spot_img
More

    Manakah Gagasan Filsafat yang Kedaluwarsa?

    Featured in:

    Di hari yang cerah, mereka masuk ke kelas pertama sebagai mahasiswa baru jurusan Filsafat. Mereka bertemu seorang dosen lalu menyepakati kontrak belajar dengannya. Dosen itu menunjukkan isi silabus Sejarah Filsafat yang akan dipelajari sepanjang satu semester: mulai dari periode para filsuf arkhe sampai pasca-modernisme. Mereka, di setiap pertemuan, ditugaskan membaca teks-teks kuno milik Plato, Aristoteles, Descartes, Derrida, dan seterusnya lalu menafsirkan dan merefleksikan hasil bacaan itu. Mereka mendiskusikannya. Di antara seorang dari mereka mengangkat tangan, “Apakah ada ide-ide filsafat yang kedaluwarsa?” Jawabannya: tidak ada!

    Filsafat begitu menghargai ide-ide kuno. Pembelajaran filsafat di kampus mana pun selalu dimulai dari filsuf seperti Aristoteles, Hume, Kant, dan seterusnya. Nyaris tak ada mahasiswa filsafat yang tidak pernah bersua dengan gagasan mereka dan sebagian secara khusus bergumul dengan teks mereka. Sampai hari ini, artikel, buku, dan esai apa pun mengenai mereka diterbitkan terus menerus, diteliti tiada henti seolah merupakan sumber mata air yang tiada kering di musim paling terik. Namun, memang ada tengara ketika para pegiat filsafat menjadi fundamentalis: memuja dan menerima pandangan suatu filsuf bak nabi. Ini oleh Martin Suryajaya disebut fanboy-isme.

    Dalam “penelitian” filsafat akademik, tidak ada aturan, misal, harus menggunakan minimal referensi terbitan 20 tahun terakhir sebagaimana sains dan beberapa disiplin sosial-humaniora. Teks-teks Plato atau Aristoteles, yang datang dari peradaban Sebelum Masehi, masih bisa digunakan untuk mengevaluasi realitas saat ini; atau merekonstruksi teori baru darinya. Ini membuat filsafat secara praktik tidak berbeda dengan agama yang terus menafsirkan teks-teks kitab suci agar relevan dengan zaman. Namun, keduanya berbeda dalam menilai teks atau gagasan kuno.

    Kitab suci adalah panduan hidup yang paling utama—kalau tidak satu-satunya—bagi agama, sedangkan bagi filsafat, gagasan kuno bukanlah pedoman. Ia bisa ditinggalkan kapan saja jika terbukti keliru atau tidak lagi relevan. Namun, sialnya, seperti kata Norton (2023, p. 7), gagasan kuno adalah di antara gagasan terbaik yang dimiliki filsafat. Terbaik di sini berarti bisa menjadi pijakan melahirkan jawaban, pandangan, dan pendekatan baru. Mengapa hal ini mungkin? Ini lantaran nyaris tidak ada persoalan filosofis yang pernah terjawab dan mungkin akan terjawab sampai kapan pun. Jika ada jawaban mutlak, maka saat itulah filsafat khatam. 

    Akar persoalan filosofis yang mustahil terpecahkan ini—seperti apa hakikat dari kehidupan? Apakah kesadaran itu ada? Apakah masing-masing orang punya kehendak bebas?—ialah persoalan filosofis lain yang lebih fundamental yang nyaris mustahil dipecahkan juga, yaitu problem sudut pandang subjektivitas dan objektivitas (Dietrich, 2023). Misal, karena secara subjektif orang merasakan secara sadar bahwa dirinya bisa dan bebas menentukan tindakannya, maka kehendak bebas ada (ini sudut subjektif); karena secara objektif segala tindakan ditentukan oleh hukum alam atau takdir Tuhan atau keduanya, maka kehendak bebas tidak ada (ini sudut objektif). 

    Dalam persoalan kesadaran, subjektivitas akan mengklaim bahwa kesadaran itu ada, sebab ada pengalaman subjektif “bagaimana rasanya …”  yang tak terbagikan. Sementara itu, objektivitas mengklaim tidak ada, sebab kesadaran sama dengan proses biokimia otak. Dua sudut pandang ini bisa diterapkan pada segala persoalan filosofis, bahkan seluruh perjalanan sejarah filsafat bisa menampilkan pergulatan dua sudut pandangan ini dan upaya-upaya mendamaikannya. Mana yang fundamental dari keduanya? Jika sama-sama fundamental, bagaimana menjelaskan hubungan keduanya dalam menjawab persoalan filosofis? Langkah ini sudah ditempuh. Misal, ada kompatibilisme dalam perdebatan kehendak bebas dan emergentisme dalam perdebatan kesadaran.

