Pendahuluan
Permasalahan dalam kebudayaan dewasa ini menjadi isu pokok yang perlu diberi perhatian secara khusus. Perkembangan revolusi industri 4.0 dengan didukung kemajuan teknologi digital yang begitu pesat telah menampakkan proses disrupsi kebudayaan yang begitu jelas. Di Indonesia pergeseran tersebut terlihat dengan terjadinya perubahan struktur masyarakat, yang pada awalnya memiliki kultur agraris dan kemudian mengarah pada kultur industrial, ditambah pada era revolusi industri 4.0 ini sektor komunikasi dan informasi yang tengah mengalami perkembangan berperan sentral dalam memberikan pengaruh pada masyarakat. Perubahan dalam hal ini tidak hanya terbatas pada aspek mata pencaharian penopang perekonomian masyarakat melainkan lebih daripada itu, hingga menimbulkan suatu fenomena yang disebut shift perception.
Perubahan cara pandang dan orientasi masyarakat dalam melihat kehidupan, di mana sebelumnya berupa semangat solidaritas tradisional pada kultur agraris yang lebih mengedepankan nilai-nilai gotong royong, kesetiakawanan, pengabdian dan lain sebagainya, kemudian berubah menjadi individualis dan egoistis layaknya kehidupan dalam masyarakat kapitalis yang kompetitif. Perubahan tersebut memperlihatkan begitu mendasarnya pengaruh globalisasi serta revolusi industri 4.0 dalam perubahan kultur masyarakat secara luas. Globalisasi yang notabene telah meleburkan batas-batas semu dari tiap negara dan kawasan dengan didukung keberadaan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi seperti halnya dengan internet, televisi, dan media lainnya semakin mempermudah arus perdagangan dan arus perubahan sosial, yang ditandai dengan semakin memudarnya kultur lokal dan lokalitasnya untuk kemudian memusatkan diri pada suatu sistem raksasa dalam kultur global.
Individu satu dengan yang lainnya menganggap hubungan mereka dalam kehidupan adalah suatu ajang persaingan, di mana suatu persaingan tidak akan dapat bersifat adil, sebab akan selalu ada salah satu pihak yang menang dan ada pihak yang kalah (Suseno, 2007: 203). Bagi individu yang tidak mampu mengikuti apa yang menjadi wacana masyarakat kompetitif tersebut akan dianggap kuno, ketinggalan zaman, kalah saing dan lain sebagainya. Hal tersebut kemudian mengarah pada keberadaan budaya konsumerisme, di mana masyarakat dengan daya belinya yang didorong untuk terus memenuhi kebutuhannya agar dapat sama dengan orang lain atau meniru orang lain (kaum-kaum borjuis yang mewakili gambaran kelas atas) untuk dapat dianggap sebagai manusia yang sehat, berkelas, memiliki moralitas tinggi, terpelajar, dan lain sebagainya.
Fenomena budaya konsumerisme ini semakin diperkuat melalui berbagai tayangan dan iklan di televisi, dan juga melalui media sosial yang saat ini menjadi sarana utama komunikasi dan informasi. Tema tentang masyarakat konsumeris adalah salah satu tema utama dalam wacana globalisasi. Hal ini berarti, dukungan dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi digital di era revolusi industri 4.0 ini berperan penting melalui semakin mudahnya persebaran berbagai informasi baik berupa yang dapat terverifikasi maupun berita palsu. Budaya konsumerisme dalam era globalisai ini sangat penting untuk diulas dan dianalisis lebih dalam, karena dalam hal ini persebaran produk-produk global sepeti halnya gadget, kosmetik, tas-tas branded dan lain sebagainya tidak dapat hanya dipahami sebagai suatu proses menyejarah yang terjadi begitu saja dalam perkembangan kehidupan sosial. Proses imitasi (peniruan) adalah salah satu dampak dan juga alasan pendorong dari menyebarnya berbagai produk global tersebut, di mana proses imitasi tidak hanya dapat dikatakan terbatas dalam persoalan imitasi komoditi dan berbagai karya manusia, melainkan juga dapat berlangsung dalam bentuk peniruan individu terhadap sosok di luar dirinya.
