spot_img
More

    David Hume: Perspektif Empirisme atas Ide

    Featured in:

    David Hume terkenal dengan skeptisismenya terhadap kausalitas. Diskursus filsafat kontemporer juga berutang padanya dalam memperkenalkan “persoalan induksi” di mana justifikasi logika induksi dipertanyakan. Berkat pengaruhnya yang sangat luas, Farhang Zabeeh mendaku Hume sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam merintis empirisme modern. Aliran pemikiran ini meliputi antara lain empirisme logis, Lingkaran Wina, dan filsafat analitik. Empirisme modern meyakini bahwa semua pengetahuan yang bersifat sintetik, dibedakan dari pengetahuan analitik, selalu diasalkan dari pengalaman dan bahwa segala bentuk perdebatan intelektual dapat dipecahkan dengan merujuk kembali kepada fakta yang ada melalui suatu prosedur saintifik.1 Gagasan ini dipengaruhi salah satunya oleh pemikiran Hume berkenaan dengan ide. Pokok inilah yang akan menjadi perhatian utama tulisan ini. Penulis di sini berupaya menyarikan bab pertama A Treatise of Human Nature: Of Understanding2 karya David Hume beserta perdebatan yang mengemuka dari padanya. Bab ini memuat pembahasan seputar asal-muasal ide, perbedaan antara memori dan imajinasi, asosiasi ide, dan perihal ide abstrak atau ide umum.

    Sebelum masuk ke pemikiran Hume, kiranya baik untuk menyimak terlebih dahulu konteks yang melatarbelakangi filsafatnya. Dalam kata pengantarnya sendiri, Hume menyoroti iklim filsafat zaman itu yang tampaknya terlampau ruwet. Para filsuf tidak mampu mencapai kata sepakat untuk mengakhiri perdebatan-perdebatan filosofis yang itu-itu saja. “Tiada sesuatu pun yang tidak menjadi bahan perdebatan,” tulis Hume, “dan di mana orang-orang terpelajar tidak memiliki opini yang berbeda-beda. Pertanyaan paling sepele pun tidak luput dari silang pendapat kita, dan dalam [pertanyaan-pertanyaan] yang paling signifikan kita tidak mampu memberikan jawaban yang pasti.”3

    Hume berambisi untuk menyediakan suatu fondasi baru bagi filsafat dan sains agar perdebatan tiada ujung itu dapat menemui titik henti. Sains tentang manusia ia tawarkan sebagai jalan keluarnya. Ia menengarai bahwa segala bentuk sains dan filsafat secara langsung maupun tidak langsung selalu berkaitan dengan kodrat manusia. Sebagai contoh, kajian logika selalu berurusan dengan cara kerja akal budi manusia, moralitas berurusan dengan sentimen-sentimen atau disposisi afektif individu, sementara disiplin illmu politik membahas kebergantungan manusia satu sama lain. Jika demikian halnya, tentu akan jauh lebih baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan untuk menyasar langsung ke “ibu kota” segala kajian intelektual tersebut. Hume menulis: “Dalam berpretensi, dengan demikian, untuk menjelaskan prinsip-prinsip kodrat manusia, kita alhasil menawarkan suatu sistem sains yang lengkap, dibangun di atas suatu fondasi yang benar-benar baru, dan satu-satunya yang mampu berdiri dengan segala kepastian.”4 Traktat perihal Kodrat Manusia ditulis berbekal perspektif semacam itu di kepalanya. Dalam mengerjakan proyek ini, Hume mengklaim dirinya menggunakan pendekatan eksperimental. Namun, berbeda dengan eksperimentasi lewat isolasi dan pengkondisian artifisial para ilmuwan zaman sekarang, eksperimental di zaman Hume pendekatannya lebih sederhana, yakni semata didasari hanya sekadar oleh pengalaman dan observasi.5

    Kendati proyeknya sangat ambisisus, sasaran pertama Hume justru adalah untuk membuat kajian filsafat lebih rendah hati. Perhatiannya pertama-tama tertuju pada menentukan batas-batas kemampuan akal budi manusia. Dalam Enquiry Concerning Human Understanding, ia menulis: “Satu-satunya metode untuk membebaskan pencarian, sekaligus, dari pertanyaan-pertanyaan mengawang-awang ini, adalah dengan meneliti secara sungguh-sungguh kodrat akal budi manusia, dan menunjukan, dari analisis yang ketat menyangkut daya dan kemampuan akal budi, bahwa akal budi manusia tidak memadai untuk topik-topik nan asing dan mengawang tersebut.”6 Batas-batas pengalamanlah yang menurut Hume menjadi batas-batas kemampuan manusia mengetahui. “Tidak ada [di antara para filsuf] yang mampu beranjak melampaui pengalaman, atau mencetuskan prinsip-prinsip yang tidak dilandaskan pada otoritas [pengalaman] tersebut”, paparnya.7

    Berkenaan dengan pokok terakhir ini, Hume seringkali disebut sebagai penerus tradisi filsafat yang telah digarap oleh Locke dan Berkeley. Serupa dengan Hume, kedua filsuf tersebut menempatkan pengalaman sebagai pangkal otoritas pengetahuan. Mereka menggemakan gagasan bahwa tidak ada pengetahuan apapun selain yang berpangkal dari pengalaman. Locke, misalnya, menyebut akal budi kita dalam berpikir selalu mengambil bahannya dari data-data inderawi yang terdiri dari elemen-elemen atomik, disebutnya ‘ide simpel’, yang pada gilirannya dapat dibedakan lagi antara kualitas primer dan kualitas sekunder.8 Norman Kemp Smith memiliki pandangan yang berbeda. Dalam bukunya yang kemudian menjadi salah satu buku babon dalam mempelajari filsafat Hume, ia berargumen bahwa alih-alih meneruskan Locke dan Berkeley, filsafat Hume lebih banyak terinspirasi pemikiran-pemikiran Francis Hutcheson yang mewarisi tradisi filsafat dari Lord Shaftesbury.9 Pengaruh Hutcheson terhadap Hume langsung tampak pada pokok pertama yang menjadi bahasan tulisan ini, yakni persepsi. 

    Persepsi: Impresi dan Ide

    Topik pertama yang langsung disasar Hume dalam Treatise adalah soal persepsi. Dalam “Abstract of A Treatise of Human Nature”, ia mengeksplisitkan apa yang dimaksudnya dengan persepsi sebagai “apapun yang dapat muncul di akal budi manusia, entah itu dengan kita menggunakan perangkat indera kita, atau dipantik oleh hasrat, atau bergelut dengan pemikiran dan refleksi kita.”10 Berkat pengaruh dari pemikiran Hutcheson,11 Hume membedakan persepsi menjadi dua ragam, yakni impresi dan ide. Keduanya dibedakan berdasarkan tingkat kekuatannya (force) dan kejelasannya (liveliness atau vivacity). Impresi dijelaskannya sebagai persepsi yang lebih berdaya dan lebih gamblang. Di antara persepsi yang berupa impresi, dapat disebut pencerapan inderawi, hasrat, emosi, atau apa-apa saja yang dirasakan seseorang sewaktu ia mendengar, melihat, membenci, mencintai, menghasrati, dan lain sebagainya. Sementara itu, ide bagi Hume tidak lain daripada persepsi yang lebih lemah dan kabur. Ide disebutnya merupakan gambaran pudar dari impresi-impresi tadi.12

