Beberapa orang mahasiswa baru (maba) mendatangi kampusnya: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Kakak-kakak angkatan mereka menyambutnya dengan riang gembira. Suasana menjadi penuh dengan ramah-tamah. Namun, suasana berubah seketika, saat salah satu di antara maba ada yang bertanya: “Setelah lulus dari filsafat nanti kita kerja apa?” Kakak angkatan mereka kebingungan untuk menjawab. Itu pertanyaan yang lebih rumit dari pertanyaan filsafat. Namun sebenarnya bukan jawabannya yang sulit, hanya saja pertanyaannya yang didasari pikiran yang sumir.
Sejauh ini, pikiran umum selalu berpandangan bahwa pendidikan hanya untuk ‘kerja’. Masuk di dunia pendidikan berarti mempersiapkan diri untuk bekerja. Lalu, institusi pendidikan pun memoles diri menjadi pabrik pekerja; tempat manusia-manusia “dipermak” sedemikian rupa, sehingga menjadi robot-robot industri yang siap bekerja. Bidang ilmu seperti filsafat, yang tidak memiliki kaitan langsung dengan dunia kerja, akan selalu menjadi pilihan terakhir di antara bidang ilmu yang lainnya. Hal itu yang kemudian membuat institusi pendidikan filsafat kurang mendapat dukungan dari pemerintah.
***
Di negeri ini, menjadi berbeda dari mayoritas itu menakutkan. Terkadang nyawa yang harus menjadi taruhan. Sementara diskriminasi dan pengucilan atas mereka yang berbeda itu sudah hal wajar; sudah menjadi tontotan keseharian. Apalagi jika terkait dengan sentimen keagamaan. Seolah pihak mayoritas adalah sang pemilik tunggal kebenaran.
Dominasi kaum mayoritas atas kaum minoritas itu seakan mewakili kekuasaan Tuhan. Mereka bebas melakukan apa saja terhadap kaum minoritas yang dianggap ‘menyimpang’. Pengucilan, pengusiran, kekerasan, dan bahkan pembunuhan, absah dilakukan kaum mayoritas atas nama ‘kebenaran’. Kebenaran macam apa yang mereka pegang? Kebenaran yang membenarkan tindak anti-kemanusiaan? Ah, entahlah! Barangkali kebodohan memang hanya mengenal lawan.
Kaum mayoritas yang berada dalam himpitan doktrin keagamaan terkadang begitu mudah menebarkan kebencian untuk kaum minoritas yang dianggap “keluar dari jalur kebenaran”. Mereka memandang kaum minoritas itu seperti makhluk yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh alam, sehingga harus disingkirkan, dan kalau perlu dimusnahkan. Seolah dunia harus diseragamkan dengan keyakinan dirinya yang dianggap paling benar. Tindakan konyol, bukan?
Tindakan penyeragaman dan sikap anti-perbedaan itu sudah menjamur hampir di tiap tempat. Tulisan “Anti-Syiah”, “Anti-Ahmadiyah”, “Anti-Komunis”, dan “Anti-anti yang lain”, sudah bagaikan hantu-hantu gentayangan di pinggir jalan yang terus-menerus meneror pikiran dan perasaan. ‘Hantu-hantu’ itu mencoba menularkan virus kebencian secara diam-diam. Dan parahnya, ‘hantu-hantu’ itu telah berhasil memengaruhi pikiran banyak orang.
Di dunia maya, ‘hantu-hantu gentayangan’ itu menemukan ruang gerak yang lebih leluasa. ‘Hantu-hantu’ itu dengan begitu mudahnya mempropagandakan kebencian hingga menembus batas-batas dunia nyata. Akhirnya, kebencian terhadap kaum minoritas pun bisa menyebar ke mana-mana, tanpa diketahui siapa pembawanya. Memang seperti hantu, bukan?
