Orang yang bijaksana adalah orang yang terbebas dari yang namanya gairah, dan memiliki semua pengetahuan yang berharga
Filsafat Stoa adalah nama sebuah aliran atau mahzab filsafat Yunani Kuno yang didirikan di kota Athena, oleh Zeno dari Citium. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dimana saat itu Zeno (yang dipengaruhi oleh Socrates) merupakan salah satu pengajar Mazhab Stoa. Kegiatan belajar yang dilakukan Kaum Stoa tidak hanya berlangsung di dalam kelas tetapi juga di luar kelas seperti beranda-beranda rumah. Karena itu, kemudian muncul istilah Stoa dan Stoik. Perlu diketahui, bahwa Stoa merupakan bahasa Yunani yang berarti beranda rumah, sedangkan Stoik merujuk pada orang-orang yang belajar di beranda-beranda rumah. Salah satu hal yang diajarkan oleh filsuf Stoa ialah mengenai bagaimana menghadapi emosi.
Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh emosi yaitu Teori Skema yang berpendapat bahwa orang dalam keadaan emosi tertentu akan mempunyai kerangka umum atau skema yang sesuai dengan emosi tersebut.
Dalam studi Psikologis, tokoh yang bernama Linschoten menjelaskan bahwa perasaan manusia menurut modalitasnya terbagi menjadi tiga yaitu suasana hati, perasaan itu sendiri, dan emosi (Sundari, 2005). Bagi penulis, emosi merupakan bagian dari perasaan dalam arti luas. Emosi timbul karena adanya gejolak berupa gelombang atau zat-zat kimia otak sehingga individu mengalami perubahan perasaan dalam menanggapi suatu situasi atau keadaan yang dialami. Dengan demikian, individu pasti menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan menentukan respon dalam menghadapi situasi, entah itu negatif atau positif. Emosi memang telah tertanam dalam otak dan ditimbulkan oleh adanya rangsangan. Pengalaman sehari-hari yang dialami individu dalam menghadapi suatu rangsang akan mempertajam kepekaan emosi serta ketepatan dalam mengekspresikan emosinya. Orang yang mempunyai banyak pengalaman positif tentu akan memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dengan orang yang sedikit mengalami pengalaman positif (Sundari, 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya perekaman kebiasaan atau putusan-putusan yang sering dilakukan oleh memori dalam otak.
Goleman menjelaskan bahwa pada prinsipnya emosi dasar manusia meliputi takut, marah, sedih, dan senang. Sutanto (2012) menambahkan malu, rasa bersalah, dan cemas sebagai emosi dasar manusia. Emosi-emosi tersebut berpengaruh tidak hanya pada perilaku saat ini namun juga perilaku yang akan terjadi di masa mendatang. Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh emosi yaitu Teori Skema yang dipelopori oleh Aaron T. Beck. Ia berpendapat bahwa orang dalam keadaan emosi tertentu akan mempunyai kerangka umum atau skema yang sesuai dengan emosi tersebut. Misalnya, seseorang yang sedih akan mempuyai skema sedih atau depresif untuk mengorganisir sebuah informasi. Orang tersebut akan mempersepsikan dan mengingat pengalaman negatifnya, serta cenderung menafsirkan dunia lingkungannya dari perspektif yang negatif. Teori lain yang menjelaskan pengaruh emosi yaitu Teori Neuropsikologis dari tokoh bernama Ashby, yang mengembangkan teori mengenai pengaruh emosi terhadap kemampuan kognitif. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan emosi yang netral memiliki dopamin yang cukup, peningkatan dopamin akan terjadi saat seseorang dalam keadaan emosi yang positif. Peningkatan dopamin ini akan mempengaruhi peningkatan kinerja berbagai tugas kognitif, termasuk memori. Oleh karena itu, individu harus mampu memahami dan mengendalikan emosi, tentunya ke arah yang positif. Karena bila tidak, emosi negatif akan menguasai pikiran yang dapat menghambat aktivitas serta menjauhkan individu dari pikiran, kegiatan positif, bahkan kebahagiaan.
Menurut Kaum Stoa, bukan suatu kejadian yang menyebabkan kita emosi, tetapi opini atau interpretasi kita terhadap suatu kejadian.
