spot_img
More

    Refleksi Melancholic Masculinity dan Kerja Industri dalam Film In The Mood for Love

    Featured in:

    Ketidakhadiran dan melankolia adalah dua modus penyangkalan manusia modern yang terus menerus mempertahankan demarkasi harapan pada utopia yang bernama kebahagiaan yang idealistik. Kebahagiaan begitu jauh, karenanya dua modus penyangkalan manusia merupakan kondisi dekat keterpaparan manusia modern yang tak mungkin dihindari. Tanpa ketidakhadiran dan melankolia, utopia dunia mengenai yang-bahagia dan yang-ideal lenyap dan dengannya tak dimungkinkan lagi.

    Tepat pada dua modus penyangkalan tersebut Wong Kar-Wai menghujam jantung modernitas dalam lanskap masyarakat urban melalui In The Mood for Love (Kar-Wai, 2000). Benar bahwa afair antara Mrs. Chan dalam balut kencantikan peran Maggie Chung dan Mr. Chow pada alegori maskulin seorang Tony Leung adalah skenario inti dari film tersebut. Akan tetapi, yang menjadi basis mendasar dari afair tersebut adalah ruang spasial urban yang direpresentasikan dari kecamuk Hong Kong pada dekade 1960an (Li, 2012). Dekade yang menjadi titik tolak kepindahan Wong Kar-Wai sebagai imigran dari Shanghai menuju Hong Kong sekaligus masa transisi ekonomi yang menjadi titik kebangkitan industrialisasi Hong Kong pasca perang dingin antara Amerika Serikat, jejak kolonialisasi Inggris, dan otonomi dari Revolusi Kebudayaan Maoist di China (Tsang, 2004, hal. 170).

    Wong Kar-Wai dengan terang meletakkan hujaman In The Mood for Love pada masa transisi industrialisasi Hong Kong dekade 1960an (Wang, 2016, hal. 427). Namun tak hanya berhenti pada dekade tersebut, melainkan melampauinya hingga pada lanskap masyarakat urban Hong Kong pasca Sino-British Joint Declaration tahun 1984 di Beijing dan resmi berlaku sebagai simbol kedaulatan dan otonomi pada 1997 (Tsang, 2004, hal. 226). Gema Hong Kong yang tanpa batas kultural dan ekonomi adalah sasaran kontekstual dari In The Mood for Love yang dirilis pada tahun 2000 sebagai suar identitas yang lesap dalam publik global. Sekaligus juga menetapkan posisi Wong Kar-Wai sebagai monumen gelombang kedua New Wave sinema Hong Kong yang tak lagi berjarak secara visual dan skenario dengan sinema Barat (Bettinson, 2015, hal. 3).

    Posisi krusial Mr. Chow sebagai penanda pergantian alur dan plot skenario secara terang merupakan metafor bagi maskulinitas yang memiliki peran dan fungsi yang menjadi tema sentral dominasi maskulin dalam tatanan struktur masyarakat modern.

    Modus ketidakhadiran dan melankolia In The Mood for Love dalam lanskap masyarakat urban dengan tegas dihadirkan Wong Kar-wai melalui keterpaparan kelas dunia kerja, dunia sehari-hari yang dialami manusia modern. Keterpaparan yang muncul dari Mr. Chow sebagai episentrum kelas pekerja di Hong Kong pada masa transisi yang berbagi ruang hidup di apartermen merupakan basis penting yang coba disodorkan Wong Kar-Wai untuk menginterogasi kenyataan. Tidak lain disebabkan oleh relasi dan gejolak dalam dunia kerjalah film tersebut dimulai, sekaligus juga diakhiri dengan tragedi melodrama ketidakhadiran karena tuntutan kerja yang menjadi ulang alik antara waktu dan ketidakhadiran.

    Terdapat dua episentrum penting yang ditampilkan: pertama adalah dunia kerja di Hong Kong dan kepindahan kerjanya menuju Singapura. Tuntutan dunia kerja yang melampaui batas waktu dan tak mengenal lagi ruang privat serta ruang publik memicu ketidakhadiran istri dari Mr. Chow sekaligus juga suami dari Mrs. Chan. Ketidakhadiran divisualkan melalui posisi membelakangi dari istri dan suami yang berkutat sepanjang waktu dalam ruang kerja, tanpa rupa dan hanya suara. Ketidakhadiran yang memicu sebuah bahasa depresial sebagai melankolia dalam wujud pengulangan, kekosongan, monoton, dan diserap dalam keheningan (Eiselein, 1991).

    Perlu diketahui, bahwa Melankolia lahir sebagai respon atas kehilangan orang tercinta, kekesalan yang mendalam, hingga mencapai puncaknya dalam delusi terhadap sebuah hukuman (Freud, 1917, hal. 153). Dalam film ini, Modus ketidakhadiran dan melankolia menggejala sebagai sebuah kebutuhan yang dipicu oleh terhimpitnya ruang spasial melalui afair antara Mr. Chow yang seorang jurnalis dengan Mrs. Chan seorang sekretaris di perusahaan pelayaran. Ketidakhadiran terjadi berulang (repetitif) untuk mengakhiri afair ketika Mr. Chow dipindah tugaskan ke Singapura yang menandakan akhir yang sementara bagi film pertama dari trilogi Hong Kong besutan Wong Kar-Wai tersebut.

