Jaco Van Dormael bukanlah sutradara yang produktif. Selama nyaris 30 tahun kariernya dalam dunia sinematografi, ia hanya menghasilkan tujuh film panjang. Akan tetapi, hanya dengan tujuh film tersebut, ia telah membangun ciri khasnya sebagai sutradara. Ia cenderung membuat film yang menyoroti kehidupan serta kondisi mental orang-orang pengidap disabilitas dan sakit jiwa. Ketika Van Dormael merilis film Mr. Nobody pada tahun 2009 silam, kita sudah bisa menebak jalan cerita yang ia akan bawakan kepada penontonnya; yakni sebuah dunia rumit nan random dengan alur yang sulit dimengerti.
Mr. Nobody sendiri bercerita tentang Nemo, seorang bocah yang ditinggal oleh kedua orang tuanya pada usia 9 tahun. Ibu Nemo pergi ke New York setelah bercerai dengan ayahnya, sebagaimana akibat terungkapnya perselingkuhan Ibu Nemo dengan ayah dari Anna, anak perempuan yang disukai Nemo. Pada dasarnya, film ini bercerita tentang gambaran kemungkinan (probabilitas) yang akan terjadi terhadap diri Nemo setelah dia dewasa berdasarkan pilihan-pilihan yang akan dia ambil. Melihat premis awalnya, kita dapat menyaksikan bahwa Van Dormael menggunakan formula plot non-paralel yang membuat karakter-karakternya hidup dalam banyak semesta probabilitas. Di sini, semesta probabilitas dipahami sebagai plot film Mr. Nobody yang menyajikan aneka alternatif sebab atas peristiwa yang terjadi di dalam film.
Hal yang membedakan film ini dari film-film dengan plot sejenis—seperti The Butterfly Effect (2004) atau Lola Rennt (1998) yang telah rilis bertahun-tahun sebelumnya—adalah kecenderungannya yang tidak terpaku pada kebakuan “efek kupu-kupu” dalam plotnya. Plot bergaya “efek kupu-kupu” menarasikan bahwa sebab atas peristiwa mengonsekuensikan peristiwa yang ada di dalam film secara linier. Sebaliknya, keseluruhan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam plot film Mr. Nobody tidak memiliki satu sebab yang pasti. Oleh karena itu, sebab atas peristiwa berlaku alternatif dan divisualkan secara jamak. Semua peristiwa digambarkan begitu saja dengan berbagai alternatif sebab atas peristiwa sebagaimana diproyeksikan oleh dimensi kesadaran karakter Nemo. Efek kupu-kupu hanya berlaku secara parsial dalam rangkaian keseluruhan plot film Mr. Nobody.
Untuk memahami semesta probabilitas dalam film Mr. Nobody lebih jauh, kita perlu membedah karakter Nemo itu sendiri. Karakter ini cukup kompleks, mengingat bahwa ia ada di tiga ruang dan waktu yang berbeda secara bersamaan, yaitu saat anak-anak, remaja, dan dewasa. Di sisi lain, kita juga perlu memahami kondisi perkembangan psikoseksual dalam diri Nemo yang akan membawa kita pada kondisi psikologis Nemo secara umum. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan teori perkembangan psikoseksual untuk membedah kondisi psikologis Nemo secara utuh.
Pribadi Nemo dalam Teori Perkembangan Psikoseksual
Teori perkembangan psikoseksual merupakan teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud untuk melihat tumbuh kembang seseorang dalam dimensi psikologisnya, mulai dari lahir hingga beranjak dewasa. Berdasarkan teori perkembangan psikoseksual tersebut, Freud (1953) menjelaskan lima fase perkembangan seseorang; yang mencakup fase oral (oral), anal (anal), falis (phallic), laten (latent), dan genital (genital). Akan tetapi, untuk melihat kondisi Nemo, kita hanya cukup melihat tiga fase awal kehidupannya sebagai seorang anak, yaitu mencakup fase oral, anal, dan falis secara komprehensif.
