spot_img
More

    Upaya Memisahkan Cinta-seksual dan Pentingnya Nalar akan Bias Kenikmatan

    Featured in:

        “Saat seks berbicara, ia mengungkapkan naluri otak reptil yang paling brutal; Begitu seks memanifestasikan dirinya dalam artifisial, ini akan menjadi aspek terbaik dari hasil sebuah peradaban.” – A Hedonist Manifesto (Michel Onfray) 

    Pada tulisan “Kerangka Neuronal Hedonisme akan Erotisme dan Libido”, penulis mencoba menguraikan dan menjelaskan konsep seksualitas A Hedonist Manifesto karya Michel Onfray. Secara umum, Onfray memberikan pencerahan baru terhadap konsep konvensional mengenai seks (oleh agama) yang penulis asumsikan sebagai hedone tak utuh, penguncian kesenangan individu, maupun penyebab kesengsaraan seksual (brutalisme, pedofilia, dan lain-lain).

    Aktivitas seksual merupakan bentuk fisik hasil proses otak akan kebahagiaan dan kenikmatan individu. Proses otak tersebut berjalan seiring perkembangan psikis dan fisik tubuh manusia. Imaji akan kenikmatan seksual terus dihadirkan. Ia pemicu segala rasa surgawi.

    Seks atau dorongan seksual acapkali dikaitkan dengan insting hewani dan nafsu paling buruk dari individu, ia suci setelah kontraktual, yakni pernikahan. Konsep ini dikembangkan oleh para filsuf teologis seperti Imannuel Kant, Agustinus, dan beberapa filsuf yang sebenarnya tak paham filsafat akan tubuh mereka. Apa yang dikatakan? Dosa hingga tak bermoral dan harus dijauhi! Bahkan, Imannuel Kant pun mengatakan :

    ”Inclinations . . . , as sources of needs, are so far from having an absolute value to make them desirable for their own sake that it must rather be the universal wish of every rational being to be wholly free from them.”[1]

    Kant berpendapat, bahwa manusia sebagai makhluk rasional harus menjauhi dorongan seksual. Karena menurutnya, ketika A ingin memuaskan keinginannya (libido) maupun keinginan seorang B, maka akan terjadi stimulasi keinginan, dimana objeknya bukan sifat manusia tetapi seks yang mengakibatkan manusia jatuh pada sifat hewani.[2] Dari situ, Kant menemukan “cinta seksual” dimana seks harus diikat dengan perjanjian bahkan kontraktual, yakni pernikahan.

    Metafisika Optimisme Seksual adalah pandangan metafisik, dimana ranah seksualitas tidak dianggap sebagai ancaman yang menakutkan terhadap aspek sosial manusia.

    Akhirnya, penulis beranggapan bahwa ada stigma negatif yang dijatuhkan pada seksualitas. Padahal seks adalah hukum otak alamiah manusia! Mereka melihat esensi dan hasil dari dorongan seksual menjadi tidak kompatibel dengan tujuan dan aspirasi yang lebih signifikan dan mulia dari eksistensi manusia.[3] Mereka takut bahwa kekuatan dan tuntutan dorongan seksual membuatnya menjadi bahaya bagi kehidupan beradab yang harmonis.[4] Lalu bagaimanakah kita seharusnya melihat dunia seksualitas? Kita akan memulainya dengan Metafisika Optimisme Seksual!

    Metafisika Optimisme Seksual

    Metafisika Optimisme Seksual adalah pandangan metafisik, dimana ranah seksualitas tidak dianggap sebagai ancaman yang menakutkan terhadap aspek sosial manusia. Tokoh dibalik golongan metafisika ini ada Plato, Bertrand Russel, sebagian pemikiran Freud, dan beberapa filsuf kontemporer seperti Irving Singer.[5] Mereka melihat seksualitas manusia hanya sebagai dimensi lain dan sebagian besar tidak berbahaya dari keberadaan kita sebagai wujud kebinatangan atau makhluk hidup pada umumnya (seperti dorongan untuk makan dan menemukan tempat berlindung).[6] Mereka menilai bahwa seksualitas, yang dalam beberapa ukuran telah diberikan kepada kita melalui evolusi itu kondusif bagi kesejahteraan kita tanpa mengurangi kecenderungan intelektual kita.[7]

