spot_img
More

    Albert Camus dan Ketidakbermaknaan Hidup

    Featured in:

    Membaca karya Albert Camus pertama kali membuat saya takjub sekaligus kagum pada pemikirannya. L’Etranger (Orang Asing) adalah salah satu karyanya yang sangat saya kagumi. Albert Camus, melalui L’Etranger, mampu membawa saya pada suasana bacaan yang memiliki rasa pada kebanyakan film indie yang begitu melankolis dengan sang lakon yang bersifat sedih, hopeless, suka menyendiri, dan menggali maksud kehidupannya sendiri. Hingga kini menonton film-film indie selalu mengingatkan saya dengan filsafat Camus. Kebanyakan film indie menceritakan rutinitas sang lakon utama dengan akhir kisah yang mengambang tetapi menjelaskan bahwa kehidupan masih berjalan tidak berhenti ketika kredit film diputar. Seakan-akan mengajak penonton berpikir ulang apa yang terjadi berikutnya, namun penonton lupa jika film yang baru saja diputar adalah sebagian kejadian dari sebuah jalan panjang bernama kehidupan. Dan kecintaan saya pada film indie yang membuat saya kagum pada filsafat Camus.

    “Manusia melupakan jika ia hidup dan hanya tenggelam oleh ilusi suatu pencapaian.”

    Albert Camus, lahir di Aljazair pada 7 November 1913 dan meninggal di Villeblevin (Prancis) pada 5 Januari 1960, hanya berumur 46 tahun. Ia meninggal akibat kecelakaan di mana mobil yang dikendarainya bersama seorang penerbitnya bernama Michelle Gallimard menabrak pohon. Camus mulai dikenal banyak orang karena novel pertamanya yaitu L’Etranger dan mulai memperoleh penghargaan seperti Penghargaan Nobel pada tahun 1957 pada bidang Kesusastraan. Melalui novel L’Etranger, Camus memperkenalkan pemikirannya dan menciptakan suatu mazhab filsafat dalam eksistensialisme yaitu absurdisme. Menurut saya, begitu sulit memahami pemikiran Camus karena Camus tidak menjelaskan secara eksplisit dan sistematis apa itu absurdisme. Banyak asumsi jika Camus lebih tepat digolongkan sebagai sastrawan ketimbang sebagai filsuf, karena diksi yang metafora dan hiperbola khas absurdis. Namun Camus menyusun filsafat dengan gaya sastrawan yang bukan hanya menyampaikan pemikirannya namun mengajak pembaca merasakan suasana pemikirannya. Camus sebagai filsuf yang mampu menyatakan secara konkret pemikirannya dalam bahasa perasaan.

    L’Etranger dalam Pengartian Hidup yang Absurd

    “Hari ini Ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu.”[1]

    Ketika membaca L’Etranger, kita akan menemukan ungkapan yang menggambarkan ketidakwajaran bagi manusia pada umumnya. Sebelum menjelaskan bagaimana hidup yang absurd menurut Camus, saya akan menceritakan secara singkat isi dari L’Etranger. L’Etranger sebuah novel yang ditulis oleh Camus pada tahun 1942. Novel ini mengisahkan tentang tokoh fiksi yang bernama Meursault.