Penulis mencoba untuk menggunakan salah satu pemikiran tokoh post-modern dalam melihat dan menganalisis fenomena kebudayaan berupa proses peniruan (imitasi) dalam masyarakat konsumerisme era revolusi 4.0, yaitu perspektif pemikiran Gilles Deleuze. Gilles Deleuze adalah seorang filsuf Prancis dengan gaya pemikiran yang cukup unik. Ia sering disebut sebagai salah satu pemikir post-strukturalis yang memiliki kajian yang cukup luas seperti hal nya sinema, seni, arsitektur, kapitalisme, history of philosophy, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, kajian dari pemikiran Deleuze di Indonesia masih diangkat secara sangat terbatas sebagai perspektif dalam memahami berbagai persoalan. Dengan latar belakang tersebut penulis dalam keterbatasan waktu mencoba untuk mengambil beberapa konsep dari pemikiran Deleuze yang relevan untuk menganalisa objek material dalam tulisan ini, yaitu konsep multiplicities, yang akan berkaitan dengan dimensi virtual serta actual, dan teori perbedaan (difference), karena menurut penulis, pemikiran Deleuze lah yang dapat secara mendalam membuka kritik terhadap proses imitasi pada masyarakat era revolusi industri 4.0.
Pemikiran Gilles Deleuze
- Konsep Perbedaan (Difference) dalam Pandangan Deleuze
Deleuze sering disebut sebagai pemikir pascastrukturalis karena pemikirannya adalah hasil dari suatu ketidakpuasan dan penolakannya pada posisi strukturalisme. Deleuze secara gamblang menolak pandangan yang dogmatis dan representatif dimana suatu kebenaran dianggap selalu tetap dan dapat berlaku secara universal yang cenderung akan memisahkan teori atau ide dengan praktik maupun kehidupan, dan ide-ide tersebut akan cenderung menghambat daripada meningkatkan kehidupan. Deleuze seperti halnya pemikir dari abad 20 lainnya menganggap bahwa “western thought in general as being dominated by the dogmas of common sense and representation” (Deleuze dalam Colebrook, 2002: 1). Deleuze memahami bahwa tradisi pemikiran modern di Barat seperti hal nya strukturalisme terlalu bersifat representatif yang selalu memiliki satu pusat. Dalam hal ini Delueze mengaggap kondisi tersebut akan menghambat terjadinya perubahan, karena perbedaan dalam hal ini direduksi pada analogi dan identitas tertentu yang didasari dengan prinsip kemiripan. Bagi Deleuze “identity is a secondary power and returns only as identity of difference. Difference is behind everything, but behind difference there is nothing” (Deleuze, 2004: 69).
Deleuze menawarkan prinsip perbedaan sebagai pengganti dari prinsip identitas dan resemblance (kemiripan) seperti halnya pada tataran transendensi dalam tradisi pemikiran Barat. Dalam kondisi tersebut pemikiran filsafati menjadi “the theatre of metamorphoses and permutations, which leaves behind the world of representation and identity” (Deleuze, 2004: 68). Yang mana dapat dipahami bahwa dengan menggunakan prinsip perbedaan itulah yang akan mengarahkan pada kemunculan perubahan yaitu dengan meninggalkan dunia representatiif dengan prinsip kemiripan dan identitas nya. Deleuze menolak kemiripan sebagai prinsip berpikir, karena dalam kenyataan kemiripan tidak memberi kemungkinan untuk menjelaskan mengapa kita berpikir (Durie, 2013: 171). Pandangan filsafat Deleuze tentang perbedaan tidak hanya berpengaruh dalam penolakan terhadap pandangan representatif, tetapi juga dalam mengonseptualisasikan perubahan. Dalam hal ini Deleuze dipengaruhi oleh pandangan Bergson, di mana bagi Deleuze Becoming (menjadi) adalah suatu arus perubahan yang berlangsung secara permanen. Hal tersebut dijelaskan oleh Audrone Zukauskaite dan Wilmer bahwa bagi Deleuze “becoming is not only a temporal characteristic, referring to temporal change or duration; it also implies a difference in kind, which is the result of this change. Thus, becoming is always a difference and a multiplicity” (Wilmer dan Zukauskaite. 2015: 5).