    Pandangan metafisik ini membalikkan paradigma seksual yang harus dan wajib terikat kontraktual (pernikahan) untuk tujuan prokreasi, menjadi fundamental reason dari kesenangan diri dan orang lain yang berfungsi menghasilkan rasa kasih sayang, kepedulian, kelembutan, serta menimbulkan ikatan emosional antar-individu. Bagi penulis, mengutip perkataan Alan Soble, “….sesuatu yang berharga dalam dirinya sendiri, sesuatu yang harus dihargai dan dipromosikan karena ia memiliki nilai instrumental dan bukan hanya instrumental”. Oleh karena itu, mengejar kesenangan seksual tidak membutuhkan pembenaran yang rumit; aktivitas seksual tentu tidak perlu dibatasi untuk menikah atau diarahkan pada prokreasi.[8]

    Kita ketahui bahwa aktivitas seksual dengan pasangan merupakan objek kesenangan dan kebahagiaan individu. Individu berhak secara imanen untuk menjalankan dan melakukan kebahagiaan menurut dirinya. Libido itu bergerak bebas! Dalam hal ini, sains benar-benar telah memberikan kontribusi besar terhadap penguasaan reproduksi atas hasil libido–—alat kontrasepsi. Ini sangat berfungsi sebagai penangkalan seks sebagai eros dalam ketidaksepakatan prokreasi sekaligus pertimbangan akan penguasaan aspek kesehatan reproduksi.

    Oleh karena itu, mengejar kesenangan seksual tidak membutuhkan pembenaran yang rumit; aktivitas seksual tentu tidak perlu dibatasi untuk menikah atau diarahkan pada prokreasi.

    Moralitas agama sangat membingungkan terhadap konsep ini.[9] Ia hanya memperbolehkan individu untuk mencintai dengan tindakan seksual, yang bertujuan menciptakan anak atau prokreasi.[10] Agama menginginkan sebuah keabadian hubungan yang sah, tentu melalui kontrak yang ideal; Pernikahan. Tetapi, moralitas ini memiliki kekurangan yakni kekakuan, kurangnya kreatifitas, bahkan imobilitas. Hal ini menyebabkan rasa kebosanan utama dalam pasangan fusional agama, ditambah lagi jika prokreasi berhasil diwujudkan. Untuk itu semua kita harus perlahan-lahan memisahkan cinta dan seksualitas!

    Kritik Terhadap Kant (Upaya Memisahkan Cinta dan Seksualitas)

    Kultur ideologi dominan yang berkembang dalam masyarakat menghendaki proses kontraktual atau pernikahan sebagai penguncian libido seks. Dalam tradisi filsafat, konsep ini dikembangkan oleh Kant—yang ia sebut cinta seksual.[11]  Ia melemparkan seksualitas ke dalam pernikahan agar seksualitas menjadi moral yang baik dan manusiawi. Karena dalam evaluasi moralnya, keinginan seks terhadap objek seksual sama halnya dengan nafsu makan.[12] Intinya ialah, individu sebagai subjek seksual tidak menganggap objek seksualnya sebagai manusia, tetapi makanan. Dalam hal ini, upaya memisahkan cinta dan seksualitas bertujuan mengkritik dan memutus ambiguitas dalam pengikatan konsep cinta dan seksual ke dalam kontraktual (pernikahan) oleh Imannuel Kant. Penulis akan mencoba mengurai dan menjelaskan kritik-kritik Irving Singer terhadap cinta seksual Kant.

    Pertama, cinta menurut Kant ialah segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan orang yang dicintai. Ini adalah keadaan di mana orang mengakui kesetaraan bersama mereka sebagai manusia, masing-masing berakhir pada dirinya sendiri, masing-masing totalitas otonom, masing-masing orang daripada hal, dan karena itu seseorang yang tidak boleh digunakan hanya untuk kepentingan keinginan egois siapa pun.[13] Sementara, disisi lain Kant mengatakan :

    “those who merely have sexual inclination love the person from none of the foregoing motives. . . . In loving from sexual inclination, they make the other into an object of their appetite. . . . The sexual impulse . . . taken in and by itself, is nothing more than appetite.”[14]

    Jelas ini hal yang kontradiksi! Ini mensyaratkan bahwa seks tidak hanya berbeda dari cinta manusia, tetapi juga bertentangan dengan itu.[15] Dan sementara cinta manusia adalah moral sejauh ia mengungkapkan niat baik dan kepedulian tentang kesejahteraan orang lain, cinta seksual tidak dapat menjadi moral.[16] Dalam dirinya sendiri, dalam struktur dasarnya, itu harus tidak bermoral, karena setiap upaya untuk mengurangi seseorang menjadi sesuatu harus terjadi.[17]