    Kendati kategori kekuatan dan kejelasan itu dinyatakan Hume secara eksplisit berulang kali, sejumlah pakar telah menunjukkan bahwa dalam tulisan Hume sendiri kriteria itu saja tidak memadai untuk membedakan impresi dan ide. Dalam Treatise, ia menulis: “kendati bukan barang mustahil, dalam kasus-kasus tertentu, [impresi dan ide] mungkin sangat menyerupai satu sama lain. Maka, dalam tidur, dalam suatu demam, dalam kegilaan, atau dalam kekalutan emosi batin, ide-ide kita boleh jadi menyerupai impresi-impresi kita; sebagaimana sebaliknya, terkadang terjadi bahwa impresi-impresi kita begitu kabur dan lemah, sampai-sampai kita tidak dapat membedakannya dari ide-ide kita.”13 Apabila pembedaan itu secara ketat ditentukan oleh derajat kegamblangannya, maka bagaimanapun persepsi yang terang mestinya disebut impresi, sementara yang lemah sebagai ide.14 Norman Kemp Smith mengajukan argumentasi menarik bahwa ambiguitas yang tampaknya menyiratkan inkonsistensi Hume ini sebenarnya demi membuka jalan bagi analisisnya berkenaan dengan kepercayaan (belief). Namun, perihal kepercayaan tersebut, yang menurut beberapa komentator adalah perhatian utama Hume, bukan merupakan bagian dari pembahasan tulisan ini.

    Hume sebenarnya memaparkan beberapa kriteria lain yang menyediakan pangkal demarkasi antara impresi dan ide. Ia menyebutkan beberapa pokok itu hanya secara sekilas-sekilas, tidak seperti kriteria kejelasan dan kekuatan yang berulang kali secara eksplisit ditekankan. Masih pada bagian yang sama dengan sebelumnya, ia menyebut perbedaan antara impresi dan ide itu tidak ubahnya perbedaan antara merasakan dan memikirkan.15 Selain itu, ada juga kriteria kelangsungan (immediacy). Hume menyebutkan dalam “abstrak” bahwa “ketika kita merefleksikan suatu hasrat atau suatu objek yang sedang tidak ada, persepsi ini adalah ide.16 Dalam pembacaaan Alfred Jules Ayer, soal kelangsungan inilah yang menjadi pembeda utama antara ide dan impresi. Persepsi berupa impresi itu dapat bersifat lebih kuat dan lebih gamblang sementara ide itu lemah dan kabur tidak lain dikarenakan objek yang dipersepsikan dalam impresi itu sedang benar-benar hadir, sementara tidak demikian halnya di kasus ide.17

    Kebergantungan Ide pada Impresi

    Persepsi itu, baik dalam rupa impresi maupun ide, dapat dibedakan lagi antara yang simpel dan yang kompleks. Persepsi simpel adalah impresi atau ide yang tidak dapat terbagi lagi sedangkan persepsi kompleks adalah persepsi yang tersusun dari impresi-impresi atau ide-ide simpel tersebut. Persepsi akan apel, dicontohkan Hume, termasuk ke dalam persepsi kompleks. Sementara itu, warna, aroma, atau tekstur tertentu yang dimiliki apel tersebut termasuk ke dalam persepsi-persepsi simpel yang menyusunnya.18

    Dalam pokok ini, Hume berpendapat bahwa antara impresi dan ide ada hubungan saling berkesesuaian atau berkorespondensi. Impresi dan ide itu seolah cerminan satu sama lain. “Ketika aku memejamkan mataku,” Hume merefleksikan, “dan memikirkan mejaku, ide-ide yang aku bentuk itu representasi persis atas impresi-impresi yang aku rasakan [sebelumnya]; tidak ada juga sesuatu pun dalam yang satu yang tidak ditemukan dalam yang lain.”19 Namun, ia juga menyadari bahwa “banyak dari ide-ide kompleks kita yang tidak pernah memiliki impresi-impresi [kompleks] yang berkesesuaian dengannya, dan bahwa sejumlah besar impresi-impresi kompleks kita tidak pernah disalin secara persis dalam ide-ide.”20 Kita dapat membentuk suatu ide kompleks berupa gunung emas dengan memadukan ide gunung dan ide emas, padahal kita tidak pernah mengamati gunung emas apapun dalam impresi kita. Begitu juga sebaliknya, kita seringkali memiliki impresi kompleks akan sebuah kota, misalnya, namun ide yang membekas dalam akal budi kita tidak pernah benar-benar menampakkan secara persis kota tersebut beserta segala detailnya.21 Akan tetapi, kasus ini tidak berlaku bagi persepsi simpel. Menurut Hume, antara impresi simpel dan ide simpel keduanya sepenuhnya berkorespondensi. Impresi simpel selalu memilki ide simpel yang selaras dengannya, dan sebaliknya. Mengingat impresi kompleks dan ide kompleks itu tidak lain daripada kombinasi impresi-impresi simpel dan ide-ide simpel, maka dapatlah dipertahankan kesimpulan bahwa kedua jenis persepsi tersebut tidak terelakkan lagi selalu saling berkorespondensi.22 Beranjak dari penemuan ini, Hume merumuskan suatu maksim pertamanya, “bahwa semua ide simpel kita dalam penampakan pertamanya, diasalkan dari impresi-impresi simpel, yang mana [ide tersebut] merepresentasikannya secara persis”23, atau dengan kata lain, “semua ide atau persepsi kita yang lebih lemah adalah salinan dari impresi-impresi atau persepsi kita yang lebih hidup.”24

    Dari dua kutipan tersebut, tampak bahwa dalam pengamatan Hume, impresi selalu hadir mendahului ide. Seseorang hanya dapat memliki pengetahuan akan sesuatu jika ia telah memiliki impresi tertentu tentang sesuatu itu. Hume memberi contoh dalam Treatise: “untuk memberi seorang anak ide akan warna merah tua atau warna jingga, rasa manis atau rasa pahit, Saya menghadirkan objek-objeknya, atau, dengan kata lain, menyampaikan padanya impresi-impresi ini; namun tidak berupaya secara absurd, untuk mengadakan impresi-impresi tersebut dengan memantik ide-idenya.”25 Pengalaman menunjukkan bahwa ada pertautan konstan (constant conjunction) antara impresi dan ide. Pengamatan berulang-ulang menunjukkan bahwa impresi secara terus-menerus bertaut atau muncul beriringan dengan ide. Di mana ada impresi, di situ ide dapat diamati. Dalam pertautan ini, impresi selalu mendahului ide yang selaras dengannya. Pertautan konstan dan turutan (succession) dalam waktu ini, ditambah relasi kedekatan (contiguity), merupakan kualitas-kualitas teramati yang menurut Hume mengkonstitusi ide kita akan kausalitas. Lantas ia menyimpulkan bahwa “pertautan konstan antara persepsi-persepsi kita yang saling menyerupai [maksudnya impresi-impresi dan ide-ide yang berkesesuaian satu sama lain], adalah suatu bukti yang meyakinkan, bahwa yang satu adalah sebab bagi yang lainnya; dan bahwa impresi-impresi tersebut selalu muncul terlebih dahulu merupakan bukti yang memadai bahwa impresi-impresi kita adalah sebab bagi ide-ide kita, bukannya ide-ide kita [yang menjadi sebab bagi] impresi-impresi kita.”26 Demikianlah kesimpulan khas empirisme. Segala macam ide selalu disebabkan oleh impresi.

