
Ruangan ukuran 3 X 3 ini tak tertata rapi. Kertas berserakan di pojok ruangan dekat sebuah cermin yang digantung. Pakaian-pakaian tertumpuk di sudut lain. Ada aroma sambel pecel, menyatu dengan bau keringat pada kasur. Ada setumpuk peralatan masak di bawah meja, saya tidak tahu itu barang bersih atau kotor. Di sisi tembok ruang bagian timur, sebuah gorden warna hijau sepia lusuh, kelihatan tidak pernah dicuci. Ini kali pertama saya berkunjung lagi ke kamar seorang teman itu, setelah satu tahun lebih saya tidak pernah mengunjunginya.
Banyak perubahan, barang-barang sudah tidak berada pada tempatnya dahulu, satu tahun lalu. Yang tidak berubah hanya biola yang digantung di samping jendela. Biola pertama saya ketika awal mula tertarik belajar alat musik gesek. Dia membeli biola itu saat saya sedang kehabisan uang, saat itu saya mengajukan satu syarat: “Biola itu tidak boleh dijual lagi ke orang lain”. Dia sepertinya mengingat dengan baik perjanjian tak tertulis itu. Kini kemampuan saya menggesek biola jauh telah dilampaui teman saya. Sebab, barangkali saya terlalu sibuk bergulat dengan pikiran-pikiran kosong dan kecemasan-kecemasan yang lucu.
Saya bertanya tentang banyak hal: “Bagaimana kabar adikmu?”, “Sibuk apa setelah lama tak bertatap muka?” Sepertinya saya terlalu bersemangat untuk percakapan ini, tapi lawan bicara saya agak datar. Atau sebaliknya, saya tidak tahu. Diam-diam saya sebenarnya selalu berpikir panjang untuk setiap obrolan: saya menahan diri agar tidak membicarakan masa lalu. Malam semakin larut, saya mulai mengantuk. Teman saya membuka laptop, mungkin untuk menghindari omongan-omongan tidak jelas. Sebab pembicaraan yang berlarut-larut kadang cukup berbahaya untuk sebuah pertemanan yang hendak dibangun kembali di atas reruntuhan perselisihan di masa lalu yang lucu tapi juga cukup menyedihkan.
***
Saya berbaring di kasur, sementara teman saya menindih bantal untuk menghindari dingin lantai tegel tempatnya berbaring. Kami berusaha tidak memejamkan mata, saat seorang anak muda Yahudi di kamp konsentarsi Nazi Plaszow membersihkan bathup Amon Göth, kepala militer Nazi di Polandia. Sejak tiga puluh menit yang lalu kami memutar film Schindler List. Film rilisan 1993 ini berdasarkan novel Schindler’s Ark karya Thomas Keneally, yang diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Schindler’s List.
Adaptasi ke bentuk film dikerjakan oleh Steven Zaillian dan disutradarai oleh Steven Spielberg.Secara umum, film itumengisahkan riwayat Oskar Schindler, seorang pengusaha Katolik Jerman yang berperan dalam menyelamatkan nyawa lebih dari seribu orang Yahudi Polandia pada masa Holocaust. Dengan durasi tiga jam, dan permainan sinematografi memukau: suasana muram dari wajah-wajah korban perang disorot tajam. Tiap adegan dirangkai di antara latar hitam putih, menghasilkan satu suasana redup, muram, sendu. Latar hitam putih polos adalah tanda wajah ketegaran korban, subjek-subjek sejarah yang dihinakan akibat ambisi politik Nazi Jerman.
Berlatar belakang Perang Dunia ke-II, ketika tentara Jerman melakukan invasi ke Polandia. Seorang pengusaha asal Chekoslovakia, Oskar Schindler, ingin mendirikan pabrik pengolahan besi untuk peralatan dapur dan perlengkapan perang di Polandia. Schindler adalah anggota partai Nazi. Dia berharap dengan berkuasanya Nazi di Polandia, maka akan banyak orang Yahudi yang bisa dia beli sebagai tenaga murah untuk produksi barang di pabrik yang akan dia dirikan.
