Diskursus perdebatan antara komunitarianisme vis a vis liberalisme sebenarnya tidak terhitung baru di Indonesia, apalagi dalam wacana politik global. Pada saat berdirinya republik ini diskusi dengan nuansa yang sama muncul saat perdebatan antara Soepomo dengan konsep negara integralistiknya dan Muhamad Hatta yang memperjuangkan agar hak-hak individual dimasukkan ke dalam UUD 45. Komunitarisme itu sendiri adalah sebuah mazhab filsafat yang dicetuskan oleh sekelompok pemikir “anglosaxon” yang mengkritisi konsep kontrak sosial seperti dikembangkan John Rawls dan para pemikir liberalisme pada umumnya.
Tujuan penulisan artikel ini adalah memaparkan perdebatan pokok antara komunitarianisme dengan liberalisme. Sembari memaparkan pokok perdebatan, kemudian penulis mencoba untuk mengkontektualisasi hasil perdebatan tersebut ke dalam perpolitikan Indonesia. Dengan demikian, kita dapat merefleksikan dan menjadikannya pelajaran guna mendeteksi kekuatan maupun kelemahan yang diperoleh dari hubungan yang dinamis dari kedua paham tersebut.
Artikel ini akan dibagi ke dalam tiga bagian pokok. Pertama, memaparkan inti perdebatan antara komunitarianisme dan liberalisme—yang menurut penulis masih kurang substansial. Kedua, memberikan kontekstualisasi bentuk perdebatan tersebut ke dalam kerangka sejarah ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut diperlukan guna memberikan kemudahan analisis yang berdasarkan pada peristiwa historis dan faktual kehidupan bernegara. Ketiga, berusaha memantik dan merefleksikan cara pandang baru dalam melihat HAM. Pada bagian ini nampaknya kritik yang diajukan bertumpu pada kemanusiaan yang perlu diperbaharui atau bahkan dilampaui.
Komunitarianisme vis a vis Liberalisme
Perdebatan liberalisme versus komunitarisme dimulai awal tahun 80-an dan berkembang begitu cepat. Komunitarianisme terdiri dari macam-macam posisi berbeda, namun mereka sepakat pada beberapa hal mendasan kaum komunitarian menggarisbawahi kekurangan filsafat sosial yang berorientasi pada liberalisme modern serta pentingnya tuntunan etis dan pandangan hidup bersama. Mereka lebih mengutamakan nilai komunitas dan mengkritik individualisme liberalisme. Menurut kaum komunitarian, otonomi individu yang ditonjolkan liberalisme bersifat atomistik dan transenden. Liberalisme yang mereka kritik terutama adalah liberalisme egalitarian yang dikemukakan oleh Rawls dan Dworkin. Sedangkan fokus dari kritik mereka adalah otonomi individu, netralitas negara dan universalisme.[1] Secara filosofis kaum komunitarian merujuk pada pemikiran Aristoteles, Thomas Aquinas, Hegel, dan Tocqueville, bukan pada pemikir klasik moderen seperti Locke, Rousseau dan Kant.[2]
Komunitarianisme berbeda dengan sosialisme dan marxisme. Jika marxisme melihat masyarakat sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui suatu perubahan revolusioner pada masyarakat, dengan penggulingan kapitalisme dan menggantinya dengan masyarakat tanpa kelas atau dalam bentuk masyarakat sosialis. Komunitarianisme justru menganggap bahwa masyarakat sudah ada, dalam bentuk tradisi-tradisi kultural, praktik-praktik dan pemahaman sosial bersama. Masyarakat tidak perlu didirikan lagi, tapi lebih butuh untuk diakui, dihargai dan dilindungi, dengan cara memperhatikan hak-hak keanggotaan kelompok. Bagi komunitarianisme, masyarakat adalah satu masyarakat yang sama dan bebas.[3] Tentu saja hal ini menimbulkan polemik, misalnya perihal bagaimana praksis kehidupan bersama itu nantinya bisa dibentuk tanpa melibatkan usaha ekonomi-politik. Sebelum bergerak lebih jauh ke sana ada baiknya saya paparkan terlebih dahulu beberapa poin penting kritik kaum komunitarian.
Cita-cita kaum komunitarian berkait erat dengan kritik budaya. Charles Taylor dalam Sources of the Self berpendapat bahwa modernitas dalam wajah liberal telah melupakan akar, substansi dan sumber kehidupannya.