Deleuze dalam konteks ini tidaklah membatasi filsafatnya pada pertanyaan tentang being tetapi lebih mengarah pada persoalan yang berkaitan dengan becoming yang cenderung merujuk pada suatu perbedaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa becoming tidaklah mampu dipahami dengan sekedar menggunakan pandangan yang dogmatis dan representatif seperti halnya strukturalisme. Becoming bagi Deleuze adalah suatu proses yang tidak berasal dari prinsip kemiripan, melainkan suatu proses penciptaan yang kreatif (Durie, 2013: 168). Becoming mendorong munculnya keanekaragaman (multipilicities), dan dalam hal ini Deleuze menolak pemahaman tentang kebenaran yang transenden. Deleuze menawarkan suatu bentuk pemikiran dalam tataran imanensi. Pada What is Philosophy? dijelaskan bahwa konsep-konsep sebagai idealitas adalah suatu gelombang yang timbul dan tenggelam, sedangkan tataran imanensi adalah gelombang tunggal yang menggulung dan membeberkan konsep-konsep tersebut (Deleuze dan Guattari. 2004: 40). Prinsip-prinsip transendensi dengan resemblance (kemiripan) sebagai prinsip dasar penyimpulannya dalam hal ini ditolak oleh Deleuze, karena belum benar-benar dapat menjelaskan realitas. Nicholas Thoburn yang berusaha mencari korelasi antara filsafat Marx dengan pemikiran Deleuze menemukan kemiripan antara pemikiran keduanya yang tidak didasarkan pada batasan identitas, melainkan pada proses yang berkesinambungan, yaitu “on a continuous process of production ‘production for production’s sake’ – which entails a kind of permanent reconfiguration and intensification of relations in a process of setting, and overcoming limits . In this sense, difference and becoming or a certain form of becoming is primary” (Thoburn, 2003: 2). Hal tersebut menjelaskan begitu pentingnya konsep difference dan becoming dalam cara pandang imanen dari Deleuze.
- Konsep Multiplicities
Ketertarikan Deleuze terhadap pemikiran Bergson sangatlah tampak dalam beberapa karyanya, terutama dalam Bergsonism. Hal tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Felicity F. Colman (dalam Parr, 2005: 32), in “Bergsonism, he called for ‘a return to Bergson’, through an extended consideration of what he saw as Bergson’s three key concepts: intuition method, the demand for an invention and utilisation of a metaphysical orientation of science, and a logical method and theory of multiplicities”. Dari beberapa konsep kunci Bergson tersebut terdapat satu teori yang begitu mempengaruhi pemikiran Deleuze yang perlu menjadi sorotan karena teori tersebut merupakan salah satu titik sentral dari pemikiran Deleuze, yaitu teori tentang multiplicities. Durie menjelaskan bahwa Deleuze mengadopsi perspektif Bergsonian tentang teori multiplicities, dengan membedakan antara multiplicities heterogen yang berkelanjutan dengan multiplicities homogen yang terputus-putus (Durie, 2013: 174). Konsep tersebutlah yang kemudian berpengaruh dalam teori perbedaan (difference) Deleuze.
Konsep multiplicities ini digunakan Deleuze sebagai pengembangannya terhadap pemahaman tentang filsafat dalam tataran imanen. Prinsip dari teori multiplicities ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Principle of multiplicity: it is only when the multiple is effectively treated as a ‘substantive multiplicity’ that it ceases to have any relation to the one as subject or object, natural or spiritual reality, image and world. multiplicities are rhizomatic, and expose arborescent pseudo multiplicities for what they are. There is no unity to serve as a pivot in the object, or to divide in the subject. There is not even the unity to abort in the object or “return” in the subject. A multiplicity has neither subject nor object, only determinations, magnitudes,and dimensions that cannot increase in number without the multiplicity changing in nature (the laws of combination therefore increase in number as the multiplicity grow) (Deleuze dan Guittari. 1987: 8).
Prinsip dari multiplicities ini tidak terbatas pada posisi sebagai subjek ataupun objek, yang terjadi hanyalah suatu determinasi, karena ia bukan merupakan suatu kesatuan yang berporos pada objek, atau membaginya dalam subjek. Hubungan dari multiplicity hanya ditentukan oleh suatu bentuk hubungan yang mungkin, yaitu hubungan yang bisa tetap berjalan secara chaotic.
Konsep multiplicities dalam Deleuze ini mengingkari keberadaan kausalitas mekanistik, yang dalam hal ini berkaitan dengan suatu kesadaran yang bersifat temporal, dan didasarkan pada pengalaman. Selanjutnya dalam pemikiran Deleuze tentang konsep multiplicities ini terdapat pembedaan antara continuous heterogeneous multiplicities dengan discontinuous homogeneous multiplicities (Durie, 2013: 178). Keduanya dibedakan berdasarkan jenis hubungan di antara unsur-unsur multiplicities tersebut, di mana keduanya mengalami perbedaan dalam arah perubahan yang ditimbulkan. Dalam multiplicities kontinu setiap perubahan akan mengarah pada bentuk yang heterogen, sedangkan sebaliknya dalam multiplicities diskontinu suatu proses akan mengubah kondisi multiplicities tersebut yang mengarah pada bentuk yang homogen dikarenakan ruang-ruang yang berkerut dan bersifat kaku. Deleuze menjelaskan, “two types of multiplicities, such as those represented by distances and lengths respectively: implicit as opposed to explicite multiplicities; those whose metric varies with division and those which carry the invariable principle of their metric” (Deleuze, 1994: 238). Konsep Deleuze tentang multiplicities ini mendukung pemikiran imanensinya, di mana dalam filsafat transendensi prinsip yang digunakan akan cenderung pada prinsip homogenitas, sedangkan dalam tataran imanensi cenderung pada perwujudan perubahan dalam becoming.