Fase oral dimulai dari seorang anak lahir hingga berumur satu tahun. Dalam fase ini, manusia memiliki karakter independen dan mulai mengenal “id” yang ada dalam dirinya. Secara singkat, menurut Freud, id adalah sumber dari semua agresi dan keinginan manusia. Ia bersifat tidak patuh kepada hukum (lawless), asosial, dan amoral. Fungsi id adalah untuk memuaskan naluri manusia akan kesenangan tanpa memperhatikan konvensi sosial, hukum, ataupun pengekangan moral (Guerin dkk, 2005, hlm. 157). Ketika mengenal id, seorang anak akan mulai mengulum barang yang ia suka, menciptakan bahasa sendiri, hingga menciptakan mitos (proyeksi imajinatif) terhadap dunia tempat ia berada saat itu. Dalam fase oralnya, Nemo berpikir bahwa ia adalah seorang anak yang terberkati sehingga ia bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dunia dan bebas memilih orang tua yang ia suka, entah ayah atau ibu. Hal itu juga menjelaskan alasan ia memilih sepasang kekasih yang ia sebut “Mommy” dan “Daddy”. Sebagai tambahan, hal tersebut juga akan menjelaskan cara efek kupu-kupu bekerja dan menciptakan kondisi yang Nemo tinggali saat dewasa.
Oedipus complex adalah kateksis objek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta objek permusuhan terhadap orang tua yang sejenis.
Kondisi tersebut lantas berkembang menjadi “ego” yang dikembangkan dalam fase anal. Ego-lah yang bertanggung jawab terhadap dunia sang anak. Meskipun ego tidak memiliki vitalitas id yang kuat, ego mengatur insting memori id sehingga mereka dapat dilepaskan dalam perilaku yang tidak merusak penerimaan sang anak di masyarakat (Guerin dkk, 2005, hlm. 157). Untuk memuaskan id, ego harus menemukan tujuan subjek dengan cara yang sesuai dan dapat diterima masyarakat pada umumnya. Dalam fase anal Nemo, Van Dormael menggambarkan kemunculan ego ketika ia mulai berinteraksi dengan lingkungan pertamanya, yaitu kedua orangtuanya. Hal inilah yang akan berkembang menjadi konflik id–ego yang kelak akan meleburkan identitas Nemo ke dalam lingkungannya. Dalam psikoanalisis Lacanian, fase anal merupakan kurun waktu ketika seorang anak mengalami alienasi sebagaimana akibat dipaksa menuruti otoritas ibunya. Van Dormael menggambarkan hal tersebut secara harfiah ke dalam adegan saat ibu Nemo memukul pantat (anal) Nemo karena terlalu sering bertanya padanya.
Fase selanjutnya adalah fase falis, ketika Nemo mulai mengenal dirinya dengan lingkungan yang ada di sekitar selain orang tuanya. Rasa jatuh cinta terhadap ibunya mengakibatkan Nemo harus bersaing dengan ayahnya untuk mendapatkan otoritas atas tubuh ibu yang dicintainya. Namun, persaingan ini jelas tak akan dimenangkan Nemo. Ia hanya berakhir dengan mengamati tingkah laku sang ayah dan membentuk hasrat seksual untuk mencari objek berupa tubuh perempuan lain yang mirip ibunya. Hal tersebut dilakukan agar ia dapat melakukan sesuatu seperti yang ayahnya lakukan terhadap ibunya. Fase inilah yang kemudian melahirkan Oedipus complex.
Menurut Alwisol (2008, hlm. 31–32), Oedipus complex adalah kateksis objek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta objek permusuhan terhadap orang tua yang sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya. Sebaliknya, anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya. Pada awalnya, baik anak perempuan maupun laki-laki sama-sama mencintai ibunya karena telah memenuhi semua kebutuhan mereka, dan memandang seorang ayah sebagai saingan dalam merebut kasih sayang seorang ibu. Namun, dalam anak laki-laki, persaingan dengan ayahnya itu akan mengakibatkan dia cemas penisnya akan dipotong sang ayah. Sedangkan, dalam anak perempuan, rasa cinta kepada ibunya segera berubah menjadi rasa kecewa setelah mengetahui bahwa kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki sehingga ibunya dianggap bertanggung jawab atas kastrasi alat kelaminnya.
