“Namun selama sebuah organisme yang berakal, menurut pengalaman dari nilai-nilai alamiah dan dari baik dan buruk, sejauh mana bahwa dia memilih, memutuskan dan memperjuangkan keputusannya, dan jikalau kemudian dia menyaringnya melalui persepsi dan pertimbangan agar memungkinkan usaha yang terbaik serta mengikat apa yang sesuai dengan determinasi-determinasinya dan apa yang tidak, lalu di sanalah akhirnya alam cukup menjadi perhatian untuk kebaikan.[1]“ (J. Dewey, Nature and Its Good)
Proses pembentukan bumi dan isinya selama miliaran tahun diwarnai dengan berbagai cara organisme-organisme bertahan hidup. Sebuah proses pembentukan yang melalui berbagai tahapan zaman sampai kepada hari ini di mana manusia telah berkembang pesat telah menimbulkan banyak keanekaragaman. Misteri-misteri hubungan antar subjek-objek/objek-subjek yang diungkap melalui ilmu fisika dan biologi telah menyadarkan manusia bahwa manusia bukanlah subjek tunggal di alam semesta. Manusia tunduk di bawah hukum alam (terdeterminasi), manusia juga adalah bagian dari organisme-organisme lainnya, dan manusia bukanlah spesies istimewa yang juga memiliki peran paling istimewa seperti apa yang diyakini oleh doktrin-doktrin keagamaan, ideologi atau tradisi yang sudah tertanam di kepala masing-masing.
Proses diversifikasi (evolusi) yang panjang telah membawa manusia sampai kepada hari ini, di mana dunia semakin terasa kecil akibat dampak dari globalisasi, inteligensi yang semakin meningkat, cara hidup semakin praktis berkat adanya sains dan teknologi. Keanekaragaman adalah esensi dari kehidupan itu sendiri sehingga pertanyaan tentang identitas bukan lagi hal yang begitu relevan dalam penyelesaian masalah di dunia modern. Realitas yang sangat beragam mengakibatkan sentralisasi politik atau kebenaran bukanlah satu-satunya solusi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat global, melainkan dengan mulai mengajukan pertanyaan perihal posibilitas yang ada dan bagaimana cara menjaga tatanan-tatanan yang manusia miliki hari ini agar harmonis. Lantas apa yang dapat dikatakan oleh filsafat pragmatisme?
Pragmatisme dan Kebenaran
“Sikap untuk berpaling dari hal-hal utama, prinsip-prinsip, kategori, kebutuhan-diharapkan yang diharapkan; dan melihat kepada hal-hal akhir, hasilnya, dampak dan fakta-fakta.”[2]
Seperti nasihat-nasihat ringan yang sering kita dengar sehari-hari dari ucapan kerabat, orang tua atau teman “usaha dan lakukan saja dulu apa yang baik bagimu, nanti kamu akan tahu hasilnya bagaimana”. Pragmatisme bukanlah sebuah teori filsafat yang rumit, melainkan sebuah metode yang sangat sederhana dan umum bagi kehidupan kita sehari-hari. Pragmatisme sebagai metode ditujukan untuk menemukan jalan keluar di dalam problematika-problematika kehidupan. Meletakkan pluralitas dan desentralitas kebenaran di tengah sebagai mediator, maka dari itu pragmatisme tidak terpatok pada hasil yang sempurna serta membuka kemungkinan-kemungkinan bagi pendapat-pendapat lain. Jadi, konsep pragmatisme juga dapat ditujukan untuk melawan pandangan-pandangan dogmatik atau sebuah finalitas kebenaran.
Tujuan dari pragmatisme itu sendiri salah satunya adalah mengakhiri ribuan tahun perdebatan metafisik atau cara berpikir dualistik yang tak berkesudahan.