Puncak dari kebencian yang terus-menerus didistribusikan secara massal adalah sikap anti-perbedaan, anti-perdamaian, dan anti-kemanusiaan. Dan hal itu pasti menyebabkan adanya pihak yang dirugikan, entah secara fisik maupun psikis. Semisal, pengusiran komunitas Syi’ah di Sampang, rentetan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat, dan penyerangan gereja pada Hari Natal. Itupun hanya secuil narasi tentang kebiadaban dan sikap anti-perbedaan. Di tempat-tempat lain masih banyak kelompok-kelompok minoritas yang dikucilkan, dikecam, dan tak jarang juga diancam dengan pembunuhan. Sungguh mengerikan!
Lalu, peradaban macam apa yang coba dibangun di atas langgam budaya yang barbar, penuh kebencian, dan anti-keterbukaan? Tidak. Kita jangan pernah bermimpi membangun peradaban jika pikiran kita masih dipenuhi kebencian dan kecurigaan. Peradaban yang maju itu didasarkan pada sikap keterbukaan dan mau menerima perbedaan. Oleh karena itu kita mesti melakukan perubahan. Dan perubahan itu harus dijalankan melalui jalur kebudayaan, yang tentunya tidak instan.
Jalan Kebudayaan
Mengapa pembangunan peradaban harus dilakukan melalui jalur kebudayaan? Bukankah perubahan bisa dilakukan dengan kekuasaan politik, dan itu bisa memiliki dampak yang besar? Tidak! Dalam catatan sejarah, setiap perubahan yang dilakukan dengan kekuasan politik selalu memakan korban. Revolusi China, Revolusi Rusia, dan baru-baru ini Revolusi Timur Tengah, sudah menjadi bukti nyata bahwa perubahan dengan kekuasaan selalu meminta tumbal.
Jalan kebudayaan adalah jalan yang lengang, namun sangat fundamental. Kenapa demikian? Sebab manusialah yang menjadi subjek kebudayaan, dan di jalan ini tak ada hura-hara aksi frontal. Peter Jan Bekker S.J. dalam Filsafat Kebudayaan menegaskan bahwa fenomen kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani (1984: 14). Di jalan itu, manusia berusaha menghadapi tantangan alam sesuai dengan nilai-nilai yang khas ada pada dirinya sendiri: nilai manusiawi.
Sebagai subjek kebudayaan, manusia akan selalu hidup di dalamnya. Ia tidak bisa keluar dari ruang budaya. Oleh karena itu, apapun yang berkaitan dengan kebudayaan akan selalu terkait dengan cara manusia menjalani kehidupan. Pola perilaku manusia di dalam keseharian tergantung pada kebudayaan apa ia dibesarkan.
Itulah landasan mengapa kebudayaan menjadi sangat strategis sebagai jalan pembangunan. Kebudayaan melingkupi seluruh sisi aktivitas kemanusiaan. Mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, politik, hingga keagamaan, kebudayaan menjadi corak yang menentukan.
Namun, selama ini terkadang di antara kita ada yang salah kaprah dalam memandang kebudayaan. Kebudayaan dipandang hanya sebatas sistem sosial-kemasyarakatan yang tampak dalam laku keseharian. Padahal kebudayaan tidak selalu tampak konkrit dalam bentuk fisik atau tindakan, tetapi juga bisa sangat abstrak yang berupa tata nilai.
Seperti dikutip Peter Bekker dalam Filsafat Kebudayaan, Y. de la Brière menegaskan bahwa kebudayaan adalah: “A set of material, intellectual and moral values, and conditions which make it possible and even easy for the human community to expand and develop harmoniously,” (Etudes, Paris, 1940). Jadi, kebudayaan tidak hanya memiliki wujud material, melainkan juga dapat berupa nilai moral dan intelektual.
J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959), mencoba membedakan adanya tiga wujud kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts (hlm. 11-12). Tiga wujud itu menurut Koentjaraningrat saling berkaitan. Wujud yang paling abstrak yang berupa ide-ide pemikiran akan melahirkan sesuatu yang lebih konkrit berupa aktivitas sosial di dalam keseharian. Sementara aktivitas keseharian akan menghasilkan sesuatu yang lebih konkrit lagi berupa artefak-artefak kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009: 150-152).