Dalam diskursus kebahagiaan, khususnya Stoisisme, kebahagiaan memiliki arti tersendiri. Menurut Kaum Stoa, kebahagiaan ialah saat tidak adanya atau tidak timbulnya emosi yang negatif atau dapat dibahasakan seperti “bahagia jika kita tidak merasa cemas, sedih, dan takut”. Seorang filsuf Stoa bernama Epictetus mengatakan “It is not things that disturb us, but our opinion of them”. Maksud perkataan Epictetus ialah sering kali perasaan takut, cemas, terganggu terhadap suatu hal itu timbul karena opini kita sendiri. Bagi kaum Stoa, emosi negatif itu timbul karena nalar yang sesat, bukan disebabkan oleh peristiwa eksternal. Marcus Aurelius seorang kaisar dan juga filsuf Stoa mengatakan “Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal, kesusahan itu datangnya bukanlah dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri mengenai hal itu. Dan kamu memiliki kemampuan mengubah opini tersebut kapan saja”. Hal-hal eksternal yang dimaksud adalah seperti kekayaan, reputasi, tahta, dan lain-lain. Menurut Kaum Stoa opini kita berada di dalam otak dan hanya kita sendiri yang dapat mengendalikannya.
Agar lebih jelas, penulis sedikit menggambarkan sebuah kejadian. Anggap saja, setiap hari kita sedang bersantai menaiki mobil untuk berangkat kerja, lalu dengan tiba-tiba kita mengalami suatu kejadian A, dan kejadian A inilah yang menyebabkan kita menjadi emosional. Menurut Kaum Stoa, tindakan emosional seperti itu merupakan hal yang keliru. Yang terjadi pada peristiwa itu ialah saat kita dihadapi oleh kejadian A, kita mulai menambahkan opini atau interpretasi terhadap kejadian A (yang sedang dialami) dan bila kita menghadirkan interpretasi yang negatif, maka hal tersebut akan menyebabkan timbulnya emosi negatif juga. Menurut Kaum Stoa, bukan suatu kejadian yang menyebabkan kita emosi, tetapi opini atau interpretasi kita terhadap suatu kejadian. Sebagai contoh, saat kita mengahadapi macet di jalan kita sering sekali merasa emosional bertensi tinggi karena macet membuang waktu kita, merasa menjadi kurang produktif, perasaan cemas akan terlambat, dan hal lainnya. Padahal kita tahu bahwa macet adalah jalanan yang sedang padat merayap dan jika kita memiliki interpretasi yang positif kita dapat memanfaatkan waktu macet tersebut untuk membaca buku atau bersantai sejenak meminum minuman dingin. Dengan demikian, dalam menghadapi bahkan menghindari emosi negatif, Kaum Stoa berpendapat bahwa perlunya melatih diri mengenali opini atau interpretasi diri kita terhadap hal yang irasional.
Dalam buku Filosofi Teras, ada pernyataan terkenal dari Epictetus, yakni:
“Ada hal-hal yang berada di bawah kendali tergantung pada kita, dan ada hal-hal yang tidak di bawah kendali atau tidak tergantung pada kita “.
Kaum Stoa pada dasarnya mengajarkan dikotomi kendali menjadi dua hal itu saja. Pertama, hal-hal yang bukan di bawah kendali kita, yakni tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kekayaan, kondisi tubuh, segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, yang kedua adalah hal-hal yang di bawah kendali kita yaitu pertimbangan, opini, persepsi, tujuan hidup, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita. Sehingga, individu diwajibkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal-hal di luar sana yang senantiasa siap membuat kita kecewa. Kaum Stoa mengajarkan untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan. Namun, bukan berarti harus menghindari hal-hal yang berada di luar kendali, justru sebaliknya, menghadapinya dengan menerapkan kebijakan. Filsafat Stoa mengenai kebahagiaan juga mengajarkan individu untuk memilih respon atau tindakan seperti apa yang sebaiknya diambil. Dengan catatan, respons tersebut adalah hasil penggunaan nalar yang sebaik-baiknya dengan prinsip bijak, adil, menahan diri, dan berani. Dengan begitu, kita diharapkan mampu menghilangkan emosi negatif melalui kendali pikiran kita sendiri.
Daftar Pustaka:
Henry, 2019. Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa kini. Filosofi Teras.
Safruddin, 2015. Universitas Gadjah Mada. https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/10574/7969