Invasi Nazi ke Polandia membawa kepanikan bagi setiap orang Yahudi yang bermukim di sudut-sudut kota. Kekejaman Nazi terhadap ras di luar Arya bagaimanapun juga terdengar hingga tiap sudut kota. Kamp-kamp konsentrasi pun mulai didirikan di Polandia. Warga Yahudi ditangkapi dan dimasukkan dalam kamp untuk selanjutnya dibinasakan secara kejam.
Kepanikan kaum Yahudi dikejar-kejar tentara Nazi untuk dikirim ke kamp konsentrasi, dimanfaatkan oleh Oskar Schindler untuk mendapatkan tenaga kerja. Melalui bantuan Itzhak Stern (akuntan keturunan Yahudi), Oskar mendapatkan uang dan banyak tenaga kerja yang bisa ia manfaatkan untuk memulai mengoperasikan pabriknya. Pada mulanya Schindler adalah seorang pebisnis yang seolah tiada urusan sama sekali dengan hal-ihwal kemanusiaan dalam perang. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan besar dengan ongkos produksi minim.
Namun, siapa yang bisa menebak sikap manusia dengan pasti?
Pada suatu ketika, Schindler menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembantaian sadis di kamp kerja paksa Plaszow. Pembantaian dipimpin oleh seorang perwira bernama Amon Goth. Dalam satu bagian, dilukiskan dengan apik: bagaimana suasana kalut menjangkiti masyarakat Yahudi Polandia, ketika sebuah pemukiman mereka diserang oleh bala tentara Amon Goth. Anak-anak, ibu-ibu, perempuan muda, remaja, kakek-nenek semua dibinasakan tanpa terkecuali. Rumah-rumah dihanguskan, seluruh harta dirampas. Bahkan sampai gigi-gigi palsu orang Yahudi yang terbuat dari emas dicopot paksa oleh tentara Nazi, sebelum akhirnya nyawa mereka berakhir di depan lubang senapan.
Kota kini sudah hancur, mayat berserakan. Sisa-sisa Yahudi yang masih hidup berusaha lari dari maut. Seolah mereka yakin nyawa masih layak dilindungi saat di depan mata tubuh seorang gadis dengan kepala berdarah koyak-moyak. Pada saat itulah Schindler meyaksikan seorang anak gadis Yahudi berbaju merah, satu-satunya warna lain dalam seluruh lanskap adegan dalam film ini yang tidak digambarkan dengan unsur utama hitam-putih. Gadis kecil dengan jaket merah itu berlari di tengah kerumunan orang-orang Yahudi yang hendak menyelamatkan diri. Mata Schindler memandang gadis kecil itu, terlihat wajahnya mulai berubah warna: memberat, ada sedikit air mata yang akan jatuh.
Sejak saat itulah semuanya berubah. Schindler seorang pebisnis tiba-tiba saja larut dalam kesedihan. Dia teringat misi awalnya pergi ke Polandia, dia teringat pabriknya yang mulai sukses meraup keuntungan besar dengan mempekerjakan orang-orang Yahudi korban perang. Tapi, dia juga teringat bagaimana gadis kecil berbaju merah menghindar dari maut. Dalam ingatan waktu bisa tak lagi datar-linear, ada hentakan yang tak bisa ditempatkan dalam garis lurus waktu. Saat itu yang bekerja bukan sistem gerak mekanis, tapi daya merasa. Dalam diam Schindler terhentak: antara idealitas kelampauan dan kehendak akan hari depan. Antara tujuan ekonomi dan fakta kebiadaban perang. Barangkali kehidupan memang berjalan ke depan, tetapi hidup dihidupi ke belakang. Perubahan sikap menjadi sesuatu yang niscaya untuk orang yang selalu belajar dari sejarah dan mengevalusi sejarah.
