Bagaimana kita semestinya memahami kapitalisme abad ke-21 ini, meresponsnya, dan kemudian melampauinya? Berikut adalah hasil wawancara Anja Steinbauer dengan Slavoj Žižek yang—awalnya terbit dalam versi bahasa Inggris di majalah Philosophy Now edisi 122 bulan Oktober-November—saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atas izin dari pihak Philosophy Now. Dalam wawancara ini, Žižek memahami kapitalisme sebagai sebuah fenomena ontologis sehingga, karenanya, kita memerlukan upaya yang lebih radikal dari yang pernah dibayangkan Marx untuk melampaui kapitalisme. Pada titik itu, Žižek menyuarakan suatu pembalikan materialis dari Marx kembali ke Hegel. Selamat membaca!
Di sebuah Kafe di London, Anja Steinbauer bercakap-cakap dengan filsuf yang menemukan kata ‘idiosinkretik’.
Baik Profesor Žižek –
Jangan panggil saya profesor jika kamu gak ingin saya memarahimu. Saya merasa sangat gelisah ketika seseorang memanggil dengan sebutan profesor. Di mana sang profesor? Saya gak suka dengan aneka gelar resmi. Saya tidak bangga dengan gelar macam itu. Ketika seseorang memanggil saya profesor, saya langsung menganggapnya sebagai sebuah ironi.
Fakta paling jelas tentang Anda adalah bahwa Anda tidak hanya sekadar seorang filsuf, tetapi seorang filsuf yang terkenal. Itu satu hal yang langka. Apa arti menjadi terkenal bagi Anda? Apakah keterkenalan itu penting?
Pertama-tama, ketenaran itu sangat relatif. Seperti yang kamu tahu, saya sebenarnya punya banyak musuh: mulai dari orang yang menganggap saya hanya sebagai seorang pelawak hingga orang yang beranggapan bahwa di balik sifat saya yang menghibur terdapat dimensi-dimensi protofasis atau Stalinis yang jahat, dan seterusnya. Jadi saya pikir apa yang saya sebut ketenaran itu pada dasarnya hanyalah sebuah cara agar saya tetap bertahan dalam posisi berjarak dan tidak terlibat secara serius dengan apa yang sedang saya kerjakan. Apa yang sangat saya banggakan adalah, kamu tahu buku saya Less Than Nothing, buku yang tebalnya nyaris sama dengan Bibel. Buku itu laku keras. Itulah yang memberi saya harapan bahwa kita tidak semestinya meremehkan publik. Sebuah penerbit memaksa saya untuk menulis buku best seller tentang Donald Trump. Tapi mengapa saya harus melakukan itu? Sebagai pribadi Trump itu tidak menarik; ia adalah seorang idiot yang membosankan.
Tetapi apakah Anda khawatir buku Anda menjadi seperti buku di meja kopi—hanya dilihat tapi tidak dibaca? Anda tahu, mereka membelinya tapi tidak benar-benar membacanya?
Iya, saya khawatir. Tetapi tidak hanya buku di meja kopi saja yang tidak dibaca. Buku-buku klasik yang best-seller juga begitu; orang-orang membelinya, tetapi tak seorang pun yang benar-benar membacanya. Semisal, buku A Theory of Justice-nya John Rawls. Saya kenal orang-orang di New York yang telah menulis buku tentang Rawls dan mereka mengaku secara pribadi kepada saya mereka belum membacanya. Saya pikir mereka benar karena, sialnya, dengan cara Rawls menulis, A Theory of Justice itu dapat kamu singkat menjadi 50 halaman dan itu tidak membuatmu kehilangan terlalu banyak. Saya curiga bahwa pada satu titik Hegel juga begitu. Saya ragu bahwa orang-orang telah benar-benar membaca Logic-nya Hegel, tetapi bagi saya itu juga bukan suatu masalah. Apakah kamu sudah membaca buku bagus karya penulis Prancis Pierre Bayard yang berjudul How To Talk About Books You Haven’t Read? Dengan gaya penulisan Prancis yang terbaik, ia bukan hanya ironi. Bayard secara serius beranggapan bahwa buku-buku terbaik tentang penulis-penulis tertentu itu ditulis oleh orang-orang yang tidak membaca semua buku mereka. Ia mengatakan kamu semestinya fokus pada satu hal unik saja dan kemudian membiarkan hal tersebut mewarnai seluruh sudut pandangmu. Itulah cara untuk memproduksi sesuatu yang benar-benar baru. Itulah paradoks filsafat—kamu tidak harus membaca semuanya. Jika kamu tahu terlalu banyak, kamu hanya akan jadi bingung.