    Salah satu simpul dalam In The Mood for Love terjadi ketika Mr. Chow menawarkan Mrs. Chan sebuah ruang intim, ruang yang tak terjangkau desas-desus. Ruang intim tersebut digunakan untuk menulis serial terbaru yang menjadi basis dari dunia kerja Mr. Chow selain kerja-kerja jurnalistiknya. Dalam film ini ruangan itu bernomor 2046, penanda angka tahun yang sekaligus menjadi sekuel lanjutan dari trilogi Hong Kong yang dirilis tahun 2004. Pada penawaran ruang hidup bersama tersebutlah Mrs. Chan justru merespon dengan “You don’t need me”, ungkapnya bimbang, “You can write on your own”, sembari memalingkan rupa.

    Alegori maskulinitas yang terpapar dalam posisi Mr. Chow sebagai episentrum sepanjang film tersebut menghadirkan gejala problematis. Sebagai kelas pekerja Hong Kong di masa transisi ekonomi, kebutuhan mendapatkan ruang spasial yang lebih intim jelas merupakan privilese. Namun, ruang tersebut justru tak diusahakan bagi istrinya, melainkan bagi Mrs. Chan yang diasumsikan sebagai rekan kerja sekaligus usaha untuk melampaui batasan formal status tersebut. Di sisi lain, penolakan yang bersifat sementara tersebut jelas menegaskan usaha maskulinitas untuk melampaui ketidakhadiran dan melankolia tak selalu mudah.

    Tepat pada kompleksitas industri dunia kerja yang terpapar ketidakhadiran dan melankolia, posisi relasi kuasa pada sifat maskulin dapat direfleksikan kembali sebagai sebuah gejala negosiasi hari-hari ini. Posisi krusial Mr. Chow sebagai penanda pergantian alur dan plot skenario secara terang merupakan metafor bagi maskulinitas yang memiliki peran dan fungsi yang menjadi tema sentral dominasi maskulin dalam tatanan struktur masyarakat modern (Connell, 2005, hal. 23). Akan tetapi, tepat pada pada peran dan fungsi tersebutlah sifat-sifat maskulin Mr. Chow justru bergantung pada gagasan dan gestur dari sifat feminim yang menjadi basis citra Mrs. Chan.

    Titik pijak dari lanskap kecenderungan industri kerja kontemporer adalah produksi global ruang-maya (cyberspace) yang disokong oleh digitalisasi proses produksi.

    Negosiasi yang dihadirkan sebagai refleksi dalam In The Mood for Love secara lebih kontekstual dihadirkan dari problem dasar dengan menyoal basis kerja masyarakat modern dalam lanskap urban industrial. Hal ini terjadi karena biasanya pada basis kerja industrial, peran dan fungsi maskulin ternegosiasikan dalam posisi yang tidak absolut. Secara konseptual, maskulinitas yang ternegosiasikan sebagai, meminjam istilah Bridget Grogan, melancholic masculinity (Grogan, 2015).

    Konsep yang berpijak dari refleksi novel The Turning karya Tim Winton dengan menggunakan bangunan konseptual Sigmund Freud: Mourning and Melancholia (Freud, 1917, hal. 152-170). Meski tidak dijelaskan secara langsung dalam bangunan yang sistematis, melancholic masculinity dilahirkan atas persentuhan antara tubuh dengan horizon pengalaman traumatik mengenai kehilangan seseorang atau sesuatu yang dicintai mampu memicu patologi sosial yang berulang dalam kehidupan sehari-hari.

    Refleksi pada aras kebijakan politis diarahkan pada industri kerja era global hari-hari ini yang disebabkan oleh prasyarat kultural sehari-hari semakin jauh mengintervensi lanskap kontemporer dunia kerja yang menjadikannya tak mungkin terelakkan. Sebagaimana Mr.Chow, seorang melankolia yang tak mampu menulis serial kisah dan kerja jurnalistiknya tanpa kehadiran Mrs. Chan di sisinya. Relasi ulang-alik antara prasyarat kultural dengan dunia kerja semakin menjauhkan realitas industrial dari utopia idealistik bernama profesionalisme. Imbasnya adalah bentuk-bentuk kerawanan (precariousness) yang menggejala sebagai kecenderungan baru relasi kerja antara pekerja (precariat) dengan sistem kerja kontemporer (Berardi, 2009, hal. 31).

    Titik pijak dari lanskap kecenderungan industri kerja kontemporer adalah produksi global ruang-maya (cyberspace) yang disokong oleh digitalisasi proses produksi. Salah satu dampak penting dari kecenderungan tersebut adalah de-personalisasi waktu yang semakin menipiskan jarak antara yang privat dan yang publik dalam aktivitas kerja (Berardi, 2009, hal. 32). Pekerja tidak lagi dipahami sebagai tenaga kerja modernistik dengan aturan kerja yang otoritatif. Melainkan diposisikan sebagai budak digital (digital slavery) yang terombang-ambing di antara hasrat kebebasan liberal dengan produktivitas kapital.

