1
Bapak saya tidak memiliki cita-cita yang muluk. Beliau hanya ingin saya dan keluarga mendapatkan hidup yang enak. Beliau pun juga menyarankan saya agar tidak usah muluk-muluk jika punya cita-cita, namun juga jangan rendah-rendah jika punya cita-cita.
“Urip kuwi ujung-ujunge dhuwit disingkat UUD”, begitu yang selalu Bapak tekankan.
Dulu waktu saya masih “unyu-unyu” saya menolak pernyataannya. “Ora isa, Pak, sing jelas urip kuwi sing bener ya untuk kemanusiaan. Pekerjaan itu bukan untuk diri kita sendiri entah digaji opo ora. Pokoke berjuang demi kebenaran!” begitulah penolakan saya dengan kepala yang telah mendidih.
Sambil menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya beliau berkata dengan tenang: “Ya sesuk deloken dhewe, uwong nek tanpa dhuwit ra isa urip”.
Anda jangan terlalu sensitif seperti mantan saya setelah mendengarkan pernyataan Bapak. Jangan sampai Anda mengatakan Bapak saya mata duitan atau seorang koruptor potensial. Jika Anda menghinanya mungkin Anda bisa saya lamar jadi istri saya kalau perempuan bunuh. Karepmu mau mengatakan saya seorang pembunuh. Pokoknya sebagai anak, saya harus Mikul Dhuwur, Mendhem Jero (prinsip hidup orang Jawa yang mengharuskan agar meninggikan setinggi-tingginya orang tua dan mengubur dalam-dalam segala keburukan orang tua).
Sekarang saya sudah tidak unyu seperti dulu lagi. Belakangan ini saya memahami apa yang beliau maksudkan mengenai dhuwit. “Dhuwit” yang dimaksudkan Bapak saya bukan hanya uang recehan atau lembaran.
“Dhuwit” dalam konteks ini berarti semua hal yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain “dhuwit” adalah semua hal yang membuat kehidupan manusia berlangsung. Meski dhuwit dalam arti harfiah memang berguna di zaman modern, namun bagi masyarakat primitif yang tidak mengenal uang menjadi tidak berguna. Jadi “dhuwit” di sini bukan hanya recehan yang kita temui sehari-hari. Jika recehan itu tak berguna untuk kehidupan dan tidak dapat membuat kehidupan manusia berlangsung, berarti recehan itu bukanlah “dhuwit” bagi Bapak saya.
Apakah pandangan “urip nggo dhuwit” dapat menjadikan manusia menjadi seorang koruptor atau egois? Meski ada benarnya, jangan terburu-buru menyimpulkan. Sebagai manusia, kita harus pintar. Jangan terlalu bodoh mencuri sedikit tapi kehilangan terlalu banyak. Sungguh orang yang merugi. Lebih baik beli atau curi saja segala perangkat pemerintahan termasuk hukum. Kalau tidak bisa ya sudah, tidak usah dipaksa! Nggak usah mencuri. Lebih baik untung sedikit tapi untung terus.
Lagi pula manusia planet mana yang bisa hidup tanpa “dhuwit”. Mungkin bukan manusia atau mungkin yang dahulunya pernah menjadi manusia dia tidak butuh “dhuwit”
2
Di era kalabendhu ini saya masih heran, mengapa masih banyak orang yang ingin mengulangi kejayaan Indonesia di zaman Orde Baru. Saya memang tidak terlalu suka dan tidak terlalu benci dengan Pak Harto. Entah sihir apa yang membuat Pak Harto benar-benar menjadi sosok yang digandrungi oleh Bapak saya.
Tradisi ngrasani pemimpin di era reformasi memang selalu dilakukan oleh Bapak saya. Dulu rupiah tidak selemah ini lah, harga barang kebutuhan pokok tidak semahal ini lah, gak ada JKT48 yang bikin remaja lebih galau lah. Keluarga saya dari dulu memang dilahirkan sebagai kawula alias rakyat jelata. Hidup kami bukanlah hidup yang aneh. Kami hanya bisa mengikuti kehendak yang di atas (bukan Tuhan melainkan pemerintah).
Dulu krisis moneter pernah melanda Indonesia. Hal tersebut juga membuat kekuasaan pemerintahan Pak Harto menjadi loyo. Mahasiswa mulai turun ke jalan untuk meminta kepastian dari Pak Harto. Terjadilah bentrok antara TNI dengan mahasiswa yang berujung kesyahidan para pahlawan reformasi. Akhirnya, bapak Jenderal yang menjabat jadi presiden itu turun dari jabatannya. Dan dimulai babak yang baru, yaitu reformasi. Darah para pahlawan reformasi akhirnya terbayar.
Lalu bagaimana dengan kehidupan keluarga saya waktu itu? Sama seperti semuanya, yang ada di Indonesia. Keluarga saya juga merasakan kesulitan ekonomi dan mahalnya kebutuhan. Bedanya, saat yang lain sibuk berjuang keluarga saya hanya bisa leyeh-leyeh. Menunggu kapan badai akan berlalu, atau mungkin tidak akan pernah berlalu.
Bayangkan darah yang bercucuran dari mahasiswa. Mereka yang memperjuangkan nasib kaum jelata harus rela membayar harga yang sangat mahal. Kematian tidak dipedulikannya. Sedangkan keluarga saya hanya bisa menonton peperangan sambil berkata “ealah”.
