Kehadiran Kecerdasan Artifisial (AI) generatif dalam lanskap keseharian kita telah memicu sebuah diskursus yang riuh, sering kali terpolarisasi antara optimisme utopis dan kecemasan distopis. Fenomena ini, yang secara permukaan tampak sebagai sebuah lompatan teknologi, sesungguhnya mengundang sebuah refleksi kefilsafatan yang mendalam. Objek material dari kajian ini bukanlah AI sebagai artefak teknologi semata, melainkan interaksi antara manusia dan mesin ini serta bagaimana interaksi tersebut secara brutal menelanjangi cara kita berbahasa, berpikir, dan memahami dunia. Alih-alih menjadi jendela menuju masa depan super-cerdas, AI justru berfungsi sebagai cermin retak yang memantulkan kembali kepada kita sebuah gambaran yang tidak nyaman tentang kemiskinan komunikasi dan ambiguitas pemikiran kita sendiri.
Tulisan ini akan menguraikan fenomena tersebut secara deskriptif, eksplanatif, dan interpretatif. Secara deskriptif, kita akan melihat bagaimana kepanikan moral seputar AI menggemakan ketakutan-ketakutan historis terhadap teknologi baru. Secara eksplanatif, kita akan menggunakan pisau bedah dari tradisi fenomenologi dan filsafat bahasa untuk membongkar mengapa interaksi dengan AI terasa begitu berbeda dan sering kali membuat frustrasi. Secara interpretatif, tulisan ini berargumen bahwa kemunculan AI bukanlah sebuah ancaman terhadap eksistensi manusia, melainkan sebuah “momen pedagogis” yang keras; sebuah panggilan yang tak terhindarkan bagi manusia untuk kembali pada keterampilan fundamentalnya: berpikir jernih, berbicara dengan presisi, dan berimajinasi secara otentik.
Menguak Ilusi Pemahaman: Krisis Intersubjektivitas Pra-AI
Salah satu sumber kecemasan utama dalam berinteraksi dengan AI adalah hilangnya sesuatu yang kita sebut “konteks”. Kita sering bernostalgia tentang interaksi dengan sesama manusia—seorang dokter, seorang desainer, atau seorang teman—yang “paham maksud kita” bahkan dengan instruksi yang tidak lengkap. Kita merasa bahwa AI, dengan sifatnya yang dingin dan literal, telah merampas nuansa manusiawi ini. Namun, fenomenologi, khususnya pemikiran Martin Heidegger dan Hubert Dreyfus, mengajak kita untuk mempertanyakan apa sebenarnya “konteks” yang hilang itu.
Hal yang kita sebut “konteks” bukanlah sebuah entitas magis yang ditransfer secara telepatis. Ia adalah manifestasi dari sesuatu yang disebut Heidegger (1962) sebagai In-der-Welt-sein atau “berada-dalam-dunia”. Manusia, sebagai Dasein, tidak pernah menjadi subjek terisolasi yang mengamati dunia objektif dari luar. Kita selalu “terlempar” (geworfen) ke dalam sebuah dunia yang sudah penuh dengan makna, peralatan, dan hubungan sosial. Kita memahami palu bukan sebagai objek kayu-dan-logam, tetapi sebagai “sesuatu-untuk-memaku” (Zuhanden). Pemahaman kita bersifat praktis, terlibat, dan ter-situasikan.
Hubert Dreyfus (1992), dalam kritiknya yang profetik terhadap AI, mengelaborasi ide ini dengan konsep “kecerdasan yang tertubuhkan” (embodied intelligence). Keahlian manusia, dari seorang master catur hingga seorang koki, tidak hanya berakar pada pemrosesan aturan-aturan formal (seperti yang dilakukan komputer), melainkan pada pengetahuan tersirat (tacit knowledge) yang diserap melalui pengalaman bertahun-tahun berinteraksi secara fisik dengan dunia. Inilah yang memungkinkan kita untuk melakukan tindakan-tindakan kompleks secara intuitif, tanpa perlu memikirkannya secara sadar.
“Konteks” dalam komunikasi manusia, dengan demikian, adalah sebuah jaring pengaman yang ditenun dari pengalaman bersama dalam sebuah dunia yang sama (shared world). Ketika kita berbicara, kita tidak hanya bertukar data linguistik; kita mengandalkan asumsi-asumsi tak terucapkan tentang dunia ini. Inilah yang disebut sebagai fondasi intersubjektivitas. Masalahnya, kita telah menjadi begitu bergantung pada jaring pengaman ini sehingga kita menjadi malas dalam merajut pesan kita sendiri.
