Dunia telah ekstrim berubah. Begitulah kira-kira Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, membandingkan dunia 10.000 tahun yang lalu dengan dunia yang sekarang ini kita alami. Ada begitu banyak, meminjam istilah Schwab, pergeseran mendalam terutama cara hidup manusia. Pada era ini, jarak antar manusia tidak lagi jauh, batas negara bukan masalah besar dalam membangun interaksi, perilaku manusia banyak dipengaruhi algoritma dan data, cara pandang manusia tidak lepas dari pengaruh dari berbagai macam interpretasi informasi serta privasi manusia menghadapi ancaman besar. Tetapi era digital ini adalah juga era keterbukaan, bahwa siapa saja, jika dia menginginkan demikian, dapat berpartisipasi untuk menunjukkan eksistensinya. Kita sekarang hidup dalam era bayang-bayang jaringan.
Di era yang demikian, manusia seperti bukan pemain yang utama tetapi teknologi digital, karena meskipun teknologi itu dibuat oleh manusia sendiri, tetapi nyatanya manusia kerap sulit mengimbangi kekuatan dari teknologi buatannya itu. Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee dari Massachusetts Institute of Technology dengan tegas mengatakan bahwa teknologi digital menjadi “kekuatan penuh” melalui karakter otomisasinya dalam penciptaan atas apa saja yang belum pernah ada dalam kehidupan manusia.[1] Jika demikian, sangat mudah diterima logika, bahwa saat ini teknologi digital dianggap memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Satu sisi, teknologi digital menunjukkan perkembangan peradaban manusia dan karenanya membantu perkembangan hidup manusia, tetapi di sisi yang lain, banyak hal dari teknologi, jika tidak disadari dengan hati-hati, malah akan menegasikan peran penting manusia dalam menjalankan hidupnya sendiri.
Perlu disampaikan di awal tentang tiga hal sebagai pijakan artikel ini berangkat. Pertama, era digital adalah fakta yang bukan hanya jangan ditolak, tetapi juga harus ditempatkan dengan lebih serius dalam melihat perkembangan hidup dan pola interaksi antar manusia saat ini. Kedua, fakta-fakta di era digital berusaha ditempatkan dalam melihat, mendalami bahkan mengkritik cara hidup manusia sekarang. Ketiga, sesuai judulnya, bagaimana seharusnya fakta-fakta di era digital itu dihayati dalam upaya manusia menjalankan hubungannya dengan yang-Transenden (Tuhannya), dengan tradisi agama yang dihidupinya, tetapi terutama dengan bagaimana manusia itu menjalankan hubungannya dengan sesamanya manusia. Pertanyaan paling mendasar, bisakah Tuhan, agama, dan manusia ditempatkan secara harmonis di era bayang-bayang jaringan yang sarat dengan tantangan ini?
Manusia melihat dirinya
Tanpa memahami terlebih dahulu diri sendiri, pemahaman atas peran era digital hanya akan sia-sia, sebab akan selalu terlepas dari konteksnya. Untuk ini, Driyarkara membantu lewat penegasannya kalau manusia adalah “makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya”[2]. Driyarkara membuat pembagian soal pengalaman eksistensial manusia.[3] Bahwa manusia yang membangun hubungannya dengan Sang Pencipta menunjukan sisi religiusitas manusia. Pengalaman manusia membangun hubungan dengan sesama menunjukkan sisi sosialitas manusia. Pengalaman manusia mengolah dan memberi arti pada dunia menunjukkan sisi kebudayaan, serta pengalaman manusia untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama melalui sebuah sistem dan struktur hidup bersama menujukkan sisi menegara manusia.
Empat pembagian Driyarakara ini menarik dan penting karena bisa memberikan gambaran lebih rinci soal sisi apa saja yang melekat dalam hidup manusia. Empat pembagian itu, bagi penulis, memiliki titik temu dalam sisi kebudayaan manusia, yaitu pengalaman dimana manusia selalu berusaha untuk mengolah dan memberi arti pada dunia. Perkembangan dunia sampai pada era digital saat ini bisa dilihat dalam konteks itu. Bahwa perkembangan itu adalah hasil dari upaya manusia dalam mengolah dan memberi arti lebih bagi dunia. Barulah kemudian, kita bisa merinci lebih dalam tentang bagaimana sisi kebudayaan manusia dalam mengolah dan memberi arti atas dunia itu, melalui pengalaman eksistensial lainnya.
