spot_img
More

    Siapakah Kita di antara Pengungsi Rohingnya?

    Featured in:
    Sumber: www.npr.org
    Sumber: www.npr.org

    Kita dan Kemungkinan Solidaritas untuk Krisis Rohingnya

    Semoga saya tidak amat lancang menggunakan kata “kita”. Seolah saya dan anda berada dalam satu garis pikir dan rasa. Tapi biarlah, jika akhirnya saya memang teramat lancang menyatukan subjek diri saya dengan anda lewat kata “kita”. Sejak awal, saya memang hendak mengajak anda dan tentu diri saya sendiri memahami posisi “kita” sebagai kesatuan dari berbagai ke-aku-an di antara krisis kemanusiaan pengungsi Rohingnya di Aceh. Lewat “kita” saya andaikan sebuah afirmasi dari apa yang sebelumnya dibahas (M. Fayyadl dan Rizky Alvian di www.islambergerak.com) tentang solidaritas antar-manusia lewat pemahaman kosmopolitan.

    Melalui gagasan Kant, Fayyadl dan Alvian menguraikan perspektif tentang keharusan “jamuan baik” –keramahan- bagi tiap-tiap pengungsi Rohingnya yang terdampar di Aceh. Keramahan akhirnya menjadi jalan bagi suatu solidaritas kemanusiaan yang lahir dari intuisi purba dalam batin manusia –merunut Kant: sebuah hukum moral. Sebuah sikap deontologis yang menuntun setiap perbuatan baik –mengkasihi pengungsi Rohingnya- sebagai keharusan an sich. Kant mengandaikan laku manusia selalu dibimbing oleh intuisi purba tersebut, sebuah cara pandang terhadap manusia yang amat santun.

     Intuisi moral berada dalam satu garis lurus dengan akal budi, keduanya adalah  konstruksi idealis yang dijamin Kant sebagai penuntun kehidupan manusia. Asumsi metafisik tersebut kemudian diafirmasi dalam setiap gagasan Kant, termasuk tentang hak kosmopolitan atas keramahan. Kosmoplitanisme yang diusung Kant –seperti yang telah dijelaskan Alvian- menuntut adanya suatu federasi global, yang bergerak untuk memastikan bahwa setiap manusia yang berkunjung ataupun mengungsi ke negara lain haruslah dijamu penuh keramahan. Akan tetapi, Kant melalui akal budi dan hukum moral juga mengandaikan sikap mandiri pada manusia, sikap bebas dari segala kungkungan struktur maupun orang lain. Manusia diharapkan mampu memutuskan dan membangun sebuah pemahaman yang otonom.

    Berikut Kant menegaskan semangat pencerahan dalam risalah pendeknya What Is Enlightenment? : Pencerahan adalah usaha manusia untuk mengatasi segala keterbatasan yang melekat pada dirinya, keluar dari segala ketundukan kanak-kanak. Sebuah ketundukan yang menandai ketidakmampuan (diri) untuk menggunakan pemahaman sendiri, dan melepas ketergantungan pada yang lain. Ketundukan (kanak-kanak) terjadi bukan hanya karena kurangnya pemahaman, tetapi juga tidak adanya keberanian untuk menetapkan suatu resolusi perubahan, tanpa bergantung diri pada bimbingan yang lain. Oleh karena itu maksim pencerahan adalah: Sapere aude! miliki keberanian(mu) untuk menggunakan pemahaman sendiri![1]

    Lantas bagaimana hak kosmopolitan atas keramahan yang mengandaikan federasi global dapat terwujud? Bukankah federasi global menandakan struktur kuasa yang mampu menundukkan setiap yang berada di bawahnya. Mungkinkah, asumsi metafisis dan epistemologis idealis diwujudkan dalam sebuah struktur federasi struktural yang nyata materialis? Sementara dalam keseharian, kita amat mafhum: tujuan baik jika telah diwujudkan dalam strukur kuasa apalagi yang sifatnya politis, alih-alih melindungi, malah sering selip menjadi struktur yang represif, tiran dan jauh dari keadilan.

