HC: Dalam corpus platonicum,[1] ada sekian banyak figur “politisi”[2] yang ditampilkan Platon sebagai tokoh dalam dialog-dialognya. Dalam Protagoras dan terutama Gorgias, tokoh-tokoh yang ditampilkan Platon dalam dialog, semuanya adalah tokoh historis yang memainkan peran kunci dalam sejarah paideia Yunani klasik, seperti misalnya Protagoras, Gorgias, Kallikles, Pollos, yang dalam sejarahnya dikenal sebagai sofis terkemuka. Tentu saja, tokoh protagonisnya sejak dari dialog-dialog periode awal sampai periode tengah adalah Sokrates. Dalam Politeia, tokoh antagonisnya adalah Thrasymakhos, sofis mashyur. Dalam Nomoi, risalah terakhir Platon, Sokrates tidak muncul sebagai tokoh utama dialog, digantikan dengan tokoh anonim enigmatik “orang asing dari Athena”.
MAF: Bagaimanakah penguasa negeri ini dalam kacamata Platonian? Dengan tipe kepemimpinan seperti disebutkan di atas, dalam era transisi demokratik ini, bagaimana mencirikan dan memahami kepemimpinan yang berwatak penindas tersebut dengan kosakata Platonian?
HC: Dalam Buku Kedelapan dan Buku Kesembilan Politeia, Platon menguraikan serangkaian pembusukan polis dari taraf idealnya sejalan dengan pembusukan kepemimpinan politik, figur penguasanya, dan segi-segi antropologis yang menjadi basis konstitutifnya karena tidak mendapat paideia secara tepat. Belajar dari sudut pandang Platonis, terutama merujuk pada Politeia, masalah kepemimpinan politik pada hakikatnya mengungkapkan masalah politik kepemimpinan, atau pendidikan politik dalam kepemimpinan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kepemimpinan politik di negara kita ini diselenggarakan tanpa didukung oleh pendidikan politik yang tepat.
Dari deskriptif peristiwa dewasa ini, potret lemahnya kepemimpinan politik negara sedikitnya berlangsung dalam dua perkara. Pertama, kepemimpinan politik negara lemah dalam perkara penyelenggaraan kehidupan bernegara. Kelemahan ini tampak dalam begitu luasnya skala penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan lembaga-lembaga negara yang dilakukan oleh para pejabat dan jajaran birokrat terkait tujuan pribadi atau kelompoknya. Kedua, kepemimpinan politik negara juga lemah dalam perkara orientasi kekuasaan yang benar-benar mengarah pada peningkatan kualitas hidup rakyat. Kebijakan pemerintah dan langkah-langkah strategis dari lembaga-lembaga negara dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, nyaris sepenuhnya berjalan semrawut karena berorientasi pada kelompok-kelompok kepentingan sehingga justru malah mencekik kualitas hidup rakyat.
MAF: Kita mungkin jauh dari sedang menyaksikan suatu figur pemimpin-negarawan yang disebut Platon sebagai “kalokagathos”. Bagaimana memahami langkanya figur kepemimpinan seperti ini?
HC: Salah satu sumbangsih kalangan pemikir Yunani antik yang paling kokoh dan terus-menerus terwariskan sebagai wawasan ideal yang menyebar dan terus-menerus dipelajari sebagai sebuah tegangan dialektis antara wawasan pemikiran, fakta peristiwa aktual, dan nilai idealnya dalam tradisi pemikiran Barat adalah menempatkan segi-segi perdebatan tentang perikemanusiaan dalam perkara pembudayaan politik. Seorang Helenis besar dari Jerman yang kemudian hijrah ke Amerika, Werner Jaeger, misalnya, dalam mewacanakan alternatif tentang “Humanisme Ketiga”, menyajikan kecenderungan sejarah dalam mengungkapkan aspirasi perikemanusiaan berkenaan dengan pasang-surut status politik kekuasaan di dalamnya: sesudah tradisi Yunani dan Romawi antik, humanisme pertama muncul dalam aspirasi kaum humanis Renaissance yang menempatkan permenungan kebudayaan klasik tentang perikemanusiaan dalam kaitan politik kekuasaan para pangeran dan aristokrat di Italia; humanisme kedua muncul dalam aspirasi kaum humanis Romantis Jerman yang menempatkan permenungan kebudayaan klasik tentang perikemanusiaan dengan menanggalkan kaitan politik kekuasaan seperti yang diperkenalkan oleh figur-figur utamanya yang berpengaruh: Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Schiller, dan para pujangga aristokrat yang menjalin kedekatan dengan kalangan istana Prusia; dan humanisme ketiga yang muncul dalam aspirasi pemerintah Nazi Jerman mengklaim kebudayaan klasik tentang perikemanusiaan sebagai puncak pencapaian politik kekuasaan berkarakter sangat fasis dan despot! Para pemikir Jerman dekade 1930-an saat itu saling berdebat keras tentang klaim dimensi kebudayaan klasik yang melekat dalam segi-segi perikemanusiaan terkait dengan formulasi humanisme ketiga. Jaeger,[3] antara lain, menolak klaim humanisme ketiga dari pihak Nazi Jerman karena karakter politik kekuasaannya yang sangat fasis dan despot itu tidak sesuai dengan akar kebudayaan klasik yang mendasari segi-segi perikemanusiaan—di mana politik dalam cakrawala kebudayaan klasik adalah perkara luhur-indah-elok, jauh dari kekolotan, kepicikan, dan kekotoran jiwa yang terbelenggu oleh ideologisasi paham tertentu, sehingga politik adalah pembudayaan itu sendiri, pengabadian keutamaan klasik yang bersemayam dalam jiwa-jiwa merdeka, keluhuran kehidupan bersama. Selain Jaeger, kita juga mengenal dalam perdebatan sengit ini peran pelik yang dimainkan sekian banyak kaum cendekia Jerman, satu di antara mereka adalah Heidegger, yang kemudian membakukan gagasannya mengenai perikemanusiaan dalam sebuah tulisan pendek yang mashyur, Brief ueber den Humanismus (Surat Perihal Humanisme).
