spot_img
More

    Welt am Draht: Memahami Kembali Eksistensi di Era Simulasi

    Featured in:

    Pada tahun 1973, pembuat film dan katalisator pergerakan sinema baru asal Jerman, Rainer Werner Fassbinder, membuat serial televisi berjudul Welt am Draht beraliran fiksi ilmiah yang sangat unik. Secara keseluruhan, karya Fassbinder yang hanya terdiri dari 2 seri ini bercerita tentang Fred Stiller, seorang ilmuwan di Institute for Cybernetics and Futurology (Institut für Kybernetik und Zukunftsforschung) yang mencurigai program besar organisasi bernama “Simulacron” yang disponsori pemerintah dan korporasi. Simulacron ialah semacam proyek pembuatan ‘dunia buatan’ dengan karakter yang tidak mengetahui bahwa mereka itu tidak nyata. Dengan langsung terlibat, Stiller kemudian sadar bahwa proyek penting organisasinya semakin lama semakin rumit dari apa yang ia pikirkan dan lebih parahnya, proyek ini bisa sangat mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

    Orang yang sadar tentang hal ini, seperti pendahulu Stiller, yakni professor Vollmer mati secara mendadak. Pun begitu dengan Stiller yang mendapat ancaman bertubi-tubi selama hidupnya saat ia sadar bahwa sebagai bagian dari proyek Simulacron sendiri, ia mungkin saja masih dimanipulasi oleh relasi kuasa yang lebih tinggi darinya. Asumsi Stiller mengenai realitas itu nyata, ternyata hanya buatan setelah melakukan proyek tersebut. Bisa dikatakan, Welt am Draht menunjukkan suatu peristiwa, yakni kemungkinan adanya dunia yang sepenuhnya dalam genggaman dunia lain, seperti simulasi komputer.

    Jika kita merefleksikan wacana karya Fassbinder dalam Welt am Darht pada situasi konkret hari ini, sungguh sangat relevan. Berbagai fenomena yang tampak dari jagat informasi sangat mengganggu alam pikiran penulis. Bukan hal yang baru, mengingat, keheranan yang sama dirasakan Martin Heidegger pada dekade 70an akhir. Dalam esainya mengenai teknologi ia menulis,

    “Everywhere we remain unfree and chained to technology, whether we passionately affirm or deny it. But we are delivered over to it in the worst possible way when we regard it as something neutral; for this conception of it, to which today we particularly like to do homage, makes us utterly blind to the essence of technology” (1977:4).

    Dalam tulisan Bertens, situasi kita hari ini, menurut Heidegger sangat mencemaskan, karena apa yang dirancang manusia sebagai sarana untuk menguasai alam, menjadi sukar untuk dikuasai, bahkan apa yang diciptakan manusia sekarang menguasai manusia itu sendiri.

    Filsuf sekaligus kritikus budaya asal Prancis, Jean Baudrillard, menyatakan bahwa hari ini yang nyata menjadi simulasi, seluruh realitas baik itu politik, sosial, sejarah, ekonomi kini menggabungkan dimensi simulasi-hipperalisme.

    Perubahan pesat dalam peradaban manusia yang tidak bisa dihindari, seperti apa yang dikhawatirkan Heidegger akhirnya terjadi, merajalelanya hal-hal teknis dan instrumen-instrumennya seperti internet, media dan wahana permainan lainnya, berhasil mengubah cara pandang manusia terhadap realitas maupun praxis manusia itu sendiri. Dampak distorsi dari mentalitas formalistik-materialistik dewasa ini konkret terjadi, kesemuan dari sensasi kata-kata di media massa yang dimunculkan para elite di tahun politik, para tokoh agama yang beradu sprint, dan berbagai macam kegaduhan yang sengaja diproduksi terus-menerus.

    Dalam konteks wacana kebudayaan sekarang, saat dunia tergenggam oleh simulasi-simulasi semu, kemudian pertanyaan menyangkut tentang apa itu sesuatu yang “real”, yang menyimpan kebenaran yang utuh, atau secara estetika hidupnya — melampaui pengalaman dan mencapai hidup yang sublim, menjadi sangat bias.