Komunitarianisme mengajukan beberapa catatan kritis atas pandangan kaum liberal. Beberapa poin penting kritikan kaum komunitarian tersebut adalah sebagai berikut:[4]
Pertama, kaum komunitarian menolak konsep antropologi liberal yang melihat manusia sebagai “unencumbered self” atau manusia tanpa komunitas. Kaum liberal seringkali memandang manusia sebagai individu yang terisolir dan melayang-layang di ruang kosong serta ditempatkan dalam ruang-ruang hak kebebasan. Sementara kita tahu bahwa dalam kenyataanya—menurut kaum komunitarian—manusia selalu hidup dalam komunitas, tradisi dan ikatan sosial. Sebuah sistem sosial yang tidak memperdulikan aspek-aspek sosial ini dan hanya membatasi diri pada pemahaman tentang manusia sebagai pribadi hukum dalam ruang-ruang kebebasan, dapat menghancurkan substansi sosial hidup manusia. Akibatnya ialah adanya kecenderungan untuk menghantarkan masyarakat kepada bahaya individualisasi, atomisasi dan penghancuran nilai solidaritas.
Kedua, bahaya atomisasi sosial dan melemahnya solidaritas dipertajam lagi dengan dominasi imperatif ekonomi. Rasionalitas ekonomi pasar terus-menerus mengikis dan memarjinalisasi dimensi etis, kultural dan religius bersama tradisi dan komunitas-komunitasnya. Agama yang terkapitalisasi merupakan contoh yang paling riil dalam hal ini.
Ketiga, solusi apa yang ditawarkan kaum komunitarian untuk mengatasi bahaya individualisasi, ekonomisasi dan desolidarisasi? Solusi kaum komunitarian ialah dengan menawarkan dan memperkuat komunitas, kelompok dan tradisi komunitarian di mana manusia dapat mengalami, mempraktikkan dan menginternalisasi identitas kultural, etos sosial, solidaritas dan makna bersama. Komunitarianisme menawarkan solusi dengan mengikat kembali “unencumbered self” ke dalam keluarga, sanak saudara, tetangga, komunitas agama, jaringan sosial dan segala macam persekutuan sosial sampai akhimya identitas sosial bangsa yang mampu memberikan makna hidup. Keutamaan etis untuk melawan egoisme ekonomis hanya mungkin dikembangkan melalui proses integrasi ke dalam komunitas dan tradisi komunitarian. Tanpa sikap-sikap yang dihayati serta ditradisikan secara komunitarian, sebuah masyarakat akan mengalami degradasi menjadi semacam onggokan (Haufen-Tylor) pribadi yuridis yang tak berdaya di hadapan “despotisme administratif” (Bellah), yang kemudian berakhir pada individualisme birokratis (Macintyre) dan kebingungan publik yang tanpa arah (Barber). Saya pikir, di sinilah kritik marxisme jauh lebih relevan ketimbang komunitarianisme.
Komunitarisme menawarkan solusi dengan mengikat kembali “unencumbered self” ke dalam keluarga, sanak saudara, tetangga, komunitas agama, jaringan sosial dan segala macam persekutuan sosial sampai akhimya identitas sosial bangsa yang mampu memberikan makna hidup.
Keempat, cita-cita kaum komunitarian berkait erat dengan kritik budaya. Charles Taylor dalam Sources of the Self berpendapat bahwa modernitas dalam wajah liberal telah melupakan akar, substansi dan sumber kehidupannya.[5] Akar dan sumber mata air kehidupan modern dan juga sumber bagi subjek bebas atas dasar paham hak-hak asasi manusia bersifat pandangan hidup, religius dan metafisis. Hanya modernitas yang merefleksikan sumber kehidupannya dan memperbarui diri lewat proses refleksi tersebut dapat menjadi pengawal serta pembela kebebasan martabat manusia. Mengeringnya sumber mata air modernitas tersebut jelas menggoncangkan basis legitimasi bangunan kultural modern. Oleh karena itu, keadilan dan hukum berpijak pada konsep hidup yang baik dan mengandaikan konsep hidup yang baik tersebut. Tanpa pilihan makna dan nilai hidup baik yang dihayati serta berpijak pada tradisi etis-religius dan ideologis, sistem hukum modern (hak dan keadilan) hanya akan remuk seketika.