Oedipus complex ini tidak lantas muncul begitu saja, ia hadir ketika anak ingin bersatu kembali dengan tubuh ibunya setelah mengalami represi pada peralihan fase oral ke fase anal. Akibat represi yang dialami sebagai akibat dari “rasa kehilangan” tersebut, ditambah dengan dengan adanya hasrat tidak sadar terhadap tubuh ibunya yang telah hilang, sang anak mulai mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang diproyeksikannya dalam “imago”. Secara umum, imago adalah gambaran mental orang lain yang diaktualisasikan sang anak dalam tindakan sosial. Biasanya, imago terjadi dengan mengacu pada gambaran mental pribadi ayah atau ibu. Dalam hal ini, Nemo membentuk dirinya sebagai imago dari ayahnya.
Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa proyeksi imago dan Oedipus complex-lah yang membentuk jati diri Nemo sebagai seorang laki-laki. Ia memulainya dengan menjiplak perilaku sang ayah. Dalam film Mr. Nobody, hal tersebut berpengaruh dalam proses pemilihan wanita yang layak Nemo cintai, mulai dari Anna (anak selingkuhan ibunya), Elise (tetangganya), dan Jean (perempuan yang ia temui di prom night karena ditolak Elise).
Fase Falis: Pintu Semesta Probabilitas Nemo
Meski hanya disajikan dalam durasi yang singkat, fase falislah yang sejatinya membentuk kehidupan Nemo seutuhnya saat dewasa. Pada fase ini, ia mulai mengenal “superego”. Ketika manusia bertindak secara langsung atau melalui ego, superego berfungsi untuk menekan atau menghambat dorongan id. Ia memblokir dan mendorong kembali id ke alam bawah sadar (Guerin dkk, 2005, hlm. 158). Namun, superego dari Nemo sendiri terbentuk secara tidak sempurna. Sebab, pada tahap perkembangan libido Nemo, kedua orang tuanya justru memilih untuk bercerai. la diharuskan memilih untuk ikut dengan ibunya yang menikah dengan ayah Anna, gadis yang ia cintai, atau tinggal dengan ayahnya yang mengalami depresi akibat perasaan “lack-of-power” ketika kehilangan ibunya.
Proses inilah yang akan membentuk kehidupan Nemo pada masa depannya, meskipun ia harus menghadapi setidaknya dua probabilitas konsekuensial yang akan memiliki banyak percabangan ketika ia memutuskan pilihan yang diambilnya. Secara spesifik, dua probabilitas konsekuensial tersebut merujuk pada alternatif peristiwa “jika Nemo ikut ibunya” dan “jika Nemo ikut ayahnya”. Jika ikut ibunya, Nemo akan kehilangan ayahnya. Ketika kehilangan ayahnya, Nemo akan kehilangan panutan moral untuk bertingkah laku di hadapan ibunya. Ia akan menjadi sosok yang temperamental. Sebab, momen terakhir yang ia lihat dari ayahnya adalah ketika kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat. Hal ini diperkuat dengan kondisi Nemo yang saat itu tak memahami konsep moral.
Libido, atau gairah seksual, pada fase laten memang sedang “tidur” dan akan bangkit lagi dengan kekuatan penuh ketika fase genital tiba. Secara umum, fase laten ditandai dari terjadinya perkembangan kognitif dan sosialisasi seorang anak.
Jika ikut ayahnya, Nemo akan kehilangan ibunya. Perasaan kehilangan terhadap ibunya akan membuat Nemo kehilangan kasih sayang dan selalu merasa haus akan kekuasaan. Akan tetapi, kondisi panutannya yang lack-of-power hanya akan membentuk karakter Nemo yang serupa. Ia akan dihadapkan pada kondisi tak berdaya yang membuatnya menjadi anak yang pendiam dan merasa tak mampu memenuhi keinginan setiap pasangannya. Ia akan rela melakukan tindakan apapun demi mendapatkan kasih sayang seperti yang dulu ia dapat dari ibunya. Kondisi ini akan menghasilkan tiga probabilitas untuk memilih tiga orang wanita yang ia temui pada awal masa falisnya. Sebagai catatan, pribadi tiga wanita tersebut perlu dijelaskan lebih jauh untuk menakar probabilitas keputusan Nemo terhadap tiga wanita tersebut.