Tuhan dan agama
Bukan konsepsi tentang Tuhan dan agama yang mau dibahas di sini, melainkan, berangkat dari sisi kebudayaan manusia di atas, ingin dibahas lebih lanjut soal sisi religiusitas dan sisi sosialitas manusia. Sisi religiusitas dimana manusia dengan seluruh pengalaman eksistensialnya mencoba memahami dunia tanpa bisa lepas dari hubungannya dengan Sang Pencipta. Leahy menambahkan bahwa kita, manusia, ini “menciptakan” kenyataan Tuhan dalam ekistensi kita sendiri dengan memasukkan Tuhan ke dalam kehidupan konkret.[4] Namun Leahy mengingatkan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak berubah, meskipun manusia memiliki caranya sendiri untuk memahami eksistensi-Nya itu. Inilah yang disebut pengaruh eksistensial Tuhan terhadap hidup manusia. Dengan begitu, sisi religiusitas manusia telah membawanya dari sekadar pengalaman eksistensial menuju pengaruh eksistensial Tuhan dalam hidupnya.
Penekanan ini sangat penting, karena berpengaruh pada bagaimana manusia mengejahwantahkan pengalamannya akan Tuhan sebagai umat beragama yang hidup bersama dengan umat beragama lain. Pengalaman eksistensial manusia yang lengkap atas Tuhan akan mendorongnya berusaha menampakan Tuhan dalam kehidupan konkret. Yang diterima sebagai konsepsi umum bagi mereka yang percaya akan eksistensi Tuhan adalah bahwa Tuhan itu membawa pengaruh baik dan positif dalam kehidupan manusia. Seperti bahasa Jan Bakker, bahwa agama adalah ekpresi keyakinan hidup yang bersifat eksistensial dalam wujud iman dan amal untuk menyempurnakan seluruh kelakuan manusia.[5]
Demikianlah bisa dimengerti bahwa agama memang ditujukan untuk menampilkan eksistensi Tuhan dalam wujud kebaikan-kebaikan dan peran sosial yang konstruktif di setiap pertemuan pengalaman eksistensial manusia-manusia. Jika begitu, agama berarti wujud pengalaman eksistensial manusia yang menunjukkan pengaruh eksistensial Tuhan dengan segala kebaikan-Nya itu atas hidup manusia. Begitulah kita pahami, bahwa dengan cara beragama, sisi religiusitas dan sisi sosialitas manusia dapat dan memang seharusnya dipertemukan.
Beragama di Bumi Indonesia
Jika agama dipahami sebagai semacam wadah bagi pengaruh eksistensial Tuhan kepada pengalaman eksistensial manusia, maka cara manusia mengekspresikan agama menjadi sangat penting. Fakta miris tentang banyaknya darah yang harus dikorbankan atas nama agama menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana seharusnya beragama itu perlu kita jalankan. Ketersinggungan karena merasa agama yang diyakini dianggap remeh dan keliru, telah membuat cara sebagian manusia mengekspresikan agama semata-mata berbasis emosional dan kebencian. Radikalisme agama umat beragama yang tumbuh subur, bukan hanya di satu-dua agama tetapi hampir semua agama, menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin atas nama Tuhan yang baik, manusia bisa berbuat tidak baik?
Perlu dicatat, bahwa era digital, mau tidak mau, telah membuat banyak tradisi dan dogma agama seolah tidak lagi relevan. Perkembangan teknologi membuat otoritas tradisional agama terasa sudah jauh ketinggalan zaman. Sehingga, persebaran informasi, termasuk segala macam berita bohong dan bentuk fitnah atas nama agama, terjadi sangat mudah. Banyak pihak tertentu dengan mudah menganalisis data melalui algoritma untuk memetakan wilayah yang rentan dengan konflik dan di situ dilakukanlah propaganda-propaganda untuk memecah belah. Munculnya era pasca-kebenaran, membuat orang beragama sulit meletakan kepercayaan mereka pada ajaran agama semata-mata, sebab yang penting adalah pengaruh emosi dan keyakinan diri sendiri. Eralogarita digital telah menantang cara manusia dalam beragama.
Indonesia, seperti dalam konsep Driyarkara disebut Negara-Pancasila, masih lebih beruntung. Pancasila telah menjadi simpul penghubung antar segala kerumitan dari kompleks perbedaan di antara masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, apalagi di tanah Jawa, sama-sama menyakini bahwa aspirasi religius adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bersama di Nusantara ini.[6] Dengan “kesamaan” pandangan atas pentingnya nilai-nilai keagamaan untuk dipertimbangkan dalam kehidupan bersama, sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri memiliki modal dasar yang sangat kuat untuk mewujudkan cara hidup beragama yang tidak saling menegasikan melainkan saling memperkuat. Seharusnya, sekalipun era digital menantang cara masing-masing anggota masyarakat dalam beragama, dengan modal dasar itu, Pancasila, kita tetap bisa memaknai nilai agama masing-masing secara mantap sekaligus mengekspresikannya dengan sesama manusia beragama tanpa kehilangan nilai-nilai baik dan positifnya.