Interaksi dengan seorang profesional, misalnya seorang desainer, adalah contoh sempurna. Ketika klien mengatakan, “Saya mau logo yang terlihat premium tapi juga ramah,” ia tidak memberikan instruksi yang jelas. Ia melemparkan sebuah keinginan yang ambigu dan berharap sang desainer, sebagai sesama manusia yang “berada-dalam-dunia”, akan mampu menafsirkannya. Proses revisi yang panjang dan melelahkan sesungguhnya adalah proses negosiasi makna di mana desainer mencoba memetakan keinginan kabur klien ke dalam elemen-elemen desain yang konkret. Biaya yang dibayarkan kepada desainer, pada dasarnya, adalah biaya untuk jasa penafsiran intersubjektif ini—sebuah “pajak atas ambiguitas”.
AI, sebagai entitas yang tidak memiliki tubuh, tidak “terlempar” ke dalam dunia kita dan tidak memiliki akses ke pengetahuan tersirat. Akibatnya, AI secara efektif merobek jaring pengaman intersubjektivitas yang ada sebab ia tidak berbagi dunia dengan kita. Interaksi dengannya adalah sebuah eksperimen kefilsafatan yang dipaksakan: bagaimana cara berkomunikasi ketika semua asumsi bersama dihilangkan? AI memaksa kita untuk melakukan sesuatu yang Edmund Husserl, bapak fenomenologi, sebut sebagai epoché atau “pengurungan”. Kita harus mengurung asumsi-asumsi kita tentang pemahaman bersama dan mulai dari awal, yaitu dari artikulasi eksplisit. Kegagapan kita di hadapan AI bukanlah bukti kebodohan mesin, melainkan bukti betapa bergantungnya kita pada pemahaman implisit yang selama ini kita terima begitu saja.
Mesin Literal dan Kemiskinan Bahasa
Setelah fenomenologi mengungkap alasan kita kehilangan “konteks”, filsafat bahasa menjelaskan secara presisi alasan komunikasi kita dengan AI sering kali gagal. AI adalah pendengar literal yang sempurna. Ia tidak mendengar apa yang kita maksudkan; ia hanya memproses apa yang kita katakan. Kesenjangan antara kedua hal ini, yang dalam komunikasi manusia sering kali dijembatani oleh empati dan interpretasi, menjadi jurang pemisah dalam interaksi manusia-mesin.
Argumen “Kamar Cina” dari filsuf John Searle (1980) tetap menjadi ilustrasi yang paling kuat untuk masalah ini. Searle membayangkan seseorang yang tidak mengerti bahasa Cina dikurung di sebuah ruangan. Ia diberi buku aturan dalam bahasa Inggris yang memberitahunya simbol Cina mana yang harus dikeluarkan sebagai respons terhadap simbol yang masuk. Meskipun dari luar ia tampak memahami bahasa Cina, ia sesungguhnya hanya memanipulasi simbol berdasarkan aturan sintaksis, tanpa pemahaman sedikit pun tentang makna atau semantik di baliknya. Large Language Model (LLM), menurut argumen ini, adalah versi yang sangat canggih dan masif dari Kamar Cina. Ia mahir dalam memprediksi urutan kata yang paling mungkin secara statistik, tetapi ia tidak “memahami” konsep di baliknya.
Akibat dari ketiadaan pemahaman semantik ini adalah AI hanya dapat beroperasi pada level paling harfiah dari bahasa. Di sinilah teori “Tindakan Tutur” (Speech Acts) dari Searle (1969) menjadi relevan. Searle membedakan antara locutionary act (tindakan fisik mengatakan sesuatu, yakni kata-kata harfiahnya), illocutionary act (niat atau maksud di balik perkataan), dan perlocutionary act (efek yang dihasilkan pada pendengar). Komunikasi manusia yang kaya dan efisien terjadi ketika pendengar mampu menangkap illocutionary act pembicara, bahkan jika locutionary act-nya tidak lengkap atau tidak langsung. Jika seseorang berkata, “Wah, di sini panas sekali,” niat illocutionary-nya mungkin adalah sebuah permintaan untuk menyalakan AC. Manusia lain kemungkinan besar akan menangkap niat ini.
AI, sebaliknya, terjebak pada locutionary act. Jika Anda memberitahunya “di sini panas sekali,” ia mungkin akan merespons dengan memberikan data tentang suhu saat ini atau fakta-fakta tentang cuaca. Ia tidak dapat, tanpa instruksi eksplisit, membuat lompatan inferensial ke niat Anda. Ini berarti seluruh beban komunikasi bergeser ke pundak manusia. Tugas kita adalah memastikan bahwa niat (illocutionary act) kita diekspresikan secara sempurna dan lengkap dalam kata-kata harfiah (locutionary act) yang kita berikan kepada mesin.