    Akan tetapi, sialnya, dengan kelahiran jawaban yang berusaha menjelaskan relasi subjektivitas dan objektivitas, bukan berarti jawaban akhir telah ditemukan dan dengan begitu filsafat khatam. Para filsuf sampai kini belum bersepakat apakah jawaban jenis ini adalah benar atau lebih baik dari yang mengambil posisi ekstrem: subjektivitas belaka atau objektivitas belaka. Tiadanya metode yang disepakati untuk mengevaluasi berbagai jawaban yang tersedia—lalu menemukan yang benar—membuat filsafat tenggelam dalam ketaksepakatan meluas tiada henti. 

    Dalam sains, bukti empiris menjadi peranti evaluasi sehingga seiring terkumpulnya banyak bukti, jawaban keliru akan tersisihkan dan karena itu, ketaksepakatan menyempit sehingga sebuah jawaban kolektif tercapai kemudian. Namun, tentu kesepakatan selalu tidak mengandaikan pencapaian atas kebenaran. Jelas bahwa kebenaran sesuatu tidak tergantung pada seberapa banyak orang menyepakatinya. Dalam filsafat, bukti empiris tidak berperan vital. Ini karena sifat pertanyaan filosofis yang berbeda dengan sains. Berikut uraian Sarıhan (2024):

    “… that empirical evidence can never settle debates concerning core philosophical questions: having been presented with relevant empirical evidence, the disagreeing side still has place for maneuver and can claim that the conclusion derived from the empirical evidence cannot be true because a central concept it deploys (‘free will’, ‘consciousness’, etc.) is confused or misconstrued or that there should be something wrong with the empirically-supported claim as it clashes with a more fundamental and self-evident claim.”

    Sampai di sini apa persisnya persoalan filosofis? Mengapa ia kebal dari bukti empiris? (ini sekaligus yang membedakan filsafat dari sains dan disiplin lain). Jawabannya adalah “Permasalahan filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar yang tidak dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris” (Woodhouse, 2012, p. 15). Lebih tepatnya, kata “yang” pada kutipan langsung ini harus diganti “sehingga”. Dengan demikian dapat dipahami sebagai berikut: sebab filsafat berurusan dengan makna, kebenaran, dan hubungan logis ide-ide, bukti atau pengetahuan empiris tidak bisa membantu sepenuhnya. 

    Ide-ide dasar adalah konsep atau klaim yang cakupannya umum (Woodhouse, 2012, p. 16). Misal, konsep manusia mencakup segala manusia dengan berbagai perbedaan ruang dan waktunya di muka bumi. Jadi, ketika konsep manusia dipersoalkan, maka itu adalah kegiatan berfilsafat. Misal, apa itu manusia? (perihal makna); apakah manusia benar punya kesadaran? (perihal kebenaran); jika manusia sebagai hewan memiliki hak hidup, mengapa sapi dan ayam tidak punya? (perihal hubungan logis). Ide-ide dasar tidak bisa diselesaikan hanya dengan penjelasan empiris karena bersifat apriori. Hal-hal empiris bukan tidak berperan sama sekali. Ia berperan, tetapi tidak akan bisa menyelesaikan sepenuhnya.

    Pada taraf tertentu, demarkasi ini roboh. Apa yang menjadi penyelidikan filsafat, bisa juga menjadi penyelidikan non-filsafat. Misal, pertanyaan “Apakah moralitas itu bawaan?” bukan hanya menjadi penyelidikan etika, tetapi juga psikologi moral; atau pertanyaan mengenai hakikat realitas menjadi wilayah yang dikaji oleh metafisika dan fisika. Jadi, mengatakan bahwa ide dasar tidak bisa didekati oleh sains atau penyelidikan empiris mungkin keliru. Namun, sifat penyelidikan empiris yang terbatas dan terus bergerak tidak akan membawa pada jawaban yang mutlak atas persoalan ide dasar. Di situlah ruang bagi filsafat bekerja. 