Jika orang-orang membeli buku-buku Anda dan tidak membacanya, apakah Anda akan menganggapnya sebagai sebuah tanda yang baik bahwa mereka tertarik dengan filsafat?
Iya. Harapan saya sebenarnya ada sekelompok orang tertentu yang tidak melulu mencari lelucon. Setelah buku-buku saya yang paling terakhir, yang lebih filosofis, terbit, seperti Absolute Recoil (yang jika kamu menanyai saya dengan todongan pistol, saya pikir itu adalah—maaf saya mengatakan ini—buku saya yang paling baik), saya mendapat pertanyaan yang menyebalkan, seperti “mana leloconnya?”. Beberapa orang menuduh saya bahwa di balik lelucon-lelucon saya yang vulgar, saya adalah seorang filsuf yang sangat tradisional. Dalam beberapa pengertian mereka benar. Alasan saya pernah menggunakan sudut pandang Lacanian adalah sebagai sebuah alat menafsir ulang Hegel. Hal besar dalam sejarah filsafat adalah peralihan dari Kant ke Hegel.
Menurut Anda apa yang bisa atau seharusnya filsafat lakukan saat ini, dan apakah Hegel penting dalam konteks itu?
Oh iya, benar. Mungkin sekarang bukan saatnya untuk mengubah dunia, tetapi sebaliknya, melangkah mundur, memikirkan dunia. Apa yang kita butuhkan saat ini adalah sebuah pembalikan materialis dari Marx kembali ke Hegel. Hegel, dengan cara yang subtil, sebenarnya jauh lebih materialis daripada Marx. Kamu tahu bagian mana dari Hegel yang saya suka? Saat ia dalam Philosophy of Right-nya berkata “burung hantu di Minerva hanya terbang di malam hari.” Ini kalimat sederhana yang menentang klaim umum bahwa Hegel adalah seorang filsuf konservatif yang Philosophy of Right-nya menganjurkan sebuah jenis masyarakat yang nyaris protofasis. Ketika Hegel mengatakan bahwa satu babakan sejarah tertentu hanya dapat dipahami ketika waktunya sudah hampir selesai, apakah kamu benar-benar berpikir bahwa ia adalah seorang idiot yang tidak tahu hal yang sama harus berpegangan pada Philosophy of Right-nya? Hegel tidak melukiskan sebuah sistem tentang bagaimana masyarakat seharusnya terlihat. Ia melukiskan sebuah situasi yang waktunya sudah lewat dan ia telah mengetahuinya. Situasi kita sekarang lebih banyak mirip seperti pandangan Hegel daripada Marx. Marx masih memercayai beberapa jenis teleologi minimal, bahwa kita berada pada titik genting di mana ada sebuah peluang, jika bukan keniscayaan, bagi revolusi proletar atau penyelamatan universal; sedangkan Hegel merasa situasinya sebagai situasi pascarevolusioner. Ambil contoh Revolusi Prancis. Dalam beberapa pengertian, revolusi tersebut berjalan tidak sesuai harapan, tetapi Hegel di sini berusaha menggapainya kembali. Keseluruhan pemikiran Hegel bukan untuk menyatakan bahwa Revolusi Prancis hanyalah omong kosong, tetapi—terlepas dari efek katastrofiknya—bagaimana mempertahankan warisan Revolusi Prancis itu tetap hidup. Dan saya pikir situasi sekarang sama; usaha abad ke-20 untuk melakukan emansipasi radikal telah gagal. Kita harus meninggalkan metafor Marxis bahwa bahwa kita sedang mengendarai kereta sejarah. Para Marxis suka ngomong bahwa bahkan di saat gelap kita bisa melihat cahaya di ujung terowongan. Dan secara ironis saya akan bilang “ya, kita memang bisa melihat cahaya, tetapi itu adalah cahaya yang berasal dari kereta lain.” Jadi itu adalah situasi kita dan Hegel mengetahuinya. Situasi itu terbuka; kita tidak dapat membuat rencana apa pun.
