Populism is one of the main political buzzwords of the 21ST century! tulis Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser sebagai kalimat pembuka pada buku Populism: A Very Short Introduction. Ya, saat ini, populisme – baik sebagai ideologi maupun gerakan politik – telah menyatu dalam dinamika politik global saat ini. Gelombang populisme di hampir seluruh dunia tak dapat dielakkan. Getarannya dapat dirasakan pada sendi-sendi kehidupan politik. Banyak diperbincangkan sekaligus menjadi diskursus politik. Bak pahlawan; dikecam pada satu sisi, dijunjung sekaligus diteladani pada sisi lain.
Kecaman terhadap populisme datang dari pelbagai penjuru karena melafalkan sentimen primordial seperti pribumi sebagai authentic people dan asing sebagai non-authentic people. Juga sentimen anti-imigran dan anti-muslim serta xenophobia seperti yang terjadi di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump dan di beberapa negara Eropa.
Dalam konsep Chantal Mouffe, populisme sayap kiri digunakan untuk melawan populisme sayap kanan demi merebut wacana dan hegemoni dalam ruang publik (The Conversation, 30 April 2016).
Di Indonesia, semakin mendekati momentum politik, suara anti-asing, anti-LGBT, anti-komunisme, anti-cina, anti pemimpin berkeyakinan berbeda semakin lantang diteriakkan. Pelbagai media dikerahkan untuk membentuk opini publik. Segregasi antara “kita” dan “mereka” sangat (diper)jelas. Semuanya digunakan atas nama the people untuk meraih simpati publik, memobilisasi massa yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah pemilih. Contoh saja isu dan slogan pribumi sebagai pemilik sah negara, “we are the people”, “president of the people”, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut populisme sayap kanan, right-wing populism; ketika populisme bercampur baur dengan pelbagai varian etno-nasionalisme, dan kerap kali merupakan respon atas globalisasi.
Pada sisi lain, ada populisme sayap kiri, left-wing populism. Klaimnya sama: atas nama kedaulatan rakyat, we are the people. Bedanya terletak pada basis pemikiran, suara dan isu yang dikemukakan. Populisme sayap kiri –sesuai dengan namanya—lekat dengan gagasan kiri; marxisme, sosialisme ataupun komunisme. Kata Mudde dan Kaltwasser: “[…] most left-wing populist combine populism with some form of socialism, while right-wing populist tend to combine it with some type of nationalism (Mudde dan Kaltwasser, 2017:21).”
Dalam konsep Chantal Mouffe, populisme sayap kiri digunakan untuk melawan populisme sayap kanan demi merebut wacana dan hegemoni dalam ruang publik (The Conversation, 30 April 2016). Gagasan Mouffe (dan juga Laclau) tersebutlah yang menginspirasi gerakan protes bernama Indignados di Spanyol dengan jargonnya yang terkenal: We have a vote but we do not have a voice, serta melahirkan partai baru Podemos. Senada dengan Mouffe, populisme sayap kiri ini dalam diksi Budiman Sudjatmiko disebut politik progresif, digunakan untuk melawan populisme kanan jauh, far-right populism (Kompas, 4 November 2017).
Keberpihakan pada rakyat dan anti-elite adalah wacana yang dibangun oleh populisme; rakyat vis a vis elite. Populisme menyadarkan silent majority untuk menggunakan hak partisipasi politiknya; mengkritik pemerintah, mempengaruhi opini publik, melakukan protes dan lain sebagainya.
Isu anti-kapitalisme dan anti-neoliberalisme menjadi basis pemikiran dan gerakan populisme sayap kiri. Baik kapitalisme sebagai sistem ekonomi maupun neoliberalisme yang dianggap telah melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat. Seperti propaganda ekonomi rakyat yang lesu, ketimpangan sosial, harga pasar meroket, kekayaan yang dinikmati kelas atas dan mis-manajemen ekonomi yang memicu kemunculan populisme sayap kiri.
Keadaan tersebut yang dimanfaatkan oleh kaum populisme sayap kiri untuk mencerca atau mengejek penguasa dan para elite demi menarik simpati publik dan memobilisasi massa serta menekankan pentingnya gagasan-gagasan kiri untuk suatu tatanan yang lebih baik. Misalnya, di Amerika Latin ada Hugo Chávez dengan partainya United Socialist Party of Venezuela (PSUV), di Yunani ada koalisi kiri radikal bernama Syriza dan Indignados di Spanyol yang melahirkan partai baru bernama Podemos serta gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat.
Sebenarnya, mengolok-olok penguasa adalah hal intrinsik dari populisme, baik populisme sayap kanan maupun sayap kiri. Kata Margaret Canovan –yang dikutip oleh Ernesto Laclau—“[…] the two features universally present in populism are the appeal to the people and anti-elitism” (Laclau, 2005: 7). Keberpihakan pada rakyat dan anti-elite adalah wacana yang dibangun oleh populisme; rakyat vis a vis elite. Populisme menyadarkan silent majority untuk menggunakan hak partisipasi politiknya; mengkritik pemerintah, mempengaruhi opini publik, melakukan protes dan lain sebagainya. Rakyat digambarkan sebagai yang terabaikan, yang termarjinalkan, yang tak tersentuh oleh elite penguasa yang dipotret sebagai kaum koruptif dan tak peduli pada rakyat.
Siapa rakyat dan siapa elite? “The people and the elite are the empty signifier” kata Ernesto Laclau. Sebuah penanda kosong yang terhindar dari keutuhan (totalitas) arti dan makna karena proses konstruksi terus menerus. Senada dengan Laclau, “ya tergantung pada host-ideology di mana populisme menempel,” kata Mudde dan Kaltwasser. Host-ideology (saya terjemahkan sebagai ideologi utama) merujuk pada ideologi pada umumnya. Kata lain host-ideology yang diperkenalkan oleh keduanya adalah thick-centered ideology dan full ideology, contohnya: fasisme, sosialisme, liberalisme dan lain sebagainya (Mudde dan Kaltwasser, 2017:6).
Pengertian rakyat dan elite dapat berupa kategori politik, status sosio-ekonomi dan identitas nasional ataupun kombinasi dari kedua atau ketiganya. Tergantung pada kemesraan populisme dengan suatu ideologi utama. Misalnya, jika populisme bersanding dengan etno-nasionalisme ataupun ultra-nasionalisme, maka rakyat diartikan sebagai pribumi atau orang asli yang terabaikan, miskin di negeri sendiri melawan elite yang pro-asing atau pengusaha atau perusahaan asing di Indonesia.
Pada konteks tersebut, tak hanya pengertian rakyat dan elite yang cair, pengertian populisme pun sangatlah cair. Tak ada definisi yang pasti. Populisme bisa merujuk pada Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, pembubaran pemerintah atas organisasi masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila lewat UU Ormas ataupun distribusi kepemilikan tanah yang timpang dan sangat tidak merata. Populisme bukan semata-mata ultra-nasionalisme, fundamentalisme keagamaan ataupun politik identitas. Bahkan, Mudde dan Kaltwasser (dan saya sependapat dengan keduanya) mengatakan populisme merupakan thin-centered ideology , yakni sebuah ideologi cair yang dengan lenturnya dapat berafiliasi dengan ideologi utama, sehingga mampu menarik atensi publik yang lebih luas.