Tidak ada yang benar-benar baru dalam pragmatisme. William James menyatakan bahwa pragmatisme adalah sebuah nama baru untuk beberapa cara berpikir lama (a new name for some old ways of thinking). Berbeda dengan utilitarianisme klasik a la Bentham perihal kebenaran yang dapat diukur ketika hal itu menciptakan kegunaan dan kebahagiaan yang maksimal bagi banyak orang, dan dengan cara itulah rasa sakit dapat direduksi. Bagi pragmatisme, manfaat atau kegunaan yang muncul dari sebuah konsekuensi teori bukanlah kegunaan yang diperoleh melalui prinsip-prinsip abstrak (dalam kasus ini contohnya rasionalisme atau terkait dengan pandangan-pandangan idealistik, religius, optimistik, monistik dan sebagainya), melainkan lebih cenderung melalui prinsip-prinsip objek konkret yang dapat membawa kehidupan tetap maju ke depan. Sebab, tujuan dari pragmatisme itu sendiri salah satunya adalah mengakhiri ribuan tahun perdebatan metafisik atau cara berpikir dualistik yang tak berkesudahan. Di samping banyaknya konsepsi abstrak yang sudah diuji coba selama ribuan tahun dan terbukti tidak selalu mampu dalam menyelesaikan permasalahan realitas terutama di dunia modern, kecuali dengan menelusuri nilai praktis dari gagasan-gagasan metafisik tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh kejelasan di dalam pikiran dari sebuah objek haruslah dipertimbangkan efek-efek meyakinkan dari sebuah jenis kegiatan praktis, apakah dengan itu dapat menghasilkan hal yang positif[3].
Misalnya perdebatan di dunia filsafat antara empirisme dan rasionalisme. Pragmatisme mencoba membukakan jalan tengah untuk masing-masing ide. Seorang pragmatis akan berpendapat bahwa pengalaman bukanlah sekadar pengalaman. Dalam realitas, hubungan antara pengalaman dan realitas itu jauh lebih kompleks daripada apa yang dideskripsikan oleh seorang penganut empirisme yang mencoba untuk membangun objektivitas dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman juga memiliki sifat personal (tanpa subjek pengalaman tak akan terbentuk) dan memiliki hasil yang sangat beragam, kadang di luar batas imajinasi. Selain itu ide-ide yang diperoleh dari pengalaman itu dianggap benar, ketika itu dapat memuaskan atau memenuhi kriteria-kriteria apa yang dipercaya dan dapat menolong manusia dari permasalahannya[4]. Di sisi lain rasionalisme terjebak ke dalam abstraksi yang dikonsep oleh dirinya sendiri, sehingga ia juga tak mampu untuk menjawab hal-hal konkret yang ada—realitas tidaklah mengenal benar atau salah, realitas itu sederhana, manusialah yang memberikan nama atau teori tentang kedua kata adjektif benar dan salah melalui pengalaman-pengalamannya dan penilaiannya yang sesuai dengan kondisinya[5][6].
Pragmatisme mencoba untuk merekonsiliasi kedua aliran filsafat tersebut. Seorang pragmatis memandang kebenaran dan justifikasi sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebenaran muncul karena adanya persetujuan antara keyakinan, interpretasi, dan realitas yang cocok. Bagi pragmatisme, interpretasi yang dibangun oleh subjek sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor kepentingan, lingkungan, standar akan kebenaran dan kesalahan, serta faktor-faktor sosio-historis lainnya yang darinya subjek tak dapat lari. Oleh sebab itu, wajar saja bahwa setiap orang di setiap masa memiliki sudut pandang yang berbeda beda akan kebenaran[7][8], berlawanan dengan apa yang tradisi filsafat idealisme pertahankan tentang kebenaran yang inheren (an sich) dan universal.