    Mari lihat kenyataan empiris, antar pengungsi Rohingnya pun saling membunuh dalam kapal[2], padahal kita sama-sama tahu mereka semua berada dalam satu garis nasib kesulitan yang sama. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Siapa yang dapat menjamin argumen Kant tentang kebaikan moral deontologis yang niscaya ada dalam diri setiap manusia? Alvian mungkin menyadari kelemahan itu, menutup uraianya dengan keharusan memperjuangkan solidaritas antar-manusia dari level masyarakat dan bukan negara, kita mungkin bisa menciptakan dunia di mana setiap manusia—terlepas dari apapun kebangsaannya atau bahkan ketika mereka tak memiliki kebangsaan sekalipun—sungguh-sungguh bisa menjadi sahabat bagi yang lain.

    Saya tidak hendak mengatakan bahwa kita harus pesimis dengan gagasan kosmopolitanisme untuk memahami krisis Rohingnya. Saya malah amat percaya dengan apa yang disebut Alvian sebagai solidaritas antar-manusia pada level masyarakat, menjadi sahabat bagi yang lain. Sebuah solidaritas yang berarti rasa sepenanggungan tanpa sarat terhadap beban yang lain (the others).

    Kita merasakan bagaimana derita para pengungsi Rohingnya yang terkatung-katung di lautan tanpa kecukupan logistik. Kita berusaha masuk dalam kepenatan psikis para pengungsi yang telah bertahun-tahun mengalami diksriminasi di negaranya sendiri dan kini pun harus ditolak negara-negara tetangga. Sebelum itu semua, tentu kita harus mendapatkan pemahaman yang memadai tentang siapa sebenarnya kita di antara yang lain (the others) pengungsi Rohingnya. Dapatkah solidaritas antar-manusia terwujud tanpa sarat? Mungkinkah solidaritas tercapai antara kita (aku dan anda) yang hidup nyaman kecukupan, dengan yang lain (the others) yang hidup terlunta dengan beban penderitaan yang sulit dijelasan lewat kata-kata?

    Misalkan, kita adalah A yang hidup nyaman sebagai mayoritas, di sisi lain, ada B yang memiliki kondisi sama dengan kita. Antara A+B adalah sebuah solidaritas yang sangat mudah tercapai, sejak awal sebab kesamaan kondisi, entah menyangkut identifikasi diri (psikis) maupun kondisi luar diri yang nyaman, nyaris tanpa persoalan. Tapi, kehidupan amat sulit diciutkan pada hanya sesuatu yang mapan, normal, nyaman.

     Bagaimana jika A adalah minoritas, the others yang berkelainan, sementara B adalah mayoritas yang berada dalam kondisi normal, nyaman, dapatkah solidaritas terwujud dengan mudah? Semakin sulit jika ternyata keberlainan, abnormalitas B menggangu identifikasi diri dan mengurangi kenikmatan kita sebagai A yang normal, aman. Lalu, bagaimana solidaritas pada yang lain dapat tercapai? Penderitaan fisik maupun psikis pengungsi Rohingnya tidak kita rasakan secara langsung, dapatkah rasa sepenanggungan itu terafirmasi dalam solidaritas?

     Saya dengan tegas menjawab mungkin, jika dan hanya jika, kita mampu memahami ke-kita-an kita sebagai manusia di tengah penderitaan pengungsi Rohingnya yang juga sebagai manusia (subjek yang lain), the others yang aksidensinya berbeda, tetapi subtansinya sama dengan kita: manusia. Sambil terus mengikis segala sikap ke-aku-an yang anarkhis-antagonistik pada diri saya dan anda (kita). Berusaha masuk dalam sudut paling sepi dari inti kemanusiaan kita, dengan satu cara seolah aku melompat ke Aceh dan berada dalam satu ruang fisik yang penuh sesak dan ruang psikis yang kalut: menyatu dalam kita, aku dan yang lain –pengungsi Rohingnya. Sebuah pertemuan berdasar pada apa yang disebut Levinas sebagai tanggungjawab kemanusiaan kepada yang lain. Untuk kepentingan itu, mari kita simak bagaimana kemanusiaan adalah sebuah upaya dekonstruksi sekaligus konstruksi diri,[3]  siapa sebenarnya aku –kita sebagai yang sama–  di antara posisi yang lain?