“Prompt engineering”, istilah teknis yang kini populer, pada dasarnya adalah seni untuk menyatukan kedua tindakan tutur ini. Mari kita lihat contohnya. Permintaan yang malas: “Buatkan saya cerita tentang kesedihan.” Permintaan ini memiliki niat yang jelas, tetapi miskin secara linguistik. Hasilnya kemungkinan besar akan berupa melodrama generik tentang perpisahan atau kehilangan. Sebaliknya, sebuah prompt yang dirancang dengan baik akan terlihat seperti ini: “Tulis sebuah cerita pendek dari sudut pandang seorang penjaga mercusuar tua yang baru saja kehilangan anjingnya, satu-satunya temannya selama 15 tahun. Gunakan gaya prosa yang hemat kata dan melankolis seperti Raymond Carver. Fokus pada detail-detail kecil dari rutinitas hariannya yang kini terasa kosong.”
Prompt kedua ini adalah sebuah mahakarya kecil dalam komunikasi eksplisit. Ia tidak hanya menyatakan subjeknya, tetapi juga mendefinisikan sudut pandang, konteks emosional, gaya, dan fokus naratif. Ia menerjemahkan sebuah perasaan abstrak “kesedihan” menjadi serangkaian parameter konkret yang dapat diproses oleh mesin literal. Fenomena ini memaksa kita untuk menyadari sebuah kebenaran yang tidak nyaman: bahasa kita sehari-hari, meskipun cukup untuk interaksi sosial, sering kali sangat miskin dan tidak presisi. Kita terbiasa menggunakan kata-kata sebagai penunjuk yang samar, bukan sebagai alat bedah yang tajam. AI tidak memberi kita pilihan lain selain mengasah kembali alat tersebut.
Batas Kreativitas Algoritmik dan Beban Imajinasi
Wacana tentang AI dan kreativitas sering kali terjebak dalam metafora “pencurian”. Seniman dan penulis khawatir AI “mencuri” karya mereka untuk menghasilkan tiruan yang dangkal. Namun, dari perspektif kefilsafatan, masalahnya bukanlah pencurian, melainkan batasan fundamental dari kreativitas algoritmik itu sendiri. Semua karya kreatif manusia, seperti yang ditunjukkan oleh para pemikir post-strukturalis seperti Julia Kristeva, bersifat intertekstual—ia selalu merupakan dialog dengan karya-karya yang sudah ada. Masalah AI bukanlah karena ia mereferensikan karya lain, tetapi karena ia tidak dapat melakukan lebih dari itu.
AI hebat dalam melakukan hal yang disebut oleh para ilmuwan kognitif sebagai penalaran induktif: mengidentifikasi pola dari sejumlah besar data. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Erik Larson (2021), ia sangat lemah dalam penalaran abduktif. Abduksi adalah lompatan imajinatif dari serangkaian pengamatan ke sebuah hipotesis atau penjelasan baru yang paling mungkin. Inilah inti dari penemuan ilmiah, investigasi detektif, dan penciptaan artistik yang orisinal. AI dapat menghasilkan seribu variasi lukisan gaya Van Gogh, tetapi ia tidak dapat melakukan lompatan abduktif yang dilakukan oleh Van Gogh sendiri: melihat ladang gandum dan langit malam lalu memutuskan untuk melukisnya bukan seperti yang terlihat oleh mata, tetapi seperti yang dirasakan oleh jiwa.
Di sinilah peran manusia menjadi krusial dan tak tergantikan. Jika eksekusi teknis—menggambar, menulis, mengaransemen—semakin dapat diotomatisasi, maka nilai bergeser ke hulu, yaitu pada percikan imajinasi awal. Manusia tidak lagi bersaing dalam hal keterampilan teknis, tetapi dalam hal kualitas visi. Tugas kita bukanlah menjadi pelukis, melainkan menjadi orang yang dapat membayangkan sebuah lukisan yang layak untuk diciptakan.