Demokrasi dalam Kerangka Pemikiran Pragmatisme
Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang paling sempurna atau bahkan bentuk finalitas sebuah sistem. Demokrasi tetaplah sebuah proses dan sebuah produk sosio-historis. Dalam kerangka pemikiran pragmatisme demokrasi itu bersifat eksperimental, sebab demokrasi dianggap memiliki nilai kognitif yang menjadi salah satu syarat dasar bagi masyarakat saintifik[9]. Pragmatisme meletakkan sains dan teknologi sebagai salah satu hal yang paling krusial, karena sains adalah sebuah instrumen aktual manusia di era modern untuk mengatasi permasalahan teknis dalam kehidupan sehari-hari, sains menjadi sebuah bentuk kepercayaan baru[10].
Pragmatisme mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah eksperimen, karena keterbukaannya akan posibilitas-posibilitas di dalam ruang publik melalui komunikasi dan komunitas ilmiah.
Di alam demokrasi individu-individu bebas dan kreatif harus dengan bebas berdialektika dengan cara membuka diskusi-diskusi umum melalui aneka ragam partai politik, dan kebebasan mengemukakan pendapat. Mereka dapat mengkaji dan menguji pendapatnya untuk menemukan solusi terbaik yang dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat. Kemudian mereka dapat menilai konsekuensi dari pendapat yang telah diuji, lalu buah hasil dari teori dapat diaplikasikan di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan bebas seperti itu hanya mungkin dilakukan di sebuah negara demokrasi[11]. Keterlibatan publik sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan politik, jika tidak, keputusan-keputusan politik yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan publik tidak akan pernah terwujud[12].
Seluruh pendapat dari masyarakat yang merepresentasikan eksistensi suatu kaum juga harus selalu aktif dalam komunikasi publik untuk menciptakan manfaat atau kegunaan bagi kehidupan sosial. Oleh karena itu pragmatisme mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah eksperimen, karena keterbukaannya akan posibilitas-posibilitas di dalam ruang publik melalui komunikasi dan komunitas ilmiah. Meskipun sains dan teknologi telah mendapatkan posisi tertinggi dalam masyarakat modern, tidak berarti bahwa keduanya yang memiliki kebenaran absolut. Pragmatisme juga memberikan ruang bagi filsafat atau agama dalam mengajukan kriteria-kriteria untuk memperoleh hipotesa atau pengertian yang memiliki nilai manfaat dalam realitas, sehingga dapat merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diperoleh dari filsafat atau agama. Jadi, kedua nilai yang substansial ini seharusnya tidak saling terpisahkan[13].
Sikap pragmatisme terhadap prinsip-prinsip abstrak (khususnya keyakinan) dalam intervensinya di ranah publik diminimalisir seminimal mungkin. Caranya ialah dengan memprivatisasinya hanya untuk tujuan penyempurnaan diri atau pembebasan jiwa dari situasi yang menindas, sehingga hubungan antara Sang Pencipta dan makhluk dapat tersambung secara langsung[14]. Dengan pemisahan prinsip tersebut dapat dilihat dengan jelas karakteristik dari pragmatisme, yaitu pluralistik dan desentralistik. Pragmatisme tidak berniat untuk membangun moral universal atau bentuk ideal dari sebuah ide dalam konteks kenegaraan.
Pragmatisme adalah filsafat yang melepaskan pertanyaan tentang karakteristik akan kebenaran dari pandangan apa pun dengan tujuan menghindari dogmatisme.
Di samping itu, menurut pragmatisme, sebuah prinsip moral harus mampu menawarkan gagasan dan metode yang berbeda-beda untuk menemukan penyelesaian masalah bersama di dalam realitas. Adanya bentuk ideal yang universal dalam persoalan prinsip etika atau moral cenderung menimbulkan dogmatisme atau dominasi kebenaran di atas satu sama lainnya, serta dapat menimbulkan dorongan atau paksaan dari opini mayoritas terhadap opini minoritas[15]. Padahal demokrasi haruslah bersifat eksperimental untuk mencapai equilibrium, bukan saling tumpang tindih. Maka dari itu, pluralitas dan desentralitas penting bagi pragmatisme dalam penyelesaian perkara penentuan baik dan buruk yang sifatnya sangat variatif dan subjekif. Padahal baik dan buruk dapat cair melalui penelitian ilmiah dan komunikasi yang bersifat umum, serta beorientasi kepada aktualitas dan masa depan[16].