Tetapi cahaya dapat berupa apa pun—tidak harus dari kereta lain. Tidak dapatkah hal itu memang benar-benar cahaya di ujung terowongan?
Iya. Tetapi itulah mengapa hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenyahkan harapan-harapan palsu. Bahkan kelompok kiri hari ini, kebanyakan sayap kiri Fukuyamais, pada dasarnya berpikir bahwa demokrasi liberal dan beberapa jenis kapitalisme adalah pilihan satu-satunya, sehingga mereka mengatakan mari kita buat demokrasi liberal dan kapitalisme jadi lebih baik—(dengan) memperbanyak solidaritas, perawatan kesehatan, pernikahan gay, dsb. Respons saya terhadap Fukuyama: oke, anggap saja kamu benar, kapitalisme telah menang. Bukankah ironi saat ini adalah bahwa pimpinan kapitalisme global paling efektif adalah komunis yang masih berkuasa? Saya pikir kita pada akhirnya harus menerima bahwa cara kita melakukan segala sesuatu di abad ke-20 ini sudah kelewatan.
Apakah penggunaan label-label itu akan jadi satu masalah? Ketika Anda mengatakan, misalnya, “kapitalisme dikendalikan oleh komunis yang masih berkuasa,” kapitalisme macam apa yang sebenarnya Anda maksudkan? Kapitalisme punya banyak bentuk. Dan komunis yang mengendalikan kapitalisme, tentu bukan komunis yang sebenarnya, meskipun mereka menyebut diri mereka komunis.
Baik. Tapi dalam pengertian apa saya masih seorang komunis? Dalam pengertian yang sangat terbatas. Bukankan saat ini kita sedang menyaksikan sebuah ironi besar? Apa pun yang masih tersisa dari kelompok kiri tidak mampu menawarkan alternatif global yang mungkin secara aktual. Saya ingat ketika ada Occupy Wall Street[1], saya ikut bersama mereka dan iseng-iseng menanyai mereka dengan sebuah pertanyaan tolol: “Apa yang kamu inginkan?” Tak ada seorang pun yang memberi saya sebuah jawaban. Saya pikir itu karena mereka memang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Kelompok kiri banyak terjatuh ke dalam moralisme, ekses dari sopan santun politis (political correctness) dan sebagainya. Inilah pokok soalnya: di satu sisi kita memprotes tanpa tujuan yang jelas dan di sisi lain bukankah kita juga menemukan tanda-tanda di sekitar kita bahwa kapitalisme, setidaknya kapitalisme yang kita tahu, sedang menuju titik kebangkrutannya? Lihatlah masalah ekologi; sudah jelas bahwa meskipun kapitalisme dapat melakukan segalanya melalui pajak dan regulasi, tetapi itu tidak cukup. Lihat juga, misalnya, modal fiksional dan orang-orang yang berdagang modal fiksional. Kemudian juga ada masalah para pencari suaka. Kalau kamu bertanya hal itu pada saya, jawabnya tak lain kapitalisme sedang mendekati keruntuhannya. Ketika ada sebuah bencana besar, kamu juga perlu tindakan yang lebih besar. Lihatlah biogenetika; otak kita dapat secara langsung dihubungkan pada komputer. Ini akan mengubah definisi tentang apa itu manusia.