Saat bangun tidur, keluarga saya telah mendapati pemerintahan sudah berganti dari tempe jadi dele—era Orde Baru berakhir dan digantikan oleh Era Reformasi yang katanya lebih manusiawi. Ealah, keluarga saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, mau tidak mau keluarga saya harus mengikuti Era Reformasi. Siapa yang mengganti harus bertanggung jawab. Ah… tapi keluarga saya yang dari kemarin hanya leyeh-leyeh harus ikutan bertanggung jawab, ya wis lah.
Keluarga saya hanya keluarga kawula, tidak muluk-muluk pengharapannya. Disuruh bertanggung jawab juga oke. Pemerintahan ganti hanya bilang sendika dhawuh. Tidak seperti mereka yang ingin menggapai kebenaran layaknya cebol nggayuh lintang (peribahasa Jawa yang berarti orang kecil yang bermimpi besar). Keluarga saya sangat benci dengan mereka yang membuat kekacauan apalagi atas nama “kemanusiaan” (semoga Anda yang humanis tidak seperti ini). Yen gajah tumbuk, kancil mati ana ing tengah (peribahasa Jawa yang berarti jika para pemimpin berperang, maka rakyat kecil akan kesusahan). Peperangan tersebut membuat “dhuwit” kami terancam. Bukan terancam seperti yang dimakan oleh Danang TP.
3
Keluarga saya memang agak nyleneh. Dibilang nrima tapi selalu ngrasani pemimpin sekarang. Dibilang kontra juga enggak, peraturan masih kami jalankan sampai sekarang. Kami hanya wong cilik, gak usahlah muluk-muluk sampai membela kebenaran seperti Saras 008.
“Beranikah Anda berkorban demi kebenaran?” kata Abi—anggota Cogito generasi ketiga. Begini mas Abi, saya sebagai gen kedua menyatakan bahwa pengorbanan saya tidaklah semuluk Superman. Saya berkorban untuk “dhuwit”.
Kalau saya melihat kasus Salim Kancil, saya pasti akan menuntut Pemerintah yang semena-mena kepada Raden Mas Ngabehi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Wajar jika salim harus berjuang. “Dhuwit” Salim yang berupa tanah harus digusur untuk lahan parkiran. Mending kalo Pak Salim dapat keuntungan yang sama, sukur kalau lebih banyak, tapi dia malah dirugikan oleh Kades setempat.
Tentu saya sebagai Pak Salim juga nggak terima lah. Masa jadi pemerintah kok sakpenake dhewe, rakyat juga ingin merasakan hidup enak. Namun sekali lagi, bukan kebenaran yang saya bela, melainkan “dhuwit” seperti yang dikatakan oleh Bapak saya.
Abi yang imut-imut, tidak semua orang hidup memikirkan kebenaran. Yang pasti, Semua orang butuh “dhuwit”. Premis “Semua orang butuh dhuwit” tidak dapat kita sangkal. Silakan saja Anda menyangkal pernyataan saya. Besok paginya saya melihat Anda mencukupi kebutuhan Anda dengan cara makan di Kantin Fakultas Filsafat. Memang, semua orang butuh “dhuwit”, bahkan para aktivis sekalipun.
Saya sudah tidak seunyu dulu lagi yang hidup demi kebenaran. Saya tidak mau direpotkan untuk membela kebenaran. Bukannya saya membenci perubahan seperti reformasi. Perubahan perlu asalkan jangan dibikin sengsara, kalau untung ajak-ajak lah! Tapi jangan paksa saya untuk menyatakan perubahan ini demi kebenaran, yang jelas saya cuma ingin hidup enak tanpa kebenaran yang memberatkan.
4
Meski bagi sebagian orang butuh untuk mempertanyakan hakikat kebenaran, namun itu hanya sebagian. Dengan kata lain tidak semua orang mau dan sempat untuk mempertanyakan hakikat kebenaran. Aristoteles sendiri menyatakan bahwa pola hidup kontemplatif tidak dijalankan semua orang, hanya sedikit orang saja yang mau berkontemplasi [1].
Sebenarnya saya tidak pernah menyatakan hidup kontemplatif adalah hidup yang buruk. Aristoteles sendiri menyatakan sebagai manusia yang bukan murni rohani, kita tidak akan terus menerus berkontemplasi [2]. Dengan kata lain, manusia pasti memerlukan kebutuhan jasmaninya. Tanpa “dhuwit” atau sesuatu yang membuat kehidupannya berlangsung, semua itu menjadi tidak ada artinya.
Aktivis gak bisa teriak-teriak tanpa “dhuwit”. Kalau kita membela kaum miskin agar kaum miskin itu juga mendapatkan “dhuwit”. Antara yang dibela dan pembela sama-sama butuh “dhuwit”. Seorang ilmuwan jika tanpa “dhuwit” tidak bisa melakukan penelitian dan berkontemplasi untuk menubuh dengan kebenaran. Seorang ustadz juga butuh “dhuwit”. Tak seorang pun manusia yang hidup tidak butuh “dhuwit”.
Intinya, saya tidak ingin terbebani dan membebani orang lain dengan pertanyaan hakikat kebenaran. Entah kebenaran ada atau tidak saya tidak ingin terus menerus memperdebatkannya. Bagi saya sudah jelas di depan mata bahwa semua orang butuh “dhuwit”.
Catatan akhir:
- Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad Ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 33.
- Ibid., Loc. Cit.