Setelah kejadian tersebut, Oskar Schindler meminta Itzhak untuk membuat daftar nama orang-orang Yahudi yang ada di kamp untuk diselamatkan. Dia mempertaruhkan semua harta kekayaan hasil pabriknya untuk membeli semua orang Yahudi yang ada di kamp. Setelah melakukan berbagai upaya termasuk menyuap para perwira Nazi, Oskar membawa ribuan orang Yahudi ke negara asalnya Chekoslovakia.
Diakhiri dengan sebuah adegan saat Schindler menyadari bahwa dia masih punya satu mobil dan lencana emas yang setara dengan 10 orang Yahudi. Seharunya harta yang tersisa darinya bisa digunakan untuk menyelamatkan lagi 10 jiwa. Tapi, sejarah, waktu, dan hal-hal yang mengisinya adalah kilas tak terulang. Tiada yang bisa mengulang sejarah. Manusia yang hidup di dalamnya barangkali hanya bisa untuk terus belajar dan tidak malu mengakui kesalahan juga mengubah tindakan. Sebab masa depan sejarah kemanusiaan bukan melulu masalah penyesalan, tetapi bagaimana tindakan baru dihasilkan, sikap-sikap manusiawi ditumbuhkan.
***
Begitulah, film Schindler List yang saya tonton bersama seorang teman lama. Sebuah film yang gagal tayang di Indonesia akibat sensor kementerian penerangan era Harmoko dan kebijakan rezim Soeharto. Ulasan di atas tentu penuh dengan ketidaklengkapan. Bagaimana gurat wajah ketakutan, ekspresi santai menghadapi kematian, kekalutan di depan pistol hingga tawa seorang tentara Nazi setelah membakar ribuan orang Yahudi, bagaimana semua itu mampu saya ringkas dalam sebuah tulisan? Apa yang saya ringkas adalah contoh kecil praktik historiografi–penulisan sejarah. Sejak awal, historiografi, seperti juga setiap catatan,memiliki kemenduaan: mencatat, mengabadikan, sekaligus menyisihkan.
Sejarah dan historiografi sebagai ilmu, amatlah unik. Atau barangkali malah tidak memiliki status jelas terkait dengan metodologi, objektivitas dan standar eksplanasi. Banyak sejarawan yang akhirnya menempatkan penulisan sejarah sebagai seni yang tentu berbeda dengan sains. Tetapi, sejauh klaim penulisan sejarah sebagai seni tidak mendasarkan diri pada satu argumen teoretik, saya kira peluang sejarah sebagai ilmu masih terus akan terbuka. Peluang tersebut tentu terkait dengan bagaimana sejarawan mempunyai perangkat metodologi yang khas, sebab memang karakter sejarah amat sulit disamakan dengan ilmu-ilmu lain –eksata, sosial.
Jika secara umum ilmu-ilmu dibangun dari kaidah penyimpul-rampatan (induksi-generalisasi) empiris atas data objek teramati,maka sejarah bergerak di ranah lain.Objek sejarah adalah masa lalu yang secara objektif telah berjarak jauh dengan cakrawala kepengamatan subjek sejarawan. Rampatan atas fenomena sejarah tidak serta-merta menghasilkan satu hukum universal bagi setiap gejala dengan faktor-faktor menyerupai di lain tempat-waktu. Sejarah penuh dengan fenomena-fenomena kebetulan (probabilitas). Probabilitas sejarah membuat setiap hukum gerak ketertataan evolusionis dalam sejarah selalu gagal meramal sejarah. Olehnya, sejarah sejak awal berurusan dengan hal unik dalam skala ruang waktu. Akibatnya, objektivitas sebagai tumpuan kesahihan ilmu pun, dalam ilmu sejarah harus dipahamai dan didefinisikan ulang sesuai konteks historis. Sebab suatu penulisan sejarah yang terbebas dari matra subjektivitas sejarawan adalah ketidakmungkinan.