Di sini kita menghadapi konsekuensi pertama yang sangat menyedihkan, sebagaimana yang selalu saya ingatkan; negara ideal saat ini adalah sebuah negara yang sepenuhnya tergabung dalam pasar global, tetapi pada saat yang sama secara ideologis bersifat etnosentris, yaitu fokus pada budaya-budayanya sendiri. Bahkan Trump sedang melakukan hal ini. Itulah sebabnya Trump cocok dengan para diktator. China, India, dan Putin juga sedang memainkan strategi ini. Kita sedang menghadapi dunia baru di mana pasar global akan eksis bersama dengan tiadanya aturan-aturan emansipatoris yang diterima secara universal. Ini sangat menyedihkan, tetapi kembali ke pertanyaanmu: mengapa komunisme? Karena saya pikir semua masalah yang telah saya sebutkan tadi pada dasarnya adalah masalah apa yang disebut Marx “ruang bersama” (commons). Ini berarti substansi bersama, yang semestinya tidak diprivatisasi dan diserahkan kepada pasar. Ekologi adalah masalah substansi alamiah kita, sampai pada batas kita dapat memanipulasinya. Hak intelektual juga merupakan masalah ruang bersama, demikian juga biogenetika.
Dalam pengertian ini, seperti yang pernah saya katakan secara ironis, komunisme bukanlah solusi, tetapi masalah yang sedang kita hadapi saat ini. Kita harus menemukan solusi pada level “ruang bersama” tersebut, yaitu: bagaimana berurusan dengan ruang bersama di luar relasi pasar. Teman saya Peter Sloterdijk—di dalam bukunya What Happened in the Twentieth Century?—juga memunyai kesimpulan yang sama: era negara bangsa, di mana nilai etis tertinggi berupa ‘apa yang telah kamu korbankan untuk negaramu?’, telah usai. Kita membutuhkan bentuk koordinasi transnasional yang lebih besar; misalnya cara untuk menyelesaikan masalah biogenetika. Meskipun sebagai seorang Marxis yang baik, saya tidak menentang kapitalisme sepenuhnya, karena kapitalisme merupakan sistem yang paling dinamis dalam sejarah manusia. Tetapi saya sepenuhnya menentang penyandaran diri pada tradisi-tradisi lokal dalam melawan kapitalisme global. Tidak! Kita harus melawan kapitalisme global dengan visi global baru yang universal.
Poin saya adalah bahwa kita harus melewati kapitalisme, tetapi pada saat yang sama kita juga harus melampauinya, bukan karena saya adalah seorang utopis dan menginginkan hal yang lebih, tetapi jelas bahwa kapitalisme sedang mendekati titik krisis—dalam arti: masalah-masalah yang ia hadapi saat ini mulai dari masalah ekologi dan lain-lainnya. Pada soal ini saya adalah seorang pesimis dalam arti bahwa kapitalisme tidak akan mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan caranya sendiri. Bagi saya tidak rasional orang-orang yang takut pada globalisasi karena akan menyebabkan pengangguran. Saya katakan tidak, ini adalah kesempatan terbaik yang akan pernah kita miliki! Tidak ada orang yang mengatakan: “Bagus! Kita dapat bekerja lebih sedikit!” Tidak ada, asumsi umum adalah bahwa globalisasi merupakan sebuah bencana.
Jadi apa yang harus dilakukan seorang filsuf? Apakah Anda menganggap diri Anda lebih sebagai seorang teoritikus? Anda juga pernah menyinggung tentang aktivisme Anda; adakah hubungan antara teori dan praktik?
Kamu perlu teori untuk melihat pada titik mana sebuah aktivisme itu gagal. Khususnya teori politik sayap kiri. Bukankah keseluruhan cerita tentang gerakan kiri di akhir abad ini adalah sejarah besar kegagalan yang mengerikan? Itulah mengapa saya mengatakan bahwa buku-buku Marxis yang terbaik biasanya merupakan hasil analisis terhadap soal mengapa revolusi gagal. Bukankah itu menyedihkan bahwa kita hebat dalam menganalisis kekalahan kita? Lalu mengapa filsafat? Pertama-tama karena saya tidak percaya praktik. Praktik tanpa teori itu buta. Kita sekarang memerlukan lebih banyak lagi teori dan dengan teori itu saya tidak memaksudkan teori aktifis langsung.