    Meursault adalah seorang tokoh yang memiliki sifat melankolis, careless, pasif, atau saya bahasakan seperti tidak memiliki semangat hidup. Sifat Meursault tercermin pada bagaimana ia menjalani kehidupannya sehari-hari. Kutipan awal novel tersebut merupakan contoh ketidakwajaran dan ketidakbermaknaan hidup Meursault, ketika kebanyakan orang akan menangis dan sedih mendengar kabar orang yang dicintainya meninggal, tokoh Meursault malah bersifat biasa saja dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Meursault menyadari bahwa ketika ibunya ada ataupun tiada kehidupan akan tetap berlangsung, ia tetap menjalankan rutinitas, tidak ada yang berubah, dalam L’Etranger tertulis, “bahwa saat ini Ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku”. Contoh kedua bagaimana Meursault melihat orang banyak dan realitas menurut persepsinya. Meursault memiliki hobi untuk melihat kesibukan orang-orang di jalan melalui kaca apartemennya yang sempit. Meursault memandangi mereka dan beranggapan bahwa lingkungan di jalan adalah pemain teater dalam suatu pertunjukan, ya ini pertunjukan baginya. Meursault mengamati segala sesuatunya seperti orang, binatang, kendaraan, gedung, bahkan suasana dan waktu juga ia amati. Ia menilai sendiri karakteristik dari segala substansi yang ia lihat. Meursault yang memandangi realitas di hadapannya, menilai dirinya sebagai “orang asing” di sana, karena ia tidak menjadi manusia yang mengerjakan kesibukan di jalanan yang ramai (menyatu dengan realitas), ia hanya mengamati jalan dan berpikir tentang mereka yang sedang dijalan maka realitas juga tidak menganggap bahwa Meursault ada di tengah-tengah kehidupan kala itu. Absurditas yang ingin ditunjukkan Camus adalah kesadaran Meursault yang merasa berbeda daripada lingkungannya. Meursault seakan-akan berpikir mengapa masyarakat melakukan rutinitas daripada menuruti suatu rutinitas yang harus dijalankan manusia. Ia satu-satunya yang menolak lingkungan.

    Suatu ketika Meursault berlibur ke pantai bersama teman-temannya. Liburan Meursault kacau karena salah seorang temannya bermasalah dengan orang-orang Arab. Ketika suasana sudah terkendali, Meursault mendatangi salah satu orang Arab yang sedang menikmati pantai dan menembaknya tiga kali hingga mati. Seusai membunuh orang tersebut, Meursault tidak merasa bersalah ataupun takut, secara implisit dapat dikatakan jika Meursault kini tahu rasanya membunuh, bagai sebuah jawaban yang telah lama dicari. Meursault pun rela menyerahkan diri untuk dipenjara dan diadili. Ketika di penjara Meursault tetap merasa tidak ada yang berubah, ia merasa kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, keadaan seperti ini yang saya katakan sebagai ketidakbermaknaan hidup. Selama proses pengadilan Meursault juga tetap merasa biasa tidak ada yang membuatnya senang, sedih, atau apapun. Ia menjawab segala pertanyaan baik yang dilontarkan hakim, juri, bahkan penuntut. Meursault yang feelingless berkata jujur bahwa ia membunuh orang Arab tersebut namun bukan karena kebencian atau keinginan untuk membunuh. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kebanyakan juga menyudutkan Meursault, pertanyaanya tidak seputar kasus penembakan malah mengarah pada kehidupan pribadinya yang dinilai masyarakat tidak wajar dan aneh, seperti pertanyaan mengapa tidak bersedih ketika ibumu mati atau mengapa kau menembak seorang Arab mengapa bukan orang non-Arab. Pada akhirnya Meursault diputuskan bersalah dan harus dihukum mati atas rasa penasarannya untuk menarik pelatuk pistolnya tersebut. Pada akhir novel L’Etranger tertulis, “supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan-cercaan”.[2]

    Kisah Meursault sungguh memilukan. Meursault sejatinya hanya seorang pemuda yang melawan kebiasaan masyarakat, menjadi asing karena mulai menyadari ketidakbermaknaan hidup. Hidup itu absurd! Meursault memandang bahwa kehidupan adalah sebuah jalan yang panjang yang harus ditempuh. Sedangkan fenomena atau kejadian dalam hidup hanyalah persinggahan sesaat bagai pom bensin guna melanjutkan perjalanan panjang tersebut. Tidak ada yang namanya pencapaian yang harus dibangga-banggakan. Camus juga menerangkan jika tokoh fiksinya ini memilih untuk menjadi manusia nyata sesuai kehendaknya, ia berkata sesuai keinginannya, tidak menjadi palsu di masyarakat, tidak membohongi perasaannya sehingga sikap-sikap ini membuatnya diasingkan. Menjadi pribadi yang real ditunjukkan pada sikap-sikap seperti ketiadaan kesedihan pada kematian, mencari tahu dan merasakan asumsi jahat pada pembunuhan, tidak menjadi bentukan sosial, dan Meursault ingin melawan kesepian. Meursault mengajarkan bahwa nampaknya kehidupan akan tetap berjalan ada ataupun tak ada suatu fenomena. Tak perlu menganggap suatu fenomena hebat ketika perjalanan masih panjang, atau fenomena hanya ilusi yang mengaburkan dalam menjalani kehidupan saat ini. Meursault tetap berjalan pada jalan panjangnya tanpa suatu perasaan apapun.