Melalui pertukaran komunikasi dan perkembangan metode berpikir di negara demokratis munculnya beragam sudut pandang adalah sebuah hal yang lazim. Negara seharusnya bersifat relatif ketimbang absolut, misalnya mengenai interpretasi konstitusi. Negara yang demokratis harus menjamin ruang bagi publik seluas mungkin kepada segala opini masyarakat dan individu hak utama untuk mengembangkan potensi diri tanpa gangguan dari bentuk otoritas apa pun. Dengan demikian, akan bermunculan subjek-subjek yang variatif nan kreatif sehingga juga dapat memperkaya sudut pandang[17].
Pragmatisme adalah filsafat yang melepaskan pertanyaan tentang karakteristik akan kebenaran dari pandangan apa pun dengan tujuan menghindari dogmatisme. Meskipun prinsip abstrak diprivatisasi, bukan berarti tidak boleh sama sekali diekspresikan di muka umum. Sebuah prinsip harus bisa menunjukkan relevansinya akan manfaat bagi orang banyak, jika tidak, sebaiknya biarkan sebuah prinsip abstrak itu tetap bersemayam di dalam ranah personal. Jika sudah seputar politik atau yang menyangkut ranah publik, sebaiknya tinggalkan tema-tema mengenai identitas, karena alam tidak mengenal identitas.
Invariate Concordia (Berbeda tetapi tetap Satu)
Pragmatisme menunjukkan tentang relasi-relasi antara nature dan peran konstruksi sosial serta membawa manusia kepada kesadaran tentang problem-problem relevan dan memunculkan pertanyaan praktis. Dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan membuat manusia membuka mata dan mulai mengabaikan konsepsi-konsepsi filosofis tentang manusia sebagai subjek istimewa terutama konsepsi agama, filsafat Yunani Kuno dan abad pencerahan (bukan berarti relevansi mereka sudah usang atau tidak ada gunanya! Sebelumnya sudah disinggung tentang perannya di masyarakat).
Lalu apa dan bagaimana sekarang? Ketimpangan sosial yang semakin melebar[18], produksi komoditas tidak keruan yang didukung pula oleh sistem yang memiliki peran besar dalam kerusakan ekologi dan kecepatan perkembangan teknologi yang radikal membuat manusia dan spesies lain seolah-olah dilihat hanya sebagai perkara biologis, fisikalis, ekonomis serta mengabaikan elemen humanisme[19]—tidak hanya para pemikir-pemikir, bahkan Charles Chaplin dalam film The Great Dictator juga mengingatkan kita akan terpisahnya antara nilai instrumental dengan orientasi nilai.
Kita telah berkembang dengan cepat, tetapi kita telah menutup diri. Mesin yang memberi kelimpahan telah meninggalkan kita kedalam kebutuhan. Pengetahuan kita telah membuat kita sinis. Kepintaran kita, keras dan kejam. Kita terlalu banyak berpikir dan terlalu sedikit berperasaan. Lebih dari mesin yang kita butuh adalah kemanusiaan. Lebih dari kepandaian kita membutuhkan kebaikan dan kelembutan. Tanpa kualitas ini, hidup akan menjadi kasar dan semuanya akan hilang ..[20].