Apakah Anda berpikir praktik itu benar-benar mengikuti teori?
Dalam konteks ini saya akan jadi orang yang tahu diri: tidak meyakinkan jika filsuf akan memberikan sebuah program politik yang baru. Tapi saya mengamini omongan Delueze bahwa yang lebih penting dari memberikan jawaban yang benar adalah memberikan pertanyaan yang benar. Pada titik itu filsafat dapat menjadi hal yang berguna. Kita menghadapi masalah serius saat ini. Dan bagaimana jika kita menganalisis sejauh mana kita memformulasikan masalah-masalah tersebut yang, alih-alih menyelesaikan masalah, justru mereproduksi masalah.
Anda menyebut sopan santun politis (political correctness). Apakah Anda menganggap itu masalah?
Saya meragukan sopan santun politis (political correctness). Tentu saya sepakat dengan tujuan-tujuannya—menentang penghinaan, melawan relasi kuasa—tetapi bayangkan sosok ‘manusia’ yang diandaikan diam oleh sopan santun politis (political correctness): obsesinya pada godaan dan viktimisasi, membuat kita selalu terancam. Saat saya menatap matamu dua detik lebih lama itu sudah termasuk penghinaan visual. Visi yang ada di balik sopan santun politis (political correctness) itu sangat menyedihkan, sebuah visi bahwa ‘kita semua potensial menjadi korban’.
Tidakkah sopan santun politis (political correctness) dalam keseluruhannya hanya mengajarakan kita untuk sebaiknya menyesuaikan bahasa kita dengan realitas dunia daripada dengan prasangka yang kita punya?
[Iya]. Tetapi cara yang ia lakukan itu salah arah. Bagi saya, langkah yang benar untuk melampaui rasisme itu bukan dengan mengubah bahasa, melainkan dengan menggunakan bahasa yang sama tetapi melalui cara yang berbeda, yang ironik dan tidak rasis. Saya ragu kamu dapat memiliki hubungan baik dengan orang lain tanpa sedikit saling caci-maki.
Saya penasaran apakah Anda berpikir ada satu pertanyaan filosofis tunggal yang Anda anggap sebagai pertanyaan penting saat ini?
Barangkali (pertanyaan tentang) status penampakan. Problem umum, bahkan bagi Kant, adalah selalu: “Apakah (pengetahuan) kita hanya terbatas pada dunia penampakan? Dapatkah kita melampaui dunia penampakan itu, dan menggapai realitas yang sebenarnya?” Kejayaan Hegel disebabkan oleh karena problem yang digelutinya membalik problem penampakan tersebut: Bagaimana realitas dapat menampakkan dirinya? Karena penampakan berarti sebuah jurang yang mengerikan. Benda-benda itu bukan merupakan sesuatu yang sebenarnya, (tetapi) mereka menampakkan diri pada diri mereka sendiri. Pada titik ini saya adalah seorang Hegelian sejati. Hal paling minim dari refleksivitas—yaitu penampakan—itu secara absolut bersifat universal. Bagi saya, pelajaran dari fisika kuantum adalah bahwa penampakan materi—bagaimana Anda menghitungnya, bagaimana ia menampakkan dirinya—menentukan bagaimana materi itu ada.