Pokok pikiran liberalisme yang menjadi sasaran gugatan kaum komunitarian dapat diringkaskan sebagai berikut. Dalam liberalisme terdapat distingsi tegas antara konsep keadilan dan pandangan tentang hidup baik, legalitas dan moralitas. Tugas negara ialah menciptakan dan menjamin sistem hak atas dasar paham HAM, mengkoordinasi ruang-ruang kebebasan individual secara maksimal berdasarkan prinsip hukum yang berlaku secara universal (Immanuel Kant). Pertanyaan seputar hidup yang baik bukan menjadi kewenangan negara, tapi masuk dalam ranah privat, namun konsep hidup yang baik itu tidak pernah boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Dengan demikian hukum membatasi kebebasan pandangan hidup yang baik tersebut.[6]
Tarik Ulur Perdebatan HAM di Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya HAM menurut liberalisme berkutat pada individu sebagai titik sentralnya. Namun perlu diketahui pula bahwasanya Indonesia merupakan negara multikultural yang terbuka terhadap perbedaan antara negara dan masyarakat, politik dan agama. Hal ini menimbulkan paradoks, di satu sisi Indonesia menjunjung HAM sebagai hak individu, namun di sisi lain negara dapat memberikan garansi otonomi hukum dan etis kepada warga negara sebagai pribadi yuridis di mana setiap pribadi dapat mendefinisikan dirinya sebagai pribadi etis dan membangun hubungan komunitarian dengan yang lainnya. Akibatnya ialah setiap negara modern yang dibangun atas basis pengakuan akan multikulturalisme harus berani hidup dalam dan menerima dialektika penuh ketegangan antara negara dan agama, keadilan dan konsep tentang hidup baik.[7]
Kebebasan manusia terungkap lewat keputusan otonom dan atas pertimbangan suara hati yang tidak pernah boleh serta tidak dapat diintervensi oleh instansi luar.[8] Kebebasan hanya dapat meregulasi dirinya dari dalam, dari substansi moral setiap individu dan homogenitas sebuah masyarakat. Bahaya totalitarianisme mulai mengintip ketika negara misalnya lewat hukum positif mau mengatur suara hati dan keutamaan pribadi warga negara. Di sini negara berambisi mengatur segalanya termasuk cara berpikir dan moralitas warganya yang seharusnya mustahil dapat dilaksanakannya. Ambisi negara tersebut menciptakan konflik dan membahayakan perdamaian umum sebab ia menyangkal adanya pluralitas budaya, agama, tingkah laku dan kebebasan berpikir dalam sebuah negara modern. Indonesia sebagai bangsa yang mulitikultural harus mampu menangkal tendensi komunitarisme yang coba mempersoalkan kembali distingsi antara negara dan masyarakat, antara pribadi yuridis dan etis serta mau menghidupkan sebuah negara “kebenaran“ (rezim agama, ideologi, pandangan hidup).
Dengan membajak demokrasi prosedural kelompok fundamentalis telah berhasil menciptakan dan menggolkan sejumlah produk hukum yang antimultikultural seperti Undang-Undang Pornografi serta ratusan peraturan daerah yang bernuansa Syariah.
Kritik Rocky Gerung terhadap sikap pemerintah tentang HAM dinilai pasti panjang, dan berbelit. Menurut Rocky, “Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya.”[9] Stabilitas negara, lewat pengukuhan Pancasila sebagai ideologi, jadi titik tekan rezim “kebenaran”.
Tendensi komunitarian—lewat populisme—yang intoleran ini muncul di Indonesia terutama dalam bentuk fundamentalisme agama. Kaum fundamentalis melakukan teror dan menghalalkan kekerasan untuk membasmi kelompok-kelompok lain. Dengan membajak demokrasi prosedural kelompok fundamentalis telah berhasil menciptakan dan menggolkan sejumlah produk hukum yang antimultikultural seperti Undang-Undang Pornografi serta ratusan peraturan daerah yang bernuansa Syariah.[10] Kelompok nasionalis juga dapat membajak negara lewat pembubaran ormas Islam, semacam HTI, demi melanggengkan ideologi Pancasila.[11] Untuk mengatasi hal ini demokrasi prosedural harus dilengkapi dengan substansi demokrasi yang membatasi kesewenangan kekuasaan dan kesewenangan kehendak mayoritas atau bahkan melampauinya.