Mengertikah kita keyakinan metafisik yang dipegang teguh Nazi Jerman Hitler, ada jenis manusia paling unggul dan selalu menang dalam setiap proses pertahanan diri, survive of the fittest? Ras Arya Jerman adalah ras paling unggul dan suatu saat akan menguasai seluruh kehidupan masyarakat dunia, mengakibatkan sikap politis yang menakutkan. Setiap aspek realitas yang tidak sesuai dengan keyakinan Hitler adalah abnormal, sehingga harus dipermak. Keyakinan tersebut dipaksakan dengan berbagai cara tanpa peduli jika pemaksaan itu melukai jantung kemanusiaan. Saat itulah sejarah menjadi milik mereka yang merasa diri paling ideal. Tiap-tiap subjek yang lain jika dirasa tidak sesuai dengan idealnya haruslah disingkirkan atau paling halus harus dipermak dengan cara-cara yang menakutkan; pemaksaan, diskriminasi.
Sejarawan berperan aktif dalam merekonstruksi bangunan masa lalu. Subjek sejarawan juga bukan satu entitas netral dalam ruang sunyi kosmos, sejarawan selalu berinteraksi secara pribadi dengan kondisi sosial-politik. Olehnya penulisan sejarah bukan melulu soal metodologi keilmuan tetapi juga soal tangung jawab politik dan sosial. Sejak awal sepertinya kita semua mafhum, bahwa sejarah adalah alat legitimasi rezim yang paling halus di satu sisi, tetapi juga kejam di sisi lain. Tantangan historiografi bukan saja masalah bagaimana masa lalu dihadirkan dalam narasi objektif, tetapi juga bagaimana narasi objektif mempunyai daya politis untuk memandu gerak alihragam masyarakat. Oleh karenanya, menulis sejarah adalah tugas politis.
***
Apa yang digambarkan dalam film Schindler List adalah satu upaya memahami ulang sejarah dari sisi lain: sebuah perspektif alternatif. Jika selama rezim Nazi berkuasa penulisan sejarah melupakan realitas keberadaan korban, orang-orang kecil tak penting yang cacat sebab seorang Yahudi,maka setelah rezim runtuh orang bebas menulis sejarahnya.Saat itulah sejarah alternatif dari mereka yang kalah harus segera disusun. Bagaimanapun juga masa lalu sebagai realitas sosial bukan milik sekelompok orang saja.Masa lalu, seperti juga masa kini,menghidupi siapa saja, tidak peduli apa pun.
Pada perempat abad ke-19, tradisi penulisan sejarah berkiblat pada paradigma positivisme dengan jargon utama tentang kematangan ilmu-ilmu alam dan keharusan setiap ilmu menaati satu kaidah metodologi (unified science). Sejarah dan ilmu-ilmu sosial harus menggunakan paradigma ilmu alam agar statusnya sebagai sains dimungkinkan. Dalam tradisi historiografi kemudian mucullah madzab Scientific History yang mengunggulkan sejarah sebagai deskripsi faktual (kumpulan data-data). Adalah Leopod von Renke, seorang positivis Jerman, yang menginisiasi penulisan sejarah dengan pendekatan netralitas positivistik.
Saat itulah sejarah berusaha dipahami dan dituliskan seperti resep dokter di apotik-apotik. Sebab historiografi hanya berurusan dengan fakta-fakta penting, jangkauan naratifnya menjadi minim, objek penceritaan hanya gayut dengan tokoh utama. Akibatnya, titik utama penulisan sejarah adalah para elite, penguasa, pemimpin politik, dll. Keberadaan rakyat kecil hanya sebagai pelengkap. Singkatnya, sejarah hanya cerita untuk orang-orang besar tanpa kecacatan apapun. Sejarah menumpukan dirinya pada satu bentuk ideal manusia, para pahlawan yang hidup seolah tanpa cacat.
Sejarah positivis menceraikan kehidupan dari unsur-unsur kemanusiaan yang cacat. Buruh, tani, minoritas agama, sampai orientasi seksual menyimpang tidak memiliki tempat khusus dalam sejarah. Pokok soal utama sebetulanya bukan hanya pada metodologi yang positivis, tetapi adalah dominasi politik, kekuasaan yang mampu mendikte penulisan sejarah, hingga sejarah kehilangan sifat kritisnya.