Pertama, Anna, seorang anak perempuan yang merasa bahwa ayahnya telah gagal dalam menerapkan “kuasanya” kepada ibu Anna, dan telah memilih wanita lain sebagai penggantinya. Dalam posisi ini, Anna memiliki kemungkinan paling besar untuk menjadi pasangan Nemo. Sebab, ia berhasil memenuhi hasrat Nemo yang berkembang pada fase falis. Hal tersebut dibuktikan dalam situasi Anna dan Nemo sendiri yang telah melakukan aktivitas seksual ketika Nemo berada pada fase latennya, ketika libido biasanya mengalami represi yang cukup signifikan. Libido, atau gairah seksual, pada fase laten memang sedang “tidur” dan akan bangkit lagi dengan kekuatan penuh ketika fase genital tiba. Secara umum, fase laten ditandai dari terjadinya perkembangan kognitif dan sosialisasi seorang anak (Arif, 2006, hlm. 66–67). Hal ini memungkinkan Nemo untuk mengejar Anna melampaui batasan yang ada dalam fase falis hingga laten.
Kedua, Elise, seorang anak perempuan yang ditemui oleh Nemo saat prom night. Sebelum bersama Nemo, Elise putus dengan kekasihnya, seorang pria Meksiko yang maskulin bernama Stefano. Jika ia menikah dengan Nemo, ia tak akan menyayangi Nemo sepenuhnya karena merasa maskulinitas Nemo tak mampu menyaingi Stefano. Nemo akan mencoba sebisa mungkin untuk memberikan otoritasnya terhadap Elise. Namun, posisi Nemo tak akan mampu hadir menggantikan maskulinitas Stefano, sehingga tak akan ada kasih sayang yang tulus dari Elise. Nemo akhirnya mewarisi lack-of-power dari ayahnya dan rumah tangga mereka berakhir dengan tragis. Pada akhirnya, Elise pun meninggalkan Nemo demi mengejar Stefano.
Ketiga, Jean, seorang anak perempuan keturunan Perancis-Cina. Jika Nemo menikah dengan Jean, posisi Jean adalah sebagai pengganti dari pengganti. Posisi ini merujuk kepada situasi Jean selaku pengganti Elise yang merupakan pengganti Anna. Ia akan menghasrati Nemo dengan sekuat hati. Namun, kasih sayang Jean tak akan pernah cukup karena Nemo mewarisi lack-of-power dari ayahnya akibat ditinggalkan Elise dan Anna dalam waktu yang berdekatan.
Interpretasi Van Dormael atas Oedipus Complex
Hal yang menjadikan Van Dormael unik adalah tafsirannya terhadap Oedipus complex yang tidak terbatas pada hasrat kepada orang tua yang berbeda jenis kelamin. Ia lebih condong ke arah tafsiran neo-Freudian bahwa Oedipus complex adalah “will to power” atau “hasrat untuk menguasai”. Sebagai tambahan, istilah will to power di sini tentunya berbeda dengan will to power sebagaimana dipahami dalam pembacaan tradisi Nietzschean.
Oleh karena itu, ketika Nemo kehilangan ibunya dan merasakan lack-of-power, kondisi tersebut bisa dikatakan sebagai momen kekalahan. Pada akhirnya, keberadaan Jean hanya menjadi pemuas libido untuk setidaknya menutupi ruang kosong pada Nemo akibat kekalahan beruntun yang dialaminya terhadap Anna dan Elise. Jean berakhir hanya dengan menjadi liyan, dan selamanya hanya akan menjadi liyan—dia yang bukan dirinya yang sebenarnya.