Situasi intelektual yang dialami Jerman dekade 1930-an barangkali nyaris sama persis seperti situasi di negeri kita selama kekuasaan rezim Orde Bauk, di mana pihak rezim beserta begundal-begundal dan antek-antek terdekat hingga terjauhnya serempak berupaya (dan berhasil!) melembagakan politik kekuasaan menurut format mereka seluas-luasnya dan semassif mungkin dengan melakukan “kooptasi” antara lain ke seluruh perguruan tinggi sebagai salah satu sasaran strategisnya dan “mengunci telak” kebebasan akademis, terutama kalangan cendekia/filsuf dan jajaran mahaguru, demikian rupa dalam rangka “merasionalisasikan” kekuasaan dan kebijakan rezim sebagai validitas kebenaran satu-satunya yang harus dipatuhi sepenuhnya! Kebijakan depolitisasi rezim Orde Bauk dalam menyulap politik kedaulatan rakyat menjadi “massa apung” (floating mass) menunjukkan sukses besar pihak rezim dan kaki-tangannya membungkam segala wujud partisipasi kepemimpinan politik dari lapisan rakyat seluas-luasnya demi menyeragamkan hasrat kuasa sang despot yang dewasa ini tetap saja dikenang sebagai sosok murah senyum! Warisan tradisi politik kerakyatan dengan visi jiwa merdeka yang dibangun susah-payah dan penuh kemelut pelik dalam rentang sejarah panjang sejak era pergerakan pada awal abad kedua puluh hingga dekade 60-an, berhasil diselesaikan efektif dengan jalan tumpas raga dan tumpas jiwa merdeka! Siapapun yang berani menentang hasrat rezim, itu artinya siap-sedia untuk menjadi warga paria, bui, atau dorrr… !!! Sesudah rezim Orde Bauk terjungkal, depolitisasi dan massa apung sudah tidak menemukan wujud resminya, tetapi generasi kedua dan ketiga dari kawanan kaki-tangan rezim Orde Bauk kini tetap saja berkeliaran bebas menyusupkan paket politik hasratnya ke sudut-sudut kekuasaan, lengkap dengan wujud-wujud metamorfosis gaya berpolitiknya, tetapi esensi hakikinya tetap konsisten meneruskan visi generasi pertamanya.
Dalam bingkai warisan laten semangat politik rezim Orde Bauk yang terus-menerus bekerja efektif dalam benak kalangan luas dan sering menemukan momentum manifesnya dalam kancah politik kekuasaan akhir-akhir ini, perkara penindasan dan otoriterisme militeristik menurut saya tampak lebih menunjukkan tantangan serius dalam wujud tampilan permukaan belaka, tetapi tantangan yang sesungguhnya dan jauh lebih serius adalah perkara mindset semangat politik rezim Orde Bauk yang tampil ke permukaan dalam wujud menggoda: “isih penak zamanku tho… dorrr… tek sek…!” dan kinerja latennya: depolitisasi, massa apung, kepiawaiannya bermanipulasi dalam manuver-manuver politik sampai ke sudut-sudut republik. Maka, sejauh mana kaum cendekia dan jajaran mahaguru dalam spirit kebebasan beserta pihak terkait yang memiliki kepedulian besar menghadapi masalah tersebut benar-benar dapat menyingkirkan warisan laten semangat politik rezim Orde Bauk, serta menumbuhkan kembali politik “daulat rakyat” dengan dukungan emansipasi politik seluas-luasnya, di situlah akan terlihat sejauh mana pertaruhan serius persis menemukan efektivitasnya untuk masa depan republik ini. Tanpa menimbang aspek kinerja laten tersebut, jangan heran jika tiba-tiba saja selalu muncul klaim akan figur “pemimpin negarawan musiman/gadungan”—tentu saja tidak mesti dalam pengertian negatif dan buruk (sedikitnya 5 tahun sekali!)—disambut riuh gemuruh membahana sebagai wujud “Kalokagathos”[4] atau “Al-Insan al-Kamil”[5], mirip seperti penjelmaan ‘ratu adil’,[6] demikian figur-figur yang sepintas serba populis nan merakyat dan serba menjanjikan harapan itu belum tentu memiliki kapasitas dan kualitas yang benar-benar teruji kokoh dari proses panjang “paideia” atau penggemblengan dan kesetiaan politiknya dalam bingkai politik kedaulatan rakyat dan pemandirian republik.