Pada 1912, James Harvey Robinson di Amerika mengusulkan penulisan sejarah mengunakan analisis struktural metode ilmu sosial. Singkatnya, sejarah bukan hanya narasi atas data faktual, tetapi analisis kausal atas peristiwa. Upaya Robinson didukung oleh berdirinya madzab Annales di Prancis (1929)—dipelopori oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre yang mengehendaki sejarah mempunyai“wider and more human history”[1]. Sejak itu, penulisan sejarah dibebani tugas politik untuk menyibak struktur kekuasaan yang timpang, tidak manusiawi dan menindas. Fokus penulisan sejarah pun berganti dari para elite ke kaum alit.Sejarah bukan lagi kehidupan politik, tetapi sejarah sosial keseharian, singkatnya sejarah setiap bagian kehidupan manusia.
***
Akankah dominasi politik mayoritas bisa diceraikan (selamanya) dari penulisan sejarah?
Politik yang menjadi panglima, keangkuhan yang menguasai kadang mengeser sifat-sifat manusiawi dari kehidupan dan sejarah. Ideal politik bisa mengendalikan sebuah penulisan sejarah. Saat sejarah dikendalikan oleh satu ideal politik yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, saat itulah subjek yang lemah, mereka yang cacat dalam definisi mayoritas harus rela memerankan peran figuran untuk mengguatkan dominasi tokoh utama.
Schindler List memberikan satu tilikan (insight) pada kita tentang bagaimana sejarah kekejaman harus dituliskan secara manusiawi. Schindler, sang tokoh utama, bukanlah sosok tanpa cacat moral. Dia adalah penyuka wanita yang berlebihan, sekretarisnya semua wanita-wanita cantik yang tugas administratifnya sebenarnya juga tidak begitu jelas. Sosok Schindler pada bagian-bagian awal digambarkan sebagai pebisnis yang tidak peduli dengan urusan kemanusiaan. Sebuah gambaran yang tidak hitam-putih, oleh karenanya amat manusiawi.
Begitulah, setidaknya menurut saya, sejarah kita seharusnya ditulis. Sejarah yang manusiawi, sejarah yang multidimensional sebab tidak ada kehidupan yang antagonis hitam-putih, normal-abnormal. Realitas adalah tenunan rumit dari pancaragam benang-benang persoalan kehidupan yang kompleksitas serta derajat perubahannya amat acak dan sulit dirangkum dalam satu hukum universal.
Penulisan sejarah kita harus diceraikan dari soal moral politis dan kebencian masa lalu. Misalnya, kita ambil contoh penulisan sejarah pasca-1965. Secara umum, ada dua kubu yang ekstrim bertentangan dalam memandang tragedi 65. Satu kubu mencela habis-habisan orde baru sebagai satu-satunya pihak yang harus bertangung jawab. Mereka kemudian menulis sejarah perspektif korban ’65 yang dalam banyak sisi amat tendensius untuk menciptakan suatu kebencian massif terhadap orde baru, tetapi melupakan kesalahan-kesalahan korban (simpatisan PKI) di masa lalu. Kubu kedua adalah mereka yang membela orde baru dengan dalih bahwa masa lalu hendaknya dilupakan, tidak usah diungkit-ungkit. Mereka yang berada dalam barisan ini bermasalah juga, sebab tidak menghendaki satu penulisan sejarah, seolah setiap korban bisa dengan cepat lupa penderitaan masa lalu mereka.
Schindler List adalah potret film berdasar narasi sejarah yang berimbang. Sebab di sana tergambar jelas pahlawan tidak selamanya seluruh karakter hidupnya baik. Amont Goth potret seorang perwira Nazi yang kejam dan dingin, tetapi pernah berusaha berprilaku baik pada seorang anak muda yang membersihkan bathupnya. Jika penulisan sejarah bisa dihadirkan secara berimbang dan kritis, maka sejarah akan amat sulit dijadikan alat legitimasi rezim.
