spot_img
More

    Problem Penelitian Filsafat Kita

    Featured in:


    apa yang saya peroleh di kampus mengenai bagaimana penelitian filsafat seharusnya dijalankan ternyata berbeda dengan apa yang saya lihat dalam artikel-artikel akademik yang dimuat di berbagai jurnal filsafat. Pertama, tidak satu pun dari artikel itu menyebutkan metode. Kedua, kebanyakan tidak menggunakan langgam “teori filosofis X pada kasus Y”. Saya tidak akan membicarakan yang pertama. Itu sudah menjadi porsi Taufiqurrahman dalam artikelnya, “Filsuf sebagai Juru Masak: Catatan tentang Metodologi Penelitian Filsafat”. Porsi saya adalah yang kedua.

    Langgam penelitian ini (teori filosofis X pada kasus Y) banyak sekali dijumpai di Jurusan Filsafat di Indonesia. Coba Anda buka repository UGM. Masukkan kata kunci “Foucault”. Hasil pencarian akan menampilkan 46 penelitian berupa skripsi, tesis, dan disertasi dari berbagai jurusan, tidak hanya filsafat. Setelah menyusuri dari atas ke bawah, Anda akan menyadari satu kejanggalan: penelitian filsafat tidak berbeda dengan penelitian bidang lain. Seolah-olah, asalkan objek formalnya atau pendekatannya memakai teori filosofis, maka penelitian itu sudah menjadi penelitian filsafat. Lihat contoh berikut:

    Antara penelitian Sastra atau Filsafat:

    • Resistensi Tubuh Individu melalui Situs Heterotopia dalam Novel 2084 la Fin du Monde Karya Boualem Sansal (Perspektif Michel Foucault),Tesis oleh  Ardiani Nur Fadhila, Magister Sastra.
    • Upaya Legitimasi Dominasi Kekuasaan dalam Novel 1984 Perspektif Diskursus Michel Foucault, Skripsi oleh Gilang Faijin Aljiaro, Sarjana Filsafat.

    Antara penelitian Ilmu Komunikasi atau Filsafat:

    • Konsep Kepemimpinan Keyae Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Madura Dalam Perspektif Analisis Wacana Michel Foucault, Disertasi oleh Salamet, Doktor Filsafat.
    • Panoptisisme dan Kebungkaman Perempuan: Sebuah Studi Fenomenologi (Melihat Kebungkaman Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Melalui Perspektif Panoptik Foucault), Tesis oleh Nurike Pudyastiwi G, Magister Ilmu Komunikasi

    Penelitian macam ini berorientasi pada bentuk, alih-alih penyelesaian problem filosofis. Bukan masalah penelitiannya apa, tetapi objek formalnya menggunakan teori filosofis apa? Lalu, apa objek materialnya? Jika keduanya selesai, maka simsalabim abrakadabra jadilah penelitian filsafat. Langgam ini terus-menerus mereplikasi teori filosofis belaka, menerimanya sebagai pisau bedah yang siap pakai kapan saja. Adapun dampaknya pada perkembangan atau progres filsafat sama dengan nol. Oleh karena itu, saya menyebut langgam penelitian ini sebagai model replikasi.

    Model replikasi tidak berkontribusi pada pengembangan filsafat sebagai disiplin, tetapi berkontribusi pada pengembangan masyarakat. 1 Ambil contoh, dengan menganalisis suatu fenomena melalui teori filosofis—misalnya, Marxisme—dapat mengungkap struktur menindas dalam fenomena itu, lalu dari hasil temuan disusunlah strategi konkret pembebasan. Apakah setelahnya teori Marxis yang digunakan berkembang? Umumnya tidak. Dengan demikian, model replikasi absah sebagai penelitian politik atau sosial, tetapi tidak sebagai penelitian filsafat.

    Tujuan model replikasi adalah pencocokan teori pada realitas. Ketika teori tidak sanggup menjelaskan realitas, maka demi kepentingan praktis (misal, ingin segera lulus, tidak punya uang buat bayar semester, mempersingkat waktu penelitian) akan dicarikan realitas yang cocok. Harusnya, ketika teori menemui jalan buntu, ia perlu direvisi dan dikembangkan. Jika tidak, teori tersebut lebih baik ditinggalkan dan teori baru dirumuskan. Pada tahap ini, pengembangan ilmu pengetahuan beriringan dengan pengembangan masyarakat—dalam literatur Marxisme, hal ini disebut sebagai filsafat praxis.