- Konsep Virtual dan Actual
Berbagai konsep dalam pemikiran Deleuze memang sangat banyak dipengaruhi oleh gagasan yang disajikan oleh Bergson. Selain konsep tentang multiplicities, Deleuze juga terpengaruh oleh Bergson atas konsepnya tentang yang virtual dan yang actual. Konsep yang virtual dan yang actual ini berbeda dengan teori potensialitas. Dalam hal ini Bergson lebih terpengaruh dengan teori evolusi dari Darwin. Bergson menganggap bahwa evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu terus-menerus menciptakan bentuk-bentuk baru dan menghasilkan kekayaan yang baru (Harun, 2012: 136). Dalam hal ini konsep pemikiran Bergson sangat berkebalikan dengan teori potensialitas, dimana potensi dianggap menentukan aktualitasnya, di mana kemungkinan memiliki daya tertentu untuk menjelaskan arah perubahannya. Konsep virtual yang diambil oleh Deleuze terpengaruh oleh Bergson seperti yang dijelaskannya dalam Bergsonism:
- Bergson’s philosophy should have attributed such importance to the idea of virtuality at the very moment when it was challenging the category of possibility? It is because the virtual can be distinguished from the possible from at least two points of view. From a certain point of view, in fact, the possible is the opposite of the real, it is opposed to the real, but, in quite a different opposition, the virtual is opposed the actual. We muist take this terminology seriously: the possible has no reality (although it may have an actuality), conversely, the virtual is not actual, but as seuch possesses a reality (Deleuze, 1991: 96).
Keterangan tersebut dmenjelaskan bahwa bagi Deleuze ide virtuality yang berkaitan dengan pemikiran Bergson dalam hubungan yang virtual dengan yang actual sangatlah berbeda dengan hubungan dari kemungkinan dengan yang actual dalam teori potensialitas.
Teori potensialitas secara sederhana dapat dicontohkan dengan potensi dalam biji pepaya yang ikut menjelaskan proses realisasi potensi biji pepaya menjadi tanaman pepaya. Dalam teori potensialitas tersebut, perubahan biji pepaya ditentukan oleh suatu garis nasib, yang sangat mensyaratkan pada pemeliharaan terhadap identitas pepaya tersebut. Kondisi pra-tanaman pepaya dalam teori potensialitas adalah suatu kondisi yang tidak memiliki realitas sebagai pohon pepaya meskipun memiliki aktualitas, sedangkan dalam teori virtuality, yang virtual memiliki realitasnya tetapi tidak bersifat actual. Deleuze (dalam Durie, 2013: 177) yakin bahwa proses aktualisasi the virtual sebagai penentuan dari apa yang telah dibuat menjadi bisa ditentukan, oleh karena itu hubungan antara yang virtual dengan yang actual adalah hubungan atas perbedaan, di mana pada persoalan realisasi pohon pepaya tersebut, biji pepaya dalam teori virtuality memiliki nasib yang tidak terbatas pada satu arah perkembangan dan tidak dapat ditentukan dengan jelas, yang dalam hal ini proses aktualisasilah yang memiliki peran menentukan yang actual dari biji pepaya.
Revolusi Industri 4.0 dan Perubahan Kultural
Pada situasi pascamodern abad 21 ini sering muncul perbincangan atas berbagai tema yang terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan revolusi industri paling mutakhir saat ini, yaitu revolusi industri 4.0. Revolusi industri yang didorong oleh perkembangan teknologi digital tersebut pada dasarnya mengantarkan kita pada suatu zaman baru, di mana pengaruhnya menyentuh berbagai sendi kehidupan dan secara mendasar mempengaruhi dimensi kultural masyarakat secara luas. Topik yang berkaitan dengan globalisasi dalam hal ini dapat dikatakan akan mencadi narasi yang selalu hangat, di mana globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses menduniakan sesuatu, atau pada sisi lain, globalisasi juga dapat dipandang sebagai hilangnya batas-batas maya geografis tiap negara (Saksono, 2009: 143). Dalam kaitan antara pengaruh revolusi industri 4.0 dengan cultural change, dapat dikatakan bahwa terdapat dorongan untuk semakin mempermudah proses globalisasi yang mengarahkan kita pada suatu kondisi di mana kultur tidak lagi hanya terpaku pada batas-batas tertentu, terkait ras, klan, maupun lokalitasnya, melainkan juga muncul dalam konsepsi-konsepsi baru yang kemudian menjadi suatu grand narrative yang dianggap universal.