Bumi adalah habitat seluruh spesies dan manusia yang memiliki tingkat intelegensi lebih tinggi diwajibkan untuk menjaga sirkulasi alam, demikian peristiwa ini sudah bukan lagi permasalahan identitas. Persoalan ini sudah melintasi batas nasional yang pastinya seluruh manusia di muka bumi ini terlibat dan masing-masing juga harus mengambil alih tanggung jawab. Masalah ini tidak bersifat partikular melainkan bersifat umum, karena problem-problem aktual menyangkut kelangsungan hidup banyak orang berkat dampak dari globalisasi yang menyadarkan bahwa manusia di seluruh dunia memiliki tujuan bersama yang hanya bisa diatasi melalui solidaritas. Tentu ini semua bukan hanya kesalahan kelas kapitalis atau pemerintah semata—meski mereka adalah aktor-aktor penting karena memiliki instrumen yang memadai untuk melaksanakan wewenang—melainkan tugas setiap individu. Meskipun berbeda identitas manusia harus ingat peran dan prioritasnya sebagai penyeimbang alam agar dapat menjaga kelangsungan hidup jangka panjang.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Terlihat pragmatisme adalah pengetahuan dan cara berperilaku yang benar-benar umum di sebagian besar masyarakat hari ini yang menjadi pemahaman kesehariannya. Tapi apakah kita sebagai masyarakat Indonesia umumnya sudah memiliki orientasi dan cara yang cukup jelas untuk mempertahankan kelangsungan hidup di rumah kita? Sangat disayangkan masyarakat luas belum sadar betul akan pentingnya isu-isu aktual. Demokrasi yang seharusnya terus dilindungi agar eksperimen dalam masyarakat tetap berlangsung, namun belakangan anggota dewan sebaliknya malah merancang undang-undang yang memberikan batasan kepada masyarakat untuk mengkritiknya[21]. Kemudian kasus-kasus intoleransi berseri yang dilakukan oleh oknum dibiarkan oleh pihak aparat bahkan pemerintah kabupaten, bahkan terjadi pengusiran![22] dan juga penghancuran properti dan rumah ibadah milik umat beragama yang berbeda aliran. Pembubaran diskusi, pengancaman atas nama surga dan neraka yang dilakukan dengan cara persekusi di realitas maupun dunia maya.
Dengan situasi sosial yang tidak nyaman seperti demikian, eksperimen di alam demokrasi tidak akan berjalan lancar. Pikiran masyarakat juga tidak bisa jernih hanya dengan bantuan prinsip-prinsip abstrak yang terlalu mendominasi di alam pikiran, hal tersebut malah menjadikan masyarakat kesulitan dalam mensinkronisasikan prinsip abstrak dengan problematika dalam realitas konkret yang jauh lebih kompleks dan mendesak[23] [24] [25]. Manusia pada umumnya memang tidak lepas dari pemahaman irasional karena manusia memiliki proses kerja otak yang sedemikian kompleks, maka dari itu prinsip abstrak dan kepentingan realitas harus seimbang agar tidak saling bertabrakan sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pragmatisme memprioritaskan individu untuk mengembangkan potensinya, dengan itu tiap individu dapat mengembangkan dirinya dengan memulai perubahan dari hal kecil terlebih dahulu, yaitu dengan membuang sampah pada tempatnya!
Catatan Akhir:
[1] Auf Dts : Doch sobald ein empfindungsfähiger Organismus, nach der Erfahrung von natürlichen Werten, von Gut und Böse, soweit ist, daß er auswählt, Entscheidungen trifft und für seine Entscheidungen eintritt, und wenn er, um prächtigsten Kampf zu ermöglichen, dann noch durch Wahrnehmung und Überlegung das herausfiltert und bündelt, was seinen Zielen entspricht und was nicht, dann und dort endlich ist die Natur hinreichend aufmerksam geworden für das Gute.
[2] James, William : Pragmatism. Wroclav: CreateSpace Independent Publishing Platform 2012, s. 27.
[3] Ibid. 22-23.
[4] Ibid. 28.
[5] Ibid. 117.
[6] Artikel yang bagus mengenai bagaimana subjek menangkap realitas. Siehe: Fitriadi (2016, March 8): Logika dan Realitas. Retrieved from http://lsfcogito.org/logika-dan-realitas/#_ftnref3
[7] [Philosophy Overdose]. (2015. November 11): Philosophy of Science with Hilary Putnam [Video File]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=kH785oawwkk
[8] Artikel menarik yang sepertinya juga bisa dijadikan bahan rujukan mengenai objektivitas dan subjektivitas. Siehe: Zaenuri, Melfin (2018, Januari 12): Relasi Ilmu dan Politik. Retrieved from http://lsfcogito.org/relasi-ilmu-dan-politik/
[9] B. Westbrook: John Dewey und die Logik der Demokratie. In : Hrg. Joas, Hans: Philosophie der Demokratie. Beiträge zum Werk von John Dewey. Frankfurt am Main: Suhrkamp 2000 , s. 343.