    Penggunaan teori filosofis X pada kasus Y tidak melulu mengimplikasikan model replikasi. Sah-sah saja menggunakan teori tertentu, misal psikoanalisis atau feminisme, asal digunakan pada pemecahan problem filosofis. Misal, seperti yang dilakukan Hizkia Yosie Polimpung dalam disertasinya, Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux. Ia menggunakan psikoanalisis Lacanian untuk membedah proyek realisme spekulatif Meillaussoux. Jadi, poin utama dalam penelitian filsafat ialah menemukan problemnya terlebih dahulu. Setelah itu, filsuf atau peneliti bebas untuk menentukan pendekatannya, apakah dengan daya argumentasi pikirannya sendiri (analisis konsep, eksperimen pikiran, dst.) atau meminjam satu-dua teori dari filsuf lain untuk membedah suatu problem .

    Seperti kata Taufiqurrahman (2024), filsuf seperti juru masak. Ia tidak perlu memberi tahu resep dan bahan pada penikmat masakannya. Juru masak juga tidak harus selalu berpatokan pada buku resep yang sudah tersedia. Ia boleh membuat masakannya sendiri yang sepenuhnya baru atau memodifikasi resep yang sudah ada dengan menggunakan daya kreatifnya demi melahirkan masakan enak.

    ***

    Sebagaimana dijelaskan di muka, yang utama dalam penelitian filsafat adalah menemukan problemnya. Kabar baiknya, filsafat adalah gudang pertanyaan. Filsuf bekerja keras untuk bisa mendapat jawaban yang benar atasnya. Namun, sebelum itu terjadi, sekali waktu mereka merumuskan pertanyaan baru—yang sepertinya menjadi prasyarat demi mendapatkan jawaban yang benar—pertanyaan baru tersebut ternyata sama peliknya untuk dijawab. Alhasil, kendati akumulasi jawaban kian bertambah, pertanyaan juga kian bertambah. Jadi, mencari problem penelitian dalam filsafat semudah menjentikkan jari.

    Problem filosofis adalah kumpulan pertanyaan mendasar mengenai segala sesuatu. Ia mencakup pertanyaan mengenai manusia (apakah manusia punya kehendak bebas?), alam (apakah realitas eksternal itu benar-benar ada?), kehidupan (apakah hidup memiliki tujuan?), ilmu pengetahuan (apa syarat kemungkinan adanya sains?), atau bahkan filsafat itu sendiri (apakah pertanyaan filosofis dapat dijawab?).

    Pertanyaan-pertanyaan tadi lazimnya dianggap sebagai pertanyaan utama dalam filsafat. Selain itu, ada pertanyaan sampingan, yaitu turunan dari pertanyaan utama yang dianggap perlu dijawab dulu demi memperoleh jawaban yang benar atas pertanyaan utama. Jarang pertanyaan sampingan diketahui, kecuali oleh mereka yang merupakan peneliti spesialis (Sarıhan, 2024). Misal, apabila manusia tidak pernah bernalar tanpa bias,  apakah jawaban yang benar atas problem tidak pernah dapat diperoleh? Apabila filsafat tidak berprogres, apakah kebenaran dalam filsafat tidak pernah ada?

    Meskipun menemukan problem filosofis merupakan pokok utama, pekerjaan terberat dalam penelitian filsafat adalah mengajukan jawaban yang benar. Jawaban tidak harus berbeda dengan orang lain, tetapi argumentasi untuk mempertahankan jawaban itu yang harus berbeda. Misalnya, dalam perdebatan perihal progres filosofis, ada posisi yang mengeklaim bahwa filsafat telah dan akan berprogres (optimisme) dan kubu yang mengeklaim sebaliknya (pesimisme). Peneliti didorong oleh intuisinya dalam memilih posisi (Chris Daly, 2021). Setelah ia mengetahui posisi, saatnya argumentasi yang baru dirumuskan. Di sinilah letak novelty-nya sebagai penelitian filsafat.

    Akan tetapi, mengajukan jawaban baru dan merumuskan argumentasi baru hanyalah sebagian dari jenis novelty yang tersedia. Ada banyak jenis novelty lainnya, seperti yang dipaparkan Dellsén et al. (2024): “… mengajukan distingsi baru, mengajukan pertanyaan baru, membuat teori baru, tesis kondisional, piranti baru, penerapan baru, dan melahirkan disiplin baru.” Masalahnya, untuk membuat penelitian yang memiliki novelty, yang memiliki kontribusi pada pengembangan filsafat itu sendiri, membutuhkan dedikasi besar, baik secara waktu maupun tenaga. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun hanya demi melahirkan satu penelitian yang benar-benar kontributif.

    Kondisi ini menuntut pertimbangan ulang atas sistem pendidikan filsafat di kampus. Apakah para filsuf muda—mahasiswa S1 dan S2—sudah layak dibebani menulis tugas akhir yang memuat salah satu novelty di atas sehingga memiliki kontribusi berarti bagi pengembangan filsafat? Apakah pendidikan selama empat tahun sudah memungkinkan untuk penelitian tersebut? Menulis penelitian yang benar-benar kontributif itu sukar sekali. Dengan kata lain, para peneliti muda ini dituntut untuk menghasilkan tulisan yang selevel dengan para peneliti senior yang sudah bergumul dengan filsafat, boleh jadi, lebih dari satu dekade. Tentu ini berlebihan.