MAF: Budaya politik di Indonesia, dalam banyak hal, mendekati beberapa aspek dari budaya politik di Yunani antik, di mana keunggulan kepemimpinannya diukur dari pertarungan di antara pertimbangan keturunan, kekayaan, atau kualitas moral. Dengan kata lain, di antara budaya politik yang dibangun atas aristokrasi (kita menyaksikan ini pada masih kuatnya “politik dinasti” saat ini), plutokrasi (siapa kaya, maka dia berkuasa dan dapat membeli jabatan), dan kepemimpinan berdasarkan visi dan keberpihakan akan keadilan, kebajikan, dan keutamaan-keutamaan lain (sesuatu yang semakin langka). Dalam realitas sehari-hari, hal yang terakhir ini justru sering kali diperlihatkan oleh rakyat terhadap pemimpinnya. Rakyat mendidik para penguasa. Rakyat mengajarkan demokrasi kepada penguasa. Menurut Platon, dapatkah mendidik pemimpin itu dilakukan oleh rakyat? Bagaimana menurut Platon, cara rakyat mendidik pemimpinnya?
HC: Persis! Situasinya mirip-mirip seperti Athena abad kelima dan abad keempat SM, tatkala Athena meraih kejayaan paling menakjubkan bersama sekutunya dalam Liga Delia (Athena ditunjuk sebagai bendahara dan meraih keuntungan besar dalam menggalang dana untuk mempercantik wajah polis Athena) sesudah kemenangan perang melawan Persia, kemudian muncul aspirasi baru yang disuarakan rakyat secara luas untuk ikut ambil bagian dalam proses politik di polis, dan karena itu aspirasi baru menuntut pula prasyarat intelektual tertentu (kemahiran seni berpidato, berdebat, dst.), bertepatan dengan munculnya gejala baru membanjirnya kalangan mahaguru perantau (kita mengenalnya Kaum Sofis) ke polis Athena menawarkan (memperdagangkan!) pengetahuan yang menjadi kebutuhan masyarakat Athena yang tengah dilanda aspirasi baru dan formasi sosial baru sebagai elite-elite baru, dan visi rezim kekuasaan Athena di bawah pimpinan Perikles ini memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warganya untuk mengembangkan seni kebudayaan, meningkatkan kedigdayaan armada perang terutama dalam kekuatan maritim, dan berupaya melaksanakan politik luar negerinya yang ekspansionis dan imperialistik. Situasi ini menimbulkan kegelisahan dari pihak Sparta beserta sekutunya dalam Liga Peloponnesia, dan berkembang sedemikian rupa hingga Sparta dan Athena yang dalam pertempuran heroik melawan Persia adalah dua sekutu erat toh akhirnya berhadap-hadapan dalam Perang Peloponnesos hampir sekitar 30 tahun lamanya, dan Athena menderita kekalahan telak, sehingga benar-benar mengalami demoralisasi sedemikian parah—dari polis paling jaya, unggul, digdaya di antara seluruh polis Yunani, hancur lebur terpuruk dalam situasi paling gelap dan mengalami kemunduran paling parah di antara seluruh polis Yunani—maka untuk beberapa saat Athena menjadi “boneka” kekuasaan Sparta. Sistem politik demokrasi yang dibangun susah payah sejak Solon, dan memuncak pada era Kleisthenes (yang sukses menyingkirkan tiran generasi kedua Dinasti Peisistratos dan mengakhiri perang sipil berlarut-larut di antara golongan aristokrat pesisir, aristokrat perkotaan, dan aristokrat pedalaman, kelompok-kelompok oligarkhi, serta memutuskan rantai persekutuan Athena dan rezim tirani antara polis di Yunani dengan menetapkan kebijakan penghapusan sistem sosial-politik lama berdasarkan hak-hak istimewa menurut garis darah, yang dimonopoli oleh Majelis Areopagos atau beberapa dinasti aristokrat pedalaman maupun perkotaan, dan menata sistem sosial-politik baru dalam lembaga-lembaga perwakilan—mewakili kekuatan golongan masyarakat atas-tengah-bawah dari kalangan pesisir, kalangan pedalaman, dan kalangan perkotaan dalam sistem pemilihan langsung secara terbuka), hingga demokrasi berlangsung dalam formatnya yang ekspansionistik dan imperalistik, berkembang menjadi kekacauan akibat silih berganti rezim kekuasaan singkat antara rezim tiran dan rezim demokrasi.