    Uraian singkat tadi dapat dipersingkat lagi demikian:

    P1: Jawaban apa pun terhadap persoalan filosofis yang belum memperoleh jawaban yang mutlak benar adalah relevan.

    P2: Gagasan kuno adalah salah satu jawaban terhadap persoalan filosofis yang belum memperoleh jawaban yang mutlak benar.

    K: Gagasan kuno adalah relevan.

    Pengertian relevan di sini perlu diperjelas. Pertama, ia sebagai jawaban yang setara nilainya  dengan jawaban lain. Misal, F1 dari abad pertengahan mengatakan X1 sebagai jawaban atas persoalan filosofis Y dan F2 yang lahir tiga abad kemudian mengatakan X2 adalah jawabannya. Keduanya memiliki nilai setara, sama “benar”-nya. Kedua, ia sebagai pijakan untuk melahirkan jawaban atau pemahaman yang lebih akurat ketimbang sebelumnya. Dengan demikian, jika menggunakan contoh sebelumnya, nilai X1 dan X2 tidak setara. X2 lebih bernilai karena lebih akurat, tetapi inspirasinya berasal dari X1. Pengertian kedua ini sama dengan pengertian kata ‘terbaik’ yang disinggung di sebelumnya.

    Di satu sisi, ketiadaan metode ini merupakan berkah. Ia memungkinkan filsafat memiliki perdebatan dan akumulasi pengetahuan lebih banyak dibandingkan disiplin lain. Mereka yang menyukai filsafat saat ini dan di masa depan nanti bisa tetap berfilsafat karena belum dan tidak akan pernah ditemukan jawaban yang mutlak benar atas persoalan filosofis apa pun. Di sisi lain, ini merupakan petaka. Filsafat seolah menjadi pekerjaan sia-sia. Bukankah bodoh berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang mustahil dipecahkan dari awal? Hidup itu singkat, Bung! Jika filsafat tetap ingin dipertahankan sebagai suatu hal yang bernilai, maka kegiatan berfilsafat harus disamakan dengan kegiatan yang menghadirkan kenikmatan psikologis, seperti membaca komik, menonton film, mendengar musik, dan seterusnya.

    Tapi sepertinya tidak semua filsafat sia-sia. Filsafat praktis, seperti filsafat politik dan etika, tetap berguna. Persoalan dalam filsafat politik dan etika sama alotnya dengan disiplin filsafat lain, tetapi setiap jawaban yang dihasilkan memiliki konsekuensi praktis. Ini berguna sekali untuk membangun tatanan kehidupan kita lebih baik. Misal, pertanyaan “Apakah individu memiliki agensi?” adalah perdebatan alot dalam filsafat politik. Mereka yang percaya adanya agensi individu boleh jadi cenderung sepakat pada tatanan ekonomi-politik kapitalisme atau semacamnya, sedangkan yang percaya tiadanya agensi boleh jadi cenderung sepakat pada sosialisme. Filsafat praktis lainnya, eksistensialisme, berguna untuk menentukan makna hidup, meskipun persoalan mengenai hakikat hidup yang sebenarnya tidak akan pernah terjawab.

    Daftar Pustaka

    Dietrich, E. (2023). Why Philosophy Makes No Progress. Global Philosophy, 33(2). https://doi.org/10.1007/s10516-023-09677-z

    Norton, J. (2023). Why philosophy needs a concept of progress. Metaphilosophy, 54(1), 3-16. https://doi.org/10.1111/meta.12603

    Sarıhan, I. (2024). Disagreement and Progress in Philosophy and in Empirical Sciences. Social Epistemology, 1–13. https://doi.org/10.1080/02691728.2024.2362657

    Woodhouse, M. B. (2012). Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal (N. A. Permata, H. P. Hadi, & E. Kanisius, Trans.). Kanisius.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Problem Penelitian Filsafat Kita

    apa yang saya peroleh di kampus mengenai bagaimana penelitian filsafat seharusnya dijalankan ternyata berbeda dengan apa yang...

    Mesin Literal dan Manusia Ambigu: Refleksi atas Krisis Komunikasi...

    Kehadiran Kecerdasan Artifisial (AI) generatif dalam lanskap keseharian kita telah memicu sebuah diskursus yang riuh, sering kali...

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...