    Siapa Kita, di antara Yang Lain?

    Solidaritas tanpa sarat, sebagai kunci memahami sekaligus juga signifikansi atas apa yang dalam Teologi Islam kita kenal sebagai misi rahmat bagi seluruh alam. Sebuah acuan laku yang mengandaikan aktivitas melindungi segala isi alam –termasuk manusia- yang penuh perbedaan. Perlindungan tanpa objektifikasi. Untuk itu kiranya perlu, mengarahkan perspektif pemahaman krisis Rohingnya dengan afirmasi pada apa yang disebut Emmanuel Levinas[4] sebagai pertemuan antara yang sama (the same) dan yang lain (the others).

    Yang sama adalah sebuah sifat diri (the Self), atau aku (the I) yang selalu berdasar pada identifikasi memusat, dan karena itu lekat dengan kecenderungan penguasaan dan inkorporasi pada setiap hal-ikhwal yang ada di luar dirinya (the others). Sedangkan istilah yang lain (the others) adalah segala yang berada di luar diri (meja, kursi, komputer, sepeda dan bahkan manusia). Akan tetapi, pada manusia pemahaman dasarnya berubah, sifat diri sebagai the same yang selalu menunjukkan kecenderungan penguasaan tidak dapat tersignifikansi. Yang lain –manusia- selalu menandakan keberlainan mutlak, karena itu sejak awal tidak dapat dikuasai maupun disatukan. [5]

    Ketika secara tiba-tiba muslim Rohingnya datang sebagai pengungsi akibat kejahatan kemanusiaan di negaranya, saat itulah ke-aku-an kita yang sejak awal nyaman tiba-tiba terusik. Yang lain datang menggugat setiap kenyamanan yang kita rasakan dalam keseharian. Saat itulah terjadi sebuah pertemuan etis antar-manusia yang sama (the same) dengan yang lain (the other). Keberadaan muslim Rohingnya sebagai yang lain menuntut sebuah sikap diri, tanggapan yang mau tidak mau membuat kita sebagai yang sama harus bergerak melampaui kenikmatan dan kenyamanan dalam ke-kita-an kita sebelumnya.

    Pertemuan the same dengan the other adalah sebuah kesalingan (engaged) yang tak terpisahkan. Yang lain sebagai l’ autrui, manusia, dalam pertemuanya dengan yang sama menggunakan ekspresi “wajah” (le visage) atau “the speech” (la parole,). Tatapan dan ujaran dalam pertemuan itu adalah sebuah hentakan yang mengusik ketenangan psikis yang sama (the same). Sebuah pertemuan tak terhingga dalam artian gejolak yang dirasakan yang sama akibat pertemuan wajah dan ujaran yang mengisatkan penderitaan yang dalam, pada diri yang lain. Ketakberhinggan menandai sebuah transendensi, juga sekaligus gerak pembalikan pada yang imanen –manusia: yang sama dan yang lain[6].

    Ketakberhingaan yang muncul akibat pertemuan antar-manusia, sebuah tarik ulur ego, antara keharusan konstruksi diri sebagai yang sama dengan keharusan dekonstruksi diri akibat merasakan keberadaan yang tak berhingga dari yang lain. Karakteristik hubungan kesalingan antara yang sama dengan yang lain, mewujud dalam signifikansi asimetris. Yang lain muncul terutama tidak sama dengan saya, tetapi lebih sebagai “lebih tinggi” dan seolah memerintahkan saya. Saya bertanggung jawab untuk kehidupan lain, tanggung jawab yang menempatkan tuntutan yang tak terbatas pada saya, alih-alih saya harus meminta kehidupan nyaman pada yang lain, malah saya harus menyerahkan -melalui sebuah rasa tanggungjawab- kenyamanan hidup saya untuk yang lain, inilah sebuah prinsip humanisme yang amat dasar, sehingga karakteristiknya selalu sebuah penghargaan terhadap setiap manusia the other yang lain dan kehidupanya.