    Dengan ini pula Hume menyanggah keyakinan akan adanya ide bawaan (innate idea).27 Akan tetapi, ia juga memberi catatan perihal sanggahan ini dalam Enquiry dan “Abstract”. Kritik atas ide bawaan biasanya diasosiasikan dengan John Locke dalam konsepnya tentang tabula rasa. Hume menekankan bahwa pandangannya tidak sama dengan Locke. Hal ini lantaran dengan istilah “ide”, Locke memaksudkan segala bentuk persepsi, meliputi baik itu impresi maupun ide dalam pemikiran Hume. Berbeda dengan Locke, Hume tidak menolak untuk menyatakan impresi sebagai bawaan. Dalam pemikirannya, jika yang dimaksud dengan bawaan adalah “apa yang asali atau tidak disalin dari persepsi apapun yang mendahuluinya, maka kita dapat katakan bahwa semua impresi kita itu bawaan, sementara ide-ide kita tidaklah bawaan.”28 Di sini Hume sangat menerima impresi untuk dikatakan bawaan dalam arti sesuatu yang terberikan begitu saja (simply the given), sebagai data asali dan bukan turunan terlepas dari apapun itu sumbernya.29

    Para filsuf kontemporer kemudian menerjemahkan proposisi Hume di atas bukan hanya sebagai penjelasan deskriptif, melainkan terutama kriteria makna. Pembacaan ini terutama dilandasi kutipan Hume sendiri dalam Enquiry yang berbunyi: “dengan demikian, ketika kita memiliki kecurigaan bahwa suatu istilah filosofis itu digunakan tanpa makna apapun atau ide apapun (sebagaimana sering terjadi), kita hanya perlu bertanya, dari impresi apa ide tersebut diasalkan? Dan apabila mustahil untuk menunjukkan [impresi] apapun, hal ini mengonfirmasi kecurigaan kita.”30 Pokok ini ia sampaikan secara lebih eksplisit dalam “Abstract” di mana ia menegaskan bahwa “jika tidak ada impresi yang dapat dihasilkan, dia [Hume] menyimpulkan bahwa istilah [filosofis] tersebut sepenuhnya tanpa arti.31 Ringkasnya, suatu kata atau istilah itu hanya mengandung makna apabila ada impresi tertentu yang dapat ditunjuk sebagai sumbernya, jika tidak, kata-kata itu hanya sebatas omong-kosong belaka. Dalam diskursus filsafat kontemporer selanjutnya, Bertrand Russell dan Moritz Schlick mengadopsi kriteria kebermaknaan kata yang serupa dengan posisi Hume di atas. Russell menyebut bahwa “setiap proposisi yang dapat kita pahami mesti tersusun sepenuhnya dari unsur-unsur yang kita kenali”32 sedangkan Schlick secara lebih eksplisit menjangkarkan makna suatu kalimat pada “kata-kata yang tidak dapat didefinisikan lagi, yang maknanya dapat diberikan melalui penunjukkan (ostention) langsung.”33 Serupa dengan keduanya, Alfred Ayer memodifikasi penjelasan Hume menjadi preskripsi tentang realisasi ide, di mana suatu ide yang bermakna mesti dapat dimasukkan ke dalam teori-teori yang dapat dikonfirmasi melalui pengalaman inderawi.34

    Di samping perihal ketersediaan impresi bagi ide, Farhang Zabeeh menengarai ada tiga kriteria lain yang, kendati tidak dinyatakan secara lugas, diimplikasikan dalam pembahasan Hume. Zabeeh dalam membaca kritik Hume terhadap “hipotesis religius”, yaitu tentang penyelenggaraan ilahi (providential state) atas alam semesta, menemukan adanya kriteria kemampuan diverifikasi (verifiability) yang diasumsikan sang filsuf Skotlandia tersebut. Petikan dari Enquiry yang dikutip berbunyi demikian: “tidak ada fakta baru yang dapat disimpulkan dari hipotesis religius; tidak ada kejadian yang diramalkan atau diprediksi […] melampaui apa yang telah diketahui melalui pengamatan dan pengalaman.”35 Di sini Hume, menurut Zabeeh, mengkritik hipotesis religius sebagai kosong belaka lantaran tidak mampu menyediakan kesimpulan apapun yang dapat diamati, sehingga tidak ada bukti apapun yang mampu mengkonfirmasi ataupun menyanggah apa saja yang dikatakan teori tersebut.36 Selain kemampuan diverifikasi, suatu ungkapan yang bermakna juga harus memenuhi kriteria tiadanya kontradiksi inheren dalam dirinya. Kriteria ini terkhusus berlaku untuk pernyataan-pernyataan yang tergolong ke dalam pernyataan analitik. Pernyataan semacam itu boleh jadi memuat istilah-istilah yang merujuk pada impresi-impresi simpel tertentu, namun tetap saja pernyataan semacam itu tidak akan bermakna andai kata mengimplikasi kontradiksi di dalamnya. Ambil contoh pernyataan “Ada gunung yang tanpa lembah”. Istilah gunung dan istilah lembah tentu keduanya memiliki makna, namun toh pernyataan di atas tetaplah tidak bermakna. Pernyataan itu bukan keliru, melainkan absurd karena bahkan bagaimana gunung tanpa adanya lembah itu tidak dapat dibayangkan. Sementara apa yang dapat dibayangkan dalam akal budi selalu, menurut Hume, mengimplikasikan kemungkinan eksistensinya, apa yang tidak dapat dibayangkan dalam akal budi itu mustahil adanya.37 Kriteria terakhir adalah ketepatan penggunaan. Hume tampaknya mengimplikasikan bahwa seringkali suatu kata atau ungkapan itu bisa menjadi tanpa makna apabila digunakan tidak pada tempatnya. Hal ini kentara ketika ia membahas ide “kaitan niscaya” (necessary connection) yang integral bagi ide kausalitas. Menjelaskan pokok ini, Zabeeh menulis demikian: “Dia [Hume] mengatakan, sebagai contoh, bahwa ungkapan ‘kaitan niscaya’ jika digunakan dalam kalimat, ‘Dua objek terkait secara niscaya,’ sekilas tampak tak bermakna, mengingat kita tidak memiliki impresi apapun akan kaitan semacam itu ketika kita mengamati objek-objek. Akan tetapi ‘kiranya lebih mungkin’ bahwa ungkapan ‘kaitan niscaya’ kehilangan ‘maknanya yang sejati karena digunakan secara keliru’. Maka, ia menganjurkan agar kita menemukan penggunaan yang tepat atas ungkapan-ungkapan ini, yang mampu menuntun kita pada impresi-impresinya yang asali.”38 Hume di sini memperingatkan agar tidak gegabah untuk menyatakan suatu istilah sebagai tidak bermakna atas dasar kelihatannya tidak memiliki impresi apapun yang menjadi pangkalnya. Bukan barang mustahil bahwa istilah itu tampak tidak memiliki impresi hanya karena ditempatkan dalam konteks yang tidak semestinya. Dengan demikian, dalam pembacaan Zabeeh, ada empat kriteria kebermaknaan kata dalam pemikiran Hume, yaitu ketersediaan impresi bagi ide, kemampuan diverifikasi, tiadanya kontradiksi dalam kasus pernyataan analitik, dan penggunaan yang tepat.