Ini adalah sebuah “beban imajinasi” yang sangat berat. Jauh lebih mudah untuk mempelajari cara menggunakan sebuah perangkat lunak daripada belajar menjadi orang yang menarik dan imajinatif. AI menjadi sebuah alat yang memperkuat visi, tetapi ia tidak dapat menyediakan visi itu sendiri. Pengguna AI yang paling efektif bukanlah mereka yang menguasai sintaksis teknis, melainkan mereka yang mampu melakukan “benturan konseptual”—mengambil ide dari dua domain yang tampaknya tidak berhubungan dan memaksanya bertemu. Misalnya, meminta AI untuk “merancang sebuah kursi dengan gaya Bauhaus, tetapi seolah-olah dibuat oleh peradaban Viking kuno.” AI akan mengeksekusi benturan ini, tetapi ide untuk membenturkannya harus datang dari imajinasi manusia.
Dengan demikian, AI tidak membunuh kreativitas. Sebaliknya, ia membuatnya menjadi lebih berharga dengan mengomodifikasi segala sesuatu yang bukan kreativitas murni. Dalam dunia di mana setiap orang dapat menghasilkan gambar yang “cukup bagus” atau teks yang “cukup baik” dengan satu klik, satu-satunya pembeda yang tersisa adalah orisinalitas dan kedalaman dari ide awal.
Kesimpulan: Sebuah Lelucon Kosmik dengan Manusia sebagai Punchline-nya
Maka, kita tiba di akhir dari epos besar penciptaan kita. Dengan ambisi yang menyaingi Prometheus, manusia berupaya menempa sebuah kesadaran dari silikon dan listrik, sebuah cerminan artifisial dari intelek kita sendiri. Kita bermimpi tentang sebuah dialog agung, sebuah simposium tanpa akhir dengan entitas digital yang akan membantu kita memecahkan misteri-misteri alam semesta, menyusun simfoni yang mustahil, dan mungkin, akhirnya, menjelaskan kepada kita mengapa kita meletakkan kunci di tempat yang sudah jelas bukan tempatnya. Kita membayangkan sebuah mitra dansa intelektual; kita mempersiapkan diri untuk berdansa waltz dengan Tuhan yang kita rakit sendiri.
Namun, dalam sebuah putaran takdir dengan ironi yang begitu kering hingga bisa membuat seorang komedian Inggris menangis tersedu-sedu karena gembira, musik pun dimulai dan kita segera menyadari satu hal: kita tidak tahu cara berdansa. Dialog agung yang kita bayangkan ternyata lebih sering berupa gumaman frustrasi. Alih-alih bertukar argumen filosofis, interaksi kita dengan orakel digital ini lebih mirip dengan upaya menjelaskan sebuah lelucon rumit kepada seorang turis yang sangat literal dan hanya berbekal buku kamus. Kita meminta “keindahan”, dan ia memberi kita rata-rata statistik dari semua gambar yang diberi label “indah”. Kita memohon “sesuatu yang pop”, dan ia menatap kita dengan tatapan kosong triliunan parameter, menolak untuk terlibat dalam permainan tebak-tebakan kita yang menyedihkan.
Di sinilah lelucon kosmik itu mencapai puncaknya yang megah. Mesin ini, dalam ketidaktahuannya yang sempurna, menjadi guru filsafat kita yang paling brutal. Tanpa tubuh dan tanpa akses ke “dunia” bersama kita—seperti yang telah lama diperingatkan oleh Dreyfus—ia dengan sopan menelanjangi ilusi kita tentang “konteks”, menunjukkan bahwa apa yang kita sebut nuansa sering kali hanyalah kemalasan untuk berartikulasi. Terkurung dalam Kamar Cina-nya, sebagaimana digambarkan oleh Searle, ia menjadi cermin sempurna yang memantulkan kembali kekosongan semantik kita. Ia mengungkap bahwa bahasa kita, yang kita banggakan sebagai puncak evolusi, ternyata adalah sebuah perangkat yang sangat tidak presisi untuk menyampaikan niat.
Kita berangkat untuk membangun sebuah Kecerdasan Artifisial yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup. Namun, dalam prosesnya, satu-satunya jawaban tak terbantahkan yang ia berikan adalah bahwa penciptanya sering kali tidak mampu merumuskan satu pertanyaan pun yang koheren secara logis. Prestasi teknologi terbesar kita bukanlah penciptaan kecerdasan super, melainkan penciptaan bukti algoritmik yang tak terbantahkan atas kebingungan kita sendiri. Kita tidak membangun Tuhan; kita tanpa sengaja merakit seorang kritikus tak kenal lelah yang satu-satunya wahyu ilahinya adalah bahwa kita, penciptanya, sangat membutuhkan seorang editor.
Referensi Kepustakaan
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time. (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Larson, E. J. (2021). The myth of artificial intelligence: Why computers can’t think the way we do. The Belknap Press of Harvard University Press.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–424.