Inkonsistensi tersebut merupakan salah satu bentuk dari kegagalan demokrasi liberal menjembatani hak-hak individu dengan hak kelompok yang mewujud dalam fundalmentalisme agama atau nasionalisme sempit. Bias krisis filsafat politik liberal, yang memandang kemunculan fanatisme sebagai kegagalan menyediakan sistem politik yang dibangun di atas diskursus rasional atau deliberatif.[12] Di sisi lain, bias ini mewujud dalam pandangan bahwa kemunculan fanatisme merupakan konsekuensi kegagalan agama melakukan sekularisasi-diri; dengan kata lain, kita diminta kembali ke model Pencerahan yang menjadikan agama sekadar salah satu pranata publik yang tidak memiliki imperatif apa-apa bagi kehidupan politis dan keberagamaan sebagai ekspresi kehidupan privat. Variasi umum dari bias filsafat ini adalah tesis Kebebasan: fanatisme adalah akibat absennya kebebasan di ruang publik. Tesis ini memandang fanatisme sebangun dengan rezim kediktatoran atau otoritarianisme.[13]
Pada titik ini penting untuk menghindari dua ekstrem sekaligus yang dihasilkan oleh kegagalan politik liberal: depolitisasi agama–yang sering datang bersama tuntutan sekularisasi agama–dan hiperpolitisasi agama, yang datang dari keinginan memperalat agama untuk kekuasaan politis yang tak segan-segan mengorbankan kekudusan agama untuk profanitas tujuan politik jangka pendek.[14] Depolitisasi agama merupakan wujud dari tegangan antara hak individu dalam beragama dan bernegara. Seseorang dituntut untuk sekuler dalam membedakan urusan privat (agama) dengan urusan publik (negara). Sementara hiperpolitisasi berada pada tegangan identitas kelompok dan kekuasaan politis. Seseorang mengedepankan sisi komunalnya guna memperoleh kekuasaan politik. Kedua hal tersebut sebenarnya dijamin oleh HAM. Namun, kegagalan menjembatani antara urusan publik dan privat tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia.
Merefleksikan Kemanusiaan yang Melampaui HAM
Menjadi tantangan yang besar dalam menguak dilema antara menjunjung hak individu atau hak untuk berkelompok. Pasalnya HAM ini masih mempunyai permasalahan filosofis yang nyatanya cukup pelik. HAM ternyata masih memuat pertanyaan filosofis untuk dikuak macam; “…the existence, content, nature, universality, justification, and legal status of human rights.”[15] Tapi perlu diingat bahwa Hak Asasi Manusia yang cenderung liberal dapat diubah berdasarkan basis kongkret yang sesuai dengan konteks sosial-historis. Hal yang dapat diubah ialah mengubah sudut pandang HAM dengan memperbaharui makna dari Kemanusiaan itu sendiri.
Kemanusiaan dan HAM merupakan dua hal yang berbeda namun wilayah kerjanya saja yang tumpang-tindih. Kemanusiaan bergerak pada ranah sosio-kultural kehidupan manusia sementara HAM—sebagai produk kemanusiaan—bergerak pada ranah formal hukum. Bagi kemanusiaan, manusia harus menarik pengalaman dalam diri mereka, tidak hanya makna kehidupannya sendiri, tetapi juga makna seluruh jagat raya. Pada titik ini penting untuk memperbarui makna kemanusiaan itu sendiri. Sebab prasyarat kemanusiaan jika pada dirinya melampaui sekat partikularitas etnis, golongan atau agama. Jika masih sebatas pada kelompok, komunitas atau golongan tertentu maka tak bisa disebuat sebagai wujud kemanusiaan. Dengan ini, dimensi universal kemanusiaan merupakan prasyarat mutlaknya. Dengan demikian, tanpa mampu membuktikan klaim universalitas kemanusiaan yang digaungkannya, baik dalam tataran teoritis maupun praksisnya, seruan HAM tak lebih dari sekedar lelucon yang bisa dengan mudah dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu yang makin jauh dari tujuan luhur kemanusiaan itu sendiri.
Bias krisis filsafat politik liberal, yang memandang kemunculan fanatisme sebagai kegagalan menyediakan sistem politik yang dibangun di atas diskursus rasional atau deliberatif.
Di dalam Islam pun persoalan habluminannas (hubungan antar manusia) juga sukar untuk diselesaikan. Sebab, apapun yang berkaitan dengan habluminannas ternyata perlu juga dijembatani dengan habluminallah (hubungan manusia dengan Tuhan). Hal ini menurut Gus Dur disebabkan karena adanya tegangan antara dua komponen sistem keyakinan Islam; Rukun Iman dan Rukun Islam.[16] Pada dimensi individu ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang dengan Allah sendiri (habluminallah). Sedang pada dimensi sosialnya syahadat yang tampak bersifat sangat pribadi itu ternyata berwawasan sosial, sebab arena pengucapannya harus dilakukan di muka orang banyak, seperti dalam persaksian perkawinan. Apalagi tentang Rukun Islam yang lain. Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti berorientasi menjaga ketertiban masyarakat. Sementara zakat telah jelas sebagai ibadah sosial, puasa adalah keprihatinan sosial dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang pangkat dan kedudukan.