    Ada sejumlah kritik yang dapat dilontarkan terhadap gagasan Hume ini. Dengan menuntut agar setiap kata dan ide dapat dijelaskan berdasarkan impresi yang menghasilkannya, Hume tampaknya mengajukan kriteria kebermaknaan yang memperlakukan kata-kata sebagai saling berdiri sendiri-sendiri. Alih-alih mengandalkan evaluasi kata per kata semacam ini, beberapa filsuf kontemporer lebih cenderung mengevaluasi kebermaknaan per proposisi. Frege, misalnya, menganjurkan untuk “tidak menanyakan makna suatu kata secara mandiri, melainkan hanya dalam konteks suatu proposisi.”39 Perubahan semacam ini dilanjutkan oleh Quine yang memaparkan bahwa “gagasan untuk mendefinisikan suatu simbol dalam penggunaannya merupakan […] suatu perkembangan dari empirisme istilah-per-istilah nan mustahil oleh Locke dan Hume. Pernyataan, dan bukannya istilah, berkat Frege diterima sebagai unit yang dapat dikenai penilaian empiris.”40 Kendati demikian, Hume, menurut Zabeeh, sebenarnya tidak sepenuhnya berlainan dengan Frege dan Quine dalam hal ini. Kriteria verifikasi yang diimplikasikannya di atas tentu hanya dapat berlaku dalam konteks proposisi, bukan evaluasi per istilah.

    Kerumitan lain terletak pada penjelasan Hume sendiri tentang karakteristik impresi yang tidak pernah tinggal melainkan selalu berlalu. “Semua impresi” menurut Hume, “adalah eksistensi-eksistensi yang internal dan sekali lalu (perishing)” sehingga “tidak ada impresi yang tetap dan tidak berubah.”41 Padahal, dalam mengevaluasi kebermaknaan kata dan menengarai makna sejati dari suatu ide, ia menuntut agar impresi yang menjadi pangkal bagi ide serta kata tertentu untuk dirunut kembali. Tentu tuntutan ini menjadi tidak mungkin apabila diterima bahwa impresi itu tidak pernah tinggal, melainkan selalu silih berganti. Impresi itu sekalinya muncul, persis selepas itu berlalu sehingga tidak ada rujukan apapun yang tersisa untuk menilik kembali impresi awal mana yang menyebabkan suatu ide yang sedang dievaluasi.42

    Ciri impresi sebagai internal juga menimbulkan permasalahan lain lagi. Jika impresi itu selalu bersifat internal dalam akal budi seseorang, dengan kata lain impresi itu bersifat privat, maka kelancaran komunikasi menjadi terganggu. Untuk menuntut seseorang menunjukkan impresi dari mana ide-ide yang ia utarakan itu didapat tentu menjadi tidak mungkin jika rujukannya tidak dapat diakses bersama-sama. Komunikasi mengandaikan bahasa publik dengan rujukan-rujukan objek publik.43 Antony Flew melontarkan kritik serupa. Dalam hal ini, Hume diinterpretasikannya sebagai penerus Locke. Hume dinilainya mewarisi gagasan Locke yang mengasumsikan bahwa kata yang bermakna selalu merupakan semacam markah yang merujuk pada ide di dalam pikiran seseorang. Alhasil, dengan menjangkarkan makna suatu kata pada isi pengalaman yang bersifat privat, Hume terjerembab pada solipsisme.44 Ia, menurut Flew, tampaknya melalaikan bahwa bahasa selalu merujuk pada realitas publik, bukan ranah privat. Bahasa pertama-tama berurusan dengan realitas sosial, baru setelah itu dapatlah kita membicarakan bahasa sebagai ungkapan bagi sesuatu yang privat.45

    Kriteria kebermaknaan kata Hume ini kiranya juga tidak membuka ruang bagi istilah-istilah “syncatogrematic”. Istilah-istilah syncatogrematic ini sifatnya non-deskriptif, tidak memiliki rujukan apapun yang dideskripsikannya. Alih-alih berkat basis impresi, istilah-istilah syncatogrematic itu diperkenankan sejauh penggunaannya sesuai dengan kesepakatan dan kaidah-kaidah berbahasa. Di antara istilah-istilah syncatogrematic tersebut adalah istilah-istilah yang menyatakan relasi-relasi formal-logis seperti relasi kesamaan dan perbedaan, atau afirmasi dan negasi. Zabeeh juga menyebutkan adanya kata-kata yang bermakna kendati tidak memiliki rujukan apa-apa. Contoh paling nyata adalah simbol-simbol aritmatika. Kiranya sukar dibantah bahwa tidak ada impresi apapun yang dapat ditunjuk sebagai muasal konsep “nol”, misalnya. Akan tetapi lebih sukar lagi untuk membantah bahwa kata “nol” itu memiliki arti.46

    Antony Flew melontarkan kritik lain lagi yang sangat menarik. Flew sependapat dengan Zabeeh yang membaca filsafat Hume ini sebagai hasil penggeneralisasian pengalaman.47 Misalnya dari fakta bahwa seorang buta tidak memiliki impresi tentang data visual tertentu sehingga tidak memiliki ide yang berkorespondensi dengan data-data visual tersebut atau dari fakta bahwa seseorang tidak pernah mencicipi minuman anggur sama sekali maka ia tidak memiliki ide tentang bagaimana rasanya, Hume menggeneralisasi kesimpulan bahwa ide selalu disebabkan oleh impresi atau hanya ide yang dilatarbelakangi oleh impresi adalah ide yang bermakna. Bila ada yang tidak sependapat dengannya, Hume menantang pengkritiknya untuk tinggal menunjukkan saja ide yang tidak bersumber dari impresi apapun jika itu memang ada.48 Permasalahannya, menurut Flew, sanggahan semacam ini mustahil dibawakan. Sebagai suatu kesimpulan empiris, temuan Hume ini lemah dalam hal tidak ada pernyataan apapun yang mampu menjadi basis falsifikasinya. Dengan kata lain, gagasan Hume ini tidak memiliki syarat kemungkinan untuk membuatnya salah. Hal ini lantaran ide yang tidak memiliki impresi telah disingkirkannya sebagai tidak berarti. Apabila seseorang hendak menentang Hume dengan menyodorkan padanya ide yang tanpa impresi, Hume akan dengan mudahnya menyebut ide itu tidak bermakna. Ide yang tidak bermakna tentu bukanlah ide sejati, hanya ide semu belaka, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai ide. Dengan demikian, tidak ada ide apapun yang dapat memfalsifikasi teori Hume karena ide semacam itu tidak akan diakuinya sebagai ide.49

    Antara Memori dan Imajinasi

    Hume, mengikuti Hutcheson, membagi lagi impresi menjadi dua jenis, yakni sensasi dan refleksi.50 Sensasi merupakan impresi yang sifatnya korporal atau ragawi, seperti data-data visual, suara, atau rasa-rasa dari perangkat indera lainnya. Sementara itu, refleksi adalah impresi yang dipantik oleh ide yang semula mengemuka dari sensasi. Impresi yang berupa refleksi itu sendiri antara lain adalah hasrat, perasaan suka atau tidak suka, atau berbagai disposisi afektif lainnya. Berkenaan dengan kaitan antara dua macam impresi ini, Hume menulis demikian” “Suatu impresi pertama-tama menyentak perangkat-perangkat indera kita, dan membuat kita merasakan panas atau dingin, haus atau lapar, nikmat atau sakit, dan lain sebagainya. Dari impresi ini ada salinan yang diambil oleh akal budi, yang tetap tinggal selepas impresi-impresi tersebut berlalu, dan ini kita sebut ide. Ide akan nikmat atau sakit, ketika kembali pada jiwa, menghasilkan impresi-impresi baru berupa hasrat atau ketidaksukaan (aversion), harapan dan ketakutan, yang barangkali tepatnya disebut impresi refleksi, karena diasalkan dari [ide-ide itu].”51

