Mengutip dari tulisan Bambang Sugiharto “Dalam dunia yang kian sakit, filsafat menjaga pikiran anda tetap sehat dan jiwa anda tetap kuat.” Kutipan tersebut membuat saya yakin untuk memasukan Fakultas Filsafat dalam salah satu daftar pilihan untuk masuk perguruan tinggi.
Dahulu saya hanyalah anak SMA yang gemar membaca buku-buku sastra yang berbau filsafat. Saya sangat aktif di media sosial, mengikuti kultwit dari Sujiwo tejo, Tommy .F. Awuy, Fajroel Rachman dan masih banyak lagi. Karena itu, saya sangat suka mengkritik isu-isu sosial. Namun lingkungan saya justru mencibir dengan hal yang mereka pikir tidak pantas dilakukan oleh anak SMA yang terkesan tidak tau apa-apa. Saya membenci lingkungan saya, saya benci teman-teman saya yang selalu mendominasi dan ingin menang sendiri. Saya membenci guru agama saya yang selalu merasa paling benar. Tapi saya bersyukur lantas tak menjadi anti-sosial. Saya tetap mempunyai teman yang mau menerima pemikiran saya yang cenderung dekonstruktif.
Kini saya berada di lingkungan yang saya inginkan. Saya bisa berbicara apa saja tanpa takut dibilang gila. Saya berani mengeluarkan semua pendapat-pendapat saya entah tentang hidup yang memang aneh, tentang kebodohan pejabat-pejabat di Indonesia, bahkan Tuhan yang maha paradoks. Awalnya semuanya terasa menyenangkan, tapi sampailah saya pada titik bahwa dalam dunia ini bukan masalah benar atau salah. Manusia mempunyai jalannya masing-masing. Saya tak lagi memandang dunia ini selalu benar menurut pandangan saya. Dunia ini tak lagi hitam-putih, namun abu-abu. Itulah sebenarnya inti ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau yang biasa disebut Sastra Ketuhanan. Dalam buku Dalang Galau Ngetwit milik Sujiwotejo, “Sastra jendra tidak mengajarkan baik dan buruk sama saja, yang ada hanyalah kosongnya kebencian pada keburukan karena semua makhluk sekadar menjalani takdirnya.”
Bisa saja kita memandang permasalahan orang dan mengomentari hidup mereka sebagai sesuatu yang salah. Kembali lagi, sebagai manusia kita sama sekali tidak berhak menghakimi hidup orang lain. Mungkin kita baru benar-benar bisa merasakan apa yang orang lain hadapi saat kita benar-benar masuk ke dalam kulitnya, merasakan aliran darah dalam setiap sel-sel di tubuhnya. Kita hanya sebagai pengamat dan penikmat, bukan hakim. Begitu kata Dee Lestari.
Jujur, saya merasa tersesat. Bukan seperti yang orang-orang awam katakan bahwa filsafat membuat manusia menjadi sesat. Bukan dalam konteks itu yang saya maksudkan. Saya tersesat dalam pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya tersesat dalam diri saya sendiri. Terlalu sering saya berdiskusi, bertukar pikiran dengan orang lain, itu yang membuat saya semakin tersesat, semakin bingung mengapa Tuhan menciptakan makhluk seperti saya? Atau jangan-jangan orang tua sayalah yang punya kehendak maka saya lahir? Bagaimana jika pandangan Deisme benar bahwa Tuhan seperti clock maker yang merangkai dunia ini sebegitu sempurnanya lalu lepas tangan dan Tuhan hanya santai-santai atau bahkan ngopi dan merokok klepas-klepus di surga sembari tertawa melihat makhluk-makhluknya terlalu serius menanggapi hidup. Saling membunuh hanya karena berlomba mencari perhatian dari Tuhan. Saling berperang untuk menjadikan agamanya paling benar.
Seketika saya benci diri saya yang terlalu banyak berpikir. Mengapa saya tidak lahir dengan menjadikan satu agama sebagai pedoman hidup? Tidak perlu banyak berpikir ini-itu. Saya muak dengan hidup saya sendiri. Saya berhenti membaca buku, bahkan tak lagi menyimak kultwit dari Sujiwotejo yang dahulu selalu menjadi sumber inspirasi untuk menulis. Itu tandanya saya juga berhenti menulis.
Akhir-akhir ini hasrat saya untuk menulis muncul lagi. Saya salah, saya begitu menikmati kebencian dan ketersesatan dalam diri saya. Entah sejak kapan tersesat menjadi sangat menyenangkan. Saya berjalan kemana pun saya mau, bertemu dengan banyak orang, mendengarkan cerita-cerita mereka. Saya memandang dunia ini begitu indah. Tuhan terasa sangat dekat di setiap perjalanan. Saya merasakan keberadaan Tuhan dalam setiap hembusan nafasku, dalam setiap kemarahan ibuku jika saya tak kunjung pulang ke rumah. Saya merasakan keberadaan Tuhan dalam setiap bakaran daging kambing yang menjadikanya sate buntel yang sangat enak. Saya merasakan keberadaan Tuhan dalam setiap langkah dan anugerah di hidup saya.
Entah saya tak lagi peduli dengan kritikan orang karena saya mempunyai konsep Tuhan terlepas dari semua agama di dunia ini. Saya tak perlu lagi mencari siapa Tuhan sebenarnya. Saya tak peduli jika Tuhan memang sedang berada di surga tertawa ngakak-ngakak melihat tingkah manusia seperti menonton Opera Van Java dan benar-benar klepas-klepus menghabiskan batangan rokok. Saya tidak peduli dengan konsep-konsep Tuhan dalam setiap diri manusia. Karena memang itu sama sekali bukan urusan saya. Manusia punya jalannya sendiri menuju Tuhan. Barangkali benar kata Sujiwotejo, makhluk yang hobi mengobrak-abrik pakem yang juga jamaah Al-Jancukiyah muncul dalam setiap tulisanku itu berkata bahwa Tuhan=Ketidaktahuanku. Ya, Tuhan adalah segala yang tak ku ketahui tentangnya. Karena ketidaktahuanku tentang hidup memacu saya untuk selalu berpikir dan berpikir dan Filsafat menjadi sarana untuk mencapai ketidaktahuan saya.
Berbanggalah untuk menjadi orang yang di dalam otak dan jiwanya meletup-letup untuk berpikir dan muncul ketidaktahuan lalu mencoba mencari jawaban menurut dirinya sendiri, bukan menjadi manusia yang tunduk terhadap pemikiran orang lain dan menelan pendapat orang lain secara mentah-mentah tanpa berani mengeluarkan pendapatnya sendiri. Salam. Sapere Aude! Cogito Ergo Sum! (DEA DEZELLYNDA MADYA RATRI, Mahasiswa s1 Fakultas Filsafat UGM, anggota redaksi LSF Cogito)