spot_img
More

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Featured in:

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat. Tak lain kondisi ini diciptakan oleh modernitas, sebuah masa ketika modernisme diangkat menjadi narasi yang menghegemoni masyarakat. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif (Setiawan & Sudrajat, 2018). Sementara, modernitas adalah konsep yang dikembangkan berdasarkan rasionalitas yang merupakan buah keberhasilan dalam mengembangkan gagasan-gagasan ontologis (Tanudirjo, 2017). Kemasyhuran era modernitas ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, revolusi industri, dan hegemoni budaya barat melalui proses kolonisasi. Hal ini ditandai pada abad ke-17, ketika ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat yang menghadirkan produk teknologi dan sistem ekonomi kapitalistik. Buah dari keberhasilan modernitas adalah ekspansi ilmu pengetahuan dan teknologi ke penjuru dunia. 

    Di abad ke-19 dan 20, dunia mengalami zaman modern yang penuh dengan hiruk-pikuk mulai dari pertarungan ideologi, Perang Dunia I dan II, kolonialisme, serta kekacauan yang hadir karena kepongahan manusia dalam memandang dunia hanya dengan melalui rasio (Tejo, 2017). Eksploitasi ilmu pengetahuan demi industri dan perang adalah bukti nyata bahwa sainsmenurut pandangan positivismetelah mengingkari objektivitasnya sebagai ilmu yang bebas nilai (Yuniswara & Ardi, 2021). Pada awalnya, modernitas membentuk narasi besar yang bertujuan membangun hegemoni diskursif. Kenyataan yang terjadi sebaliknya, justru modernitas meminggirkan kelompok minoritas dan cerita mereka yang berbeda-beda. Kekecewaan atas eksklusivitas dari wacana modernitas membuka ruang bagi postmodernisme yang memiliki cita-cita mengangkat diskursus yang termarginalkan. 

    Kebangkitan Postmodernisme

    Sebagai aliran filsafat, postmodernisme merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Jean-Francois Lyotard dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Lyotard menginterpretasikan postmodernisme sebagai sesuatu yang berseberangan dengan kontekstualisasi modern. Ia melihat postmodernisme sebagai: 

    1. Sesuatu yang menyangkal kenyamanan bentuk-bentuk konsensus rasa yang memungkinkan kita berbagi secara kolektif nostalgia akan hal-hal yang tidak dapat dicapai.
    2. Sesuatu yang mencari presentasi baru, bukan untuk menikmatinya tetapi untuk memberikan pemahaman yang lebih kuat tentang hal yang tidak dapat dipresentasikan (Lyotard, 1984: 81). 

    Lebih lanjut, Lyotard melihat postmodernisme merupakan imbas dari aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosio-politik pada masa modern. Adanya hierarki yang terstruktur, koheren, dan sistematis merupakan ciri khas dari pikiran modern dan dipegang oleh otoritas yang disebut narasi besar. Postmodernisme melihat ilmu pengetahuan melegitimasi dirinya sendiri dengan menghubungkan penemuannya dengan otoritas tertentu (Tanudirjo, 2017).

    Legitimasi: Ilmu Pengetahuan dan Bahasa 

    Menurut Lyotard, kemajuan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh bahasa, bahwa ilmu pengetahuan dan bahasa berkesinambungan dalam menciptakan legitimasi. Dalam konteks ini, legitimasi adalah proses ketika seorang legislator yang berurusan dengan wacana ilmiah diberi wewenang untuk menentukan kondisi yang dinyatakan. Secara umum, kondisi ini meliputi konsistensi internal dan verifikasi eksperimental. Kondisi-kondisi ini menentukan apakah suatu pernyataan akan dimasukkan dalam wacanailmu pengetahuanuntuk dipertimbangkan oleh komunitas ilmiah (Lyotard, 1984: 8). 