    Refleksi itu merupakan semacam reaksi terhadap ide yang telah diterima akal budi. Terkait dengan pokok ini, Hume menyebutkan ada dua cara atau kemungkinan bagaimana akal budi mampu menyimpan sekumpulan ide tersebut. Ia di sini berbicara tentang memori dan imajinasi. Perbedaan pertama antara keduanya mirip dengan perbedaan antara impresi dan ide, yakni soal kejelasannya. Berbeda dengan imajinasi, menurut Hume, karakteristik khas memori adalah ide-ide yang disimpannya masih mempertahankan kadar kegamblangan atau kehidupan sebagaimana impresi pertama membawakannya. Ide-ide dalam imajinasi, di sisi lain, hampir sepenuhnya kehilangan daya tersebut.52

    Selain itu, perbedaan lain terletak pada kebebasan imajinasi dalam memadupadankan ide-ide. Kendati demikian, seperti telah disebutkan, kebebasan imajinasi, atau akal budi pada umumnya, dibatasi oleh ketersediaan ide-ide yang disediakan oleh impresi. Berlawanaan dengan imajinasi, memori menyimpan ide-ide tersebut sesuai dengan bagaimana ide-ide itu semula tampak. Kiranya perlu ditekankan bahwa menurut Hume, “fungsi utama memori bukanlah untuk menyimpan ide-ide simpel, melainkan susunannya dan posisinya.”53 Imajinasi pun menyimpan ide-ide simpel. Bukanlah ide-ide simpel yang dapat dengan sekehendak hati kita kreasikan dalam imajinasi, tetapi komposisi atau tatanan dari ide-ide itulah yang berada di bawah kemampuan imajinasi untuk mengutak-atiknya.54 Dalam pembacaan Norman Kemp Smith, kategori kedua inilah yang jauh lebih fundamental dalam membedakan memori dan imajinasi. Menurutnya, perihal kegamblangan, kategori pertama, tidak lebih daripada mengindikasikan saja mana yang tegolong ke dalam memori atau imajinasi, namun bukanlah penentu utama. Menjelaskan karakteristik utama memori, Kemp Smith menjelaskan bahwa “dalam memori susunan ide-ide, seperti halnya susunan impresi-impresi sensasi, ditentukan untuk akal budi, bukan oleh akal budi”.55

    Alfred Ayer memiliki pandangan yang berbeda. Dalam interpretasinya, memori dan imajinasi dalam teori Hume terutama dibedakan oleh kepercayaan yang dilekatkan pada satu dan bukan yang lain. Menurut Ayer, “karakteristik khas memori […] adalah bahwa memori itu menimbulkan kepercayaan seseorang akan sesuatu yang telah ia pelajari: dalam hal yang dibahas Hume, kepercayaan itu kepercayaan akan kejadian yang dilalui di waktu silam.”56 Penjelasan ini tampaknya sejalan dengan apa yang ditulis Hume ketika ia mulai menjelaskan kausalitas. Di bab ketiga Treatise, Hume menjelaskan bahwa perbedaan antara ide-ide dalam memori dan dalam imajinasi tidak terletak pada kombinasi khas yang satu daripada yang lain, melainkan oleh kepercayaan yang ditempelkan pada yang satu dan tidak pada yang lain. Ia menulis bahwa “meskipun menjadi karakteristik khas memori untuk menyimpan susunan dan posisi semula ide-idenya, sementara imajinasi mengubahnya dan menggantinya sesuka hati; bagaimanapun distingsi ini tidak cukup untuk membedakan keduanya sewaktu sedang beroperasi, atau membuat kita tahu yang satu daripada yang lain; [karena] adalah mustahil untuk mengingat impresi-impresi yang lalu, guna membandingkannya dengan ide-ide yang ada sekarang, dan mengamati apakah tatanannya benar-benar sama. Oleh sebab itu, karena memori ditengarai bukan berkat susunan ide-ide kompleksnya, tidak pula oleh kodrat ide-ide simpelnya; dengan demikian, perbedaan antara memori dan imajinasi terletak pada daya dan kejelasan lebih yang dimiliki memori.”57 Lebih lanjut, “maka tampaklah bahwa kepercayaan atau pengiyaan (assent) yang selalu mengiringi memori […] itu tidak lain daripada kegamblangan persepsi-persepsi yang direpresentasikanya; dan hanya inilah yang membedakannya dari imajinasi.”58 Dalam pemikiran Hume, kepercayaan ini berkorelasi dengan kegamblangan suatu ide. Semakin ide itu gamblang dan hidup, maka kepercayaan akan terlekatkan padanya. Bahkan, Hume sering kali menyatakan bahwa kepercayaan tidaklah lain dari pada ide yang lebih hidup, yang berdaya.59

    Terakhir, perlu dijabarkan juga apa yang sering disebut sebagai “prinsip keterpisahan” (separablity principle) dalam pemikiran Hume. Menurutnya, imajinasi mampu memadupadankan ide-ide karena ide-ide itu sendiri memang dapat dipisah-pisahkan. Ide-ide itu dapat dipilah dan diperlakukan sebagai unit-unit mandiri. Bagaimana imajinasi mungkin melakukan pemilahan ide tersebut? Hume menulis: “setiap kali imajinasi menangkap suatu perbedaan antara ide-ide, imajinasi dapat dengan mudah membuat suatu pemisahan.”60 Petikan paling ringkas yang mampu mewakili rumusan prinsip keterpisahan adalah berikut: “objek-objek apapun yang berbeda dapat dipilah, dan objek-objek apapun yang dapat dipilah dapat dipisahkan oleh pikiran dan imajinasi.”61 John Wright menjelaskan prinsip keterpisahan ini selain digunakan Hume untuk menguraikan cara kerja imajinasi, juga digunakannya untuk menentukan apakah sesuatu itu mungkin secara konseptual. Sebagai contoh, Hume menengarai bahwa ide tentang waktu tidaklah dapat dibedakan dari ide tentang objek-objek dalam waktu. Mustahillah membayangkan waktu tanpa sekaligus melibatkan objek-objek dalam waktu tersebut. Alhasil, Hume menilai ide Newton tentang waktu absolut sebagai kemustahilan. Begitu pula, Hume menemukan bahwa dalam relasi kausal, apa yang menjadi sebab itu dapat dibedakan dari apa yang menjadi akibat. Sebab dan akibat itu dengan demikian saling berdiri sendiri-sendiri.62 Hal ini lantas membawa Hume untuk berargumen bahwa relasi kausal tidak dapat disibak secara analitik, dalam arti penelusuran intuitif akan suatu akibat tertentu tidak akan mampu menyampaikan informasi perihal apa yang menjadi sebab baginya karena sebab dan akibat itu adalah hal yang benar-benar berbeda.