Dari sini kita bisa memandang secara luas bahwasanya kemanusiaan itu berada satu tingkat di atas nasionalisme, budaya, dan agama, Kemanusiaan dengan demikian harus punya watak yang inheren dengan kehidupan sosial yang inklusif. Kemanusiaan haruslah menjembatani perbedaan status sosial, kebudayaan lintas agama, bahkan kesenjangan ekonomi. Nilai-nilai moral ini juga harus bisa diperluas seiring dengan kemajuan sains dan teknologi. Seperti yang sudah jamak pada umumnya bahwa kehidupan manusia itu dinamis, jadi pemaknaan atas kemanusiaan sebagai produk final adalah salah kaprah. Kemanusiaan adalah suatu proses yang ikut menyejarah bersama manusia. Tentu hal ini akan membawa implikasi pada jatuh bangunnya kemanusiaan itu sendiri bersama dengan proses perkembangan kehidupan manusia. Ketika kita sudah memahami kemanusiaan sebagai proses, otomatis pandangan kita melihat HAM sebagai produk dari kemanusiaan akan ikut berubah seiring berjalannya waktu. Perangkat penunjang ditegakkannya HAM dengan demikian ikut diperbarui pula.
Pada akhirnya ketika kita memaknai kemanusiaan sebagai proses, nilai-nilai kemanusiaan dapat dipeluas lingkupnya kepada hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Peluasan moral ini tidaklah menjadi domain keagamaan semata, seluruh komponen masyarakat punya ruang untuk ikut memaknai kemanusiaan ini. Tepat di sinilah saya berusaha untuk memantik perdebatan bagaimana cara agar HAM dapat menjembatani yang individu dengan yang kelompok. Terlepas dari banyaknya kesulitan dalam merumuskan hal tersebut, paradigma kemanusiaan sebagai proses yang dinamis dapat diusahakan dan diperjuangkan. Walhasil surga di akhirat bisa kita turunkan ke bumi, dan manusia tak perlu lagi berkorban nyawa atas nama agama, nasionalisme, atau chauvinisme budaya!
Catatan Akhir:
[1] Lih., Ridha Aida, “Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas”, DEMOKRASI Vol. IV No. 2, 2005, hal. 98-99.
[2] Lih., Otto Gusti Madung, “Relevansi Perdebatan Liberalisme Versus Komunitarianisme Untuk Konteks Indonesia”, Millah, Vol. XI, No. 2, Februari 2012, hal. 635-636.
[3] Op,Cit., Ridha Aida, hal. 99.
[4] Lih., Amo Anzenbacher, Christliche Sozialethik, Einfuhrung und Prinzipien, Paderbom Munchen. Wien. Zurich: Ferdinand Schoningh, 1997, hal. 117.
[5] Lih., Charles Taylor, Quellen des Selbst. Die Entstehung der neuzeitlichen Identitat, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1994.
[6] Op,Cit., Otto Gusti Madung, hal. 636.
[7] Ibid., Otto Gusti Madung, hal. 638.
[8] Lih., Franz Magnis Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 348.
[9] Lih., Rocky Gerung, “Pasca-1998: Surplus Fanatisme, Defisit Akal”, diakses via https://tirto.id/pasca-1998-surplus-fanatisme-defisit-akal-cKRo pada 23 Mei 2018.
[10] Lih., Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hal. 122.
[11] Baik kaum fanatisme agama maupun fanatisme nasional sama-sama menggunakan populisme sebagai strategi menjatuhkan lawan politiknya. Untuk uraian lebih lanjut, lih., Melfin Zaenuri, “Populisme dan Ideologi Bukan Ini Bukan Itu”, diakses via http://lsfcogito.org/populisme-dan-ideologi-bukan-ini-bukan-itu/ pada 23 Mei 2018.
[12] Lih., Franz Magnis-Suseno, “Ledakan Bom di Bali: Etika Hidup Bersama Masyarakat Plural”, dalam Thomas Hidya Tjaya & J. Sudarminta (ed.), Menggagas Manusia sebagai Penafsir, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 95-96.
[13] Lih., Muhammad Al-Fayyadl, “Struktur Fanatisme Beragama dan Pelampauannya: Tinjauan Sosio-Filosofis” diakses via https://indoprogress.com/2018/05/struktur-fanatisme-beragama-dan-pelampauannya-tinjauan-sosio-filosofis/#_ftn3 pada 20 Mei 2018.
[14] Ibid., Muhammad al-Fayyadl.
[15] Lih., “Human Rights”, diakses via https://plato.stanford.edu/entries/rights-human/ pada 20 Mei 2018.
[16] Lih., KH Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, diakses via http://www.nu.or.id/post/read/60985/pribumisasi-islam pada 23 Mei 2018.