    Pertemuan kita secara tiba-tiba dengan muslim Rohingnya, mengharuskan sensibilitas yang melampaui segala pembelahan rasional yang amat antagonistik: normal-abnormal, muslim-nonmuslim, WNI-Asing, Kaya-Miskin. Sensibilitas mengarahkan pada rasa sepenangungan yang tanpa sarat, sebuah solidaritas agonistik-transenden, karena melampaui segala karakter politis laku manusia yang selalu berdasar pada nalar moral antagonis[7]. Solidaritas yang kita harapkan tanpa menunggu suatu sabda struktural. Solidaritas taraf akar-rumput, untuk muslim Rohingnya yang berada di depan kita, dengan segela penderitaan akibat keangkuhan manusia meyakini kebenaran sebagai finalitas, sekaligus juga totalitas tanpa kompromi yang abai terhadap setiap mereka yang berbeda.

    Tugas Kita

    Tiap-tiap kuasa adalah simbol kekuatan, penundukan, kuasa bisa melampaui apa saja demi laku penundukan, karena itu kuasa juga simbol kerapuhan nilai-nilai kemanusiaan. Kuasa yang dirajut dengan nalar moral antagonis, campur-baur dengan hasrat pada kebenaran sehingga abai terhadap tiap-tiap penderitaan mereka subjek yang tersisihkan. Kuasa yang mendaulat nalar rasional membelah kehidupan menjadi dua kutub jernih hitam-putih, laku manusia pun adalah objektivikasi sekaligus penaklukan terhadap setiap yang diluar definisi mayoritas. Ketika itulah dialektika dalam pengertian radikal digagalkan sepihak, sensibilitas dibunuh diam-diam oleh totalitas ke-aku-an.

     Pertemuan antar-manusia bukan untuk bersatu dalam solidaritas tetapi pertemuan dengan membawa senapan: “kau salah, bertobatlah, aku jijik dengan kau”. Kerumitan kehidupan dan kemanusiaan diringkus-paksa. Dengan satu cara kita berkata “bahagia itu sederhana” kesederhanaan mengandaikan kemudahan.  Melupakan setiap derita orang-orang di depan kita, membiarkan mereka menanggungnya sendiri, dan aku lari dari kenyataan itu untuk melindungi kenayaman ke-aku-an ku yang harus tertutup dari gangguan yang lain.

    Solidaritas menjadi mungkin ketika sensibilitas pada yang lain, benar-benar menjadi panduan laku kehidupan. Dan hal itu telah dilakukan oleh para nelayan Aceh dengan baik, tanpa komando struktural, mereka memberikan jamuan keramahan pada para pengungsi Rohingnya yang terkatung-katung berhari-hari di tengah lautan. Kemanusiaan kita menjadi amat terbuka bagi setiap yang lain, sebuah kesadaran akan nilai tertinggi: kebebasan dan kesetaraan umat manusia. Solidaritas menjadi wujud nyata modus kebersamaan kita dengan mereka yang menderita karena dilemahkan oleh kuasa tiran-totaliter.