    Absurd dapat diartikan sebagai kondisi di mana manusia tidak mampu menetapkan tujuan dan makna bagi hidupnya, bahkan secara khusus diartikan kondisi manusia tidak mengerti apa itu kehidupan dan untuk apa manusia hidup.[3] Bagi Camus, ketidakjelasan tujuan hidup adalah hal yang absurd. Contoh paling sederhana manusia tidak dapat mengetahui bagaimana masa depan itu, ketika gambaran masa depan masih begitu abstrak mengapa manusia malah menantikannya. Melalui sosok Meursault Camus menerangkan bahwa banyak sekali dalam kehidupan ini yang tidak bisa dipahami dan terlampau tidak wajar seperti contoh tentang masa depan yang abstrak tersebut, dan Meursault memiliki kesadaran akan itu sehingga ia memilih menjalani hidup sebagai mana adanya tanpa menganggap hidup adalah sesuatu yang hebat. Manusia yang absurd, seperti Meursault, adalah manusia yang hidup untuk masa ini dan meninggalkan masa lampau maupun masa depan.[4]

    Kisah Mitologi Mengenai Absurdisme

    Dalam menjelaskan Absurdisme, Camus menggunakan kisah mitologi Sissyphus sebagai penggambaran konsep Absurdisme. Kisah mitologi ini bercerita tentang seorang raja dari Corinth bernama Sissyphus yang dikutuk Zeus untuk mendorong batu ke puncak bukit selamanya. Kisah mitologi ini hingga sekarang telah diceritakan dengan banyak versi, ada yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena bermain-main dengan aturan kematian, ada juga yang mengisahkan bahwa Sissyphus membocorkan rahasia Zeus ditukar dengan sebuah makanan, ada pun yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena melihat Zeus menculik Aegina, putri Asopus, untuk dikawini dan melaporkannya pada dewa sungai. Apapun bentuk konfliknya, Sissyphus tetap dikutuk dan diasingkan ke Tartarus oleh Zeus untuk mendorong batu ke puncak tak berkesudahan dan selamanya. Batu yang didorong Sissyphus tak akan terus berhenti menggelinding, ketika Sissyphus berupaya mendorong batu dan berhasil ke puncak, batunya menggelinding kembali ke bawah dan Sissyphus harus mendorongnya kembali ke puncak, dan begitu seterusnya tak berkesudahan.

    “Mereka (manusia) melupakan jika perjalanan masih panjang dan berhenti sampai kita tidak hidup.”

    Camus mengatakan, “it is during that return, that pause, that Sissyphus interests me. That is the hour of consciousness.” Bagi Camus, manusia sejatinya ialah tokoh Sissyphus. Kesadaran manusia ialah bahwa kehidupan adalah sesuatu yang tidak bermakna dan bertujuan. Camus tidak melihat peristiwa ini sebagai kutukan akibat perbuatan yang salah atau suatu penderitaan, melainkan sebuah kehidupan yang dijalani oleh manusia. Manusia adalah Sissyphus yang memiliki sendiri masing-masing batunya dan memiliki hasrat untuk mendorongnya ke puncak sampai melihat sendiri bahwa batu yang kita dorong ke atas menggelinding kembali ke bawah, ketika mengetahui bahwa batu yang berada di puncak akan menggelinding lagi ke bawah mengapa masih ada hasrat untuk mendorongnya kembali ke puncak? Camus menjawab inilah ketidakbermaknaan hidup, ketika manusia hanya memenuhi kebutuhan hidup tanpa mengetahui apa hidup itu sebenarnya. Jika saya bahasakan, ketidakbermaknaan hidup adalah kondisi tersadar manusia jika kehidupan hanya sebuah perjalanan yang harus ditempuh. Kesadaran bahwa hidup sejatinya berjalan begitu adanya, tentang sebuah fenomena hanyalah suatu hal sesaat. Batu yang didorong Sissyphus adalah kehendak manusia yang bersifat sesaat. Manusia cenderung menurutinya meski tak mengubah kehidupan yang tidak bermakna ini.