Di tengah situasi Athena yang serba kacau-balau seperti itu, muncul perdebatan intelektual paling subur di kalangan pemikir tentang kemungkinan membangun kembali kedigdayaan polis Athena sebagai, seperti dikatakan Thoukydides melalui mulut Perikles, pusat kebudayaan dan guru bagi seluruh orang Yunani. Dari sekian banyak aspirasi yang mencuat dalam gelanggang perdebatan di polis, dalam berbagai macam bentuk seni dan pertunjukan dan berbagai macam bentuk tulisan, sejarah mencatat selektif beberapa karya sastra dan intelektual yang terbukti benar-benar memiliki pengaruh dan menjadi media pembelajaran yang terwariskan dari generasi ke generasi peradaban Barat. Dari sedikit karya ini pula, kita bisa meneropong sekelumit potret tentang medan perdebatan sengit yang sangat subur di Athena berkenaan dengan paideia—sebuah pengertian kunci tentang pembudayaan yang menjadi titik tolak kalangan pemikir Athena dalam memperdebatkan gagasan “sastra” mereka tentang keunggulan format kepemimpinan berdasarkan asumsi antropologis dan sosiologis yang berpijak pada bentangan kosmik kesejarahan politisnya yang bernama polis. Untuk tidak masuk dalam kerumitan dan komplikasi-komplikasi keruwetan rincian, saya membatasi saja uraian ini dengan sajian peta pemahaman tentang beberapa pokok pemahaman kira-kira seperti ini.
Pertama, bagi orang Yunani antik, polis adalah segala-galanya. Polis adalah kosmik kehidupan mereka. Panggung untuk mengungkapkan segi-segi kesejarahan politis setiap individu dalam statusnya sebagai warga. Setiap warga “berlomba-lomba” mengungkapkan peran optimal mereka kepada polis, demi meraih “kemashyuran/kejayaan tak terhancurkan” (kleos apthithon), atau tuturan (lexis) atau tindakan (praxis) seseorang di polis bisa dikenang abadi dan dibicarakan sebagai tokoh teladan oleh generasi selanjutnya. Hannah Arendt (dalam The Human Condition), misalnya, dengan tepat mengungkapkan muatan visi polis dalam diri orang Yunani, yang kemudian tetap dikenang sebagai puncak paideia orang Yunani bagi kalangan di luar Yunani generasi berikutnya berkenaan dengan muatan konseptual:
“Kemanapun engkau pergi,
engkau tetap seorang polis…”
Arti positifnya kira-kira hendak mengatakan tentang kecenderungan orang Athena yang sangat menjunjung tinggi jiwa-jiwa merdeka (eleutheros), berkat pembudayaan (paideia). Arti ini pula yang kira-kira juga ditransmisikan ke peradaban Barat era berikutnya sebagai rujukan ideal antara individu dalam komunitas; sedangkan arti peyoratifnya mencerminkan keangkuhan budaya Yunani antik. Tentunya bagus dalam perkara ini kita mencermati makna tentang polis bagi orang Yunani antik melalui formulasi pemahaman Martin Heidegger dalam An Introduction to Metaphysics (diformulasikan dengan bagus dan canggih sehingga mungkin malah membuat orang Yunani antik mlongo…):
“Polis umumnya memang diterjemahkan sebagai kota atau negara-kota. Terjemahan ini tentunya belum mengungkap kepenuhan maknanya. Polis tentunya jauh lebih bermakna bila dimengerti sebagai situs, yang di sana, dalam mana dan lazimnya yang berada-di-sana secara menyejarah menampilkan wujudnya. Polis adalah situs sejarah, yang di sana di mana, dari mana, dan untuk mana sejarah terbentuk. Inilah situs sekaligus peristiwa sejarah tentang manifesnya kehidupan dewa-dewi, kuil, imam, festival, perlombaan, penyair, pemikir, penguasa, sesepuh, militer, serta tindakan luhur lain. Semua peristiwa dalam polis ini terutama tidak berakar dalam ranah politis terhubung hanya dengan kalangan negarawan, jenderal, atau perkara-perkara lainnya berkenaan dengan negara. Tidak, ranah politis ini lebih berakar dalam polis sebagai situs sejarah, di dalam mana di sana itulah tampil […] manusia yang bertindak. Keluhuran situs sejarah ini pada saat yang sama tampil sebagai a-polis, keluhuran yang tampil mendahului keluhuran kota atau situs, […] karena mereka itulah, manusia yang bertindak, sebagai pembentuk keluhuran, pertama-tama memang sudah selalu terpanggil untuk membentuk semua itu.”