Dari hal itu, kita tahu bahwa sebenarnya fenomen kebudayaan yang tampak dalam keseharian lahir dari sesuatu yang abstrak berupa ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, atau nilai-nilai. Ini meneguhkan pandangan bahwa apa yang universal memayungi yang partikular; dan keseluruhan mendasari bagian-bagian. Pada titik inilah kita bisa mulai meretas jalan panjang menuju titik kemajuan.
Filsafat sebagai Jalan Keadaban
Di era yang memiliki kecenderungan besar pada sesuatu yang instan, filsafat menjadi subjek ‘yang terlupakan’ atau mungkin sengaja ‘dilupakan’. Orang tidak lagi memiliki ketertarikan pada filsafat, karena dianggap tidak memiliki manfaat praktis dalam aktivitas keseharian. Filsafat dianggap terlalu ‘abstrak’. Oleh karena itu, jurusan-jurusan filsafat di perguruan tinggi selalu sepi peminat.
Saat fenomena kelupaan akan filsafat ini menggejala, di saat yang sama, kita menyaksikaan fenomena lain yang berupa sikap anti-perbedaan, sikap intoleran, dan kekerasan. Fenomena kedua ini yang sering membuat kaum minoritas menjadi pihak ‘yang terpinggirkan’. Mereka menjadi korban dari kuasa mayoritas yang anti-perbedaan.
Bila kita sepakat dengan pandangan Koentjaraningrat di atas, bahwa wujud kebudayaan yang konkrit merupakan turunan dari tata nilai yang abstrak, maka kedua fenomena ini bisa kita pertemukan dalam garis yang sama. Sikap intoleran terhadap perbedaan muncul sebagai akibat dari adanya pemikiran yang meyakini kebenaran bersifat tunggal. Dari sinilah seluruh sikap dan tindakan seseorang berawal.
Filsafat sebagai subjek yang berada pada level abstrak; terkait dengan persoalan nilai; dan berkelindan dalam ranah pemikiran, maka filsafat juga bisa mendasari pola perilaku seseorang atau bahkan seluruh bangunan kebudayaan. Dalam posisi seperti inilah filsafat bisa menjadi rancang bangun kebudayaan yang diwarnai oleh sikap toleran, keterbukaan, perdamaian, dan keadaban. Sebab, sejak periode antik (ancient philosophy), wacana filsafat selalu mensyaratkan adanya keterbukaan pikiran.
Sokrates, filsuf yang menjadi tonggak pemikiran Yunani kuno, sudah sejak awal mengajarkan kepada kita tentang tugas filsafat. Filsafat bertugas untuk membentuk sikap keterbukaan, keugaharian, dan keutamaan. Sikap tersebut bisa dibentuk dengan metode yang oleh Sokrates disebut elegkhos: sebuah metode penyingkapan kebenaran (aletheia) dengan cara penyanggahan. Metode ini sekarang dikenal dengan istilah “Dialektika Sokratik”.
Elegkhos ini digunakan untuk menelanjangi klaim seseorang yang menyatakan dirinya sebagai pemilik kebenaran tunggal (A. Setyo, 2015: 59). Dengan metode ini diharapkan agar seseorang tidak selalu merasa paling benar. Elegkhos berusaha mengantarkan seseorang pada sikap kerendah-hatian, keterbukaan pikiran, dan akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang berkeutamaan.
Dahulu, Sokrates sering berjalan ke pasar-pasar, dan ketika menemui seseorang selalu mengajaknya untuk berdialektika menggunakan nalar dengan sikap penuh keterbukaan. Hal seperti ini yang sekarang sering dilupakan oleh banyak orang. Perbedaan pemikiran jarang sekali dipertemukan secara dialogis. Akhirnya yang terjadi justru penghakiman sepihak dan konfrontasi fisik.
Kemauan untuk membangun ruang-ruang dialogis itu juga membutuhkan keutamaan. Dalam hal ini diperlukan kemenangan nalar atas hasrat kebinatangan. Rasa iri, benci, dendam, dan sebagainya harus dikalahkan oleh nalar agar perbedaan tidak mengarah pada pertikaian.