    Simulacrum dan Jebakan Hiperrealitas

    Proyek Institute for Cybernetics and Futurology (Institut für Kybernetik und Zukunftsforschung) untuk membuat dunia simulasi dengan sangat konkret hari ini sudah tercapai. Filsuf sekaligus kritikus budaya asal Prancis, Jean Baudrillard, menyatakan bahwa hari ini yang nyata menjadi simulasi, seluruh realitas baik itu politik, sosial, sejarah, ekonomi kini menggabungkan dimensi simulasi-hipperalisme. Dengan begitu, kita bisa merenungkan permasalahan dalam Welt am Darht dan merefleksikannya melalui kritik Baudrillard terhadap kondisi kita saat ini, karena dunia yang kita hidupi sekarang adalah dunia yang berada di dalam genggaman. Kemajuan teknologi yang sangat masif seakan melempar ilusi bahwa kita menggenggam seluruh realitas, akan tetapi sejujurnya kita tidak tahu apa itu realitas.

    Hari ini, di dalam dunia simulasi yang dihidupi oleh masyarakat, persis seperti apa yang diusahakan proyek dalam cerita Fassbinder, adalah berbagai kode secara acak tanpa referensi yang jelas (Yusuf Lubis, 2014:174). Realitas yang faktual dan citraan seakan membaur, kita sangat sulit membedakan mana yang asli, yang palsu dan yang semu. Citra terkadang mendominasi dan menciptakan “candu” tersendiri seperti seks, tubuh, kekerasan, dan simulasi dalam dimensi informasi itu sendiri. Secara ideologis, tawaran-tawaran progresif menghapus nilai-nilai kebijaksanaan dalam hal penampilan atau gaya hidup.

    Seperti diungkapkan oleh Yusuf Lubis dalam komentarnya tentang Baudrillard, “yang real dibuat tidak nyata oleh ‘hiperreal’ dan simulasi lebih benar dari kebenaran itu sendiri”.

    Dalam bukunya yang berjudul Simulation, Baudrillard membukanya dengan kutipan dari Ecclasiastes, “The simulacrum is never what hides the truth — it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true”. Menurut perspektif Baudrillard, Simulacrum berdiri diatas dunianya sendiri, bukan dari degradasi dari realitas apapun, simulasi sendiri merupakan duplikasi demi duplikasi sebuah realitas. Dalam kondisi revolusi informasi seperti hari ini, ia menyatakan bahwa manusia sebagai subjek sangat cair bahkan telah “mati” dan yang real tidak pernah ada.

    Pada situasi pasca modern, dunia yang digenggam melalui revolusi informasi tadi menentukan makna, tingkah laku, bahkan pemikiran manusia. Kuasa media melalui informasi, hiburan dan komunikasinya membawa manusia pada peristiwa-peristiwa hidup yang serba dangkal. Candu dari teknologi tingkat tinggi mengesahkan rasio instrumentalnya. Dalam berbagai dimensi, manusia kini diperantarai oleh realitas citraan, realitas yang mengatasi realitas yang real (hiperreal). Seperti diungkapkan oleh Yusuf Lubis dalam komentarnya tentang Baudrillard, “yang real dibuat tidak nyata oleh ‘hiperreal’ dan simulasi lebih benar dari kebenaran itu sendiri” (2014: 185)