    Camus memang absurd, ia berpikir tidak wajar dan berlawanan dengan kultur masyarakat. Banyak anggapan bahwa absurdisme Camus terkesan sedih, hopeless, meaningless dan pesimistis. Melihat kisah Sissyphus banyak yang berasumsi jika kutukan mendorong batu adalah penyiksaan dan hanya bisa diselesaikan dengan bunuh diri. Namun Camus menolak anggapan itu dengan mengatakan, “the struggle itself towards the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sissyphus happy.” Ketidakbermaknaan hidup dapat dijalani ketika kita manusia menganggap kehidupan ini menyenangkan. Penekanan Camus pada kisah Sissyphus adalah kita harus menyadari jika Sissyphus senang mendorong batu. Camus tidak menyerah pada kematian, dia menawarkan solusi bagi ketidakbermaknaan hidup dengan menganggap bahwa hidup adalah sesuatu yang menyenangkan.

    Ada sebuah kisah mitologi yang memiliki tragedi yang sama tentang kutukan abadi, namun ada perbedaan kuat pada sikap menghadapi kutukan tersebut. Yaitu kisah Sissyphus dengan kisah Prometheus. Dalam mitologi Yunani, Prometheus dikutuk oleh Zeus akibat mencuri api, yang kala itu disembunyikan dari manusia, milik Zeus dan diberikan kepada manusia. Zeus menghukum Prometheus dengan mengikatnya di gunung Kaukasia dan perut Prometheus dicabik-cabik oleh elang. Namun ini adalah hukuman abadi, bekas luka cabikan elang akan sembuh kembali dan ketika sembuh elang tersebut kembali mencabik-cabik perut Prometheus. Namun Sissyphus tidak seberuntung Prometheus pada mitologi Yunani karena Prometheus akan diselamatkan Hercules nantinya. Bagian penting cerita ini ialah, ketika Prometheus menjalani kutukan tersebut apa yang paling ia inginkan adalah kematian. Prometheus berharap mati lebih baik ketimbang menjalani hukuman abadi hingga nasib baik menghampirinya untuk selamat. Sama menjalani hukuman abadi namun Sissyphus lebih menganggap hukumannya adalah kesenangan. Dan yang khas dari Camus ialah di tengah-tengah ketidakmampuan penolakan terhadap suatu kondisi kita harus mampu menjalaninya, sama dengan Sissyphus.

    Ketidakbermaknaan Hidup

    Ketidakbermaknaan hidup seperti yang dikatakan Camus akan terus berlanjut. Menurut saya, segala upaya filsuf dalam mencari makna hidup dikarenakan ketidakbermaknaan hidup itu sendiri, dan sekalipun seorang filsuf menganggap diri berhasil menemukan makna hidup tidak akan benar secara obyektif, kembali pada pengalaman hidup yang telah ia alami. Menggunakan kisah Sissyphus, saya beranggapan jika upaya pencarian makna hidup sama dengan mendorong batu ke puncak dan tinggal menunggu waktu untuk batu tersebut kembali menggelinding ke bawah. Sesungguhnya manusia akan selalu dilingkupi oleh keinginan melalui hasrat, namun Camus mengajarkan bahwa sesungguhnya hal itu sia-sia, ketika memenuhi keinginan tersebut kita masih melanjutkan kehidupan.