Sesudah mencermati pendapat dari dua pemikir modern di atas, kita kembali ke Yunani antik untuk mencermati pemahaman paling kokoh dari apa yang mereka hayati tentang polis dalam kaitannya dengan politik dan kebudayaan atau persisnya “paideia” (pembudayaan). Dalam sejarah Yunani antik, katakanlah yang merentang sejak Homeros sampai Demosthenes (tatkala polis-polis Yunani runtuh bertekuk lutut di hadapan Philippos sang penguasa dari Makedonia; ayahanda Alexander Agung), kaitan erat antara politik dan kebudayaan yang berpijak pada polis diungkapkan dengan lugas dalam sepenggal sajak yang ditulis oleh Simonides, penyair dari Keos (fragmen 95; editor Edmonds), sekitar abad kelima SM:
“Polis andra didaskei”
(Negara mendidik warga)
Dalam dua karya utamanya, Politeia dan Nomoi, Platon bertolak dan mengembangkan gagasan tentang polis sebagai pendidik warga dengan menyajikan bagaimana cara ideal (pada Politeia) dan cara realistik (pada Nomoi) mendidik penguasa yang pada gilirannya juga akan melaksanakan tugas utamanya di polis sebagai pendidik warga.
Kedua, sedikitnya dari dua karya utamanya, Politeia dan Nomoi, terlihat bagaimana cara yang ditempuh oleh Platon dalam merealisasikan gagasannya untuk menyiapkan kaum penguasa polis yang selanjutnya akan menjalankan fungsi sebagai pendidik warga. Tampak dari gagasannya, Platon berargumentasi seturut pemahamannya tentang sejarah Yunani antik yang sudah digagaskan oleh pendahulunya, dan mengembangkan gagasan pendahulunya menurut sudut pandangnya, sehingga kita dapat meninjau serangkaian fase perkembangan gagasan tertentu dalam pergeseran dan perkembangan konsepsi tertentu. Misalnya, konsepsi dan metode pendekatan Platon dalam menaruh pemahaman tertentu pendahulunya tentang keutamaan, aristokrasi, paideia, dan sosok ideal pemimpin negarawan.
Mengenai keutamaan. Pemahaman orang Yunani tentang keutamaan ideal sepanjang era Homerik (sejak Homeros hingga mencapai puncaknya di Sparta) adalah keberanian. Ukuran manusia ideal ditentukan berdasarkan keutamaan keberanian bertempur heroik di medan perang; tujuan utamanya meraih mahkota penghargaan tertinggi, yaitu kemashyuran tak terhancurkan. Dalam Politeia dan Nomoi, Platon akan menggeser keberanian bukan sebagai keutamaan tertinggi untuk menilai kualitas ideal manusia dan polis seperti yang dihayati warga Sparta. Bersama dengan keutamaan lainnya seperti kesalehan, keberanian perlu diberi “warna” keutamaan keugaharian agar muncul keseimbangan dan keselarasan antara dimensi batiniah (jiwa) dan dimensi lahiriah (kedigdayaan fisik) sebagai cermin kesempurnaan manusia di satu sisi; dan di sisi lain, dalam pengertian “makro”, meliputi golongan-golongan masyarakat; sehingga keutamaan kesalehan, keberanian, keugaharian dapat berjalan selaras seimbang bersatu padu dalam satu kesatuan mewujudkan keseluruhannya dalam apa yang disebut keutamaan keadilan-ketegakan-kebenaran. Pengertian ini berlaku serempak untuk memahami proses pembentukan manusia ideal (mikro) dan polis ideal (makro) sesuai dengan “topografi” keutamaan.
Mengenai aristokrasi. Dari karya-karya sastra Yunani antik, sejak epos Homeros hingga fragmen-fragmen puisi Pindaros maupun Theognis, wacana pemahaman tentang aristokrasi bersitegang di antara taraf pengertian aristokrasi dalam hubungannya dengan keistimewaan garis darah (bibit), harta benda kekayaan dan jabatan (bebet), serta intelektual (bobot) di satu pihak, dan di pihak lain juga bersitegang di antara status sosial ideal dari golongan masyarakat tertentu (misalnya keturunan raja, keturunan orang kaya) dan kriteria nilai ideal (keluhuran atau keelokan jiwa). Dalam Politeia dan Nomoi, Platon memangkas muatan aristokrasi berdasarkan keistimewaan garis darah (ethnos) dan status sosial golongan masyarakat tertentu, kemudian mengembangkan lebih lanjut gagasan aristokrasi intelektual berdasarkan kriteria nilai ideal melalui pengemblengan dan pengujian dalam serangkaian paideia (pendidikan sebagai pembudayaan).