    Prinsip-prinsip Asosiasi Ide

    Perihal kausalitas ini memang melambungkan nama Hume dalam diskursus filsafat. Akan tetapi, Hume sendiri sebenarnya tidak menganggap pokok ini sebagai terobosan paling hebatnya. Dalam “Abstract” ia justru menulis “apabila ada sesuatu yang membuat penulis [Hume] dapat dijuluki dengan gelar seagung penemu, hal ini adalah penggunaan prinsip-prinsip asosiasi ide, yang merasuki sebagian besar filsafatnya.”63 John Wright pun setuju bahwa teori asosiasi ide ini merupakan simpul pemersatu antara hipotesis-hipotesis dalam filsafat Hume. Di sini, Wright menjelaskan, Hume mengangkat kembali konsep asosiasi ide yang telah dikenai konotasi negatif oleh Locke dan Hutcheson. Locke, yang merupakan pencetus istilah “asosiasi ide”, menggunakan istilah itu untuk merujuk pada asosiasi-asosiasi yang diwariskan oleh tradisi atau kebiasaan, dan bukan buah dari akal budi. Asosiasi ide merupakan hasil indoktrinasi yang membuat kita sering kali mengasosiasikan, misalnya, kegelapan dengan hal-hal yang menakutkan. Melanjutkan intuisi Locke, Hutcheson menilai asosiasi ide sebagai sumber dari nilai-nilai yang menyeleweng. Asosiasi ide ini menyebabkan kita rentan melebih-lebihkan perasaan atau hasrat tertentu yang kemudian bermuara pada tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya. Berbeda dengan kedua pendahulunya, Hume menempatkan asosiasi ide di tempat yang sangat sentral, yakni sebagai simpul antara ide-ide kita dan perekat persepsi-persepsi kita akan dunia.64

    Dalam pembacaan Norman Kemp Smith, prinsip-prinsip asosiasi ide memberi batasan bagi kebebasan akal budi yang kelihatannya tidak terhingga.65 Asosiasi ide itu sendiri disebut Hume semacam “daya halus” (gentle force) yang membuat satu ide ketika dipersepsikan cenderung memantik ide lainnya, ide yang berasosiasi dengannya, untuk mengemuka juga dalam pikiran. Asosiasi ide membuat pikiran kita beralih dari satu ide ke ide lainnya yang berkorelasi. Hume menyarikan ada tiga prinsip asosiasi ide tersebut, yakni kemiripan (resemblance), kedekatan (contiguity), dan sebab-akibat.66 Ketiganya diilustrasikan secara ringkas dalam Enquiry sebagai berikut: “Bahwa prinsip-prinsip ini berfungsi menghubungkan ide-ide, Saya pikir, tidak akan banyak diragukan lagi. Suatu gambar lumrahnya menghantar pikiran kita pada [objek] yang asli: penyebutan satu apartemen dalam suatu bangunan lumrahnya menimbulkan pertanyaan atau diskusi akan yang lainnya: dan apabila kita memikirkan suatu cedera, kita sulit mencegah untuk membayangkan rasa sakit yang mengikutinya.”67 Contoh pertama merepresentasikan prinsip kesamaan, yang kedua prinsip kedekatan, dan kasus terakhir dipertautkan oleh prinsip sebab dan akibat. Menurut Norman Kemp Smith, Hume menganggap tiga prinsip ini sebagai ultima dalam arti tidak ada prinsip-prinsip asosiasi lebih mendasar lagi yang dapat ditengarai.68

    Tiga prinsip inilah yang memungkinkan akal budi membentuk ide-ide kompleks. Hume dalam Treatise menggolongkan ide-ide kompleks itu menjadi tiga macam, yakni relasi, mode, dan substansi. Bentuk ide kompleks pertama, relasi, dipilah lagi ke dalam tujuh kategori, yaitu relasi kemiripan (resemblance), relasi identitas, relasi yang berkaitan dengan ruang dan waktu, relasi kuantitas, relasi kualitas, relasi keberlawanan (contrariety), dan relasi sebab dan akibat. Tujuh relasi tersebut merupakan pertalian yang membuat satu ide tertentu cenderung memantik pikiran untuk beralih kepada ide lain yang terjalin dengannya. Relasi itu juga dimaksudkan sebagai pokok yang diperbandingkan antara ide-ide tersebut.69 Di bab ketiga Treatise, Hume membuka pembahasannya dengan membagi tujuh relasi itu ke dalam dua kategori. Di satu sisi, ada relasi-relasi yang nilainya tidak dapat berubah tanpa ide-ide yang terlibat juga berubah. Relasi kesamaan, keberlawanan, tingkat kualitas, dan kuantitas tergolong ke dalam kategori ini. Hume mencotohkan untuk relasi kesamaan, kita dapati bahwa total sudut segitiga itu sama dengan dua sudut siku-siku. Hanya jika ide-ide yang terlibat itu diubah, relasinya juga tidak akan lagi sama, misal ide segitiga di situ diubah menjadi persegi atau ide sudut siku-siku diganti menjadi sudut tumpul. Sebaliknya, relasi identitas, relasi terkait ruang dan waktu, dan relasi sebab dan akibat merupakan relasi-relasi yang dapat berubah tanpa perubahan ide-ide yang dihubungkannya. Jarak atau kedekatan, termasuk ke dalam relasi terkait ruang dan waktu, antara dua objek dapat berubah lebih jauh atau lebih dekatpun dengan objek-objek yang masih sama. Lebih lanjut, Hume menilai empat relasi dalam kategori pertama merupakan basis bagi pengetahuan eksak saintifik. Tiga di antaranya, kecuali relasi kuantitas, dapat ditengarai secara intuitif.70 Hume memberi penjabaran yang berbeda dalam Enquiry. Di situ ia membedakannya antara “relasi ide-ide” (relation of ideas) dengan “perihal fakta” (matter of fact). Sebagaimana kategori pertama Hume di Treatise, objek pengetahuan yang tergolong “relasi ide-ide” ini dapat ditangkap secara intuitif dan demonstratif. Kebenarannya tergantung sepenuhnya pada kerja pikiran, terlepas dari ada tidaknya sesuatu itu di dunia nyata. Sama dengan di Treatise, kategori ini direpresentasikan oleh geometri, aljabar, dan aritmatika. Sementara itu, penalaran “perihal fakta” tidaklah eksak atau pasti. Semua penalaran yang tergolong kategori ini selalu berdiri di atas relasi sebab dan akibat.71

    Ide Abstrak

    Sementara itu, berkenaan dengan dua ragam ide kompleks lainnya, Hume mencontohkan ide akan emas sebagai substansi, sementara yang dapat disebut mode contohnya ide tarian atau kecantikan. Dalam pemikirannya, dua jenis ide kompleks tersebut sebenarnya “tidak lain daripada sekumpulan ide simpel, yang disatukan oleh imajinasi, dan memiliki nama tertentu yang diberikan padanya, yang memampukan kita mengingat […] sekumpulan ide tersebut.”72 Dengan ini Hume hendak mengkritik pandangan lawas tentang substansi, yang biasanya dibedakan dengan aksiden, sebagai sesuatu simpel yang menjadi inti identitas suatu entitas, yang menjamin sesuatu itu tetap sama meskipun telah melalui banyak perubahan. Menurut Hume, ide substansi itu tidak lain dibuat-buat oleh imajinasi untuk menyebut sesuatu yang tidak diketahui, yang diandaikan tetap sama adanya di balik perubahan-perubahan yang tertampak dalam pengalaman.73