    Hal ini menunjukkan eksklusivitas ilmu pengetahuan yang validasinya ditentukan oleh komunitas ilmiah dalam narasi yang mereka bangun. Pragmatik ilmu pengetahuan berpusat pada ujaran-ujaran denotatif yang menjadi landasan membangun lembaga-lembaga pembelajaran seperti institut, pusat, universitas, dan lain-lain (Lyotard, 1984: 65).

    Lembaga-lembaga pembelajaran sepakat bahwa terdapat transfer pengetahuan oleh pihak yang Lyotard sebut sebagai sender kepada addressee melalui referent. Sender diposisikan sebagai orang yang mengetahui dan membagikan pengetahuannya kepada addressee, yaitu orang yang menerima suatu pengetahuan untuk diterima atau ditolak. Transfer pengetahuan termediasi melalui referent, yaitu konteks pembicaraan dalam pernyataan yang disampaikan oleh sender kepada addressee. 

    Melalui instrumen berupa rasionalitas, institusi pembelajaran menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Hegemoni atas ilmu pengetahuan tercipta melalui peminggiran beberapa pihak dari wacana mereka yang dianggap irasional. Dari sini, terdapat alternatif yang Lyotard sebut permainan bahasa: masing-masing kategori dari ujaran dapat didefinisikan berdasarkan aturan-aturan yang menentukan sifat-sifatnya dan kegunaannya sama seperti permainan catur yang didefinisikan oleh seperangkat aturan yang menentukan sifat dari masing-masing bagian, dengan kata lain, cara yang tepat untuk memindahkannya (Lyotard, 1984: 10). 

    Konteks suatu wacana bergantung pada situasi dan pihak yang memaknainya, sehingga pluralisme, relativisme, dan dekonstruktivisme merupakan pemikiran yang diusung oleh postmodernisme.

    The answer is: Let us wage a war on totality; let us be witnesses to the unpresentable; let us activate the differences and save the honor of the name (Lyotard, 1984: 82).

    Delegitimasi

    Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa terjadi peralihan orientasi terhadap pengetahuan dari narasi besar menuju permainan bahasa. Kemajuan teknologi yang menyebarluaskan informasi tidak lagi membuat masyarakat bergantung kepada suatu narasi besar seperti dalam bentuk ilmu pengetahuan, ideologi, dan agama yang memegang otoritas pengetahuan pada masa modern. Wacana universal modernitaskhususnya gagasan tentang kebenaran objektif universal atau gagasan bahwa dunia menjadi lebih mudah dipahami melalui kemajuan ilmu pengetahuantelah mengalami kehancuran besar di era pasca-industri (Newman, 2024: 20). Pada era pasca-industri, setiap pihak dapat menginterpretasikan apa yang mereka terima, terlepas dari latar belakang, etnis, maupun kelas sosial. Kelanjutan dari peralihan orientasi ini menumbuhsuburkan diskursus postmodernisme. Pandangan postmodernisme lebih menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari (Setiawan & Sudrajat, 2018). Dari penerimaan terhadap keberagaman oleh postmodernisme, post-truth mendapat tempatnya untuk menjustifikasi segala hal yang dianggap benar.

    Post-Truth

    Menyoroti kontestasi politik sewaktu pemilihan presiden Amerika Serikat dan kejadian Brexit, kata post-truth dinobatkan sebagai Word of the Year 2016 oleh Oxford Dictionaries. Kamus Oxford mendefinisikan “post-truth” sebagai “berkaitan dengan keadaan ketika fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosi dan keyakinan pribadi” (McIntyre, 2018: 5). Lee McIntyre mengidentifikasi gejala post-truth yang meliputi penyangkalan terhadap ilmu pengetahuan, bias kognitif, perpecahan akademis pada pertanyaan tentang kebenaran, dan eksploitasi media (McIntyre, 2018: 14). Gejala ini berimplikasi kepada bias konfirmasi, populisme, dan pseudosains. 