Mengenai paideia. Paideia Yunani antik boleh dikatakan mencapai puncaknya dalam gagasan dan metode pendekatannya pada filsafat Platon. Paideia pra-Sokratik umumnya berlangsung sebagai pembudayaan seseorang atau anggota komunitas tertentu berkaitan dengan keutamaan melalui keteladanan pribadi atau tokoh (mimesis). Pelaku utama yang merealisasikan paideia umumnya adalah kalangan penyair. Metode pendekatannya berfokus ke persepsi-indrawi atau menimbulkan kekaguman tertentu demi kepuasan dan kesenangan (aisthesis-arete). Puisi dan prosa, dengan rupa-rupa variannya, seperti epos, didaktik, liris, elegi, puji-pujian, dst, menjadi sarana satu-satunya untuk menyampaikan materi paideia. Cara dan pendekatan untuk merealisasikan paideia seperti itu juga dilakukan oleh Kaum Sofis. Platon kemudian akan menilai bahwa paideia yang dipraktikkan oleh kalangan penyair dan kaum sofis bukan mendidik demi pembudayaan, tetapi justru menyihir demi kesesatan sehingga paideia semacam itu perlu diperbarui. Kalau para penguasa polis dididik dengan model paideia seperti itu, polis jelas akan kacau dan hancur karena para penguasanya akan mengumbar hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu indrawinya demi kepuasan dan kesenangan pribadi daripada menentukan pertimbangan tepat untuk menata kehidupan polis. Paideia harus berorientasi ke nilai tertinggi: kebaikan sebagai titik tolak kebenaran dan keelokan. Maka, Platon menawarkan model paideia dengan menegaskan kebaikan sebagai titik tolak pemahaman meliputi pendekatan aisthesis-arete dalam jenjang dasar dan menengah, dan selanjutnya pendekatan episteme-arete (menanamkan nilai-nilai keutamaan sebagai pengetahuan). Dengan berpijak pada kebaikan sebagai titik tolak paideia, pendekatan aisthesis-arete bertujuan membentuk keselarasan dan keseimbangan susunan jiwa seseorang (jiwa epithumia dan thumos) sebagai landasan utama pengembangan jiwa seseorang dalam jenjang kemampuan berpikir secara logis dan dialektis (jiwa logistikon) sehingga terbentuk keseimbangan dan keselarasan jiwa sebagai satu kesatuan terpadu yang menandai karakter seseorang. Pengalaman praktis berupa keterlibatan langsung di lapangan dalam menata kehidupan polis bertujuan membekali seseorang agar semakin bijaksana tatkala mendapat giliran mengemban amanat polis sebagai penguasa untuk melaksanakan paideia ke warganya. Politeia dan Nomoi adalah dua karya utama Platon yang sepenuhnya berbicara tentang paideia paripurna untuk mengupayakan sosok penguasa idealnya (filsuf raja/ratu) dan sosok penguasa dalam situasi realistis (legislator atau pemberi hukum).
Mengenai sosok ideal pemimpin negarawan. Melalui permenungannya tentang paideia, Platon menggeser ciri manusia ideal Yunani antik dalam sosok ideal pemimpin negarawan pra-Sokratik yang menekankan figur penyair (tradisi Homerik-Hesiodik) atau figur orator (tradisi sofistik). Dari prosesnya, paideia pra-Sokratik secara konseptual dan metodologis terbukti tidak akan pernah bisa melahirkan sosok pemimpin negarawan ideal, karena paideia tersebut hanya mengumbar hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu kesenangan dan kepuasan pribadi. Menurut Platon, hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu yang bercokol dalam jiwa epithumia dan thumos, melalui paideia jenjang aisthesis-arete, ditundukkan, bekerja sama, dan mendukung orientasi jiwa logistikon membentuk keselarasan terpadu, sehingga karakter seseorang tidak ditandai dengan tarik menarik hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu bercokol yang saling berebut pengaruh, tetapi memperkuat jiwa logistikon mengembangkan penalaran, pengertian, daya timbang yang cermat dan seksama berdasarkan arahan kebaikan, yang akan menandai kebijaksanaan setiap tuturan dan tindakannya, dan mengorientasikan seluruh daya kemampuannya untuk menata kehidupan polis. Demikian Platon menawarkan filsuf sebagai sosok pemimpin negarawan ideal di polis, bukan karena memiliki segudang pengetahuan paling canggih (pemimpin negarawan ideal Homerik berciri ensiklopedik), tetapi ia bijaksana karena penalaran dan wawasan pengetahuan menuntunnya agar ia selalu bertutur dan bertindak berdasarkan arahan kebaikan sebagai sumber kebenaran dan keelokan dan dengan itu pula ia menata polis menjadi ‘polis yang elok’ (kallipolis).