    Ide substansi dan mode itu sendiri tergolong ke dalam apa yang disebut ide abstrak atau ide umum. Di sini Hume menggunakan istilah ide abstrak dan ide umum. Telah lama diterima dalam diskursus filsafat bahwa ide abstrak merupakan ide yang benar-benar abstrak, yang tidak mengandung bentuk partikular apapun beserta ukuran-ukurannya. Ketika kita membentuk ide abstrak atau ide umum akan sesuatu, akan manusia misalnya, kita mengabstraksikannya dari berbagai manusia partikular dengan ukuran dan kualitas atau rupa yang beragam. Ide abstrak itu lantas menjadi representasi dari segala kemungkinan rupa dan ukuran manusia tersebut. Permasalahannya adalah mengingat kemampuan akal budi manusia terbatas, maka kiranya mustahil ide abstrak benar-benar merepresentasikan atau menghadirkan pada akal budi segala rupa dan ukuran manusia partikular yang mungkin. Alternatifnya adalah ide abstrak itu menjadi representasi tanpa merepresentasikan manusia partikular apapun. Ide abstrak dengan demikian menjadi ide yang sepenuhnya abstrak. Hume tidak menerima argumen semacam ini. Ia jauh lebih mengapresiasi kritik Berkeley yang menyatakan bahwa “semua ide umum tidaklah lain daripada ide partikular yang ditempelkan pada satu istilah tertentu, yang memberinya signifikansi yang lebih luas, dan membuatnya memantik ingatan akan ide-ide partikular lain yang serupa dengannya.”74 Dalam rangka mendukung pendapat Berkeley ini, Hume berupaya untuk membuktikan bahwa, pertama, adalah mustahil membayangkan kualitas atau kuantitas apapun tanpa sekaligus membayangkannya dalam ukuran atau rupa tertentu, dan, kedua, bahwa kendati kemampuan akal budi terbatas, namun bukan barang mustahil bagi akal budi untuk membayangkan segala ukuran kualitas serta kuantitas apa saja yang mungkin.75

    Hume mengajukan tiga argumen untuk menyokong anggapan itu. Argumen pertama bertumpu pada prinsip keterpisahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Berbekal prinsip itu, Hume menekankan bahwa “akal budi tidak mampu membayangkan ide akan kualitas dan kuantitas apapun tanpa membayangkan juga ukuran persis kualitas dan kuantitas tersebut”. Hal ini mengingat “objek-objek apapun yang berbeda dapat dipilah, dan objek-objek apapun yang dapat dipilah dapat dipisahkan oleh pikiran dan imajinasi” sementara “panjang persisnya”, sebagai contoh, “suatu garis tidak berbeda dan tidak dapat dipilah dari garis itu sendiri; tidak pula derajat persis kualitas apapun dari kualitas itu sendiri.”76 Dalam mengabstraksikan ide umum dari objek-objek yang memiliki ukuran kualitas dan kuantitas yang pasti, bagaimanapun kita tidak mungkin mampu menyisihkan ukuran-ukuran itu dan hanya meninggalkan kuantitas atau kualitasnya saja sebagai konten dari ide umum. Ukuran kuantitas dan ukuran kualitas itu tidak berbeda dengan kuantitas atau kualitas itu sendiri, sehingga tidak dapat dipisahkan guna ditinggalkan.

    Argumen kedua serupa dengan yang pertama. Hume menegaskan bahwa impresi apapun yang ditangkap akal budi tidak dapat tidak selalu sudah memiliki ukuran kuantitas dan kualitas yang pasti. Berhubung semua ide adalah salinan dari impresi, maka ide-ide apapun tidak terelakkan lagi selalu mengandung ukuran kuantitas dan kualitas tertentu juga.77 Terakhir, argumen ketiga Hume bersandar pada pandangan umum bahwa apapun yang ada selalu bersifat individual dan adalah absurd untuk mengatakan ada sesuatu riil yang tidak memiliki ukuran atau rupa persis kuantitas dan kualitasnya. Jika dalam realitasnya saja absurd, ide yang berupaya merepresentasikan hal demikian tentu juga absurd adanya. Hal ini berarti pula bahwa ide abstrak itu sendiri individual atau partikular, hanya saja dijadikan umum dalam kaitannya dengan apa-apa saja yang direpresentasikannya.78

    Pokok bahasan ini dalam filsafat Hume, menurut para komentator kontemporer, menunjukkan salah satu kesalahan fundamental Hume. Ia keliru dalam mengidentikkan ide dengan gambaran (image). Setidaknya Norman Kemp Smith, Alfred Ayer, dan Antony Flew menyatakan kritik semacam ini. Ayer, misalnya, merujuk pada kutipan Hume yang berbunyi “dengan ide-ide, Saya [Hume] memaksudkan gambaran-gambaran lemah akan [impresi-impresi] dalam berpikir dan bernalar”.79 Hume, disimpulkan Kemp Smith, meyakini bahwa “semua ide simpel adalah gambaran-gambaran, dan gambaran-gambaran persis, dari impresi yang berkesesuaian dengannya.”80 Oleh sebab inilah, ketika membahas ide abstrak, Hume perlu bersusah-payah menunjukkan bahwa ide itu bagaimanapun selalu memiliki ukuran kuantitatif dan kualitatif yang tentu, atau dengan kata lain, memiliki rupa yang tentu (determinate). Kemp Smith merangkumkannya dengan baik bahwa bagi Hume “semua ide adalah gambaran-gambaran dan bahwa semua gambaran selalu partikular, maksudnya selalu [berwujud] tentu (determinate).”81 Kembali dalam kaitannya dengan kebermaknaan kata, Flew menekankan bahwa setiap gambaran mental itu bersifat privat. Hal ini membuat mustahil menjangkarkan makna kata pada gambaran semacam itu karena tidak ada kemungkinan untuk dipastikan bersama-sama secara publik apakah seseorang menggumamkan kata bermakna atau tidak dengan menyelam ke dalam isi kepalanya untuk memastikan apakah ada gambaran mental yang berkorespondensi dengan kata yang diujarkannya tadi.82

    Lantas bagaimana bisa ide abstrak yang merupakan ide partikular itu menjadi representasi bagi sesuatu yang general? Kendati Hume menganggap mungkin bagi akal budi untuk membayangkan semua ide dari segala tingkat kuantitas dan kualitas yang dinaungi suatu ide abstrak tertentu, ia tidak memaksudkan bahwa ide-ide itu dapat hadir semua bersamaan dalam sekali waktu. Itu bukanlah maksud dari ide abstrak menjadi general dalam representasinya. Pada mulanya, menurut Hume, ketika kita mengamati suatu kemiripan dalam sejumlah objek tertentu, kita menimpakan satu nama tertentu pada objek-objek tersebut, terlepas dari perbedaan-perbedaan di antaranya. Selepas kita mengenal nama itu, manakala kita mendengar nama itu, muncul dalam akal budi kita satu atau beberapa objek partikular dari sekumpulan yang ada. Namun, di momen ini juga akal budi kita semacam “bersiaga” untuk memunculkan objek-objek lain andaikata situasi menuntutnya.83 Salah satu contoh ketika hal itu diperlukan adalah ketika kita dihadapkan pada suatu pernyataan yang terdengar keliru atau ganjil. Hume mencontohkannya demikian: “Maka, apabila kita menyebutkan kata segitiga, dan kita membayangkan ide tentang suatu segitiga sama sisi tertentu yang sesuai dengan kata itu, serta jika selepas itu kita mengatakan, bahwa tiga sudut suatu segitiga adalah sama satu dengan yang lainnya, [ide-ide] segitiga individual lain yang tidak sama sisi dan segitiga sama kaki, yang semula tidak kita hiraukan, seketika membanjiri kita, dan membuat kita menyadari kekeliruan proposisi tersebut, meskipun proposisi tersebut tepat dalam kaitannya dengan ide [pertama] yang sebelumnya kita bayangkan.”84