Plato, murid Sokrates, memberikan penjelasan tentang sumber keutamaan (goodness) pada diri manusia. Menurut Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian: epithumia, thumos, dan logos. Dari ketiga bagian itu, keutamaan terletak pada bagian yang ketiga, yaitu logos (Nicholas dalam “Plato’s Concept of Goodness”, Hugh H. Benson [ed.], 2006: 357).
Logos adalah bagian jiwa yang terletak di kepala yang selalu mendorong manusia untuk melakukan penalaran rasional. Dari penalaran rasional itulah akan muncul keutamaan atau kebaikan. Bila setiap tindakan manusia didasarkan pada logos, maka niscaya kehidupannya akan mencerminkan nilai-nilai kebajikan dan kebijaksanaan. Sementara epithumia dan thumos adalah bagian jiwa yang masing-masing terletak di bagian perut ke bawah dan dada. Kedua bagian jiwa ini memiliki hasrat yang irasional (irrational desire). Epithumia adalah letak nafsu makan dan hasrat seksual, sedangkan thumos adalah letak nafsu kekuasan, nafsu kehormatan, dan nafsu pujian.
Dalam menyikapi keberadaan orang lain terkadang kita tidak menggunakan logos, melainkan dengan menggunakan epithumia atau thumos. Akibatnya, relasi dengan orang lain hanya terbatas pada dorongan untuk memuaskan nafsu makan dan hasrat seksual (epithumia); serta untuk mempertahankan kekuasaan, mendapatkan kehormatan, dan mencari pujian. Relasi dengan orang lain yang tidak didasarkan pada logos, ketika dihadapkan pada perbedaaan akan rentan untuk mengarah pada pengakiman sepihak dan akhirnya jatuh pada aksi kerusuhan dan pertikaian.
Logos dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan oleh seorang filsuf: orang yang cinta akan kebijaksanaan; cinta kebenaran; dan cinta keadaban. Jadi, pembangunan peradaban bisa dimulai dengan penghargaan atas filsafat: logos. Hal ini tidak bermaksud untuk meneruskan utopia Plato. Hanya saja ini merupakan sebuah usaha untuk membangun peradaban dengan langgam budaya yang memuliakan nalar. Dalam kebangkitan nalar itulah keberagaman dan perbedaan bisa dirayakan, sedangkan segala rupa dendam, kebencian, pengucilan, dan kekerasan akan terus dikubur dalam-dalam.
Pilihan Kemanusiaan
Empat abad sebelum Masehi, Siddharta Gautama telah menyampaikan hal-hal mendasar mengenai pikiran. Baginya, pikiranlah yang membentuk manusia dengan segala macam perangainya. Kemudian, belasan abad setelah Siddharta, Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa dunia adalah penjelmaan dari pikiran. Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan harus dimulai dari dalam pikiran: filsafat.
Filsafat sebagai sistem gagasan yang abstrak telah mengajarkan kita tentang keterbukaan pikiran dan penghargaan atas nalar. Hal tersebut bisa mendasari struktur kebudayaan dalam praksis kehidupan. Karenanya, filsafat jangan hanya tersendat di dalam tenggorokan atau terbujur kaku di dalam tulisan, malainkan harus hidup dalam setiap laku keseharian. Sebab, usaha menghidupkan filsafat dalam laku keseharian adalah pilihan kemanusiaan.
Dengan begitu, kisah tentang filsafat sebagai subjek ‘yang terlupakan’ dan minoritas sebagai pihak ‘yang terpinggirkan’ akan diakhiri dengan kisah kebangkitan nalar dan menjamurnya keterbukaan pikiran, sehingga bangsa ini berhasil membangun mercusuar peradaban yang selalu tampak berkilau. Dan… satu lagi, dengan ini, semoga tak ada lagi kisah maba filsafat yang membingungkan kakak angkatannya dengan pertanyaan: “Setelah lulus nanti kita kerja apa?”[]