Suatu saat kita selalu saja, tanpa terkontrol, dalam sebuah suasana yang khusus, mengucapkan susunan kata yang tidak jelas, tidak jelas karena bukan ditujukan untuk membangun sebuah percakapan, bukan kata sebagai alat tukar untuk berkomunikasi. Seperti mengigau atau “asbun” (asal bunyi). Sebuah kata yang memang lahir dari ruang privat kita sendiri yang, entah, mungkin tak bermakna. Atau mungkin sebuah teriakan yang hadir tiba-tiba, ketika lalu lintas dalam pikiran begitu rumit dan macet. Ada hal yang seketika tidak bisa diurai oleh bahasa, sebuah realitas yang menggumpal, dan tak sempat terurai dalam kata-kata. Teriakan itu, siapa yang mengerti? Beberapa saat setelah keluar dengan cepat dari mulut, kita baru tersadar bahwa ada yang telah diucapkan. Seperti dengan indah dan lembut dituliskan Sapardi Djoko Damono dalam puisinya yang sederhana,
“Ketika berhenti di sini, ia mengerti.
Ada yang telah musnah.
Beberapa patah kata yang segera dijemput angin, begitu diucapkan
dan tak sampai ke siapa pun.”
Memang racauan, igauan, teriakan, sesuatu yang menggumpal dalam benak tersebut, sewaktu-waktu bisa kita kelola, kita curahkan. Jika memang mampu dan lihai menjinakannya ke dalam beberapa medium hal tersebut lalu bisa menjadi karya seni. Seni sastra misalnya, atau barangkali nada-nada.
Menulis, menurut Kafka adalah sebuah perjumpaan kita menemui bahasa sekaligus menemukan bahasa[1]. Ketika segala hal yang menggumpal itu meleleh menjadi sebuah kata-kata, segala hal privat tadi masuk ke dalam berbagai tanda-tanda yang dipahami oleh banyak orang. Tetapi, menemukan bahasa bisa disebut juga menemukan pengalaman baru, makna baru dalam sebuah kata, bukan sebenar-benarnya menemukan bahasa baru yang belum beredar di khalayak umum, namun rasa baru dari sebuah kata yang sudah lama ada. Akhirnya, lelehan itu harus menemui khalayak. Bukankah kita selalu ingin didengar oleh apa atau siapa pun itu?
Dalam puisi, gumpalan-gumpalan itu dilelehkan tidak hanya dengan pola pelelehan yang runtut dan langsung, yang seakan ingin menjelaskan segalanya. Tapi selalu ada pola berlapis yang memberi lipatan-lipatan lainnya, semisal perhitungan akan keindahan bunyi, keharmonisan irama, kekayaan imaji, ketepatan simbol, rancang bangun kata-kata, dan lain sebagainya[2] dan karena hal tersebut, terkadang puisi hanya mampu melelehkan sebagian dari keseluruhan gumpalan itu.
Antara puisi dan nada memang selalu erat bergandengan. Di dalam kebudayaan leluhur kita pun banyak sekali aktivitas kesenian yang menautkan antara puisi dan nada, seperti misalnya pembacaan pantun di kebudayaan Sunda.
Beberapa penyair menulis puisi tidak untuk menjelaskan apapun, ia hanya ingin melatih jemarinya untuk mampu menghasilkan keajaiban dalam kata-kata saja. Memotret suasana yang Ia rasakan betul secara detail ke dalam karya seni dan mungkin tak ingin benar-benar dipahami. Seperti, lagi-lagi, dalam pasase Sajak-sajak Empat Seuntai-nya Sapardi Djoko Damono, jika suatu hari nanti mereka mencapaimu / rahasiakan, sia-sia saja memahamiku.
Puisi-puisi tak melulu menjadi sebuah wahyu yang mengirimkan kabar-kabar ilahiah, atau menjelma manjadi kompas moral yang mengarahkan moral manusia yang membacanya ke satu tujuan, atau dengan kata lain puisi tak melulu harus memuat beban-beban makna di kedalamannya. Cukup keindahan-keindahan yang tampil di permukaan, seperti keindahan bunyi, keharmonisan irama, kekayaan imaji, ketepatan simbol, pantikan terhadap berbagai permenungan, dan berbagai macam bentuk teknis lainnya. Untuk barangkali menegaskan bahwa keindahan selalu tercipta dari bentuk bukan dalam isi. Bagaimana mengucapkannya, bukan apa yang diucapkannya.
