spot_img
More

    Mendaku Kebenaran

    Featured in:

    Bicara ihwal kebenaran, kini adalah bicara ihwal subjektivitas. Atau setidaknya demikianlah sejauh pemahaman Saya, dan Anda tak perlu segan untuk mengkritik. Tapi sebelum Anda mencoba mengganggu kedangkalan argumen tersebut, biarkan Saya perjelas dasar argumennya. Begini, beberapa waktu lalu masa tenang kebodohan Saya terusik oleh teori-teori kebenaran yang dikemukakan seorang teman. Terdapat satu teori yang patut dicermati, yaitu Teori Pragmatis (Pragmatic Theory of Truth) sebuah teori yang menekankan pada kegunaan dan manfaat dari kebenaran. Melalui teori tersebut akan muncul anggapan bahwa kebenaran akan tercampakan sebagaimanapun jelas nilai kebenarannya apabila tidak memberi manfaat. Simak kisah berikut.

    Berpuluh tahun lalu, David Ben-Gurion datang ke tanah Palestina dan di kemudian hari tepatnya tanggal 14 Mei 1948 ia memimpin sebuah upacara proklamasi yang menandai berdirinya negara baru bernama Israel. Ben-Gurion dan para Zionis datang ke tanah yang dijanjikan bukan sebagai tentara yang haus darah, bukan pula bertujuan untuk memusnahkan, mereka datang oleh dorongan akan impian tentang kehidupan yang baru, yang lebih indah. Mereka tidak pula datang dengan harta berlimpah, hanya sekelompok proletar, menderita dan punya mimpi yang didayakan dogma agama.

    Sebelum proklamasi kemerdekaan Israel, sering terjadi konflik antara pribumi dengan bangsa pendatang, para imigran Yahudi. Konflik dipicu perebutan hak kemerdekaan sebagai jajahan Kerajaan Inggris. Namun, pada saat itu tumbuh perasaan inferior dari para Zionis soal kedudukan mereka atas bangsa Arab, para penghuni tanah Palestina. Karen Armstrong dalam bukunya Perang Suci[1], dan seorang filolog bernama Eliezer ben Yehuda mengakui bahwa bangsa Arab terlihat sepertidi-rumah sendiri, di tanah idaman para Yahudi, Eretz Yisrael. Namun Zionis tak bergeming, malah sebuah peristiwa pembantaian di Deir Yassin, sebuah perkampungan Arab oleh Irgun dan Lehi (kelompok teroris Zionis Revisionis) merubah posisi politik Zionis untuk selama-lamanya. Kegiatan terorisme Zionis semakin memuncak dan meluas hingga pelosok Palestina. Peristiwa pembantaian tersebut menjadi kisah horor tersendiri bagi penduduk Palestina, dan memaksa mereka mengenyahkan diri dari tanah air mereka menuju tanah diaspora diantah berantah.

    Pertanyaannya salahkah perbuatan para Zionis tersebut? Jika melalui pertimbangan moral, tentu saja perbuatan keji tersebut dapat dianggap tak bermoral dan salah, tapi berdasar Teori Pragmatis, hal tersebut dapat saja dianggap sebagai sebuah kebenaran karena memberi manfaat dan memiliki andil yang cukup besar pada perkembangan negara Israel sebab merubah arus politik menjadi lebih memihak kepada Zionis. Namun kemudian nilai kebenaran menjadi subjektif karena pada peristiwa tersebut memang terdapat pihak yang diuntungkan, terdapat pula pihak yang dirugikan. Dengan begitu sebuah tindakan bergantung pada posisi dan sudut pandang subjek yang kemudian mempengaruhi penilaian dan dampak kejadian terhadap subjek itu sendiri.

    Kebenaran dapat dikatakan subjektif, sebab putusan logis digeser nilai kegunaan subjek.Bukan bermaksud egois dengan menyebut bahwa pusat kebenaran adalah subjek, bukan pula menghindari depresi akibat dahaga akan kebenaran objektif -absolut, tetapi pendapat tersebut kiranya memang sesuai dengan realitas. Saya kembali teringat salah satu dari 3 teori yang dikemukakan seorang teman, yaitu Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth). Teori tersebut mengemukakan bahwa sebuah kebenaran dapat dikatakan sebuah kebenaran apabila berkesesuaian dengan realitas.

    celeng
    Lukisan “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik.

    Di zaman globalisasi penanda tonggak sejarah kebebasan berpendapat dan toleransi perbedaan, menjadikan manusia seakan-akan haus akan sebuah konsesus yang menuntun mereka kedalam sebuah kebenaran objektif -atau intersubjektif. Namun alih-alih menjadi titik temu perbedaan-perbedaan, konsensus malah dijadikan tarik-ulur kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Konsesus sebagai upaya mendekatkan diri kedalam kebenaran objektif malah disalahartikan sehingga merusak citra kebenaran itu sendiri.

    Kemudian kebenaran menjadi bertentangan dengan realitas atau imaji realitas, dan konsensus sebagai “jalan kebenaran” telah rusak.

    Contoh kasus di atas menunjukan dua hal, pertama, konsensus (kini) tidak berkesesuaian dengan kenyataan dan secara tidak langsung menampik dirinya sebagai jalan kebenaran dan sekaligus menampik kebenaran objektif sebagai tujuan dari konsensus. Kedua, konsensus dibangun berdasarkan pandangan subjektif pihak-pihak terkait, dan karenanya kebenaran objektif tidak dapat dijangkau. Usaha konsensus mencapai kebenaran dirasa dibebani oleh argumen-argumen pembentuk “kebenaran” yang mungkin bertentangan dengan realitas yang terus-menerus berubah itu.

    Hingga pada titik ini Saya masih meyakini bahwa kebenaran memang sesuatu yang bersifat subjektif, namun dengan catatan bahwa kebenaran (atau bentuk keyakinan subjek) dapat menimbulkan kekacauan ketika dipertemukan dengan kebenaran-kebenaran lain diluar kebenaran yang diyakini. Jika sebuah kebenaran dan keyakinan menjadi kerancuan dan hanya menimbulkan sebuah kekacauan, maka pertanyaan yang muncul adalah: apakah kita rela menukar keyakinan kita  sebagai sebuah kebenaran yang kita pegang dengan kebenaran mayoritas, melalui konsensus misalnya? Dan disinilah letak perjuangan kita.

    [1] Armstrong, Karen. Perang Suci, terjemahan Hikmat Darmawan, Serambi, Jakarta 2004

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...