Steger menjelaskan bahwa pengaruh globalisasi terhadap perubahan kultur memberikan makna baru yang mencerminkan kemunculan suatu tema dominan dalam konteks global (Steger, 2005: 54). Hal tersebut terkait dengan tema-tema seperti hak milik pribadi, keuntungan universal, liberalisasi, demokrasi, konsep kesetaraan dan lain sebagainya, yang mana menjadi wacana yang meluas dalam konteks global. Konstruksi budaya yang terbangun dalam kehidupan masyarakat era revolusi industri 4.0 yang mempengaruhi arus globalisasi memperlihatkan adanya suatu penyeragaman kultural dalam kehidupan masyarakat dunia, yang bukan terbatas hanya pada tataran gaya hidup melainkan hingga pada cara pandang. Dalam hal ini pengaruh yang cukup menonjol adalah kuasa media yang bersifat persuasif. Media informasi dan komunikasi digital seperti facebook, instagram, twitter, dan lain sebagainya memiliki peran melalui kuasanya dalam mencekoki masyarakat dengan berbagai hiburan, iklan, dan tontonan yang dianggap menghibur sekaligus melakukan pemaksaan berbagai nilai-nilai yang dianggap ideal dan berbagai stereotype yang kemudian dipegang oleh masyarakat sebagai kebenaran dan contoh ideal. Oleh karena itu lah kenapa berbagai produk dengan merk-merk dunia seperti Louis Vuitton, Yves Saint Laurent, Chanel, Dolce & Gabbana dan lain sebagainya yang notabene berharga selangit dan digunakan oleh kalangan borjuis, celebrities dan sosialita begitu mudahnya mendunia baik yang original maupun tiruan.
Masyarakat melalui konsepsi hak milik pribadi terjebak pada suatu kehidupan yang didasarkan pada penilaian atas dasar kepemilikan. Hal tersebut senada dengan yang dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno, bahwa masyarakat saat ini menganggap harga diri tergantung dari kemampuan untuk memamerkan bahwa ia telah membeli komoditi kekinian, dan komoditi itu harus langsung dapat dibeli (Suseno, 2007: 202). Celebrities dunia terutama celebrities Hollywood dianggap sebagai salah satu trend center yang menyajikan suatu stereotype, di mana baik ataupun buruknya suatu barang atau produk dapat dijelaskan dengan semakin seringnya suatu produk tersebut digunakan oleh seorang aktris/aktor, penyanyi, atau personil grup band tertentu, bahkan seorang atlet pun dapat menjadi salah satu di antaranya.
Proses Imitasi dalam Perilaku Konsumtif pada Era Revolusi 4.0
Penggunaan media sosial sebagai budaya populer seperti halnya facebook, instagram, twitter dan lain sebagainya juga tidak luput dari jangkauan sebagai wadah untuk ajang mempertontonkan urusan private ke muka publik serta memamerkan hal-hal yang dianggap kekinian. Fenomena ini tercermin pada istilah-istilah yang akhir-akhir ini muncul seperti My Trip My Adventure, My Life is An Adventure, Cinta Bumi Indonesia dan lain sebagainya, yang memperlihatkan suatu kebiasaan plesir yang tidak lain sebenarnya merupakan ajang hura-hura kaum borjuis yang kemudian dipertontonkan di media sosial. Selain itu, fenomena tersebut juga memberikan gambaran realitas semu dengan logika yang sangat dangkal, seperti halnya istilah Cinta Alam Indonesia yang mana kecintaan digambarkan bukan dengan membiarkan kealamian dan kelestarian hutan, pegunungan, serta berbagai tempat dengan masyarakat tradisionalnya yang belum terjamah oleh tangan modernitas, melainkan sebagai perwujudan nilai nasionalisme dengan berbondong-bondong mendatangi alam Indonesia di plosok negeri sebagai wisatawan untuk kemudian merubah kawasan yang masih alami tersebut menjadi kawasan wisata yang notabene diorientasikan pada tujuan komersil yang berdampak destruktif pada keselarasan dalam kawasan tersebut. Situasi tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh Piliang, bahwa wacana hiburan global (yang dikuasai oleh jaringan TV dan internet global) menjadi sebuah ruang tempat berbagai kedangkalan, keremehtemehan (banality) dan kerendahan hasrat dipertontonkan (Piliang, 1998: 116), di mana dalam hal ini wujud kebiasaan hedonis dipamerkan dan kemudian dirasionalisasikan dengan alasan-alasan yang seakan luhur, dan hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang masyarakat luas.