    Akhir kritiknya, pada Baudrillard kita sungguh menemukan sikap sangat pesimistis dengan kondisi saat ini. Secara paradoks, semua media yang ingin kita konsumsi, dengan mudahnya dapat kita akses hanya dengan beberapa kali sentuhan. Dunia benar-benar dalam genggaman. Namun dari sumber yang sama juga terdapat masalah. Dalam dimensi sosialnya, kita tidak memiliki kontak fisik apapun dengan manusia konkret. Bukan hanya keseharian yang dangkal, tegas Baudrillard, kita hidup di era non-events, hidup dalam peristiwa yang tidak terjadi namun seakan-akan terjadi. Kita memiliki banyak teman namun tidak bisa merasakan kehangatannya dalam lingkungan kita. Kita terlihat baik, cantik, mapan dan lain sebagainya akan tetapi kita sebenarnya mati. Sangat mengerikan bahkan, dalam ranah manusia yang sangat personal seperti cinta sekali pun, dengan banyaknya sistem online dating dan rasa takut kita akan “jatuh” dalam suatu hubungan yang konkret adalah bentuk nyata jebakan hiperrealitas.

    (Kembali) Memahami Eksistensi

    Kita coba kembali lagi kepada Martin Heidegger yang memiliki pandangan tidak anti dan tidak pro pada teknologi. Dia menyadari bahwa, dalam teknologi terdapat bahaya yang akan mengakibatkan manusia kehilangan hakekatnya sebagai makhluk yang terarah kepada ketidaktersembunyian. Jadi, meskipun Dasein terseret kepada pergaulan teknis yang merajalela itu, Dasein harus tetap terarah kepada ketidaktersembunyian. Manusia harus memahami sifatnya yang bereksistensi atau istilah Heidegger “berada-dalam-dunia”.

    Pada situasi pasca modern, dunia yang digenggam melalui revolusi informasi tadi menentukan makna, tingkah laku, bahkan pemikiran manusia. Kuasa media melalui informasi, hiburan dan komunikasinya membawa manusia pada peristiwa-peristiwa hidup yang serba dangkal.

    Dalam horizon Heidegger, meskipun Ada adalah sesuatu yang asali dan memungkinkan Dasein, namun nilai muncul dari “tidak-tersembunyi” atau nampaknya Dasein. Dengan kata yang lebih sederhana, secara fenomenologis, kesadaran akan manifestasi diri meskipun dalam penuh penderitaan karena realitas yang sangat semu. Mengandaikan adanya sebuah proses yang terus menerus, sebagai manusia yang melalukan pergaulan praktis dengan benda-benda sekaligus memiliki sikap, baik terhadap dirinya sendiri ataupun sesama manusia.

    Pada akhirnya permasalahan Welt am Darht yang direfleksikan melalui kritik Baudrillard yang sangat keras, membawa penulis kepada kesimpulan bahwa kita tidak mengetahui apapun tentang permasalahan kontemporer hari ini. Oleh sebab itu proses memahami secara terus menerus dengan daya kemampuan kritis adalah salah satu solusinya. Karena secara politis, teknologi yang mencengkram manusia dengan realitasnya yang semu ini bukanlah wilayah yang bebas nilai, namun selalu merupakan ranah peperangan. Teknologi bukanlah sesuatu yang terkutuk, keterlibatan langsung manusia tanpa tereduksi masalah operasionalisme teknis bagaimanapun adalah suatu keharusan dewasa ini. Terkait dengan teknologi dan sejuta masalahnya, penulis kembali mengutip Martin Heidegger yang cukup sering menggunakan perkataan penyair Hölderlin: Wo aber Gefahr ist, wächst Das Rettende auch (Namun di mana terdapat bahaya, di situ yang menyelamatkan bertambah pula).


    Daftar Pustaka:

    Baudrilliard, J. (1983). Simulation. New York: Semiotext(e)

    Bertens, K. (2014). Sejarah Filsafat Barat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

    Hardiman, F.B. (2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius

    Heidegger, M. (1962). Being and Time. Oxford: Blackwell Publisher Ltd

    Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essay. New York: Harper & Row

    Yusuf Lubis, A. (2014). Postmodernisme: Teori dan Metode. Depok: PT Rajagrafindo Persada

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...

    Seni AI dan Artstyle Manusia

    Setiap seniman memiliki gaya mereka sendiri dalam berkarya. Hal tersebut merupakan unsur yang membuat sebuah karya memperoleh...