    Pada taraf pemahaman individual dalam pertemuannya dengan yang lain dan tangungjawab pada yang lain, nyata  Solidaritas iman sejati –meminjam istilah Ali Engineer. Modus kebersamaan yang menghapus segala perbedaan tribalisme politis (agama, suku, ras, bangsa dll). Ke-aku-an yang dibangun lewat sensibilitas kita pada yang lain, dan karenanya amat terbuka. Baiklah saya, akan menutup uraian ini dengan kalimat liris yang dituliskan Karlina Supelli, sebuah seruan solidaritas yang melampaui segala modus ego yang keras kepala:

    Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita dapat saling bertutur sampai kami terengkuh ke dalam kisahmu, dan engkau kami peluk dalam lengan-lengan cakrawala kami yang membentang dalam keluasan kehidupan. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita berkisah sampai derita dan pedihmu, derita dan pedih kami, kesukacitaanmu dan kesukacitaan kami, menjadi kenangan kita untuk membangun sebuah dunia bersama. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita saling berkisah menanggalkan sumber utama kebencian. Yakni, percaya terlalu besar kepada ke-aku-anku, ke-engkau-anmu, ke-kami-an kami, ke-mereka-an mereka. Kita saling berkisah untuk menanggalkan penjara yang jerujinya membelenggu kita di dalam pensucian dan pemberhalaan suatu proses pencarian kesamaan; kesamaan yang telah membuat kita masing-masing memandang “ke-kita-an kita” masing-masing sebagai benda tiada bercacat[8].

    [Danang Tp., Pemimpin Litbang LSF Cogito, aktif menulis artikel diberbagai surat kabar.]

     

    Catatan Kaki:

    [1] Lih. Immanuel Kant, What Is Enlightenment? Trans. Mary C. Smith, diakses di http://www.columbia.edu/acis/ets/CCREAD/etscc/kant.html

    [2] Lih. Aqwan Hanifan, Dendam di Selat Malaka yang Dibawa ke Kuala Langsa, Feature di http://www.jawapos.com/baca/artikel/17773/Dendam-di-Selat-Malaka-yang-Dibawa-ke-Kuala-Langsa

    [3] Pemahaman yang niscaya terus berulang, dan karena itu mensaratkan penerimaan pada yang lain, lebih karena sadar ternyata posisi ke-aku-an tidaklah amat anarkhis dan menafikkan subjek lain dalam membentuk identifikasi diri.

    [4] Emanuel Levinas seorang Yahudi yang kemudian pemikirannya membawa warna baru dalam diskusi filsafat khususnya Etika. Hidupnya diwarnai oleh pengalaman penderitaan yang pahit. Dia menyaksikan kekejaman tentara Nazi dalam perang dunia II, melihat bagaimana satu persatu anggota keluarga besarnya Ayah dan ibunya dibunuh. Hanya dua orang anaknya dan dirinya yang berhasil lolos dari pembunuhan tentara Nazi. Lolos dari pembunuhan bukan berarti lolos dari segala macam penderitaan. Hidup kadang lebih berat karena jejak masa lalu (trace) akibat sesuatu yang mengerikan, karenanya lebih menghantui daripada kematian itu sendiri. Levinas memberikan sebuah perspektif baru bagi orientasi filsafat yang lebih konkret, terutama pada soal relasi antar manusia.

    [5] Lih, Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajag Orang Lain, Menggali Pemikiran E. Levinas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012, hlm. 49-50.

    [6] Donald M. Borchert, Editor in Chief,  Encyclopedia of Philosophy, Second Edition vol.5, Thomson Star Logo and Macmillan Reference, USA , 2006. hlm. 303-304.

    [7] Saya mendapatkan penjelasan yang gamblang tentang dasar kehidupan politis melalui pembedaan terlebih dahulu antara yang politis dan politik dari makalah diksusi yang di sampaikan oleh  Agus Wahyudi, Politik dalam Moral Register: Kritik Poststrukturalisme, di Fakultas Filsafat UGM 29/5/2015 tentang tesis Chantal Mouffe bahwa yang politis selalu berdasar pembelahan kehidupan lewat nalar moral antagonistik.

    [8] Lih, Karlina Supelli, Surat Kepada Anak-anak yang Memilih Untuk Diam dalam Kepatuhan, Jurnal Suara Ibu Peduli. Dapat diakses di http://goesprih.blogspot.com/2010/10/karlina-leksono-supelli-surat-kepada.html

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...