Apakah di sini ada masalah penerjemahan? Ketika seseorang berbicara tentang level kuantum, seringkali ada celah dalam pemahaman…
Saya sepenuhnya melawan orang-orang simplistis yang entah bagaimana ingin mendasarkan kemungkinan kebebasan manusia secara langsung kepada soal ketidakpastian atau ketidakmenentuan realitas. Apa yang menarik bagi saya adalah sebuah ide abstrak, ide ketidaklengkapan ontologis dari realitas. Bagaimana jika realitas dalam dirinya itu tidak sepenuhnya riil? Saya punya sebuah cerita favorit, yang saya temukan dalam sebuah pengantar filsafat populer. Penulisnya mencoba untuk membaca fisika kuantum dengan pengandaian video games. Ketika kamu hanyut dalam sebuah permainan, realitas yang ada dalam permainan itu tidak dibuat lengkap. Misalnya, ada sebuah hutan di latar belakang. Jika tidak ada cerita untuk masuk ke hutan, maka pohon-pohonnya tidak diprogram secara detail; kamu hanya bisa melihat bagian luarnya saja. Mengapa pembuat program video games itu tidak membentuk realitas secara lengkap? Karena dia akan kehilangan banyak waktu untuk sesuatu yang tidak penting. Mengapa memprogram sesuatu yang di luar rumah jika bukan bagian dari permainan? Alasannya—bukankah ini adalah sesuatu yang sangat sederhana?—adalah bahwa Tuhan juga melakukan hal yang sama ketika menciptakan alam semesta. Dia berhenti pada level sub-atomik karena Dia berpikir (pikiran) manusia terlalu bego untuk bisa maju sejauh itu. Lalu mengapa mesti bersusah-payah menciptakan kecepatan dan sebagainya? Alasannya baik tetapi sekaligus sinis. Tuhan meremehkan kita—dengan fisika kuantum yang sudah ada, kita memahami Tuhan secara telanjang. Tetapi sekarang, bagi saya, kita menemukan pengertian materialisme yang sebenarnya. Kita dapat masuk ke dalam ketidaklengkapan yang tanpa Tuhan, kita tidak membutuhkan pencipta. Realitas itu tidak lengkap. Ia adalah sebuah hasil yang besar, tetapi masih ada banyak yang lain.
Mari menyinggung sedikit tentang buku Anda yang berjudul Incontinence of the Void: Economico-Philosophical Spandrels. Saya baca Anda mengeksplor “ruang kosong antara filsafat, psikoanalisis, dam kritik ekonomi-politik.” Anda berbicara tentang ‘spandrel’[2], sebuah konsep yang berasal dari arsitektur tetapi digunakan dalam biologi evolusioner. Oleh karena itu, berbicara tentang spandrel berarti mengasumsikan kesatuan dua disiplin tersebut…
Di sini saya akan meragukannya. Mengapa? Solusi saya dapat menjadi pertanyaan: bagaimana jika segala sesuatu, untuk bisa ada, memerlukan sebuah spandrel, memerlukan sebuah tempat kosong yang dapat ditransformasikan? Ini adalah tesis Stephen Jay Gould. Keseluruhan evolusi, menurut Gould, didasarkan pada spandrel. Kamu punya ruang kosong, kamu juga punya organ tubuh yang tidak berguna, seperti usus buntu. Kejeniusan ide Gould adalah bahwa ia menafsirkan bahasa manusia dalam cara ini—bahwa bahasa adalah produk sekunder (by-product).
Tetapi spandrel adalah produk sekunder dari sesuatu yang sebenarnya didorong oleh nilai yang adaptif [yaitu terbentuk karena ia memiliki nilai survival yang evolusioner].