Mengenai “parrhesia”. Dalam tradisi politik Yunani antik, dengan berbagai macam taraf dan skala pasang surutnya, dikenal kebiasaan yang disebut “parrhesia” atau keberanian orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara kebenaran di depan pihak yang berkuasa. Demokrasi Athena memberikan jaminan parrhesia dalam batas-batas kesetaraan dan bila seseorang memiliki pengaruh terlalu besar sehingga berpotensi mengganggu keseimbangan dan kesetaraan demokratis, orang itu akan diasingkan selama sepuluh tahun melalui proses demokratis yang dikenal sebagai “politik ostrakon” (prosedur penentuan pengasingan melalui pemungutan suara dengan cara menuliskan nama orang yang mau diasingkan di sebuah pecahan genting) untuk memulihkan keseimbangan dan kesetaraan di polis. Beberapa filsuf dan penyair, karena terlalu berpengaruh dari segi pribadi dan ajarannya, mengalami politik pengasingan. Tidak terkecuali pula Sokrates, yang diadili karena sepak terjangnya dalam berfilsafat (ber-parrhesia) menimbulkan kegelisahan polis, maka muncul tuntutan agar Sokrates diasingkan, tetapi Sokrates menolaknya dan lebih menerima konsekuensi hukuman mati. Lain lagi Platon, yang banyak menimba ilham dari Sokrates dan “mengabadikan” ajaran sang gurunya, maka ia mengurungkan hasratnya untuk meniti karier sebagai negarawan polis dan memilih mendirikan sebuah perguruan (Akademi)—sesudah berhasil lolos dari insiden kekuasaan dengan seorang tiran dari Syrakusa, dan Platon nyaris dijual sebagai budak, kemudian ia tenggelam dalam aktivitas mengajar dan menulis filsafat sebagai sebentuk perlawanan filosofisnya terhadap polis. Maka, tentunya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya-karya filsafat Platon sejatinya adalah sebentuk parrhesia. Menarik bahwa risalah Platon, misalnya Politeia, yang memuat kecaman pedas dan banyak alusi tentang pembelaan Sokrates, justru disambut hangat oleh warga polis Athena, dan Platon lolos dari incaran politik pengasingan. Mungkin saja, dalam upaya mendidik sang penguasa polis saat itu dengan melancarkan kecaman-kecaman tajam dan pedas dalam bungkus konsep-konsep abstrak tentang polis ideal—atau meminjam ungkapan Mas Fayyadl “rakyat mendidik sang penguasa”—Platon melakukannya dengan menempuh langkah sedemikian rupa sehingga Politeia memang ditulis tidak sebatas ditujukan ke warga polis masa itu sebagai pembacanya. Politeia terutama ditulis untuk mengabadikan ideal kepemimpinan politik, untuk kalangan pembaca dan kalangan pencita keluhuran politik sepanjang zaman, menembus batas kesempitan spasio-temporal negeri Yunani. Maka, Platon pun tampaknya juga sudah siap mengantisipasi sebuah ironi, betapa gagasannya tentang ideal kepemimpinan politik, yang sampai dewasa ini dipelajari dengan takzim dan tekun oleh setiap pelajar filsafat nyaris di seluruh belahan dunia, justru tidak memberikan efek inspirasi sama sekali bagi negerinya yang kini tetap terpuruk seperti nasib Athena paruh akhir abad ke-5 dan paruh awal abad ke-4 SM.
Mungkinkah, dan bagaimana menafsirkan jejak “parrhesia” dalam karya sastra di negeri kita? Sejauh keterbatasan ingatan saya, ungkapan parrhesiastik “rakyat mendidik sang penguasa melalui perlawanan” persis mendapatkan bentuknya yang paling kokoh dan ekspresif dalam karya klasik Pramoedya Ananta Toer. Saya sudah lupa dan tidak memiliki akses untuk mengingatnya, tetapi yang dapat dipastikan, terdapat ungkapan parrhesiastik di salah satu dari serial Tetralogi Buru:
“Didiklah penguasa melalui perlawanan!”
Namun, syukurlah, saya toh masih bisa mengingat persis ungkapan parrhesiastik bernada liris dus elegi yang nyaris senada di halaman dan kalimat terakhir Bumi Manusia:
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikian pula, menurut dugaan saya, Wiji Thukul dalam puisi-puisinya banyak menyuarakan visi tentang “rakyat sebagai pendidik penguasa melalui perlawanan”, dan di antara puisinya itu, kita dapat menemukan satu ungkapan lugas dalam puisinya yang berjudul Peringatan:
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)
Rasanya bijak, jika kita sejenak mengenang, dengan rasa hormat yang tinggi, disertai ucapan terima kasih, kepada Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Thukul, yang telah menggali ungkapan-ungkapan parrhesiastik dalam karya-karyanya dan puisi-puisinya, dan dengan itu pula terbuka bagi kita untuk menafsirkannya sebagai sebentuk jejak gagasan tentang “parrhesia”—untuk meminjam sebuah pengertian baku dari tradisi politik Yunani antik—dengan menelusuri keluasan dan keleluasaan spirit pijakannya dari sekelumit narasi sejarah dalam kurun peristiwa tertentu di negeri kita; maka, dalam pola itu pula, menurut hemat saya, kita bisa mengaktualkan gagasan parrhesia beserta spirit parrhesiastik khas Pramoedya dan Wiji Thukul ini secara cerdas dan bijak sebagai suatu keniscayaan berkaitan dengan keadaan-keadaan republik dewasa ini di tengah tuntutan proyeksi ke depan.***
[1] Seluruh karya Platon, 36 buku plus 13 surat, tanpa perlu masuk dalam perdebatan para ahli tentang otentisitas karya-karya dan surat-surat tersebut.
