luas—dan sambung-menyambung berbagai macam topik seperti ini tentu saja menarik perhatian untuk mereka yang berminat mempelajari pemikiran Platon, tetapi akan menimbulkan kelelahan, kebingungan, dan akhirnya kebosanan untuk para pembaca umum atau pemula filsafat. Misalnya, karya-karya Platon periode awal (dialog-dialog Sokratik minor), seperti Kriton, Lysis, Lakhes, Xarmides, dst, dst, adalah karya-karya yang berbicara tentang formasi pemahaman tentang keutamaan secara partikular seperti kesalehan, persahabatan, keberanian, keugaharian. Nah, topik pembicaraan yang terpisah dari karya-karya awal Platon itu akan dikembangkan lebih lanjut pada karya-karya periode tengah awal dengan memberikan pengertian baru secara terpadu, misalnya Protagoras, Gorgias, Menon, Symposion; dan embrio pengertian-pengertian baru yang sudah dibicarakan dalam karya-karya periode tengah awal itu akan mencapai bentuk pemahaman yang terpadu dan utuh sebagai sebuah gagasan ideal yang lengkap tentang politik dalam Politeia; apa yang sudah diwacanakan pada Politeia diproblematisir sedemikian rupa secara terpadu dan spesifik dalam topik baru, misalnya epistemologi politik (Theaitetos dan Sophistes), “metafisika” politik (Politikos), filsafat alam atau kosmologi (Timaios dan Kritias), “teologi” politik (Nomoi).
Kedua, prinsip dasar. Prinsip dasar filsafat pada Platon berpusat pada teori Idea-Idea sebagai forma abadi-sempurna yang menjadi titik tolak keberadaan segala sesuatu secara partikular dan indrawi. Prinsip dasar ini berlaku juga dalam topik pembicaraan di bidang politik, baik tersirat maupun tersurat, misalnya keutamaan politik dalam karya-karya Platon selalu dibicarakan sambung-menyambung dalam karya-karya tertentu secara terpisah maupun terpadu. Prinsip dasar Aristoteles (yang menolak teori Idea-Idea Platon) dalam pemikiran politiknya adalah teori teleologis (segala suatu bergerak menuju satu tujuan tertinggi atau terakhir). Dalam politik, tujuan tertingginya sebuah komunitas politik adalah meraih kebahagiaan bersama. Maka, dalam karyanya tentang politik (Ta Politika), Aristoteles akan memaparkan polis sebagai komunitas politik tertinggi yang dibedakan dengan bentuk-bentuk komunitas lain seperti keluarga dan kemitraan, macam-macam jenis pemerintahan, warga, dan konstitusi (Buku I-IV), perubahan konstitusi (Buku V-VII), dan pendidikan di polis (Buku VIII).
Dengan menimbang dua perbedaan penekanan dari Platon dan Aristoteles dalam mewacanakan butir-butir permenungannya dalam bidang politik dalam beberapa karyanya, dapat dikatakan bahwa Platon dan Arisoteles menyajikan pokok-pokok pembicaraan seputar politik Yunani dengan berpijak pada landasan yang sama, yaitu polis. Secara “praktis”, risalah Aristoteles tentang politik dan aspek yang memperkaya gagasannya (Ta Politika, Ethika Nikomakheia, Athenaion Politeia) jauh lebih mudah dan menarik untuk dipelajari dan dipahami secara sistematis sebagai sebuah proses pembelajaran dalam ilmu politik dewasa ini ketimbang risalah-risalah Platon, karena uraian-uraian Aristoteles selalu diargumentasikan dengan pengertian-pengertian definitif. Bagaimana Platon? Risalah-risalah Platon tentu akan menarik perhatian bagi siapa saja yang tertantang untuk masuk menyelami tegangan-tegangan keganjilan dan keunikan mengenai topik-topik tertentu (yang sebenarnya juga akan diangkat dan diwacanakan oleh Aristoteles dengan cara, argumentasi, dan pemahaman lebih ramah) yang diartikulasikan dengan argumen-argumen penuh teka-teki, bernuansa halus, kiasan-kiasan lateral yang mengejutkan, sambung-menyambung satu sama lain dalam topik-topik yang serba luas, dan tiba-tiba berhenti menggantung (aporia)—memberi kebebasan kepada pihak pembaca untuk terlibat memikirkan topik dialog dan menarik simpulan. Ini, tentu saja, bacaan melelahkan, bertele-tele, membingungkan, membosankan, bagi para pemula filsafat atau pembaca populer.