Terutama dalam bunyi dan irama, puisi bisa begitu menyenangkan untuk dinikmati. Bunyi menempati posisi estetik yang penting dalam puisi. Bunyi pulalah yang menjelma angin menggelombangkan permadani bagi para pembacanya. Sebagaimana Goenawan Mohamad mengisahkan dengan gayanya yang khas tentang perkenalan pertamanya dengan puisi “yang berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja” seperti tuturnya.
Ketika umurnya belum belasan tahun, ia sering mendengarkan para nelayan bernyanyi di sebuah tikungan sungai tak jauh dari rumahnya. Di atas sebuah perahu yang mampu memuat 16 orang itu, dengan diberi dua atau tiga lampu petromaks, beberapa orang dewasa nelayan mendayung, sambil menyanyi.
“Seseorang akan melantangkan suaranya, solo, dan tiap kali, sambil dayung panjang itu diempaskan, awak yang lain akan menyahut dalam paduan suara”, tulisnya dengan deskripsi yang ciamik, “Apa yang mereka lagukan hanya sepatah-sepatah saya tangkap. Mereka mengubah-ubahnya tiap kali di sana sini. Tapi, selalu ada sugesti erotik, juga melankoli, pada pelbagai baris”, lalu diakhiri dengan pernyataannya, “ketika kemudian saya mengenal dan menyukai puisi, suara nyanyian menuju muara itulah yang selalu saya ingat. Puisi datang pertama kali kepada saya melalui nadanya, suara yang bergerak menjauh, ketika hari tiga perempat gelap.”[3]
Antara puisi dan nada memang selalu erat bergandengan. Di dalam kebudayaan leluhur kita pun banyak sekali aktivitas kesenian yang menautkan antara puisi dan nada, seperti misalnya pembacaan pantun di kebudayaan Sunda. Ketika selesai menyajikan sesajen, ngukus, membacakan rajah pembuka (semacam doa atau mantra untuk meminta izin kepada roh nenek moyang) yang sembari dinyanyikan sebagai gerbang pembuka menuju pembacaan pantun yang khidmat, pantun dinyanyikan dengan diiringi petik kecapi yang mengalun. Atau juga seperti di langgar-langgar di perdesaan, ketika sore hendak habis, anak-anak kecil atau kadang ibu-ibu pengajian mengalunkan nadom puji-pujian. Sebaris lirik berisi puji-pujian terhadap nabi atau doa-doa kepada Tuhan, yang menggunakan nada-nada, sebelum hari benar-benar gelap dan magrib tiba. Puisi-puisi banyak terdistribusikan melalui gelombang nada yang merambat menuju pendengaran.
Sebagaimana pula di Eropa pada abad pertengahan, di istana-istana Occitania pada akhir abad ke-11. Para troubadour menyanyikan lirik-lirik yang bertema keksatriaan dan courtly love, kecenderungan kesusasteraan Eropa di zamannya yang kemudian memantik gaya-gaya yang sama di beberapa negeri di Eropa lainnya, seperti Minnesang di Jerman, Trovadorismo di Galicia dan Portugal atau Trouvères di utara Perancis, yang gandrung menyanyikan puisi.
Bagi Tedjoworo seni adalah media bagi imaji mewahyukan dirinya, yang juga mampu memberikan suka atau duka kepada siapa saja.
Kelindan antara puisi dan nyanyian memang begitu intim, saling mengisi. Hingga sekarang kita mempunyai satu jenis musik lain, yaitu musikalisasi puisi. Sebuah puisi yang dimusikalisasikan atau sebuah musik yang diisi oleh puisi. Sebagaimana yang sering kita dengar sekarang dari, salah satu tonggak musikalisasi puisi Indonesia, Ari Reda atau dari Yayan Katho di Bandung, Nankinun di Yogyakarta, dan berbagai komunitas-komunitas lainnya. Hal tersebut, selain merupakan dampak dari musik-musik folk yang sedang mekar, dengan eksplorasi musikal yang jauh tak terbendung, dan tak terkerangkeng keinginan pasar –mungkin karena didistribusikan secara indie– juga karena lirik-liriknya yang puitik. Salah satu yang menarik perhatian adalah Jason Ranti.