[2] Istilah politisi dalam tradisi politik Yunani antik sama artinya dengan istilah negarawan. Dalam bahasa Yunani kedua istilah itu “politikos” (jamak: “politikoi”), yaitu seseorang atau orang-orang yang aktif dalam urusan polis, baik warga maupun penguasa.
[3] Werner Jaeger, “Classical Philology and Humanism”, dalam Transactions and Proceedings of the American Philological Association, Vol. 67 (1936); bdk. Katie Fleming, “Heidegger, Jaeger, Plato: The Politics of Humanism”, dalam Springer Science+Business Media Dordrecht 2012 (publikasi 28 Desember 2012).
[4] Sebuah istilah teknis dalam tradisi politik Yunani antik berkenaan dengan aspirasi manusia ideal dalam kehidupan polis. #Intermezo. Suatu kali, saya iseng membaca sebuah karya sastra klasik yang bagus dari Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja. Pada bagian-bagian tertentu tatkala Pram menguraikan gagasan-gagasan pokok Kartini, saya cukup terkejut betapa Pram dengan sangat tepat menguraikan pokok-pokok gagasan Kartini yang sepintas ‘tampak biasa-biasa saja’ dalam bahasa lugas dan bernas tatkala menyajikan pokok-pokok gagasan Kartini itu persis menampilkan “pengertian sempurna” tentang, bukan sosok ideal (kalokagathos), tetapi kategori nilai ideal (kalokagathia; keelokan/keindahan dan kebaikan), yang bentangan jejak warisan klasiknya dari Yunani antik sudah diformulasikan dalam bentuk pandangan budaya ideal Eropa Barat modern pada abad XIX melalui beberapa literatur yang dibaca dan ditulis kembali oleh Kartini dalam surat-suratnya. Saya sempat berspekulasi, apakah ini mencerminkan kehebatan Kartini belaka yang berhasil disajikan dengan bagus oleh Pram tatkala menguraikan gagasan Kartini, atau kehebatan Pram tatkala menguraikan gagasan Kartini, atau kombinasi keduanya: kehebatan Kartini memahami gagasan klasik secara tepat dan gagasan klasik itu sepenuhnya juga menjadi bagian dari pemahaman Pram sesuai dengan pemahaman umum mereka dan orang-orang melek sastra klasik dunia terbaik masa itu. Lama saya merenung sebelum akhirnya berpendapat (terbuka untuk dikritisi dan dibantah!) bahwa kehebatan terletak pada Kartini dan Pram sebagai sedikit individu yang benar-benar memahami sastra klasik dunia terbaik. Ini artinya, Pram secara tersirat, minimal menurut sudut pandang saya, berhasil mengangkat profil Kartini melalui pokok-pokok gagasannya, bahwa ia bukan sebatas figur “emansipasi wanita” (sekalipun hal ini juga penting dan barangkali perlu sebagai “politik identitas” atau “politik pengakuan” dalam kurun tertentu) seperti yang selanjutnya dibakukan (dan dibekukan!) sebagai tradisi sempit dan picik pada rezim Orde Bauk dan rezim-rezim penerusnya hingga dewasa ini, tetapi wawasan berpikir Kartini jauh lebih luas dari cap tersebut, ia adalah sosok “emansipasi kemanusiaan” berwawasan tajam dengan kualitas alur berpikir elok mengesankan untuk sosok penulis yang masih berusia muda itu di tengah lingkungan feodal yang serba menghimpit ruang gerak dan kebebasannya. Penulis lain, yang menguraikan dengan bagus tentang kategori nilai ideal dengan merujuk pada tradisi kebudayaan Yunani klasik dalam paparan yang lugas adalah Dick Hartoko (buku Saksi Budaya atau Seni dan Budaya) serta YB Mangunwijaya (novel Burung-Burung Rantau).
[5] Perihal “Al-Insan al-Kamil” (manusia paripurna) dalam tradisi kesusatraan klasik Islam, saya berhutang wawasan kepada KH Husein Muhammad dan Bapak Ignas Kleden melalui makalah maupun percakapan informal. Lihat Ignas Kleden, “Plato dan Pendidikan Politik” (makalah diskusi buku di Balaikota DKI, 3 November 2014); juga KH Husein Muhammad, “Mendidik Pemimpin Negarawan” (makalah diskusi buku di Balaikota DKI, 3 November 2014), atau KH Husein Muhammad, “Puisi-Puisi Kerinduan Ibnu Farabi. Bagian Gagasan Ibnu Arabi” (http://huseinmuhammad.net/puisi-puisi-kerinduan-ibnu-arabi/).
[6] Bdk. A. Setyo Wibowo, “Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon: Timbangan dan Aktualitasnya untuk Saat Ini”, dalam A. Setyo Wibowo, dkk., Ratu Adil: Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara, Magelang: Penerbit BWCF Samana Fondation, h. 1-2.