Kenapa Internet Positif” membatasi ruang akses terhadap pornografi? Tentu ini dianggap pertanyaan tabu dengan jawaban “ya iyalah, wong iku mengandung seks toh, ya nda boleh ditonton.” Ya, benar, kita tahu bahwa dari masa kanak-kanak kita tidak diperbolehkan untuk mendengar kata-kata yang mengandung seksualitas, sekalipun itu nama kelamin yang mesti terlebih dahulu dihaluskan bahasanya. Apabila nekat diucapkan secara lisan, beberapa orang akan menegur dan menghujat dengan alasan moral, yakni kata tersebut merupakan bahasa yang dianggap kotor dan tidak sepatutnya diucapkan secara terang-terangan. Begitulah, budaya kita sebagai manusia, utamanya masyarakat Indonesia.
Betapa orang berusaha agar hal-hal yang berbau seks harus terkungkung dan terahasiakan, tetapi sebagian besar orang masih mencari dan melampiaskan di tempat yang tak terduga. Sesuatu yang sangat disayangkan, beberapa orang bukan hanya melampiaskan pada situs porno belaka, melainkan pada kekerasan seksual, pemerkosaan, tindakan cabul hingga kegiatan homoseks yang di luar nalar.
Dewasa ini membicarakan seks, tentu yang ada di pikiran manusia mengacu pada konotasi yang negatif, namun menimbulkan rasa penasaran tersendiri pada benak manusia. Isu tentang seksualitas dapat ditarik dari mana saja, tetapi pikiran manusia seolah sudah diatur dan diperbudak sedemikian rupa untuk memunculkan tampilan-tampilan porno yang menggelikan akal. Betapa pengetahuan seolah dibatasi dan ditutupi. Singkat sejarah mengenai seksualitas yang sangat memengaruhi perolehan anggapan manusia mulai abad ke-18 hingga abad ke-21 atau mungkin sampai abad-abad berikutnya. Konon, pada awal abad ke-17 seksualitas digambarkan dengan sangat terbuka dan tidak ditutup-tutupi bahkan kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan dan tidak kaku. Namun, karena adanya norma tertentu pada zaman Ratu Victoria, seksualitas dipindahkan ke ‘rumah’ dan dibatasi serta ditutupi. Seksualitas ditata rapi, dirumahtanggakan seolah hanya milik pasangan suami istri sajalah yang berhak membicarakannya. Zaman Victoria memengaruhi dan mengintervensi karena alasan takut kerajaannya hancur, kemudian di saat yang bersamaan datanglah reformasi gereja yang bekerja sama sehingga membentuk penutupan seksualitas secara frontal. Lebih tepatnya, terdapat tempat pengakuan dosa oleh gereja terhadap perilaku seks di luar pasangan yang sah. Orang tidak berani lagi berkata apa pun mengenai seks. Hal inilah yang menciptakan pengetahuan baru yang dikonsumsi oleh masyarakat di zaman setelah abad ke-17 tersebut.
Michel Foucault, seorang filsuf Prancis, pernah menyebutkan bahwa alih-alih menutupi, tindakan Victoria itu justru menimbulkan represi yang hanya mencipta masyarakat munafik setelahnya. Ia berpendapat bahwa represi bertepatan dengan perkembangan kapitalisme. Seks ditekan karena tidak sesuai dengan keharusan bekerja. Namun, hal terpenting bukanlah faktor ekonomi melainkan wacana yang timbul pada masyarakat, serta buah kebenaran yang disembunyikan. Pemaknaan wacana yang berkembang sehingga menimbulkan represi dan menjadikannya pencarian terhadap kenikmatan di luar kontrol. Tak menutup kemungkinan, mayoritas manusia akan melampiaskannya di tempat lain misalnya situs porno. Pemerintah menutup situs porno karena jumlah permintaan yang semakin berkembang setiap harinya. Tapi, apakah setelah seksualitas ditutupi masyarakat akan tunduk dan patuh? Kenyataannya tidak demikian. Berdasarkan mesin pencari Google, Indonesia termasuk peringkat tiga dunia yang mengakses situs porno terbanyak.
Dari sini dapat kita lihat bahwa ada power to confession atau usaha untuk menggali lagi kebebasan seks. Karena, kekuasaan menentukan bagaimana seks diberlakukan. Kekuasaan itu muncul dari inequality seks dalam semua diri manusia yang berkaitan. Anggapan bahwa seksualitas tampak sebagai deretan represif makin menekan, dan pada kenyataanya kita belum bebas. Betapa orang berusaha agar hal-hal yang berbau seks harus terkungkung dan terahasiakan, tetapi sebagian besar orang masih mencari dan melampiaskan di tempat yang tak terduga. Sesuatu yang sangat disayangkan, beberapa orang bukan hanya melampiaskan pada situs porno belaka, melainkan pada kekerasan seksual, pemerkosaan, tindakan cabul hingga kegiatan homoseks yang di luar nalar. Bayangkan, apabila bukan hanya orang dewasa saja yang dapat terjebak represi akan seks. Faktanya, remaja yang beranjak dewasa dan yang sedang mengalami pubertas gencar mencari hakikat seks yang setiap hari dilarang dari pola didik asuhnya. Katakanlah, bahwa hasrat muncul karena adanya larangan, larangan yang berupa kekuasaan yang menentukan mana yang dan mana yang tidak.