Demikian pula, secara lebih spesifik, menjawab pertanyaan bagaimana pranata kepemimpinan beserta figur pemimpin sebagai sang penguasa polis ditata (“diorganisasikan atau dikelola”—meminjam istilah Mas Fayyadl), maka lebih daripada pandangan yang ditawarkan oleh Aristoteles, dalam Gorgias, Politeia, Politikos, dan Nomoi, Platon justru menyajikan visi yang sangat mempesona, disertai tegangan ganjil dan mencekam dari sudut-sudut dramaturgi narasi yang diuraikan sangat rinci dengan memadukan insight mitologis dan penalaran secara amat kaya, mengenai beberapa penekanan tertentu akan sudut pandangnya dalam menyajikan perkara penataan pranata kepemimpinan beserta figur pemimpin sebagai sang penguasa polis. Selain itu, yang khas dalam Platon, polis, kepemimpinan politiknya, dan figurnya, sebagai satu kesatuan politis, berpijak pada asumsi-asumsi antropologis yang mendasarinya, misalnya unsur-unsur konstitutif yang menjiwai polis, kepemimpinan politik, dan figurnya, dalam bingkai historis maupun ideal, sebagai sebuah masalah paideia (pendidikan sebagai pembudayaan). Topik pembicaraan serba luas seperti ini tentu tidak akan muncul dalam alur narasi dan argumentasi Aristoteles yang berkarakter “pemikir ilmuwan cool dan to the point”, ketimbang Platon yang berkarakter “seniman pemikir elusive ala Basiyo”. Tentu saja saya tidak mungkin memberikan paparan lebih rinci daripada jawaban serba terbatas untuk menjawab pertanyaan bagus dari Mas Fayyadl ini, tetapi jawaban tentang masalah ini semoga saja dapat diperoleh secara lebih rinci dan memuaskan dalam sebuah upaya yang beberapa waktu ini tengah dikerjakan oleh Romo Setyo Wibowo dan tim kerjanya (yang secara bertahap sedang menggarap terjemahan Politeia Platon yang akan terbit sebanyak 10 buku) dan saya sendiri (buku Werner Jaeger, Paideia. 3 Jilid).
[1] Beberapa bagian (selama 12 menit dari sekitar 30 menit) ceramah Ahok dalam diskusi buku dapat dilihat dalam video di situs ini: https://www.youtube.com/watch?v=w5w9Zm5VpdE.
[2] Tanpa bermaksud masuk dalam kerumitan sebagaimana disajikan oleh para ahli, judul lengkap buku Platon ini adalah “Politeia: He Peri Dikaiou: Politikos” (Negara Paripurna: Atau Perihal Keadilan-Ketegakan-Kebenaran: Negarawan).
[3] Dalam arti etis: karakter individu berkaitan dengan sikap sang individu bersangkutan dalam komunitasnya — kategori penilaiannya adalah baik-buruk; dalam arti epistemis: karakter individu berkaitan dengan patokan idealnya yang dapat diterima secara masuk akal dan selalu terbuka untuk diuji kebenarannya secara hakiki — kategori penilaiannya adalah benar-salah; dalam arti politis: karakter individu berkaitan dengan norma kesepakatan bersama — ini berkaitan dengan berlakunya patokan hukum tertentu — maka kategori penilaiannya adalah kepatuhan atau pelanggaran terhadap hukum (polis). Ketiga arti ini dipahami “satu tarikan nafas”.
[4] Kita sudah tidak mewarisi ratusan risalah karya Aristoteles yang ditulis dan diterbitkan untuk khalayak umum selain daripada fragmen-fragmen tertentu yang terawetkan dari aneka komentar para pemikir antik; kita juga hanya memiliki sedikit kesaksian akan apa yang disebut sebagai “dogmata agrapha” (ajaran tak tertulis) Platon selain daripada komentar-komentar “simpang-siur” dari kesaksian para pemikir antik. Maka, dalam kesempatan ini, saya tidak akan masuk dalam aneka hipotesis spekulatif yang sangat rumit, ruwet, pelik, sekalipun canggih, sebagaimana menjadi wacana perdebatan menarik dari kalangan terbatas di antara ahli Platon dan Aristoteles.