Iya, tetapi bagi Gould adaptasi itu bekerja melalui spandrel. Itu juga menjadi pandangan saya. Paradoksnya adalah bahwa sesuatu dalam dirinya tidak pernah dapat berfungsi sepenuhnya secara konseptual. Kamu memerlukan produk sekunder. Seluruh perkembangan manusia, dan bahkan juga perkembangan semua jenis hewan, didasarkan pada produk sekunder. Semisal, sesuatu terjadi terkait dengan filsafat modern (dan dengan filsafat modern saya adalah model kuno di sini; saya memaksudkan pemikiran pasca-Kantian) yang membuat jalinan istimewa dengan bidang-bidang lain. Misalnya, dengan psikoanalisis. Saya mengklaim bahwa Freud secara sederhana bukanlah seorang ilmuwan positivis. Ini barangkali tesis mendasar dari karya saya. Filsafat, atau pendirian filosofis, yang diimplikasikan oleh Freud bukanlah naturalisme dalam pengertian yang menyatakan seksualitas itu penting. Apa yang Freud ajukan adalah keseluruhan visi kemanusiaan yang sesuai dengan filsafat Kantian atau idealisme Jerman. Tugas pokok saya adalah membaca kembali idealisme Jerman, yang berlawanan dengan apa yang dibawa psikonalisis kepada kita. Oleh karena psikoanalisis merupakan sesuatu yang jauh lebih halus, maka ia bukanlah substansialisme tentang alam bawah sadar, atau semua metafor-metafor tolol seperti “ego sadar kita hanya seperti puncak gunung es.” Tidak, alam bawah sadar bagi Freud murni bersifat fenomenal. Program saya adalah: hanya dengan membaca psikoanalisis melalui idealisme Jerman, kita dapat melihat seberapa besar revolusi psikoanalisis; dan demikian juga sebaliknya. Hanya dengan membaca kembali idealisme Jerman melalui Freud, kita dapat membuat tradisi filsafat idealis Jerman tetap hidup. Di sana kita menemukan keterkaitan antara Freud, seksualitas, perbedaan seksual dan ontologi.
Langkah saya berikutnya melibatkan gagasan Marxis kuno: logika ‘nilai lebih’ yang kita temukan di dalam kapitalisme, di mana sebuah benda—sebuah komoditas—tidak dapat eksis tanpa nilai lebihnya, dan apa yang tampak sebagai sebuah nilai lebih sekunder adalah motif yang mendorong penciptaannya. Di bagian kedua buku itu saya menjelaskan secara detail tentang kesejajaran antara gagasan nilai lebih dengan apa yang oleh Lacan disebut ‘kenikmatan berlebih’ (surplus enjoyment): pelintiran tambahan yang mengubah kesenangan sederhana menjadi apa yang biasanya disebut dengan istilah yang lebih tegas: ‘kenikmatan’. Apa yang membuat saya kagum adalah contoh politik yang mengerikan dari kenikmatan rasa sakit, yaitu: pidato Goebbels yang berjudul Totaler Krieg di awal tahun 1943. Goebbels melakukan sesuatu yang cerdik dengan cara yang mengerikan. Semua yang ia janjikan kepada rakyat Jerman adalah penderitaan yang lebih menyakitkan. Ia mengatakan: “Apakah Anda menginginkan sebuah perang total yang Anda bahkan tidak mampu untuk membayangkan akan seberapa menderita diri Anda?” Dan mereka semua kemudian bersorak. Ini adalah paradoks kenikmatan di dalam rasa sakit. (Sekarang saya melompat lagi) untuk jenis tertentu seksualitas, mungkin seksualitas Protestan, yang kalau kamu tidak merasakan rasa bersalah, kamu tidak benar-benar menikmatinya. Kamu harus menambahkan rasa bersalah pada kenikmatan untuk benar-benar bisa menikmatinya. Dan saya pikir semua pelintiran itu menunjukkan bagaimana sebuah halangan—dalam konteks ini, rasa bersalah atau rasa sakit—tidak menghalangi sesuatu, tetapi mengondisikannya dan membuatnya tetap bergerak. Ketidakseimbangan dasar ini, nilai lebih yang membatasi harmoni, adalah kondisi yang sangat retroaktif dari harmoni.