    Kedua, Kant menyimpulkan bahwa dalam dirinya sendiri seksualitas selalu merupakan penurunan sifat seseorang.[18] Ia menduga bahwa seksualitas tidak menjadi manifestasi penyatuan manusia. Karena seksualitas hanya penuh dengan egoisme individu. Kant mengatakan demikian :

    “The desire of a man for a woman is not directed to her as a human being; on the contrary, the woman’s humanity is of no concern to him, and the only object of his desire is her sex.”[19]

    Dari pernyataan tersebut telah jelas bahwa seksualitas pastilah tidak bermoral. Cinta yang penuh dengan kebaikan dan kesejahteraan bersama antar-individu atau orang lain, bila disatukan dengan seksual, tetap akan menimbulkan potensi-potensi negative value dari seksualitas. Kant memegang sesuatu yang jauh lebih ekstrim daripada kepercayaan biasa yang dengan sendirinya, terlepas dari kepentingan orang lain, seks yang tidak dipalsukan tidak dapat menjadi moral.[20] Dia membuat klaim yang lebih kuat bahwa seksualitas itu sendiri tidak bermoral dan tetap menekankan pentingnya menggabungkan hasrat seksual dengan cinta manusia.[21] Untuk mendemonstrasikan bagaimana prestasi ajaib ini dapat terjadi, ia menyajikan sebuah teori pernikahan yang sama mewah dan idealisnya dengan apa pun yang dibayangkan oleh orang-orang Romantik abad kesembilan belas.[22]

    Untuk solusi yang bijaksana maka, kita harus memisahkan kedua itu. Memisahkan seks dari cinta, tidak memungkiri adanya perasaan, kasih sayang, dan kelembutan.[23] Cinta berfungsi sebagai sarana atau fiksi untuk mengendalikan motivasi atau emosi individu dengan orang lain, dan mungkin saja seks timbul dari situ. Sementara seksualitas murni ialah keinginan berkontak secara inderawi (gesekan daging) dan individu berhak melakukannya diluar kontraktual. Perasaan seksual — entah itu libidinal atau erotis atau romantis dalam penggunaan istilah-istilah itu — tidak sakral, tetapi terlalu halus dan terlalu luas sebagai manifestasi kemanusiaan kita untuk dicakup oleh interpretasi kontraktarian.[24] Janji-janji yang kami buat, harapan yang kami bangun, undangan yang kami sampaikan, perilaku yang kami lakukan adalah semua tindakan sosial, dan karena itu mereka dapat tunduk pada mandat kontrak.[25] Tetapi perasaan yang diungkapkan oleh tindakan-tindakan ini adalah fenomena estetika yang memiliki kebaikan dan keburukan tersendiri.[26]

    Nalar dan Kesadaran untuk Kenikmatan Panjang

    Dalam metafisika seksual ini, kita dituntut untuk bernalar terhadap dorongan seksual kita. Donald B. Calne seorang neurolog asal Vancouver dalam Rationality and Human Behavior menjelaskan bahwa walaupun aturan sosial mencoba meminimalisir hal itu,  seksualitas (berdasar pengadilan perceraian dan catatan medis) tetap merupakan dorongan terkuat dalam kehidupan manusia. Calne memberikan contoh pada masa sebelum pemakaian antibiotika dimana sifilis menjadi momok si miskin dan si kaya dari ras, agama, maupun golongan tertentu. Dari gambaran tersebut kita dapat melihat bahwa ada semacam kematian nalar di hadapan nafsu seksual yang menyebabkan bias kenikmatan.

    Bias kenikmatan terjadi karena individu secara tidak sadar dan tidak radikal secara rasional memikirkan konsekuensi dari objek kenikmatan yang ditimbulkan dorongan seksual. Evaluasi moral tehadap ke-bias-an ini seringkali timbul diakhir tindakan kenikmatan. Jika menggunakan kacamata A Hedonist Manifesto, hanya ada dua kerugian oleh hedone (kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan) yang naif, yakni diri yang rugi atau merugikan orang lain. Keduanya kita dapat katakan sebagai tindakan un-hedone.