    Penelitian yang kontributif atau matang dihasilkan oleh keterampilan berfilsafat yang tinggi. Keterampilan ini bisa digapai setelah pergumulan yang panjang. Oleh karena itu, karya para peneliti muda ini—seperti skripsi dan tesis—harus dinilai dengan cara yang berbeda, yakni dari keterampilan berfilsafat: kemampuan berargumentasi, penguasaan pustaka, dan kejelian menemukan celah; bukan kontribusinya pada pengembangan filsafat. 2 Inti dari pendidikan filsafat ialah keterampilan berfilsafat. Apakah dengan memiliki keterampilan berarti lulusan Jurusan Filsafat bisa memberi kontribusi pada pengembangan filsafat? Belum tentu. Namun, setidaknya, keterampilan berfilsafat merupakan syarat utamanya.

    Sebagai penutup, penelitian bermodelkan replikasi memiliki tiga masalah utama. Pertama, mengaburkan batas antara penelitian filsafat dan non-filsafat. Kedua, tidak berkontribusi pada perkembangan filsafat. Ketiga, menghambat keterampilan berfilsafat. Penelitian filsafat harus berorientasi pada pemecahan problem filosofis. Hanya dengan demikian, para pegiat, sekaligus disiplin filsafat dapat terus berkembang. Jadi, jika Anda pembimbing tugas akhir atau mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir, mulai bertanya problem filosofisnya apa, bukan objek formal dan materialnya apa.

    Daftar Pustaka

    Daly, C. (2021, May 11). Philosophy’s lack of progress. Aeon. https://aeon.co/essays/why-doesnt-philosophy-progress-from-debate-to-consensus

    Dellsén, F., Firing, T., Lawler, I., & Norton, J. (2024). What is philosophical progress? Philosophy and Phenomenological Research. https://doi.org/10.1111/phpr.13067

    Sarihan, I. (2023). Problems with Publishing Philosophical Claims We Don’t Believe. Episteme, 20(2), 449–458. https://doi.org/10.1017/epi.2021.56

    Sarıhan, I. (2024). Disagreement and Progress in Philosophy and in Empirical Sciences. Social Epistemology, 1–13. https://doi.org/10.1080/02691728.2024.2362657

    Taufiqurrahman. (2024, September 2). Filsuf sebagai Juru Masak: Catatan tentang Metodologi Penelitian Filsafat. Antinomi. https://antinomi.org/filsuf-sebagai-juru-masak-catatan-tentang-metodologi-penelitian-filsafat/

     

    Author

    Footnotes

    1. Dalam sebuah perbincangan bersama Taufiqurrahman, ia menjabarkan bahwa penelitian punya dua jenis kontribusi, yaitu internal dan eksternal. Kontribusi internal berarti penelitian berusaha mengambangkan ilmu pengetahuan itu sendiri, sedangkan kontribusi eksternal berarti penelitian berusaha mengambangkan aspek sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Persoalan-persoalan filosofis sendiri kerap tidak punya implikasi langsung atas realitas atau boleh jadi tidak ada sama sekali. Penelitian filsafat berusaha menjawab persoalan-persoalan itu. Dengan demikian, pertama-tama, penelitian filsafat setidaknya harus berkontribusi secara internal.
    2. Bagi Sarihan (2023: 456), banyak peneliti muda yang segera menerbitkan karya karena didorong oleh hal-hal praktis, seperti ingin segera naik jabatan, dst, alih-alih berkontribusi pada pengembangan filsafat itu sendiri. Ini menghambat mereka melahirkan karya yang matang. Oleh karena itu, harus ada rumah publikasi yang secara khusus menerima karya mereka dengan standar penilaian yang berbeda, yaitu pada keterampilan berfilsafat: argumentasi, penguasaan pustaka, dst.

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Virus Rage dan Masa Depan Zombie

    dalam universe bertema zombie-apokalips, film 28 Years Later (2025) yang ditulis oleh Alex Garland, bagi saya, bukan sekadar tentang...

    Mesin Literal dan Manusia Ambigu: Refleksi atas Krisis Komunikasi...

    Kehadiran Kecerdasan Artifisial (AI) generatif dalam lanskap keseharian kita telah memicu sebuah diskursus yang riuh, sering kali...

    Manakah Gagasan Filsafat yang Kedaluwarsa?

    Di hari yang cerah, mereka masuk ke kelas pertama sebagai mahasiswa baru jurusan Filsafat. Mereka bertemu seorang...

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...