    Bias Konfirmasi, Populisme, Pseudosains

    Secara psikologis, terdapat sebuah fenomena ketika manusia mengedepankan tendensi mereka terhadap informasi yang mengkonfirmasi kepercayaan yang telah mereka percayai sebelumnya. Fenomena tersebut dinamakan sebagai bias konfirmasi. Untuk menjelaskan cara bias kognitif dapat mempengaruhi kepercayaan politik sebagai salah satu indikasi post-truth, McIntyre merincikannya dengan backfire effect dan Dunning-Kruger effect. Backfire effect merupakan fenomena psikologis ketika seseorang mendapat informasi yang benar dan bertentangan dengan kepercayaannya, maka kepercayaan seseorang tersebut akan menjadi lebih kuat. Sementara itu, Dunning-Kruger effect merupakan fenomena psikologis akan kurangnya kemampuan seseorang yang menyebabkan mereka terlalu melebih-lebihkan kemampuan yang sebenarnya. Pada akhirnya, korelasi antara post-truth dengan bias konfirmasi akan menyebabkan motivated reasoning, yaitu tendensi untuk mencari informasi yang mendukung kepercayaan seseorang mengenai sesuatu yang benar.

    Sebagai bagian dari masyarakat, apabila seseorang telah menyepakati bahwa kepercayaannya benar, maka pastinya dirinya akan memengaruhi kehidupan sosial-politik. Conrad menyebut bahwa konsekuensi dari post-truth dalam politik adalah munculnya populisme (Conrad, 2022: 81). Seorang populis menjalankan strateginya melalui pelemahan legitimasi jurnalis dan propaganda media dengan membangun narasi yang melancarkan kepentingannya. Selanjutnya, publik memandang bahwa media jurnalistik tidak independen dan terpengaruh oleh bias politik. Adanya peralihan media jurnalistik dari konvensional seperti surat kabar menuju media digital seperti media sosial membuat publik tidak mampu mengonfirmasi kebenaran suatu informasi, sehingga batas-batas antara fakta dan propaganda politik menjadi kabur. Dengan demikian, post-truth merupakan suatu bentuk supremasi ideologis, tempat para praktisinya berusaha memaksa seseorang untuk percaya pada sesuatu, baik ada bukti yang kuat atau tidak (McIntyre, 2018: 13). Atas dasar ini, setiap individu memiliki kerentanan untuk dimanipulasi. Ruang publik pada akhirnya menjadi arena pergulatan emosional semata yang tidak didasarkan pada rasionalitas karena setiap pihak hanya menyetujui opini yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan pribadi.

    Di tengah tawaran postmodernisme yang membuka peluang seluas-luasnya bagi pendekatan relativisme, multikulturalitas, pluralisme, pendekatan multidisiplin, dan transdisiplin yang memberikan ruang bagi pengetahuan yang berbasis pada sesuatu yang disebut dengan pseudosains berkembang dengan pesat (Tanudirjo, 2017). Berbagai budaya yang terdegradasi oleh modernitas seperti takhayul karena dianggap irasional, mendapat tempat untuk dihargai sebagai bagian dari diskursus pengetahuan. Di lain pihak, pseudosains turut dianggap sebagai ancaman yang mendiskreditkan ilmu pengetahuan. Kenyataan bahwa pseudosains tidak memiliki penjelasan secara sistematis seperti ilmu pengetahuan dan berbasis kepada landasan kepercayaan semata. Baik bias konfirmasi, populisme, maupun pseudosains merupakan implikasi yang ditimbulkan oleh post-truth kepada berbagai aspek kehidupan manusia, seperti ilmu pengetahuan dan sosial-politik. 

    Thus is postmodernism the godfather of post-truth (McIntyre, 2018: 150).