Penggunaan media sosial online ini juga tidak luput dilirik sebagai sarana pemasaran, yakni sarana untuk menawarkan berbagai komoditi. Seperti halnya dalam media sosial instagram muncul istilah endorse yang dapat diartikan sebagai penggunaan jasa seseorang sebagai alat promosi untuk menunjang pemasaran suatu produk dengan foto dan testimoninya yang seakan-akan para pelaku promosi tersebut telah menggunakan atau mengkonsumsi barang endorse tersebut. Jasa yang digunakan dalam promosi tersebut tidak lagi terbatas pada jasa para celebrities tetapi juga pada orang biasa yang memiliki kecantikan, ketampanan, dan daya pikat tertentu yang menarik bagi masyarakat yang ditandai keberadaannya berdasarkan jumlah followers yang ia miliki. Hal tersebut kemudian dikuras dan diperalat sebagai objek pemasaran produk-produk endorse tersebut. Dalam hal ini berbagai online shop dapat secara mudah menawarkan dan menarik perhatian khalayak ramai dengan media sosial online, di samping juga bahwa biaya promosi dapat direndahkan dengan menggunakan masyarakat awam sebagai objek promosi. Suatu simulacra yang menyajikan realitas semu dan kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan proses meniru, yang dalam hal ini yaitu melalui penggunaan berbagai produk baik make-up, pakaian, makanan, obat-obatan dan lain sebagainya dengan tujuan untuk mendapatkan kecantikan, ketampanan, atau kelebihan lainnya seperti orang yang mempromosikannya. Proses meniru tersebut tidak lain atas dasar keinginan untuk mendapat perasaan identitas agar diterima oleh lingkungan sosial (Tambunan, 2001: 1), di mana semakin jauhnya pemahaman ini akan berakibat pada semakin terdistorsinya individualitas seseorang.
Masyarakat dalam budaya konsumerisme di era revolusi industri 4.0 ini terjebak pada proses imitasi yang mengarahkan individu pada suatu bentuk copying terhadap sosok atau suatu hal tertentu yang dianggap sebagai stereotype yang ideal. Dalam hal ini penulis tidak mencoba menilai baik atau buruknya suatu wujud peniruan tersebut, karena pada dasarnya dalam berbagai istilah filosofis dasar seperti mimesis dalam pandangan Yunani Kuno, Liyan dalam Lacan, atau ayah-pelindung dalam Freud menjelaskan begitu manusiawinya proses peniruan. Bahkan Adorno dan Horkheimer dalam The Dialectic of Enlightenment, menyatakan bahwa “mimetic behavior as an organic adaptation to others that emerges from humanity’s biological prehistory” (Adorno and Horkheimer 1972:180). Hal ini menjelaskan bahwa manusia memang tidak dapat terlepaskan dari proses meniru yang merupakan turunan dari sejak masa prasejarah. Namun yang menjadi permasalahan dalam budaya konsumerisme adalah bahwa proses meniru tersebut didorong sedemikian rupa oleh kuasa sistem kapitalis sebegai bentuk pengendalian secara ideologis yang tujuannya tidak lain adalah akumulasi laba. Proses peniruan tersebut bukan didasari oleh suatu semangat produktif, melainkan pada berbagai hal yang dipaksakan untuk ditelan secara mentah-mentah, yaitu dengan keberadaan budaya massa yang menuntut pemahaman yang dangkal.
Budaya massa tersebut mengingkari upaya berpikir dan menciptakan respon-respon emosional maupun sentimentalnya sendiri, di mana ada kecenderungan menyederhanakan dunia nyata dan mengabaikan persoalan-persoalannya (Strinati, 2010). Dalam hal ini, individualitas seseorang tergoncang dan terdistorsi oleh gambaran di luar dirinya yang disodorkan dan dipaksakan untuk menjadi gambaran ideal yang dianut. Kekhasan dalam cetak biru kepribadian individu seakan menjadi suatu hal yang kabur, setiap individu dipaksa dengan pengaruh media mengikuti berbagai hal yang dianggap trend, modern, dan lain sebagainya, dan alhasil membentuk masyarakat dengan ciri subjected group, di mana individu hanyalah suatu kawanan dan tidak dapat mandiri untuk berani menjadi individu secara kepenuhan. Dalam masyarakat kapitalis yang diangkat di era globalisasi, pengemban kuasanya adalah kelompok mayoritas dengan budaya dominannya. Mayoritas masyarakat dengan klaim kebenaran yang representatif pada sistem demokrasi menjadi salah satu pemegang kendali terhadap arah perkembangan masyarakat secara luas, termasuk dalam hal ini kaum minoritas. Pandangan dari mayoritas dianggap sebagai kuasa yang memberi gambaran suatu kebenaran objektif, dan dianut sebagai suatu nilai universal yang digunakan dan ditekankan secara menyeluruh tak terkecuali terhadap minoritas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kerangka orientasi yang berbeda.