    Pembagian kerja secara seksual tentu menjadi problem ketika masih mempertahankan relasi kuasa maskulin sebagai aktor dominan dalam relasi kerja.

    Relasi kerawanan tersebutlah yang menjadi problem ketika kecenderungan melancholic masculinity terus menerus digempur dalam produktivitas kapital. Tidak mengarah pada tolok ukur bentuk-bentuk de-stabilitas maupun perhitungan rasional pada penurunan kinerja. Melainkan pada bentuk konversi sifat-sifat melankolistik menjadi produksi kapital yang mengarah pada kemungkinan-kemungkinan eksploitatif. Konversi tersebut menjadi semakin vulgar dan repetitif ketika hasrat kebebasan kerja terus menerus digaungkan melalui dorongan konsumtif yang seolah-olah menjadi kebutuhan aktual pada zaman neoliberal.

    Pembagian kerja secara seksual tentu menjadi problem ketika masih mempertahankan relasi kuasa maskulin sebagai aktor dominan dalam relasi kerja. Karena pada dasarnya, kecenderungan kerja kontemporer mampu mengintervensi batas-batas status, fungsi, dan peran banyak hal dalam satu kelas yang dikonsepkan Franci “Bifo” Berardi sebagai kognitariat (cognitariat). Merupakan konsep baru dalam telaah industri kerja zaman neoliberal yang menggantikan kelas borjuis menjadi dikotomi antara kognitariat (pekerja kreatif yang memiliki kerawanan tinggi) dan kelas manajerial yang memegang kendali otoritatif.

    Dominasi maskulin tentu saja sudah tidak relevan lagi untuk memahami sejauh mana patriarki berlangsung dalam industri kerja kontemporer melalui refleksi yang berpijak pada film In The Mood for Love. Melalui kecenderungan melancholic masculinity yang memiliki kerawanan eksploitatif, satu-satunya kemungkinan untuk menilik ulang relasi maskulinitas serta feminitas ialah dengan memahami kembali kontradiksi-kontradiksi imanen pada tingkat kerawanan eksploitatif dan kemungkinan mengatasinya. Tidak lagi pada pembagian kerja seksual dan biologis yang kolot warisan gagasan modernisme. Sebagaimana penolakan Mrs. Chan, bahwa saat ini semua kognitariat bisa bekerja secara individualistik, “You can write on your own”, tanpa ada kehadiran orang lain, “You don’t need me”.

    Aras kebijakan politis tentu tidak serta merta digagas melalui emblem legitimasi keamanan kerja melalui bentuk-bentuk legal-formal seperti sertifikasi dan penataran profesionalisme kerja, melainkan lebih difokuskan pada kebutuhan untuk meminimalisir kerawanan eksploitatif yang terjadi pada kerja-kerja individualistik yang tak mengenal batas ruang dan waktu privat.


    Daftar Pustaka

    Berardi, F. “. (2009). Precarious Rhapsody; Semiocapitalism and the pathologies of the post-alpha generation. London: Minor Compositions.

    Bettinson, G. (2015). The Sensuous Cinema of Wong Kar-wai; Film Poetics and the Aesthetic of Disturbance. Hong Kong: Hong Kong University Press.

    Connell, R. (2005). Masculinities. Berkeley: University of California Press.

    Eiselein, G. (1991). Black Sun: Depression and Melancholia by Julia Kristeva. Iowa Journal of Literary Studies Vol. 11, Issue 1, 137-139.

    Freud, S. (1917). On The History of the Physco-Analytic Movement; Papers on Metaphsycology and Other Works. London: The Hogarth Press and The Institute of Pshyco-Analysis.

    Front, S. (2011). Labyrinth of Time in Wong Kar-Wai’s In the Mood for Love and 2046. Asian Journal of Literature, Culture and Society, 144-155.

    Grogan, B. (2015). The Cycle of Love and Loss: Melancholic Masculinity in The Turning. Journal of Australian Studies,39:1, 199-220.

    Kar-Wai, W. (Sutradara). (2000). In The Mood for Love [Gambar Hidup].

    Li, H. (2012). Cinematic Hong Kong of Wong Kar-Wai. Athens: Disertasi The University of Georgia.

    Tsang, S. (2004). A Modern History of Hong Kong; 1841-1997. London: IB Tauris.

    Wang, Y. (2016). Serial, Sequelae, and Postcolonial Nostalgia; Wong Kar-wai’s 1960s Hong Kong Trilogy. Dalam M. P. Nochimson, A Companion toWong Kar-wai (hal. 419-437). West Sussex: Willey Balckwell.

     

    Author

    • Hartmantyo Pradigto Utomo

      Sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Sosiologi Fisipol UGM dengan fokus riset kritik epistemik teks kanon ilmu sosial Indonesia dan menghadirkan pendekatan biopolitis sebagai modus penciptaan teks bagi pengetahuan politis "Global South". Terlibat dalam proses penciptaan kreatif secara intensif di Studio Malya.

      View all posts

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...