    Hidup senantiasa berjalan dan manusia ada pada alur kehidupan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan apakah manusia benar-benar tahu mengapa ia hidup atau hidup sendiri apa. Salah satu pertanyaan radikal namun tidak menemukan jawaban yang relevan, pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengungkapkan bahwa hidup itu absurd atau tidak bermakna. Karena hidup tidak bermakna manusia berupaya memaknainya. Beberapa tragedi pada kehidupan memang absurd dan irasional. Seperti mengapa kemalangan terjadi, mengapa depresi terjadi, mengapa kesenangan bukan bukan hal yang abadi, mengapa ada penderitaan, mengapa ada pengharapan. Camus mengajak kita untuk menyadari bahwa hal-hal tersebut hanya sementara dan hidup berlanjut.

    “(Manusia) Menjadi alien dalam kehidupan yang absurd.”

    Ketidakbermaknaan hidup juga disampaikan Camus melalui cerita pendeknya yang terangkum pada buku yang ia tulis berjudul L’exil et le royaume (1957). L’exil et le royaume merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Camus sendiri yang semua cerpen mengisahkan tentang keterbelengguan manusia dan bagaimana mereka merasakan kemerdekaan. Dalam buku ini, Camus menjelaskan kondisi manusia ketika terbelenggu oleh situasi sosial dan tidak merasa merdeka atas dirinya sendiri, terbelenggu oleh situasi sosial dengan maksud adanya tekanan pada situasi lingkungan terhadap seorang manusia dalam menyatakan eksistensinya. Contoh sederhana ialah kondisi manusia depresi dalam menemukan jati diri, dalam upaya pencarian jati diri banyak sekali yang diharapkan namun sering kali berlawanan dengan realitas maupun kultur masyarakat. Pada kondisi tersebut manusia-manusia terbelenggu ini hanya bisa diam dan menerima nasib apa adanya. Mereka membayangkan bagaimana kemerdekaan itu, membayangkan suatu kondisi di mana mereka dapat menjadi seperti apa yang mereka kehendaki. Dalam bahasa Camus, mereka menjadi raja atas kerajaannya sendiri.

    Salah satu cerita pendek Camus dalam buku ini berjudul “Perempuan tak Setia” yang berkisah tentang suami-istri bekerja sebagai pedagang. Sang suami berdagang di seputar Eropa, mengelilingi Eropa sambil menjajakan dagangannya. Pada petualangan panjang itu sang suami selalu menanyakan apakah sang istri bahagia bekerja dengannya, sang istri selalu tersenyum dan berkata dia bahagia. Namun tidak ada yang tahu suasana hati sang istri bahwa sesungguhnya ia tidak merasa senang, ia tidak merasa senang bukan karena tidak mencintai sang suami melainkan mempertanyakan bagaimana kehidupannya jika tanpa suami. Ia membayangkan jika dia mampu menjadi sesuai seperti apa yang ia kehendaki, dalam cerpen tersebut digambarkan pada malam hari sang istri menyusup keluar dan pergi dari sang suami hanya untuk menikmati angin, bintang, bulan dan suasana malam, dan waktu itu ia baru merasa merdeka. Namun ia tak bisa serta-merta membebaskan diri, ia masih terikat pada realitas di mana ia adalah pribadi yang sudah berpasangan. Maka ia kembali pada sang suami. Sang suami menyadari hal itu, ia mengetahui kegundahan sang istri. Dan khas sastra Camus cerita itu diakhiri pada bagian yang mengambang dengan kesadaran sang suami terhadap kegundahan sang istri dengan berkata, “ini bukan apa-apa, sayang.” Untuk menjadi diri sendiri kadang perlu melawan segala realitas dan ikatan sosial dan ketika kita berupaya untuk memenuhi hal tersebut kita akan menjadi “orang asing” dalam masyarakat, dan di sinilah bukti jika hidup itu absurd. Tokoh Meursault yang sebelumnya saya jelaskan, secara ekstrem menjadi absurd sepenuhnya. Ia tidak menyukai jawaban klise masyarakat ia mencari tahunya sendiri, ia bukan bagian dari masyarakat karena ia tidak ingin sama dengan masyarakat di mana menilai suatu kejadian yang sudah menjadi kultur oleh masyarakat seperti sedih ketika ada tragedi atau ketakutan terhadap kematian. Camus mengetahui jika manusia yang terasing sedang dalam menjadi dirinya.