Untuk mencapai titik itu, yang kini diperlukan di era digital ini adalah integrasi antara agama dengan perkembangan teknologi. Agama akan menemukan relevansinya, jika nilai-nilai agama itu sendiri berbaur dalam perkembangan teknologi. Otoritas keagamaan tidak boleh anti-teknologi hanya karena teknologi seolah telah menggantikan perannya dalam kehidupan manusia, melainkan berusaha menjadikan teknologi sebagai bagian dalam cara penyampaian nilai-nilai yang ada dalam agama itu sendiri. Penggunaan media sosial, misalnya dalam konteks katekese ajaran agama, harus dimanfaatkan agar agama sendiri dapat menjangkau setiap orang yang saat ini sudah hidup lebih intens dengan media sosialnya daripada realitas sosialnya.
Cara beragama yang dibutuhkan juga bukan lagi yang melulu terpaku pada tradisi keagamaan yang kaku dan tertutup, melainkan yang luwes dan terbuka. Dikotomi antara agama dengan teknologi, seperti disindir oleh narasi tekno-teologi, harus diselesaikan. Dampak buruk dari pendikotomian itu, sekurang-kurangnya menimbulkan dua soal: Pertama, konsep hidup beragama (dan ber-Tuhan) akan dianggap ketinggalan zaman dan karenanya akan jadi tidak relevan. Kedua, karena menutup diri bahkan dari teknologi dan segala informasi yang ada, cara beragama seorang individu lebih ditekankan pada kebenaran mutlak ciptaannya sendiri dan kemudian menolak yang lain di luar dirinya. Dengan begitu, yang ada hanya pertentangan satu sama lain antar umat beragama.
Era digital, khususnya dalam konteks hidup bersama sebagai umat beragama di bumi Nusantara ini, perlu dilihat secara menyeluruh. Kita tidak boleh sekadar menerima, tetapi juga tidak boleh sekadar menolak fakta perkembangan yang dibawa era digital. Kita harus proposional dalam mengambil sikap, apalagi dalam upaya mencari titik temu antara Tuhan, agama dan bagaimana kita berhubungan dengan sesama manusia dalam era dengan bayang-bayang jaringan saat ini. Tuhan, melalui eksistensinya memberikan pengaruh eksistensial dalam setiap pengalaman eksistensial manusia termasuk dalam pengalaman beragama.
Karena itu, jika pengalaman beragama itu mau diekspresikan, tidak lain harus mengarah pada nilai-nilai kebaikan dan positif terhadap sesama manusia. Hal ini juga sesuai dengan nilai Pancasila yang dihidupi di Indonesia ini. Era digital ini hanya mungkin menolong cara beragama kita, jika kita sendiri menempatkan teknologi sebagai bagian integral dalam kehidupan kita sebagai manusia dan sebagai individu yang beragama. Dalam bayang-bayang jaringan, kita bisa menemukan pertemuan damai antara Tuhan, agama dan manusia. Semoga.
Catatan akhir:
[1] Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee, The Second Machine Age: Work, Progress and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies, W.W. Norton & Company, 2014, hlm. 10.
[2] Mudji Sutrisno, Driyarkara: Dialog-Dialog Panjang Bersama Penulis, Jakarta: Obor, 2000, hlm. 3.
[3] Ibid, hlm. 7-8.
[4] Louis Leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 171.
[5] J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 47-48.
[6] Setyo Wibowo, Negara-Pancasila Menurut Driyarkara: Melacak Asal-Usul dan Artinya dalam F. Wawan Setyadi (Ed.), Meluhurkan Kemanusiaan: Kumpulan Esai untuk A. Sudiarja, Jakarta: Penerbit Kompas, 2018, hlm. 150.
Daftar Pustaka
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Brynjolfsson, Erik & Andrew McAfee. 2014. The Second Machine Age: Work, Progress
and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. New York: W.W. Norton & Company.
Leahy, Louis. 2002. Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan. Yogyakarta: Kanisius.
Schwab, Klaus. 2019. Revolusi Industri Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setyadi, F. Wawan (Ed.). 2018. Meluhurkan Kemanusiaan: Kumpulan Esai untuk A. Sudiarja. Jakarta: Penerbit Kompas.
Sutrisno, Mudji. 2000. Driyarkara: Dialog-Dialog Panjang Bersama Penulis. Jakarta: Obor.