Seperti dalam epigraf di atas, yang menceritakan suasana dimana seseorang selalu ada waktu untuk meracau tidak jelas, mengigau, dan berteriak. Maka segala gejala itu dikandung oleh Jason Ranti. Penyanyi solo asal Tanggerang yang memainkan gitar dan harmonika itu sungguh begitu. Di setiap pertunjukannya Ia seperti sedang meracau, ngacapruk, menyebut segala hal yang mungkin lewat tak sengaja dalam pikirannya. Nyanyian dengan tempo yang fluktuatif, tergantung perasaannya mungkin, dan nada-nada yang begitu-begitu. Kadang ia bernyanyi sambil berbisik-bisik dan dalam sekali balikan tangan Ia bernyanyi sambil teriak-teriak.
Yang menjadikan Jason Ranti relevan adalah lagunya yang berjudul “Lagunya Begini Nadanya Begitu”. Lagu yang diciptakan untuk Pak Sapardi dalam acara AriReda untuk Sapardi Djoko Damono di Jakarta. Lirik dalam lagu itu semacam kolase dari beberapa puisi Sapardi ditambah parodi-parodinya dengan lirik-lirik khas Jason Ranti.
“bilangnya begini maksudnya begitu kita abadi yang fana itu waktu,
Barangkali hidup adalah doa yang panjang,
Aku ingin menangis menerka gerimis di sepanjang lorong itu aku tak ada nyali,
Ada berita apa hari ini, Dian Sastro?
Ternyata hatiku selembar daun,
Aku ingin ngopi dengan sederhana di bulan juni”,
Lirik itu hanya kolase, penempelan bahan-bahan yang kadang tidak ada hubungannya sama sekali, tidak runtut ingin menyampaikan apa sebenarnya. Maka ia akui itu dengan menuliskan, Lagunya begini nadanya begitu, maknanya tak ada mirip seperti pejabat. Ia melepaskan lagunya dari beban makna-makna. Memupus harapan para pendengarnya dari hasrat apresiasi yang selalu ingin mendapatkan makna, pesan moral, atau gagasan atau apalah-apalah itu dari sebuah karya seni. Seperti sering kita dengar dan lakukan ketika mencoba menikmati sebuah karya seni, lukisan misalnya, selalu yang pertama terucap, biasanya, adalah, “Ini, apa sih maksudnya?”
Kita memang selalu mencoba tenggelam di kedalaman, kedalaman makna dan kedalaman maksud. Kita lebih ingin memahami mengapa ini terjadi, mengapa begini, mengapa seperti itu, ketimbang hanyut menikmati yang terjadi, yang begini, dan seperti itu. Seakan-akan segala karya seni harus seperti logo sebuah organisasi, yang memuat banyak makna di setiap garis, lekuk, dan warnanya.
Hadrianus Tedjoworo, staf pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, dalam artikelnya di jurnal Imaji, menuliskan bahwa ketika seseorang melihat sebuah gambar di koran atau majalah dan berkata, “Suka gambarnya”, selalu dianggap kekanak-kanakan dan dangkal sedang kedewasaan adalah apabila memahami isi dan maknanya dalam pola yang konseptual, apalagi melalui kata-kata dan kategori, ketimbang menikmati permukaan gambar dengan imajerialitasnya. Bagi Tedjoworo seni adalah media bagi imaji mewahyukan dirinya, yang juga mampu memberikan suka atau duka kepada siapa saja[4]. Dia menegaskan pula bahwa kata ‘suka’ adalah perwakilan otentik jiwa imajerial setiap manusia. Kata ‘suka’ itu tidak akan diucapkan orang karena membaca sebuah petunjuk pemakaian obat, atau membaca komposisi bahan mie instan, ‘suka’ adalah yang lahir karena seni dan apapun yang imajerial, dan baginya itu bukanlah ekspresi yang infantil.
Ketika banyak seniman terobsesi pada kedalaman dan menganggap itu adalah puncak spiritualitasnya, Tedjoworo menyerukan untuk ‘tenggelam di permukaan’, karena baginya permukaan adalah satu-satunya tempat bersentuhan dua realitas. Segala indera bekerja dalam permukaan. Kedalaman hanyalah kejadian sekunder di saat otak dan interpretasi campur tangan.