    Cinta berfungsi sebagai sarana atau fiksi untuk mengendalikan motivasi atau emosi individu dengan orang lain, dan mungkin saja seks timbul dari situ. Sementara seksualitas murni ialah keinginan berkontak secara inderawi (gesekan daging) dan individu berhak melakukannya diluar kontraktual.

    Kerugian akibat bias kenikmatan menjadi aspek paling krusial dalam seksualitas. Mengapa? Karena individu sebagai subjek kenikmatan dalam seksualitas bahkan aktivitas seksual yang acapkali digerus ombak hasrat dan imajiner akan seks tak akan bertemu titik rasional kenikmatan. Ia berjalan sesuai insting! Tentunya ini liar, dan harus diarahkan pada kenikmatan yang diikat kebahagiaan rasional dan sesuai dengan nalar dan kesadaran akan kesehatan psikis serta fisik.

    Psikis menjadi penting karena individu dapat menunda atau menolak terwujudnya fantasi liar, aktivitas seksual yang kasar dan sebagainya demi menghindari efek traumatis atau kecanduan akan seks yang berlebihan. Kecanduan seks berlebihan yang penulis maksud ialah hasrat seks tak terkendali sehingga mengarah pada banyak orientasi seksual; necrophilia, phedophilia, zoophilia, masturbasi yang tak teratur, bahkan aktivitas seksual (normal) pun dikenakan.

    Ranah fisik pun sama! Kesehatan reproduksi (alat kontrasepsi), kondisi fisik yang sehat, higienitas, permainan seksual yang lembut juga tidak boleh dilewatkan individu sebagai subjek seksual. Pertimbangan ini berfungsi sebagai sekat awal terhadap intensitas eros seksual yang dapat mengakibatkan rasa sakit demi kenikmatan yang panjang dan terus menerus.


    Catatan Akhir :

    [1]. Alan Soble, Philosophy of Sex : Contemporary Reading (USA : Rowman & Littlefield Publishers, 2002) hal, 226.

    [2]. Ibid.,

    [3]. Ibid., hlm xxii.

    [4]. Ibid.,

    [5]. Ibid., hlm xxi.

    [6]. Ibid., hlm. xxii.

    [7]. Ibid.,

    [8]. Ibid., hlm. xxiii.

    [9]. Michel Onfray, A Hedonist Manifeso : The Power to Exist (New York : Columbia University Press, 2006), hlm 79.

    [10]. Ibid.,

    [11]. Alan Soble, Philosophy of Sex : Contemporary Reading (USA : Rowman & Littlefield Publishers, 2002), hlm. 259.

    [12]. Ibid., hlm. 261.

    [13]. Ibid.,

    [14]. Immanuel Kant, Lectures on Ethics, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 155.

    [15]. Ibid., hlm 262.

    [16]. Ibid.,

    [17]. Ibid.,

    [18]. Ibid.,

    [19]. Immanuel Kant, Lectures on Ethics, trans. Louis Infield (New York: Harper and Row, 1963), hlm. 163.

    [20]. Ibid.,

    [21]. Ibid.,

    [22]. Ibid.,

    [23]. Michel Onfray, A Hedonist Manifeso : The Power to Exist (New York : Columbia University Press, 2006), hlm 81.

    [24]. Alan Soble, Philosophy of Sex : Contemporary Reading (USA : Rowman & Littlefield Publishers, 2002), hlm. 271.

    [25]. Ibid.,

    [26]. Ibid.,

    Daftar Pustaka:

    Onfray, Michel. 2006. A Hedonist Manifeso : The Power to Exist. New York : Columbia University Press.

    Soble, Alan. 2002. Philosophy of Sex : Contemporary Reading. USA : Rowman & Littlefield Publishers.

    Kant, Immanuel. 1997. Lectures on Ethics, trans. Peter Heath. Cambridge: Cambridge University Press.

    Kant, Immanuel. 1963. Lectures on Ethics, trans. Louis Infield.New York: Harper and Row, 1963.

    Calne, B. Donald. 1999. Within Reason: Rationality and Human Behavior. Philadelphia: Diana Publishing Co.

    Author

    • Azhar Jo

      Jo adalah Mahasiswa Filsafat UGM 2016, telah dilantik menjadi cucu Mbah Roso. Jo tertarik mendalami bidang Etika--Hedonisme, Liberalisme, Musik . Selain itu, baginya Sekre ialah Candu! "Ku tak bahagia bila tak bersamamu sayang".

      View all posts

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...