    Postmodernisme dan Bayang-Bayang Post-Truth

    Setyo Wibowo (2023) mengidentifikasi aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi post-truth sebagai berikut:

    1. Ontologi dari post-truth adalah meontologi yang berarti ketiadaan. Post-truth mengusung doktrin mengerikan bahwa sebenarnya “tidak ada apa-apa” (Wibowo, 2023: 314). Secara keberadaan, post-truth memandang bahwa fakta yang sebenarnya tidak ada dan bersifat situasional, sehingga setiap pihak dapat menginterpretasikan fakta sesuka hatinya ataupun menciptakan fakta alternatif
    2. Epistemologi dari post-truth bersifat perspektivisme. Ini berarti bahwa kebenaran bergantung kepada pihak yang menyetujuinya, sepaham, dan menyukainya. Post-truth mementingkan kepercayaan pribadi diatas fakta untuk mempersepsikan kebenaran. Bagi post-truth, kebenaran dianggap tidak relevan (Wibowo, 2023: 314).
    3. Untuk aksiologi sendiri, post-truth memandang bahwa unsur penilaian seperti kebenaran dan kebaikan tidak absolut. Tampaknya, yang dianggap bernilai bukanlah kebenaran atau kebaikan moralmengingat dua hal itu bersifat relatifmelainkan kemenangan atau kesuksesan mencapai tujuan (Wibowo, 2023: 315). Aksiologi post-truth memandang bahwa tujuan merupakan nilai tertinggi yang perlu digapai. Segala cara, sikap, dan tindakan dibenarkan demi mencapai tujuan.

     Paradigma ilmu pengetahuan yang mendominasi dan dalam beberapa hal mengendalikan landasan konseptual arus sosial, agama, budaya dan filosofi modernitas adalah paradigma klasik yang didasarkan pada mekanika Newton, yang dikuatkan oleh positivisme logis pada abad ke-20 (Pamplany, 2020). Tampaknya, pergeseran paradigma dari modernitas menuju postmodernisme berakhir dengan menyebarnya pluralitas wacana yang memandang bahwa kebenaran bersifat subjektif bagi setiap pihak sehingga mengaburkan batas-batas bukti empiris dan koresponden. Jika demikian, konsekuensi yang timbul dari tumbangnya pemahaman manusia terhadap modernitas adalah relativisme. Pada akhirnya, manusia tidak lagi berupaya mencari kebenaran, melainkan hanya mencari pembenaran.

    manusia tidak lagi berupaya mencari kebenaran, melainkan hanya mencari pembenaran.

    Daftar Pustaka

    1. Baier, Christian. (2023). Narratives of Post-Truth: Lyotard and the Epistemic Fragmentation of Society. Sage Journals. https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/02632764231162027 
    2. Conrad, Maximilian, et. al. (2022). Europe in the Age of Post-Truth Politics: Populism, Disinformation and the Public Sphere. Palgrave Macmillan. https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/59375
    3. Lyotard, Jean-Francois. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester University Press.
    4. McIntyre, Lee C. (2018). Post-truth. MIT Press.
    5. Pamplany, Augustine. (2020). Postmodernism: Transition from the Newtonian to the Quantum Paradigm (Version 1.0). Jnanadeepa: Pune Journal of Religious Studies, January 2002 (5/1), 119-130. http://doi.org/10.5281/zenodo.4264866 
    6. Setiawan, Johan & Sudrajat, Ajat. (2018). Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat. https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/33296 
    7. Tanudirjo, Daud Aris. (2017). Reflection on the Production of Knowledge: From Postmodernism to Pseudoscience. Humaniora. https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/22559 
    8. Tejo, Muhammad Nur Alam. (2017). Selayang Pandang Postmodernisme. LSF Cogito. https://lsfcogito.org/selayang-pandang-postmodernisme/ 
    9. Wibowo, A. Setyo. (2023). Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika ke Dekonstruksi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 
    10. Wight, Colin. (2018). Post-Truth, Postmodernism and Alternative Facts. Jstor. https://www.jstor.org/stable/26675072 
    11. Yuniswara, Ernestine Oktaviana & Ardi, Rakhman. (2021). Manusia dan Sains: Perjalanan dalam Meraih Kesejahteraan. LSF Cogito. https://lsfcogito.org/manusia-dan-sains-perjalanan-dalam-meraih-kesejahteraan/ 

     

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...