Pembahasan
Globalisasi yang dapat diartikan sebagai penghapusan batas-batas maya tiap negara melalui dorongan dari keberadaan berbagai teknologi digital dalam era revolusi 4.0 telah memperlihatkan proses perubahan dalam masyarakat secara global. Perubahan tersebut terjadi dari keberagaman kearah penyeragaman dalam bentuk masyarakat yang homogen, dengan identitas masyarakat yang terpusat, terutama sebagai pelaku konsumsi. Dalam hal ini proses meniru menjadi suatu hal yang memang didorong, dengan keidentikan antara satu individu dengan individu lainnya sebagai harapan. Suatu sistem terus mendistorsi individualitas dan lokalitas untuk terus diperas sebagai objek penghasil laba. Dalam pemikiran Deleuze kondisi pada masyarakat konsumeris tersebut merupakan salah satu ruang yang berkerut dan kaku dalam perkembangannya. Ini lah salah satu bentuk discontinuous homogeneous multiplicities. Tiap-tiap individu dalam berbagai budaya dan lokalitas yang berbeda didorong untuk terus memanggul suatu prinsip universal atas pengaruh kuasa global, yaitu pasar internasional.
Prinsip-prinsip yang diidealkan dan dianggap universal tersebut, seperti halnya prinsip kapitalis dengan pengejaran terhadap keuntungan, prinsip kepemilikan yang terus disemaikan, yang dicontohkan dengan kepemilikan tas-tas branded, gadget yang serba canggih dan lain sebagainya oleh para celebrities dan kaum borjuis dunia, kemudian budaya hedonis yang terlihat dalam menyebar luas nya budaya traveling, konsumsi terhadap masakan-masakan asing yang memiliki nilai prestigious dan lain sebagainya yang hadir dalam wacana masyarakat global telah menjadi suatu hal yang actual, tetapi bukan berdasar pada suatu proses mengalami. Deleuze mengetengahkan suatu kondisi ideal yang bagi nya harus didasari oleh suatu proses mengalami, yang bukan berdasar pada pengakuan atas identitas dalam suatu kemiripan tertentu. Bagi Deleuze hal yang dihadapi adalah suatu hal yang hanya dapat diindra (suatu proses mengalami) di mana dalam pengindraan lah pikiran terbangunkan (Deleuze dalam Durie, 2013: 173). Deleuze ingin mengembalikan keberadaan bentuk multiplicities yang memiliki ruang halus untuk menerima prinsip perbedaan dalam masyarakat yang heterogen. Pandangan tersebut mengarahkan pada bidang imanensi yang dipegang oleh Deleuze, yang mengingkari suatu prinsip eksternal yang transenden untuk mengarah pada proses becoming.
Deleuze menyajikan dan ingin mendorong suatu pemahaman yang bukan berdasar pada bentuk representatif yang merupakan suatu turunan dari prinsip kemiripan. Ide-ide dan berbagai konsep bagi Deleuze berada dalam dunia virtual, yang akan dapat dipahami apabila telah muncul pada dimensi actual. Hubungan dari yang virtual dengan yang actual adalah suatu asas perbedaan, di mana pengaktualisasian yang virtual adalah suatu bentuk proses pembedaan (diferensiasi). Bagi Deleuze penggunaan prinsip kemiripan akan mengetengahkan identitas yang terus terpusat. Hal tersebut nampak dalam proses imitasi yang berlangsung dalam budaya konsumerisme, di mana proses imitasi menjadi suatu hal yang dianggap memberikan identitas diri dan penerimaan diri pada yang banyak (kumpulan masyarakat). Dalam hal ini terbentuknya masyarakat homogen dalam kesamaan gaya hidup dengan berpusat pada trend center tertentu, yaitu dalam bentuk-bentuk budaya massa yang tercermin dalam cara berpakaian, cara makan, kepemilikan atau konsumsi komoditi tertentu yang dipromosikan dan disebarluaskan baik dari televisi maupun media sosial online, akan mengarahkan masyarakat pada suatu kondisi diskontinu yang menghambat perubahan.