“Tenggelam di permukaan”, seru Tedjoworo “adalah sebuah ajakan untuk memandang serius sebuah permukaan”, lanjutnya lagi “Permukaan bagi seni, adalah sebuah locus, ‘tempat’ untuk berada. Bagi pengalam seni, permukaan layaknya thesaurus untuk mengalami seni sebagai media imaji. Tidak ada cara lain untuk mengalami seni tanpa ‘tenggelam’ di permukaan. Bukankah setiap karya seni juga seperti pusaran air? Ia menyedot dan menenggelamkan setiap pengalam yang otentik, dan bukan justru melontarkannya ke alam diskursif.”[5]
Menurut Tedjoworo ada dua konsekuensi epistemologis dari ketenggelaman di permukaan. Pertama yaitu impresi-impresi lebih berperan penting dalam proses apresiasi karya seni ketimbang hasil-hasil rasionalisasi dan abstraksi. Baginya sehebat apapun spekulasi itu tetap aktivitas sekunder. Kedua, tugas seniman ialah menghadirkan imaji-imaji melalui karyanya, dan bukan menjadi duta konsep atau pesan moral. Walaupun begitu Tedjoworo tak menampik bahwa karya seni dapat membawa perubahan moral atau menyampaikan kritik sosial pada level tertentu. Sebagaimana ketika Realisme Sosialis lahir dengan petunjuk dasar bahwa “Pengarang (seniman) harus menjadi insinyur jiwa manusia”.
Ketika banyak seniman terobsesi pada kedalaman dan menganggap itu adalah puncak spiritualitasnya, Tedjoworo menyerukan untuk ‘tenggelam di permukaan’, karena baginya permukaan adalah satu-satunya tempat bersentuhan dua realitas.
Tafsir, interpretasi, dan pemaknaan memang hak dari para pengapresiasi selain juga dari menikmati, menghayati, dan ekstase dalam imaji-imaji. Maka berkumandang lagi adagium terkenal pengarang telah mati. Seperti akuan Jason Ranti di dalam artikel tentangnya dalam Tempo.co, ia mengatakan lagu-lagunya sering ditafsirkan secara berbeda, tak jarang muncul pertanyaan-pertanyaan tak biasa atas lagunya, tapi Jeje, panggilannya, tak pernah menanggapi secara serius segala tafsiran atas lagunya “Saya menanggapinya secara aneh-aneh juga,” sambil tertawa. Antara tafsir atas karya dan pengarangnya telah kehilangan jalur. Ia bisa bergerak dan bertautan dalam posisi yang lain, tapi bukan lagi sebagai penafsir dan yang ditafsir.
Maka, segala perasaan subjektif, realitas-realitas di sudut privat kesadaran manusia, bisa mengembara menemui berbagai macam kesadaran lainnya. Entah sebagai hujan atau hanya tempias-tempiasnya saja. Tapi, memang selalu begitu, sebagaimana etika tidak dibutuhkan oleh satu orang, namun ketika hadir yang-lain, etika menjadi sebuah keniscayaan atau menjadi sebuah problem. Segala perasaan subjektif, gumpalan-gumpalan rasa di satu sudut ruang privat, memang begitu apa adanya untuk dinikmati, dihayati oleh sendiri, dan tanpa problem, tetapi ketika itu menemui khalayak, yang-lain, Ia akan selalu begitu, menjumpai berbagai hal-hal yang akan memunculkan problematika baru.
Catatan Akhir:
[1] Lih, Goenawan Mohamad, Puisi dan Antipuisi, (Jakarta: Tempo dan PT. Grafiti, 2011)
[2] Lih, Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk (Bandung: Nuansa Cendekia, 2011)
[3] Lih, Goenawan Mohamad, Puisi dan Antipuisi (Jakarta; Tempo dan PT. Grafiti, 2011)
[4] H. Tedjoworo, Imagologi: Jalan (Kembali) Menuju Imajerialitas Seni (Bandung, Jurnal Seni Murni Imaji Vol 1 – No 2, Februari 2006)
[5] Ibid, Lih. Hal 148
Daftar Pustaka:
Goenawan Mohamad, Puisi dan Antipuisi (Jakarta: Tempo & PT. Grafiti pers, 2011)
Hadrianus Tedjoworo, Imagologi: Jalan (Kembali) Menuju Imajerialitas Seni (Bandung, Jurnal Imaji UNPAR, 2006)
Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni cet ke 8 (Jakarta, Gramedia, 2016)
Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk (Bandung, Nuansa Cendekia, 2011)
Octavio Paz, Nyala Ganda (Yogyakarta, Basabasi, 2018)