    Sebelumnya sudah saya katakan jika saya menulis ini berangkat dari kekaguman saya pada suasana dan nilai yang disampaikan film indie, dan saya menemukan absurdisme dalam setiap kisahnya. Film seperti “Eternal Sunshine of the Spotless Mind” (2004) atau “Detachment” (2011) mungkin menyajikan drama yang epic seperti film indie lainnya. Namun sejauh ini, film tersebutlah yang mengantarkan saya untuk berpikir mengenai hidup yang absurd seraya mempertanyakan mengapa sang lakon harus melankolis, mengapa akhir film tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa film ini tak menyelesaikan konflik dengan perasaan bahagia atau sedih tetapi dengan datar atau feelingless. Dan saya beranggapan bahwa jawabannya ialah filsafat absurdis Albert Camus. Telah jelas kedua film yang saya saksikan memiliki gaya film dan jalan cerita yang berbeda, namun ketidakbermaknaan hidup yang saya temukan berasal dari pembawaan sang lakon. Sang lakon berperan sebagai manusia yang putus asa, namun mampu melewati segala konflik yang disajikan pada film tersebut, bahkan mereka pun dihadapkan pada ketidakmampuan diri untuk menolak suatu konflik. Kemudian bagian akhir atau penyelesaian film yang mengambang atau disebut “cerita yang gantung”, mengajak kita untuk berimajinasi menuju lanjutan kisah film tersebut. Pada akhir film diberitahukan bahwa jika film tersebut suatu kehidupan maka kisahnya tidak akan berhenti setelah konflik tersebut selesai. Dan yang paling saya sukai ialah sikap sang lakon dalam menjalankan film tersebut, mereka bisa dikatakan orang sedih namun tak sepenuhnya sedih. Mereka hanya hidup untuk hari ini, karena kemarin maupun esok begitu abstrak atau absurd.

    Sedih namun tak sepenuhnya sedih memiliki makna bahwa dalam realitasnya, mereka tetap menjalankan hari tanpa gairah. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mereka, yang menyangka kehidupan akan tetap berlangsung dengan segala keinginan, hasrat, dan permasalahan. Manusia melupakan jika ia hidup dan hanya tenggelam oleh ilusi suatu pencapaian. Mereka melupakan jika perjalanan masih panjang dan berhenti sampai kita tidak hidup. Menjadi alien dalam kehidupan yang absurd. Nothing to lose, long live absurdism!


    Catatan Kaki

    [1] Albert Camus, Orang Asing (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) hlm. 3

    [2] Albert Camus, Orang Asing (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) hlm. 124

    [3] Reza A. A Wattimena, “Hidup ini Absurd ?”, Rumah Filsafat ( https://rumahfilsafat.com/2007/07/05/hidup-ini-absurd ) diakses tanggal 14 Mei 2017

    [4] Ibid

    Daftar Pustaka

    The School of Life. (2015, Mei 15). PHILOSOPHY – Albert Camus. Video diunggah di https://www.youtube.com/watch?v=jQOfbObFOCw

    Camus,  Albert. 2014. Orang Asing.  Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

    Camus,  Albert. 2017. Pengasingan dan Kerajaan.  Yogyakarta : Penerbit Octopus

    Hamilton,  Edith. 2009. Mitologi Yunani. Yogyakarta : Logung Pustaka

    A Wattimena, Reza. 2007. Hidup ini Absurd ?. Diakses di https://rumahfilsafat.com/2007/07/05/hidup-ini-absurd/ (14 Mei 2017)

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...