[10] T. Kloppenberg, James : Demokratie und Entzauberung der Welt: Von Weber und Dewey zu Habermas und Rorty. In : Hrg. Joas, Hans: Philosophie der Demokratie. Beiträge zum Werk von John Dewey. Frankfurt am Main: Suhrkamp 2000, s. 56.
[11] Ibid. 343-345
[12] Ibid. 350
[13] Ibid. 50-53
[14] “I propose to ignore the institutional branch entirely, to say nothing of the ecclesiastical organization, to consider as little as possible the systematic theology and the ideas about the gods themselves, and to confine myself as far as I can to personal religion pure and simple”. James, William : The Varieties of Religious Experience. London: The Fontana Library Theology and Philosophy 1971, s. 48-49.
[15] Revolusi Perancis 1789 yang dikritik oleh Tocqueville (Tyrannei der Mehrheit). Siehe : Alexis de Tocqueville : Democracy in America 1835.
[16] Ibid. 70.
[17] Rorty, Richard : Solidarität oder Objektivität?. Stuttgart: Reclam 1988, s. 88.
[18] Siehe. Ehmke, Ellen (2018, Januar 2018) : Oxfams Zahlen zu Sozialer Ungleichheit – So Haben Wir Gerechnet. Retrieved from https://www.oxfam.de/blog/oxfams-zahlen-sozialer-ungleichheit-so-haben-gerechnet
[19] Relasi-relasi sosial yang disepelekan oleh ilmu akibat pemikiran matematis yang diperoleh dari buah abad pencerahan itu sendiri. Siehe: Herbert Marcuse: der eindimensionale Mensch 1964 atau Max Horkheimer & Adorno: Dialektik der Aufklärung, 1944.
[20] Pidato Charles Caplin yang memiliki relevansi terhadap situasi dan kondisi demokrasi aktual beberapa tahun terakhir. Tarun, Mittal (2017, April 16) : Charlie Chaplin and his ‘Great Speech’ that remains relevant after 76 years. Retrieved from https://yourstory.com/2017/04/charlie-chaplin-great-speech/
[21] Lih: Nur Hakim, Rahmat (2018, Februar 13) : Beberapa Pasal di UU MD3 yang Membuat DPR Kian Tak Tersentuh. Retrieved from http://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/09145281/beberapa-pasal-di-uu-md3-yang-membuat-dpr-kian-tak-tersentuh
[22] Nasib yang dialami kommunitas Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan Rohingya di Myanmar yang dipersekusi oleh militer dan oknum biksu radikal. Siehe: Bonasir, Rohmatin (2018, Februar 20) : Pengungsi Ahmadiyah : Diculik dan Dapat Suaka di Inggris, Diusir Dari Desa dan Mengungsi di Indonesia http://www.bbc.com/indonesia/dunia-42393948
[23] 100.000 Orang Utan terbunuh dalam 16 Tahun Terakhir. Siehe: Gill, Victoria (2018, Februar 16) : 100.000 Orang Utans Killed in 16 Years. Retrieved from : http://www.bbc.com/news/science-environment-42994630
[24] 40% area Jakarta terletak dibawah permukaan laut. Siehe: Kimmelman, Michael (2017, December 21) : Jakarta is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater. Retrieved from : https://www.nytimes.com/interactive/2017/12/21/world/asia/jakarta-sinking-climate.html
[25] Anugerah Pijar (2017, Februar 23) : Harta Empat Orang di Indonesia Setara Gabungan Kekayaan 100 Juta Orang Miskin. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39060857