Meskipun begitu, dalam tatanan simbolik—sebuah tempat bagi liyan atau tempat terhubungnya manusia yang satu dengan manusia lainnya—Nemo telah berusaha menyerahkan dirinya pada hukum-hukum sosial dan kultural. Sebagai pemilik the Other (dengan huruf O besar), ia telah berusaha memproduksi dan mempraktikkan fungsi wacana simbolik dengan baik (Fink, 1999, hlm. 232). Ia bahkan menepati janjinya kepada Jean untuk menjadi sukses dan kaya, dan mereka bahkan sampai memiliki seorang putra. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Nemo bahagia, karena bukan itulah yang hasrat dan libidonya inginkan. Oleh sebab itu, kita menemukan Nemo yang berusaha keluar dari tatanan simbolik tersebut setelah menyerahkan id-nya dalam adegan permainan dengan sebuah koin.
Van Dormael mengisahkan kepada penonton setiap probabilitas yang Nemo pikirkan sebelum menjalani momen penting dalam hidupnya, dan mengakhirinya dengan kematian yang Nemo alami tanpa melalui kecelakaan tragis atau pembunuhan sadis.
Ia berakhir dengan berpura-pura menjadi pria lain yang bukan dirinya, dan hanya untuk kembali menjemput kematian tragis sebagai si “bukan siapa-siapa dari bukan siapa-siapa”. Dalam film Mr. Nobody, istilah si “bukan siapa-siapa dari bukan siapa-siapa” berasal dari adegan saat Nemo mengenal dirinya sebagai “Nemo Nobody”, yang menyaratkan tercabutnya identitas asli Nemo. Jika diterjemahkan secara harfiah, Nemo berasal dari bahasa Latin yang maknanya bisa disamakan dengan “nobody” dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, secara keseluruhan, nama Nemo Nobody berarti “nobody nobody” atau “bukan siapa siapa dari bukan siapa siapa”. Dari penggambaran teori Lacanian secara harfiah ini, kita bisa melihat bahwa Van Dormael membaca Lacan dengan sangat ketat sebelum menulis naskah film Mr. Nobody.
Sebagai penutup, hal yang tidak tertulis di atas adalah akhir dari setiap probabilitas yang selalu tragis. Meskipun pada akhirnya Nemo sampai ke kesadaran bahwa setiap jalan adalah jalan yang benar, ia tidak lantas langsung memilih akhir tragis yang akan dijalaninya. Sebaliknya, Van Dormael lebih memilih untuk membawa kita kembali kepada Nemo yang berusia 9 tahun dan masih mengalami kebimbangan di tengah-tengah rel kereta api stasiun. Setelah melihat semua probabilitas kala memilih antara ayah dan ibunya, ia justru memutuskan untuk tidak memilih. Ia memutuskan kabur dari kedua orangtuanya dengan berlari ke arah yang berlainan dari keduanya, menghindari akhir tragis, dan menjadi manusia mortal terakhir yang hidup. Van Dormael mengisahkan kepada penonton setiap probabilitas yang Nemo pikirkan sebelum menjalani momen penting dalam hidupnya, dan mengakhirinya dengan kematian yang Nemo alami tanpa melalui kecelakaan tragis atau pembunuhan sadis.
Ketika Nemo mati untuk yang “terakhir kalinya”, semesta meledak dan waktu berputar ke belakang. Kita dapat menyaksikan semua pengalaman kunci yang membentuk Nemo. Mulai dari orangtua Nemo yang berhenti bertengkar, Anna dan Nemo dewasa yang berpelukan, hingga akhir film yang memproyeksikan Nemo dan Anna kecil bermain bersama dengan melempar batu ke permukaan danau. Meskipun kita telah disuguhi belasan probabilitas sebelumnya sebagai referensi untuk menerka-nerka sesuatu yang terjadi selanjutnya, “kita masih tidak akan tahu” masa depan Nemo yang sebenarnya dengan superego yang terbentuk sempurna.
________________________
Referensi
Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian. UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Arif, I. S. 2006. Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya. Refika Aditama.
Freud, S. 1953. On Sexuality: Three Essays on the Theory of Sexuality and Other Works. Penguin Books.
Fink, B. 1999. A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis. Harvard University Press.
Guerin, W. L., Earle, L., Morgan, L., Reesman, J. C., dan Willingham, J. R. 1979. A Handbook Of Critical Approaches To Literature. Harper And Row Publishers.
Lukman, L. 2011. Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan. Kanisius.