Jika akhirnya, penulisan sejarah yang berimbang dengan menceraikannya dari soal moralitas politis sulit kita lakukan, sebab sejarawan Indonesia masih terjebak pada kategori moral antagonis, maka sejarawan bisa mengambil siasat dengan memberikan daya penuh ilmu sejarah sebagai instrumen pembebasan. Sebab tugas pembebasan, maka sudah saatnya sejarah Indonesia menulis tentang kaum minoritas, seperti yang saya jelaskan sebelumnya sejarah harus digeser dari soal politik ke soal kehidupan sosial. Dalam konteks kehidupan sosial, sejauh pengamatan saya beberapa tahun terakhir minim atau bahkan belum ada karya sejarah yang menuliskan kehidupan minoritas: begal, atau bandit di jaman kolonial, eksistensi kaum homoseksual setelah masa revolusi 45, kaum buruh pabrik di Kudus,dll. Hanya dengan cara itu, masa lalu kita sebagai bangsa bisa dipahami dengan utuh.
Minoritas selama ini hanya hadir sebagai subjek politik pasif akibat tindihan mayoritas. Lewat satu penulisan sejarah yang menumpukan diri pada kehidupan minoritas, kaum sub-altern akan menjadi subjek aktif. Lewat penulisan sejarah juga akan terlihat stuktur kuasa politik, keangkuhan mayoritas, fatwa-fatwa rezim religius dan lain-lain, sebab yang menimbulkan minoritas dilupakan keberadaannya dalam kehidupan bangsa kita. Posisi politis minoritas bisa dikuatkan jika, dan hanya jika sejarah memberikan “tempat” pada mereka untuk merajut narasi masa lalunya, dan mendefinisikan dirinya sendiri, di tengah arus deras narasi mayoritas.
***
Kenyataan tidak bisa dipahami dengan pendekataan pembelahan antagonistik: hitam vs putih, jahat vs baik, normal vs abnormal. Pendekatan antagonistik harus diubah lewat satu pemahaman yang agonistik, sebab itu ramah pada setiap perbedaan. Tapi hal itu bukan soal mudah, sebab sejak kecil kita sudah dibiasakan berpikir hitam-putih. Pahlawan selalu kita lawankan dengan penjahat, solah dalam diri pahlawan tidak ada sedikitpun sifat jahat, pun juga sebaliknya. Pemahaman tersebut membuat penulisan sejarah, historiografi, tidak lagi manusiawi.
Di tengah gejala pengutuban kehidupan pada dua sisi ekstrim bertentangan, sejarawan seharusnya adalah mereka yang tidak pernah berpikir tentang kutub kehidupan. Mereka yang tidak berpikir ihwal penilaian moral politis semu atas setiap perbuatannya maupun laku subjek sejarah yang akan ditulisnya, entah yang dilakukannya diganjar sebagai pahlawan , atau sebagai penjahat. Sejarawan adalah mereka yang harus berpegang teguh hanya pada komitmen metodologis-kritis untuk menuliskan masa lalu bangsa sehingga dapat dipahami secara mamadai. Kata Kuntowijoyo: “Di masa depan menulis sejarah adalah tugas kritis-profetik”.
Tugas kritis-profetik penulisan sejarah tidak akan pernah bisa terwujud jika sejarawan terlalu sibuk dengan pembelahan moralistik semu dalam masyarakat, sehingga membuatnya lupa bahwa kehidupan harus dituliskan dalam sejarah yang manusiawi. Masa lalu, seburuk apapun itu, harus tetap dicatat, bukan sebagai penyesalan, tetapi sebagai laku damai yang sadar diri. Kenyataan bahwa negara pernah membunuh rakyatnya secara kejam dalam tragedi ’65 harus diakui. Sementara laku destruktif simpatisan PKI sebelum 65 harus juga diakui sebagai fakta. Pengakuan historis bukan untuk terus mengulang derita masa lalu, tapi untuk membangun satu kesadaran baru tentang cita-cita kemanusiaan (luhur).
[1] Lih, Peter Burke, History and Social Theory (Cambridge: Polity Press, 1992), hlm. 15-16
Pelaku sejarah, belajar filsafat ilmu, aktif mengorganisir diri sendiri.