Konsep difference yang dikembangkan oleh Deleuze menggap perbedaan adalah suatu prinsip yang utama, bukan identitas kaku dalam masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan oleh Deleuze, “identity is a secondary power and returns only as identity of difference. Difference is behind everything, but behind difference there is nothing” (Deleuze, 2004: 69). Dalam hal ini identitas bukan lah suatu hal yang tetap, melainkan selalu berubah karena perbedaan lah yang selalu hadir. Perbedaan ini lah yang akan mengantarkan masyarakat pada perubahan (bukan pengulangan maupun peniruan) secara terus menerus. Perbedaan yang akan mengembangkan perubahan yang berkelanjutan dan atas dasar ini suatu yang baru (novelty) dapat dihasilkan (Durie, 2013: 178), sedangkan dalam masayarakat konsumerisme, identitas diproduksi dan dimanipulasi oleh media. Media dalam arus kultur global memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi mutakhir untuk membentuk masyarakat dan identitasnya. Kegandrungan masyarakat terhadap budaya elektronik dan televisi menaruh orang sebagai penonton pasif lantaran daya kreasi dan imajinasi sudah diprogramkan oleh stasiun televisi (Sutrisno, 2006: 9). Masyarakat terbiasa disuguhkan oleh hal-hal yang dianggap fact, dan tidak terbiasa pada analisis terhadap berbagai persoalan. Dalam hal ini masyarakat tidak memiliki pilihan lain, dan perkembangan masyarakat kemudian dikendalikan dalam satu kuasa yang terpusat, yaitu kuasa media informasi dan komunikasi.
Kesimpulan
Pembahasan proses imitasi dalam masyarakat konsumerisme di era revolusi incustri 4.0 dengan perspektif pemikiran Gilles Deleuze di atas dapat mengarah pada kesimpulan bahwa proses peniruan (imitasi) dalam masyarakat, antara individu satu dengan yang lain, yaitu terhadap bentuk stereotype, baik celebrities sebagai pelaku promosi dalam iklan, orang awam sebagai pelaku endorse dalam media sosial dan praktik imitasi lainnya terhadap sosok yang dianggap ideal menghantarkan pada penciptaan kebutuhan-kebutuhan baru dalam perkembangan masyarakat. Pada pandangan Deleuze, hal tersebut menjelaskan suatu kondisi diskontinu yang mengarah pada ruang kaku dalam bentuk masyarakat yang homogen.
Masyarakat konsumeris terbentuk dalam suatu kondisi deteritorialisasi yang menggantikan lokalitas dengan singularitas konkret yang dianggap universal dan disebarluaskan oleh media, yang mana hal tersebut mengacaukan bentuk multiplicities dalam masyarakat. Dalam hal ini sebagaimana seperti yang telah dipahami pada pemikiran Deleuze, kondisi tersebut berlawanan dengan prinsip-prinsip dalam tataran imanensi yang diketengahkan olehnya. Masyarakat dalam budaya konsumeris tidak pernah benar-benar mengalami suatu proses becoming, karena individualitasnya terdistorsi dan daya kreatifnya terhambat oleh hasrat imitasi. Proses diferensiasi benar-benar menjadi tumpul, dan oleh karena itu proses imitasi dalam masyarakat konsumerisme akan menghambat terjadinya perubahan serta terbentuknya sesuatu yang baru. Bagi Deleuze, dibutuhkan suatu ruang yang halus untuk menerima berbagai pengaktualisasian yang virtual ke yang actual dalam proses diferensiasi, dan hal tersebut yang mengarahkan masyarakat pada terjadinya pembaharuan.
Daftar Pustaka
Colebrook, Claire. 2002. Understanding Deleuze. Australia: Allen and Unwin.
Deleuze dan Guattari. 1987. A Thousand Plateaus Capitalism and Schizophrenia. USA: University of Minnesota Press
Deleuze, Gilles. 1991. Bergsonism. New York: Zone Book.
Deleuze, Gilles. 1994. Difference and Repetition. New York: Columbia University Press.
Deleuze, Gilles. 2004 .The Logic of Sense. New York:. Continuum.
Deleuze dan Guattari. 2004. What is Philosophy? . Yogyakarta: Jalasutra.
Durie, Robin. 2013. Gilles Deleuze dalam Edkins, Jenny. 2013. Teori-Teori Kritis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Horkheimer, Max and Theodor Adorno. 1972. The Dialectic of Enlightenment. New York: Continuum
Parr, Adrian. 2005. The Deleuze Dictionary. Edinburg: Edinburg University Press
Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan
Thoburn, Nicholas. 2003. Deleuze, Marx, and Politics. London: Routledge.
Saksono, Gatut. 2009. Neoliberalisme VS Sosialisme: Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Fornomo PMKRI.
Steger, Manfred B. 2005. Globalisasi. Jakarta: Lafadl Pustaka.
Suseno, Franz Magnis. 2007. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Sutrisno, Mudji. 2006. Oase Estetis. Yogyakarta: Kanisius.
Wilmer dan Zukauskaite. 2015. Deleuze and Beckett. New York: Palgrave Macmillan.