Marx telah mencarinya, tetapi ia tidak cukup radikal. Mimpi Marx tentang komunisme adalah bahwa kita dapat mengejar dinamika kapitalis tanpa rintangan, tanpa paradoks. Bagi saya, kapitalisme dalam pengertian ini adalah fenomena ontologis. Ia adalah tatanan sosial pertama, satu-satunya dalam sejarah kemanusiaan, di mana ketidakseimbangan bukan sebuah masalah tetapi solusi. Inilah mengapa Marxis punya problem terkait kapitalisme; mereka selalu mengandaikan krisis yang akan menjatuhkan kapitalisme, tetapi sebenarnya semakin banyak kapitalisme yang berada dalam krisis, semakin kuat ia untuk keluar dari krisis tersebut. Jadi saya bersinggungan dengan konsekuensi ontologis kapitalisme dan kemudian di akhir saya melakukan sesuatu yang sangat pesimistik. Saya mengklaim bahwa di dalam pandangan Marxis klasik, revolusi proletar tidak akan terjadi saat kaum borjuis mengalami titik buntu. Kamu menginginkan sesuatu seperti kebebasan dan hasilnya adalah bencana. Tidak, kita harus menerima bahwa semua revolusi, bahkan revolusi proletar, diupayakan dalam sebuah proses saat mereka tidak berkuasa.
Jadi tidak ada yang pernah mengontrol revolusi?
Iya, tidak ada revolusi yang terkontrol. Itu adalah pandangan Hegelian. Marx berpikir bahwa revolusi proletar akan menjadi sebuah tindakan yang jelas dengan sendirinya (self-transparent act), sebuah tindakan yang dengan jelas dipahami oleh orang-orang yang turut ambil bagian. Pada titik itu, di dalam sejarah, kelas pekerja atau subjek akan tahu apa yang sedang ia kerjakan. Tetapi tidak, ia tidak terkontrol atau jelas dengan sendirinya (self-transparent). Kita melihat dialektika sejarah yang sama seperti dalam sejarah sebelumnya. Di akhir buku itu saya mendekati pertanyaan tentang mortalitas dalam komunisme. Saya tidak hanya melawan transparansi revolusi, tetapi juga melawan pandangan bahwa kehidupan pribadi dalam komunisme akan selalu lebih baik. Saya tanya: siapa yang tahu? Bisa jadi kehidupan pribadi itu malah akan lebih buruk. Tanpa mengkhianati Marxisme, saya pikir, kita mesti memperkenalkan ‘kepadatan historis’ (historical density). Di dalam semua proses sosial yang tidak transparan, kita secara fundamental tidak pernah mengetahui apa yang sedang kita lakukan.
Sebelum wawancara ini berakhir, pembaca kita sekarang mungkin penasaran, dari semua buku yang pernah Anda tulis, yang mana yang mesti benar-benar mereka baca?
Menurut saya Event: Philosophy in Transit. Kalau kamu punya energi lebih, baca juga Absolute Recoil. Tentu saja, bagi saya, ada tiga filsuf paling besar, yaitu: Plato, Descartes, dan Hegel. Mengapa? Karena mereka masing-masing telah menentukan keseluruhan penerusnya. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh A.N. Whitehead: “Bukankah keseluruhan sejarah filsafat adalah sejarah kritik terhadap Plato?” Dan setelah Descartes, para filsuf semua ingin mengenyahkan Desacartes dan di abad ke-19 mereka ingin mengenyahkan Hegel. Jadi ketiganya adalah para filsuf tentang peristiwa.
[editor: Banin D. Sukmono]
[1] Occupy Wall Street adalah demonstrasi yang memprotes ketidakadilan sosial-politik di Zuccotti Park di Wall Street New York pada tanggal 17 September 2011.
[2] Istilah ‘spandrel’ berasal dari arsitektur: Jika Anda membangun sebuah barisan tiang yang menyangga atap dengan lengkungan-lengkungan, maka pasti ada sebuah celah berbentuk V di antara tiap lengkungan itu. Celah-celah itulah yang disebut ‘spandrel’. Arsitek tidak bermaksud membuat bentuk V dengan desain lengkungnya, tetapi bentuk V itu tak terhindarkan ketika sang arsitek hendak membuat desain lengkung. Karenanya, spandrel disebut sebagai produk sekunder (by-product).