Selama ini orang-orang hanya belajar how to speak dengan menyuarakan opininya masing-masing. Orang-orang jarang, bahkan tidak pernah, belajar how to learn knowledge. Inilah yang menimbulkan beberapa pengetahuan menjadi kaku dan diterima begitu saja. Andai kata, apabila seksualitas dipahami dengan baik, bukan semena-mena ditutupi sehingga tidak menimbulkan represi, kemungkinan dampak buruk semakin berkurang; kekerasan seksual yang ditakuti banyak pihak akan jarang dilihat dan didengarkan.
Anggapan bahwa seksualitas ditutupi karena alasan moral justru menjadi pengekangan di suatu tempat yang memunculkan diskursus pada tempat lain. Inilah yang dicoba oleh Foucault untuk menimbulkan keraguan historis-teoretis dan historis-politik pada hipotesis represif. Baginya, terdapat penyimpangan wacana, itu sebabnya dia berusaha agar sejarah kembali dimunculkan sebagai acuan dalam memeroleh wacana baru. Hal ini dilatarbelakangi oleh kehidupan pribadi Foucault. Pernah sekali waktu pada tahun 1968 dalam sebuah wawancara, Foucault menceritakan bahwa keinginan historisnya untuk selalu membuka arsip-arsip kuno itu ada kaitannya dengan mimpi-mimpi buruk yang terus-menerus menghantuinya semenjak masa kecil (Poetzle, 1982:43).
Foucault melanjutkan untuk menghubungkan seksualitas abad ke-18 dengan kaum borjuis. Dia berpendapat aristokrasi menegaskan karakter khusus dari tubuh melalui darah; ‘darah kaum borjuis adalah seks’. Jejak seksualitas proletariat melalui darurat ekonomi dan kemudian menunjukkan bagaimana tubuh dan seksualitas disimpan di bawah pengawasan. Foucault menyimpulkan diskusi, menulis sejarah seksualitas, sejarah borjuis, dan dalam pergeserannya, berturut-turut kemudian terjadi transposisi, serta menginduksi efek kelas khusus. Foucault menyimpulkan bahwa kemunafikan masyarakat borjuis kita dilandasi oleh logikanya yang pincang (Foucault, 1976:21). Titik terpenting dari penemuan Foucault itu adalah bahwa pada setiap masyarakat terdapat sebuah sistem pengetahuan dominan atau kelompok masyarakat yang memisahkan atau mengekslusikan sebagian anggota masyarakat lain (Suyono, 2002:128).
Foucault menyimpulkan bahwa ada penyimpangan wacana yang besar, yang memengaruhi pengetahuan masyarakat kemudian hari. Dalam konsep Foucault, persoalan utama wacana adalah siapa yang memproduksi wacana dan efek apa yang muncul dari produksi wacana tersebut. Dengan kata lain, setiap produksi wacana selalu ada pihak yang terpinggirkan. Ini merupakan hal yang dianggap sangat penting dalam memeroleh pengetahuan, kita tidak perlu lagi untuk membuktikan kebenaran dengan susah payah, apabila terdapat kekuasaan di balik wacana tersebut. Kekuasaan tertentu menimbulkan wacana dan wacana tertentu menghasilkan kebenaran.
Selama ini orang-orang hanya belajar how to speak dengan menyuarakan opininya masing-masing. Orang-orang jarang, bahkan tidak pernah, belajar how to learn knowledge. Inilah yang menimbulkan beberapa pengetahuan menjadi kaku dan diterima begitu saja. Andai kata, apabila seksualitas dipahami dengan baik, bukan semena-mena ditutupi sehingga tidak menimbulkan represi, kemungkinan dampak buruk semakin berkurang; kekerasan seksual yang ditakuti banyak pihak akan jarang dilihat dan didengarkan. Namun apa yang terjadi, bahkan untuk mempelajarinya saja pun, kita dibatasi dan dianggap mengacu ke arah negatif dan dipandang buruk, dengan kata lain tanpa disadari kita telah menolak untuk mencari pengetahuan yang benar. Apa jadinya bila calon generasi yang akan datang semakin terpuruk dan dipenjarakan dari pengetahuan. Diperbudak seenaknya oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga terkunci dari ranah biar menuju ranah yang luas dan tidak berat sebelah.
Pengetahuan sangat penting, tapi alangkah baiknya apabila anak Indonesia lebih cerdas lagi dalam mengolah pengetahuan tersebut. Apa gunanya skripsi dan tesis jika hanya ditumpuk dalam lemari, menjadi usang dan berdebu tanpa kita sebar-luaskan dan gunakan untuk sesama generasi muda. Miris sekali pendidikan di Indonesia apabila terus-terus seperti ini.
Daftar Pustaka
Suyono, Seno Joko, (2002). Tubuh yang Rasis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest
Foucault, Michel, (1976). La Volonte de savoir, historie de la sexualite, Paris: Aditions Gallimard