    Kesimpulan

    Proyek utama Hume adalah menyediakan fondasi baru bagi filsafat dan sains. Science of man ia garap dengan maksud tersebut. Perihal akal budi menjadi salah satu kodrat manusia yang ditelisiknya, diteruskan dengan pembahasan tentang hasrat dan moralitas. Berkenaan dengan akal budi, perhatian Hume pertama-tama tertuju pada persoalan ide. Setiap ide, yang merupakan satu jenis persepsi, menurutnya selalu diasalkan dari impresi tertentu dan selalu berkesesuaian dengan impresi tersebut. Ide tidaklah lain dari pada salinan kabur akan persepsi hidup yang disebut impresi. Hal ini berarti segala asumsi tentang ide bawaan perlu disingkirkan. Maksim Hume terkait dengan kaitan penyebaban antara impresi dan ide kemudian diterjemahkan sebagai preskripsi akan kriteria kebermaknaan kata. Ia sendiri dalam Enquiry kurang-lebih secara kentara mengindikasikan bahwa istilah yang bermakna hanyalah istilah yang memiliki impresi tertentu yang cocok dengannya dan menjadi asalnya. Lebih lanjut, ide-ide yang mengemuka itu lantas disimpan akal budi melalui memori dan imajinasi. Sementara memori mempertahankan susunan dan struktur ide-ide sebagaimana tampak semula, imajinasi memiliki kebebasan untuk memadupadankan ide-ide tersebut. Namun, kebebasan imajinasi itu sebenarnya juga dibatasi oleh prinsip-prinsip asosiasi ide yang terdiri dari kemiripan, kedekatan, dan sebab dan akibat. Relasi, mode, dan substansi merupakan tiga ragam ide kompleks yang ditelurkan dari asosiasi-asosiasi tersebut. Perihal mode dan substansi membawa Hume ke pembahasan tentang ide abstrak. Menurutnya, ide abstrak atau ide umum sejatinya tidak lain dari pada ide partikular yang ditempeli nama umum yang membuatnya memiliki signifikansi yang lebih luas dari pada aslinya.


    1  Farhang Zabeeh, Hume: Precursor of Modern Empiricism (An Analysis of His Opinion on Meaning, Metaphysics, and Mathematics) (Netherland: The Hague, 1973), 1.

    2  David Hume, A Treatise of Human Nature: Volume I (London: Everyman’s Library, 1964)

    3  Ibid., 3.

    4  Ibid., 5.

    5  Ibid., 5. Bdk. Antony Flew, Hume’s Philosophy of Belief: A Study of His First Inquiry (Bristol: Thoemmes Press, 1997), 13-14.

    6  David Hume, Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford dan New York: Oxford University Press, 2007), 7.

    7  Hume, Treatise, 7.

    8  A. J. Ayer, Hume (Past Masters) (Oxford dan London: Oxford University Press, 1980), 15.

    9  Norman Kemp Smith, The Philosophy of David Hume (Hampshire dan New York: Palgrave Macmillan, 1941), 82-83.

    10  David Hume, “Abstract of A Treatise of Human Nature: Preface,” dalam Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford dan New York: Oxford University Press, 2007), hal. 133-145, 136.

    11  Smith, The Philosophy of David Hume, 83.

    12  Hume, Treatise, 11; Hume, Enquiry, 18; Hume, Abstract, 136.

    13  Hume, Treatise, 11.

    14  Smith, The Philosophy of David Hume, 209-210.

    15  Hume, Treatise, 11.

    16  Hume, “Abstract,” 136.

    17  Ayer, Hume, 26.

    18  Hume, Treatise., 12.

    19  Ibid., 12.

    20  Ibid., 12-13.

    21  Ibid., 13.

    22  Ibid., 13.

    23  Ibid., 13-14.

    24  Hume, Enquiries, 19.

    25  Hume, Treatise, 14.

    26  Ibid., 14.

    27  Ibid., 16.

    28  Hume, Enquiries, 22. Lihat juga “Abstract,” 136.

    29  Zabeeh, Hume, 21. Bdk. Smith, The Philosophy of David Hume, 213.

    30  Hume, Enquiries, 22.

    31  Hume, “Abstract,” 136-137.

    32  Russell sebagaimana dikutip dalam Zabeeh, Hume, 36.

    33  Schlick sebagaimana dikutip dalam Zabeeh, Hume, 36.

    34  Ayer, Hume, 32.

    35  Hume, Enquiry, 146 dan Zabeeh, Hume, 37.

    36  Zabeeh, Hume, 37.

    37  Ibid., 41-42.

    38  Ibid., 44.

    39  Frege sebagaimana dikutip dalam Zabeeh, Hume, 65.

    40  Quine sebagaimana dikutip dalam Zabeeh, Hume, 65.

    41  Hume sebagaimana diktuip dalam Zabeeh, Hume, 57.

    42  Zabeeh, Hume, 57.

    43  Ibid., 59.

    44  Flew, Hume’s Philosophy of Belief, 37-40.

    45  Ibid., 42-44.

    46  Zabeeh, Hume, 62-63.

    47  Flew, Hume’s Philosophy of Belief, 25. Bdk. Zabeeh, Hume, 47 dan Ayer, Hume, 32-33.

    48  Lih. Hume, Enquiry, 19-20.

    49  Flew, Hume’s Philosophy of Belief, 25-26.

    50  Smith, The Philosophy of David Hume, 213.

    51  Hume, Treatise, 16-17.

    52  Ibid., 17-18.

    53  Ibid., 18.

    54  Ibid., 18–19.

    55  Smith, The Philosophy of David Hume, 232-234.

    56  Ayer, Hume, 30.

    57  Hume, Treatise, 87.

    58  Ibid, 89. Bdk. Hume, Enquiries, 47-49.

    59  Hume, Treatise, 98 dan 107.

    60  Ibid., 19.

    61  Ibid., 26.

    62  John P. Wright, Hume’s ‘A Treatise of Human Nature’: An Introduction (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 2009), 75-76.

    63  Hume, “Abstract,” 145.

    64  Wright, Hume’s ‘A Treatise of Human Nature’, 47-50.

    65  Smith, The Philosophy of David Hume, 239.

    66  Hume, Treatise, 19-20.

    67  Hume, Enquiry, 24.

    68  Smith, The Philosophy of David Hume, 240.

    69  Ibid., 22-23.

    70  Ibid., 73-74.

    71  Hume, Enquiry, 25-26.

    72  Hume, Treatise, 24.

    73  Ibid., 210-212.

    74  Ibid., 25.

    75  Ibid., 26.

    76  Ibid., 26.

    77  Ibid., 27.

    78  Ibid., 27-28.

    79  Ibid., 11. Bdk. Ayer, Hume, 23.

    80  Smith, The Philosophy of David Hume, 207.

    81  Smith, The Philosophy of David Hume, 257. Lihat juga Ayer, Hume, 31.

    82  Flew, Hume’s Philosophy of Belief, 31.

    83  Hume, Treatise, 28.

    84  Ibid., 29.


    Daftar Pustaka

    Ayer, A. J. Hume (Past Masters). Oxford dan London: Oxford University Press, 1980.

    Flew, Antony. Hume’s Philosophy of Belief: A Study of His First Inquiry. Bristol: Thoemmes Press, 1997.

    Hume, David. “Abstract of A Treatise of Human Nature: Preface,” dalam Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford dan New York: Oxford University Press, 2007.

      . A Treatise of Human Nature: Volume I. London: Everyman’s Library, 1964.

      . Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford dan New York: Oxford University Press, 2007.

    Smith, Norman Kemp. The Philosophy of David Hume. Hampshire dan New York: Palgrave Macmillan, 1941.

    Wright, John P. Hume’s ‘A Treatise of Human Nature’: An Introduction. Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 2009.

    Zabeeh, Farhang. Hume: Precursor of Modern Empiricism (An Analysis of His Opinion on Meaning, Metaphysics, and Mathematics). Netherland: The Hague, 1973.


     

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...